Selasa, 28 Juli 2009

Hadits Mushahhaf

MAKALAH MUSHTHALAH HADITS

Hadits Mushahhaf

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Mushthalah Hadits

Yang diampu oleh Ust. Nurkholis, Lc


















Disusun oleh:


Yahya

I000080019










PONDOK HAJJAH NURIYAH SHABRAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2009

I PENDAHULUAN

Otoritas hadits sebagai pedoman (hujjah) menjalani kehidupan bagi umat Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Ayat-ayat Alquran yang menerangkan hal tersebut tersebar di berbagai tempat baik di dalam Alquran maupun hadits. Oleh karena itu, kaum muslimin pada abad-abad pertama Islam berlomba-lomba untuk mendapatkan suatu hadits. Kejadian tersebut terus berlanjut hingga masa perpecahan politik pada masa khalifah Ali dan Mu’awiyah. Dan hal terus berlanjut hingga masa kini. Oleh karena hadits tidak seperti Alquran—yang diriwayatkan secara mutawatir—tentu saja memungkinkan banyak kesalahan baik berasal dari penyampai maupun penerima hadits (ruwaah) tentu saja tidak semua hadits demikian keadaannya. Hal tersebut terjadi ada kalanya karena kelemahan hafalan sang perawi dan ada kalanya karena kealpaan kecil perawi. Karena perawi tsiqah sekalipun tidak akan lepas dari kesalahan.

Untuk mengantisipasi peredaran hadits-hadits yang tidak valid tersebut para ulama ahli hadits membuat suatu metode dalam pengambilan hadits. Yang tentunya metode tersebut mereka gali dari Alquran maupun dari hadits-hadits yang telah diyakini kebenarannya. Secara garis besar metode-metode tersebut berupa kritik sanad dan kritik teks hadits (matan).

Sejak zaman klasik hingga sekarang kritik teks hadits lebih sulit dari pada kritk sanad. Menemukan biografi perawi tentu saja lebih mudah daripada memastikan bahwa teks suatu hadits sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini terbukti pada perbedaan hasil penelitian terhadap suatu hadits lebih banyak dikarenakan perbedaan kritikan terhadap teks hadits.

Di antara sekian banyak metode kritik teks adalah metode tashhif yaitu metode untuk mengetahui perubahan kata dalam hadits akan tetapi konteks kalimatnya sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang tsiqah atau lebih tsiqah. Metode ini termasuk dari salah satu metode yang sangat sulit. Hanya para pakar yang benar-benar menguasai hadits lah yang bisa melakukannya. Buktinya beberapa buku tentang mushthalah hadits memberikan contoh yang sama. Jika demikian keadaannya tentunya makalah ini jauh dari sempurna, apalagi contoh yang disajikan hanya berupa nukilan dari beberapa buku mushthalah hadits, bukan penelitian langsung terhadap suatu hadits. Meskipun demikian, makalah kecil ini tetap diharapkan bermamfaat.









II PEMBAHASAN HADITS MUSHAHHAF


  1. Definisi

  1. Secara Etimologis

Secara etimologis kata mushahhaf merupakan bentuk isim maf’ul dari kata tashhif yang artinya menulis kata atau membacanya dengan cara yang tidak benar disebabkan ada keraguan pada huruf.1

  1. Secara Terminologis

Secara istilah Mushahhaf adalah mengubah kalimat dalam suatu hadits kepada bentuk kalimat yang lain yang tidak diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya (tsiqah) baik lafazh maupun maknanya.2

  1. Urgensinya3

Menguasai bidang ini sangat penting, karena dengan menguasainya seseorang bisa menyingkap kesalahan yang terjadi pada sebagian perawi. Orang-orang yang menguasai bidang ini hanyalah orang-orang yang benar-benar ahli hadits dan orang-orang yang banyak menghafal hadits.

  1. Jenisnya4

Hadits Mushahhaf dibagi menjadi tiga macam dari tiga tinjauan/segi yaitu:

  1. Dari segi letak terjadinya tahshif (merubah kalimat)

Ditinjau dari segi letak terjadinya tashhif hadits mushahhaf dapat dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Tashhif dalam sanad

  2. Tashhif dalam teks hadits (matan)

  1. Dari segi sumbernya (mansya-ihi)

Ditinjau dari mana asalnya, hadits mushahhaf dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Tashhif berasal dari indra penglihatan dan tashhif yang berasal dari penglihatan lebih banyak terjadi. Tashhif ini biasanya terjadi karena tulisan tidak jelas menurut penglihatan pembaca, baik karena tulisan terlalu kecil atau karena tidak adanya tanda baca.

  2. Tashhif yang berasal dari indra pendengar. Tashhif ini biasanya terjadi karena pendengar berada pada jarak yang jauh atau pendengarannya kurang. Sehingga sebagian kata-kata tidak jelas baginya.

  1. Dari segi lafal atau maknanya

Tashhif dari segi ini dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Tashhif pada lafal hadits.

  2. Tashhif terletak pada makna. Tashhif yang terletak pada lafal hadits lebih banyak dari pada tashhif yang terjadi pada makna.

  1. Status Orang yang Melakukan Tashhif (Mushahhif)5

Jika perbuatan tashhif itu jarang sekali terjadi pada seorang perawi, maka hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas hafalannya. Karena seorang perawi tidak lepas dari salah, sedangkan kesalahan kecil itu biasa terjadi pada seseorang. Sedangkan jika seorang perawi banyak melakukan tashhif, maka perawi tersebut kualitas hafalannya dianggap lemah dan dia dianggap bukan ahli hadits.

  1. Sebab-Sebab Melakukan Tashhif6

Biasanya yang menyebabkan seseorang melakukan tashhif adalah karena mushahhif mengambil hadits langsung dari buku-buku hadits tanpa pernah mempelajari hadits tersebut dari seseorang yang ahli hadits. Oleh karena itu, para imam ahli hadits memperingatkan agar tidak mengambil hadits dari orang yang hanya belajar hadits dari buku-buku saja.

  1. Hukum Hadits Mushahhaf7

Hadits mushahhaf termasuk jenis hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (mukhaalafatuts tsiqaati). Sedangkan jenis hadits ini termasuk bagian dari hadits yang tertolak karena adanya cacat di dalam perawinya (mardud bisababith tha’ni fir raawii), sehingga hadits mushahhaf tidak bisa dijadikan sebagai pedoman (hujjah) dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, meriwayatkan hadits mushahhaf tidak boleh kecuali dengan menyertakan keterangan tentang status hadits tersebut.

  1. Bagaimana Mengetahui Status Ketashhifan Suatu Hadits?

Untuk mengetahui status ketashhifan suatu hadits dapat dilakukan beberapa hal di antaranya:

  1. Banyak menghafal hadits yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.

  2. Melakukan perbandingan hadits dengan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang dianggap tsiqah.

  3. Pernyataan dari para pakar hadits. Di antaranya para pakar tersebut ada yang telah menulis buku khusus di bidang ini. Insya Allah akan disebutkan.

  1. Contoh-Contoh Hadits Mushahhaf8

  1. عَنِ الْعَوَّامِ بْنِ مُرَاجِمٍ عَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلىَ أَهْلِهَا

Dari ‘Awwam bin Murajim dari Abu ‘Utsman An-Nahdiy dari ‘Utsman bin ‘Affan beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu tunaikan hak-hak kepada orang yang berhak.” Yahya bin Ma’in telah melakukan tashhif dengan mengatakan ‘Awwam bin Muzahim yang seharusnya ‘Awwam bin Murajim.

  1. عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَرَ فيِ الْمَسْجِدِ

Dari Zaid bin Tsabit bahwa sesungguhnya Rasulullah saw telah membuat kamar di dalam masjid.” ‘Abdullah bin Lahi’ah telah mentashhif lafal ihtajara menjadi ihtajama.

  1. أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ)

Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka puasanya seperti puasa setahun.” Perkataan sittan yang berarti enam diubah oleh Abu Bakar Ash-Shauliy menjadi syai-an yang berarti sedikit.

  1. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ عن مالك بن عرفطة عن عبد خير عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الدُّبَّاءِ الْمُزَفَّتِ

Telah menceritakan hadits kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan hadits kepada kami Syu’bah bin Sulaiman dari Malik bin ‘Urthufah dari ‘Abdi Khair dari ‘Aisyah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang menutup dan mematri kapal dengan bahan-bahan yang berwarna hitam.”

Menurut Ahmad, Syu’bah telah mentashhifkan Malik, padahal sebenarnya adalah Khalid bin Alqamah.

  1. لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِبْنَ يُشَقِّقُوْنَ الْخُطَبَا تَشْقِيْقَ الشِّعْرِ

Rasulullah saw melaknat orang-orang yang mempersukar pidato, bagaikan mempersukar sya’ir.” Hadits tersebut telah ditashhif oleh Waki’ bin Al-Jarah dengan kata Al-Khathaba, dibaca fathah kha’nya.

  1. حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلَى عَنَزَةٍ

Telah menceritakan hadits kepada kami Waki’ telah menceritakan hadits kepada kami Mis’ar dari A’un bin Abi Juhaifah dari ayahnya bahwa sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap tombak yang ditancapkan sebagai pembatas shalat. Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna Al-‘Anaziy mengira bahwa makna kata ‘anazah tersebut adalah nama suatu kabilah yang masyhur di negeri ‘Arab.

  1. Karya-Karya yang Dikenal Banyak Membahas Tentang Hadits Mushahhaf9

Di antara sekian banyaknya para pakar hadits ada yang telah menulis buku khusus membahas tentang hadits mushahhaf. Sayangnya, buku-buku tersebut belum tersedia di perpustakaan UMS. Buku-buku tersebut antara lain:

        1. At-Tashhif karya Imam Ad-Daaruquthni

        2. Ishlaahu Khatha-il Muhadditsiin karya Al-Khaththabi

        3. Tashhifaatul Muhadditsiin karya Abu Ahmad Al-‘Askariy (العسكري)

  1. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas bisa kita ambil pengertian bahwa para ulama ahli hadits sejak zaman klasik telah memiliki metode yang sangat gemilang dalam pengambilan suatu hadits. Sehingga anggapan sebagian orang (orientalis/inkarus sunnah) yang menyatakan bahwa hadits telah dipalsukan secara besar-besaran oleh para ulama ahli hukum Islam (fuqaha’) pada abad kedua dan ketiga adalah keliru besar. Hadits tidak hanya dikritik dari segi perawi saja, akan tetapi teks hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah sekalipun harus diteliti. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika ilmu mushthalah hadits disebut sebagai sebagian dari agama Islam, yang berarti menguasainya merupakan sebuah keharusan bagi tiap-tiap muslim dan muslimah.




Daftar Pustaka

Rahman, Fathur. 1995. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Al-Ma’arif

Thahhan, Mahmud. Tanpa tahun. Taisir Mushthalah al-Hadits. Beirut, Libanon: Darul Fikr

Mannan ar-Rasikh, Abdul. 2006. Kamus Istilah-Istilah Hadits. Jakarta: Darul Falah

1 Abdul Mannan ar-Rasikh, 2006, Kamus Istilah-Istilah Hadits, Jakarta: Darul Falah, hal: 186, Lihat juga Lisan al-Arab (7/291), Qamush Al-Muhith (3/234) dan Al-Mu’jam Al-Wasith (1/508)

2 Dr. Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hal: 95

3 Ibid

4 Ibid

5 Ibid, hal: 96

6 Ibid

7 Lihat Ibid, hal: 73-74 dan 85-86

8 Drs. Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, hal: 166-169

9 Op.cit, hal: 96

Senin, 27 Juli 2009

Konsep Kenabian, Proses Penerimaan Wahyu, dan Fungsi Nabi bagi Manusia

Oleh Y a h y a 085245537872

A. Pendahuluan[1]

Di sepanjang sejarah telah bermunculan para nabi benar dan para nabi palsu, yakni orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi secara dusta. Oleh karena itu, kita di sini akan membahas konsep kenabian dengan harapan menjadi jelas mana nabi benar dan mana nabi palsu.

Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang dapat dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan kenabian, di mana empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan fenomena berikut ini; para nabi dalam ucapannya benar atau bohong, dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan dari sisi pelaku dan juga dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain para pengklaim kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi’li) dan pelaku perbuatan (fâ’ili), 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau pertama dimiliki dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan kedua dimiliki. Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi’li dan tidak mempunyai kebaikan fâ’ili tidak terjadi dalam sejarah. Kondisi pertama, berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para nabi berdatangan di sepanjang sejarah di mana mereka memiliki kebaikan fâ’ili (pelaku perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi’li (perbuatan). Para nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kondisi kedua juga tanpa diragukan mempunyai sampel dan contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini juga masih terjadi. Para nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah jelas, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Mirza Ghulam Ahmad dan pembid’ah-pembd’ah lainnya. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka bahwa dirinya benar-benar mendapat tugas dari Tuhan dan pesan Tuhan harus ia sampaikan pada seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi dalam kenyataannya sama sekali tidak ada pesan dan tidak ada tugas dari Tuhan, hanya ia sendiri yang jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan serta berada dalam persangkaan. Kondisi ini mungkin terdapat contoh dalam sejarah. Mungkin saja Budha dapat dihitung dalam kelompok ini.

B. Pembahasan

a. Pengertian Nabi

Menurut bahasa, nabi berasal dari kata نبّأ وأنبأ yang berarti mengabarkan. Atau juga berasal dari kata نبا yang berarti tinggi dan naik. Adapun rasul secara bahasa ialah orang yang mengikuti berita-berita orang yang mengutusnya.[2] Mungkin pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang dinukil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; bahwasanya nabi itu adalah; manusia yang menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya, namun ia tidak diutus Allah kepada kaum kafir tertentu, untuk mengeluarkan mereka dari kekufuran. Adapun rasul, yaitu orang laki-laki merdeka yang diberikan wahyu oleh Allah dan diutus kepada satu kaum kafir tertentu untuk mengajak mereka kepada tauhid. Namun bukanlah merupakan syarat kerasulan harus membawa syari’at baru. Nabi Yusuf juga seorang rasul, namun beliau mengikuti millah Ibrahim.[3]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah:[4]

1. Kenabian adalah syarat kerasulan maka tidak bisa menjadi rasul orang yang bukan nabi. Kenabian lebih umum dari kerasulan. Setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.

2. Rasul membawa risalah kepada orang yang tidak mengerti tentang agama dan syari’at Allah; atau kepada kaum yang telah mengubah syari’at dan agama, untuk mengajari mereka atau mengembalikan mereka ke dalam syari’at Allah. Dia adalah hakim bagi mereka. Sedangkan nabi diutus dengan dakwah kepada syari’at nabi/rasul sebelumnya.

Adapun ciri-ciri kenabian dan kerasulan di dalam Al-Qur’an antara lain:

1. Para nabi dan rasul adalah manusia biasa (14:11)

2. Para nabi dan rasul adalah kaum pria yang diberi wahyu (21: 7). Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk menyatakan bahwa tidak seorang wanita pun yang diutus Allah sebagai rasul, walaupun mereka juga mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan tidak ada seorang wanita yang menjadi nabi. Hal tersebut demikian karena ayat ini menggunakan kata arsalnaa yang seakar dengan kata rasuul. Pendapat banyak ulama itu, tentu saja dapat dibenarkan jika yang dimaksud dengan kata rijaal pada ayat ini adalah jenis kelamin laki-laki. Tetapi perlu dicatat bahwa Al-Qur’an tidak selalu menggunakan kata rijaal dalam arti jenis kelamin lelaki. Kata itu bisa juga digunakan untuk menunjuk kepada manusia—baik laki-laki maupun perempuan—selama mereka memiliki keistimewaan, atau ketokohan, atau ciri tertentu yang membedakan mereka dari yang lain.[5] Maka berhati-hatilah dengan pendapat ini.

3. Para nabi dan rasul adalah orang-orang pilihan dan orang-orang sholeh (6:85). Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menyatakan bahwa nabi adalah orang sholeh masih banyak ayat yang lainnya. Islam menegaskan bahwa semua nabi-nabi memiliki sifat kesalehan.[6] Sementara Perjanjian Lama dan Baru secara terang-terangan menuduh mereka melakukan perbuatan yang sama sekali tidak pantas bagi para nabi.

4. Kenabian dan kerasulan yang diperoleh oleh para nabi dan rasul adalah anugerah (nikmat) dari Allah, sehingga kenabian dan kerasulan sungguh tidak akan pernah dicapai dengan cita-cita dan hasil usaha (19:58).

5. Para nabi dan rasul dikokohkan dengan mukjizat. Mukjizat adalah segala sesuatu yang luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk sesuatu yang membuat manusia tidak bisa mendatangkan semisalnya.[7] Di antara kemukjizatan para nabi dan rasul adalah selalu menjadi reformis dalam masyarakatnya. Banyak sekali mukjizat-mukjizat tersebut. Contoh pukulan tongkat nabi Musa kepada sebuah batu lalu memancar darinya 12 mata air (2:60), menghidupkan burung yang terbuat dari tanah dengan izin Allah yang dilakukan oleh nabi Isa as (3:49) dan lain-lain.

6. Dakwah para nabi dan rasul mempunyai beberapa karakteristik antara lain: (1) dakwah mereka sama dalam bidang ‘aqidah (21:25), dan mereka mengakui kenabian Muhammad (3:81), (2) mereka tidak meminta upah atas dakwah mereka (11:51), (3) dakwah mereka sederhana, tidak mengada-ada (38:86).

7. Para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad diutus kepada umat tertentu sedangkan nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh manusia. (QS 10:47 dan QS 4:79). Bahkan nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh alam (QS 21:107). Jadi, tidaklah sah orang yang masih mengamalkan syari’at nabi-nabi terdahulu setelah diutusnya nabi Muhammad saw, karena rasul sebagaimana dinyatakan dalam QS 4:64 diutus untuk ditaati dengan seizin Allah.

8. Masa kenabian dimulai dari Adam as, sedangkan Rasul yang pertama adalah Nuh as[8] dan tidak ada nabi dan rasul lagi setelah nabi Muhammad saw (QS 33:40) kecuali nabi ‘Isa as yang akan diturunkan Allah di akhir zaman dan diperintahkan untuk mengikuti syari’at nabi Muhammad saw.

Dan sebagaimana sabda Nabi saw:

عن ابن المسيب أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (والذي نفسي بيده ليوشكن أن ينزل فيكم ابن مريم حكما مقسطا فيكسر الصليب ويقتل الخنزير ويضع الجزية ويفيض المال حتى لا يقبله أحد )

2109. Dari Ibnul Musayyab bahwa dia mendengar Abu Hurairah ra berkata: Nabi saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya sungguh (‘Isa) Ibnu Maryam hampir turun di tengah-tengah kalian. Dia menegakkan hukum dengan adil dan dia menghancurkan salib, membunuh babi, membebaskan pajak dan harta akan melimpah sehingga tak seorang pun mau menerimanya.” (Shahih, HR Bukhari no. 2109) [9]

Perlu diketahui bahwa hadits yang menerangkan tentang turunnya Isa as telah sampai kepada derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilaly. Tidak seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Syaltut bahwa seluruh hadits yang menetapkan tanda-tanda kiamat adalah hadits ahad.[10] Sebagian ulama Salaf berpendapat, nabi Isa dijuluki al-Masih dari kata saaha, yaitu karena sering berpindah tempat atau banyak berjalan kaki. Pendapat lain mengatakan karena telapak kakinya datar. Dan ada juga yang memberi alasan kata al-Masih dari akar kata masaha, karena setiap kali ia mengusap orang yang berpenyakit pasti sembuh dengan izin Allah. Lihat: Syarh Kitab al-Imam Muslim li an-Nawawi, (Bab tentang al-Masih bin Maryam dan Masih Dajjal), (1/510). Dan lihat Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-'Atsqalaani, Kitab Hadits-hadits kisah para nabi. (6/544)[11] Wallahu'alam.

9. Mimpi nabi adalah wahyu: 17:60, 37:102, 37:105, 48:27

10. Para nabi dan rasul memiliki sifat-sifat antara lain: (1) shidiq (benar) (69:44-48), (2) amanah (jujur) (33:39), (3) tabligh (menyampaikan) (5:67), (4) fathonah (cerdas) (21:58-67), (5) terhindar dari sakit yang menjijikkan, (6) tejaga dari dosa (‘ishmah) (33:21).[12]

11. Setiap nabi dan rasul mempunyai hawari (penolong) dan musuh (6:112). Sebagaimana tersebut dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw. pernah bersabda pada peperangan Ahzab, "Sesungguhnya setiap nabi mempunyai Hawariy (penolong), dan Hawariy-ku adalah az-Zubeir bin ‘Awwam." HR. Bukhari, dengan nomor hadits 2846, Kitab: Jihad dan perjalanan, Bab: Fadhlu at-Tali'ah dan Muslim, dengan nomor hadits 2415, Kitab: Keutamaan Sahabat, Bab: Keutamaan Thalhah dan az-Zubeir.[13]

b. Proses Penerimaan Wahyu[14]

Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan dua cara; Ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan. Sebagaimana Dinyatakan dalam Al-Qur’an 42:51:

* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[15] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

1. Proses penerimaan Wahyu secara Langsung

a. Mimpi yang benar dalam tidur, ‘Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah bermimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.........” (Shahih, HR Bukhari no. 3)

Di dalam Al-Qur’an, banyak wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa surat Al-Kautsar melalui mimpi, seperti disinyalir oleh satu hadits. Di dalam Shahih Muslim, dari Anas dia berkata, “Ketika Rasulullah saw berada di antara kami di dalam mesjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tadi telah turun kepadaku sebuah surat. Lalu ia membaca; Bismillahirrahmanirrahiim, Inna a’thainakal kautsar, fa........abtar.” (Shahih, HR Muslim, no. 607)

Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.[16] (QS Ash-Shaffat: 101-102)

b. Berbicara dengan Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa as (4:164)

Cara ini termasuk cara kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas, “aw min wara’i al-hijab.” Dan di dalam Al-Qur’an wahyu macam ini tidak ada.

2. Penyampaian Wahyu oleh Malaikat kepada Rasul[17]

Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:

Pertama; Datang seperti suara lonceng. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah saw dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.

Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya.

Keduanya itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, bagaimana datangnya wahyu kepada engkau?" Rasulullah saw. menjawab, "Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku bagaikan gemerincingnya lonceng, dan itulah yang paling berat atasku. Lalu, terputus padaku dan saya telah hafal darinya tentang apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat berubah rupa sebagai seorang laki-laki datang kepadaku, lalu ia berbicara kepadaku, maka saya hafal apa yang dikatakannya." Aisyah r.a. berkata, "Sungguh saya melihat beliau ketika turun wahyu kepada beliau pada hari yang sangat dingin dan wahyu itu terputus dari beliau sedang dahi beliau mengalirkan keringat" (Shahih, HR Bukhari no. 2)

c. Sunnah adalah Wahyu

Al-Qur’an dan Sunnah keluar dari satu cahaya wahyu ilahi. Akan tetapi, Al-Qur’an adalah wahyu yang matluw dan sunnah adalah wahyu yang tidak matluw.[18] Pada abad kedua hijri telah terdapat sejumlah orang yang mengingkari kehujjahan sunnah Nabi dan kedudukannya sebagai sumber hukum. Pengingkaran ini hanyalah berangkat dari ketidaktahuan belaka. Dalam pada itu ada juga kelompok yang hanya menolak hadits yang tidak mutawatir saja. Namun ingkarussunnah ini tidak muncul ke permukaan lagi sesudah abad kedua hijri. Baru kemudian muncul lagi pikiran ingkarussunnah, barangkali akibat pengaruh kolonialis Barat, di mana sekelompok orang hanya menolak hadits-hadits tentang jihad saja, dan sekelompok lain menolak hadits secara keseluruhan. Dan tampaknya alur pemikiran ingkarussunnah yang baru ini tidak berbeda dengan pemikiran ingkarussunnah pada abad kedua. Bahkan argumen-argumen ingkarussunnah yang baru ini juga tidak berbeda dengan argumen-argumen ingkarussunnah tempo dulu.[19]

Adapun argumen-argumen mereka antara lain:[20]

1. Agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti (qath’i). Apabila kita mengambil dan memakai sunnah, maka berarti landasan agama itu tidak pasti (zhanni).

2. Dalam syari’at tidak ada dalil lain kecuali Al-Qur’an. Allah berfirman:

ما فرطنا في الكتاب من شيء (الانعام: 38)

“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab”.

3. Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qur’an merupakan penjelasan terhadap segala hal. Sebagaimana firman Allah:

ونزلنا عليك الكتاب تنيانا لكل شيء (النحل:89)

“Dan tidaklah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelasan terhadap segala hal.”

4. Allah menghendaki agar Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber hukum Islam. Karenanya Allah menjamin keutuhan dan kelestarian Al-Qur’an. Oleh karena itu, Rasulullah saw sangat memperhatikan penulisan Al-Qur’an sedangkan hadits beliau melarang menulisnya. Dan inilah yang diamalkan oleh para Khulafaur Rasyidin yang empat. Pendapat ini dipakai oleh Rasyid Ridha, Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan penginkar sunnah di Pakistan. Sedangkan kelompok “Ahlul Qur’an” yang diketuai oleh Ghulam Ahmad Parwez memberikan argumen tambahan tidak mungkin hadits disebut wahyu, sebab apabila demikian niscaya Allah juga akan memeliharanya sebagaimana Allah memelihara Al-Qur’an. Bahkan mereka menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hadits itu merupakan wahyu adalah pemikiran Yahudi yang menyusup ke dalam tubuh kaum Muslimin.

Beberapa bantahan terhadap argumen mereka:[21]

1. Perbuatan yang dikecam Allah adalah mengikuti zhann, padahal ada yang pasti. Zhann yang tidak boleh diikuti di sini adalah zhann yang berlawanan dengan haq. Bahkan di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang pengertiannya bersifat zhann.

2. Kelompok ingkarussunnah umumnya kekurangan waktu dalam mempelajari Al-Qur’an. Hal itu karena mereka kebanyakan hanya memakai dalil ayat 89 surat An-Nahl atau ayat 38 surat Al-An’am. Padahal dalam ayat 44 surah An-Nahl Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[22] dan supaya mereka memikirkan.” Maka, dalam hal ini mereka telah beriman terhadap sebagian ayat Al-Qur’an dan kufur terhadap sebagian yang lain.

3. Adapun tuduhan mereka bahwa pendapat yang mengatakan bahwa sunnah adalah wahyu merupakan pemikiran Yahudi adalah tidak benar. Karena wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya tidak hanya yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh: bahwa sebelum Nabi Muhammad shalat menghadap ke Ka’bah beliau menghadap ke Masjidil Aqsha. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak memerintahkan hal tersebut. Apakah Nabi menghadap ke Masjidil Aqsha karena hawa nafsu atau karena wahyu? Yang benar Nabi menghadap ke Masjidil Aqsha karena tuntunan wahyu. Sebagaimana dinyatakan di dalam surat An-Najm: 3 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”

d. Fungsi Nabi Bagi Manusia[23]

1. Allah mengutus para rasul-Nya untuk mengenalkan manusia tentang sesembahan yang haq, juga untuk menyeru mereka agar hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya. (Al-Anbiya’ 21:25)

2. Allah mengutus para rasul untuk menegakkan agama, serta melarang mereka berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)

3. Allah mengutus para rasul juga untuk memberi kabar gembira dan peringatan. (Al-Kahfi 18: 56)

4. Allah mengutus para rasul juga untuk memberikan teladan yang baik bagi manusia dalam perilaku yang lurus, akhlak yang mulia dan ibadah yang benar (Al-Ahzab 33: 21)

C. Kesimpulan

1. Nabi dan rasul adalah manusia biasa yang dipilih dan diberi wahyu oleh Allah. Fungsi utamanya adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah. Dan mereka semua mengakui kenabian Muhammad saw.

2. Silsilah kenabian telah berakhir. Artinya tidak ada nabi lagi setelah nabi Muhammad saw wafat.

3. Wahyu diterima nabi melalui 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.

4. Wahyu secara langsung melalui dua cara yaitu: melalui mimpi dan berbicara dibelakang tabir. Sedangkan wahyu tidak langsung yaitu melalui perantaraan malaikat.

5. Wahyu ada dua jenis: Wahyu Matluw dan Ghairu Matluw. Sunnah adalah wahyu Ghairu Matluw sehingga wajib diterima bila shahih baik dalam ‘aqidah maupun hukum.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Digital Versi 2.0

Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin. e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama

Al-A’zami, M.M. 2005. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani

------------------ 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodofikasinya. Jakarta:Pustaka Firdaus

‘Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 2001. Kenabian dan Riwayat Para Nabi, Jakarta: PT Lentera Basritama

Aziz, Abdul bin Muhammad Abd Lathif. 1998. Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan. Jakrata: Yayasan Al-Shofwa

CD Mausu’ah al-Hadits al-Syariif

Hammad Al-Ghunaimi, Abdul Akhir. 2001. Tahdzib Syarah Ath-Thahawiyah Dasar-Dasar ‘Aqidah Menurut ‘Ulama Salaf 1. Solo: Pustaka At-Tibyan

http://isyraq.wordpress.com/2008/01/05/menganalisa-konsep-kenabian-1-2/

Manna’ Al-Qaththan, Syaikh . 2008. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Salim, Syaikh bin ’Ied Al-Hilaly. 2007. Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum. Bogor: Pustaka Ulil Albab

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 8. Jakarta: Lentera Hati

Tim Ahli Tauhid. 2008. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq



[1] http://isyraq.wordpress.com/2008/01/05/menganalisa-konsep-kenabian-1-2/

[2] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm:84

[3] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarah Ath-Thahawiyah Dasar-Dasar ‘Aqidah Menurut ‘Ulama Salaf 1, hlm: 255

[4] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm:84

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 8, hlm: 420

[6] Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, hlm:42 dengan sedikit perubahan

[7] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm: 91

[8] Lihat Hadits Bukhari no. 3092, Muslim no. 287, dan Tirmidzi 2358

[9] CD Mausu’ah al-Hadits al-Syariif

[10] Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilaly, Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum, hlm: 137

[11] Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama, pertanyaan no. 1

[12] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, Kenabian dan Riwayat Para Nabi, hlm: 54 2001. Jakarta: PT Lentera Basritama

[13] Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama, pertanyaan no. 12

[14] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm:40-42

[15] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s.

[16] Inilah pendapat yang benar, bukan Ishaq yang disembelih. Kabar gembira itu pertama-tama tentang lahirnya Ismail sebelum Ishaq. Karena Ismail-lah yang dibesarkan di Jazirah Arab di mana kisah penyembelihan terjadi, dan dialah yang disifati penyabar.

[17] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm: 42-43

[18] Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilali, Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum, hlm: 36

[19] Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodofikasinya, hlm: 50

[20] Ibid, hlm:50-55

[21] Ibid, hlm:59-60

[22] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.

[23] DR. Abdul Aziz bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan, hlm: 56-59

Minggu, 26 Juli 2009

Abdullah bin Salam

ABDULLAH BIN SALAM (Dan al-Urwatul Wutsqa)
Jumat, 10 Juli 09

Qais bin Ibad berkata, "Ketika aku duduk di dalam masjid Madinah, tiba-tiba masuk seorang lelaki dari raut wajahnya terpancar keteduhan. Para sahabat yang berada di masjid berkata, 'Orang itu termasuk penghuni Surga.' Kemudian dia mengerjakan shalat dua rakaat lalu keluar masjid.

Aku mengikuti langkahnya dan bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid tadi, orang-orang berkata, Inilah orang yang termasuk penghuni Surga!' Dia berkata, 'Subhanallah,' Tidak pantas seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahui, akan aku beritahukan kepadamu bagaimana sebenarnya.

Ketika itu, pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, aku pernah bermimpi, kemudian mimpi itu aku ceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Seolah-olah aku berada di tengah-tengah taman, aku sebutkan seberapa luasnya dan bagaimana suburnya, di tengah taman itu terdapat beberapa tiang terbuat dari besi pangkalnya menancap kuat di dalam bumi dan ujungnya tinggi di langit. Di ujung besi tersebut terdapat tali, tali itu berkata kepadaku, 'Naiklah kamu!' Aku jawab, 'Aku tidak bisa memanjat.' Kemudian aku singsingkan bajuku dari arah belakang, lalu aku memanjat sehingga aku mencapai bagian paling atas, aku bisa mengambil tali itu. Tali itu berkata lagi kepadaku, 'Pegangi kuat-kuat.'
Tiba-tiba aku terbangun. Maka mimpiku itu aku ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selanjutnya beliau bersabda, 'Yang dimaksud dengan taman adalah al-Islam, sedang tiang-tiangnya adalah sendi-sendi Islam. Tali yang dimaksud adalah al-Urwatul Wutsqa (laa ilaha illallah). Sungguh kamu tetap dalam keadaan Islam sehingga kematian menjemputmu'."
diakses tanggal 4 Syakban 1430 H/ 27 Juli 2009 http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatkisah&id=180

Kamis, 16 Juli 2009

YAHYA

Etos Profetis

Upaya Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan

Pendahuluan

Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari berbagai manusia yang beragam dan memiliki kultur yang majemuk. Keragaman manusia dikarena dua factor yang utama; letak geografis dan sifat dan fitrah yang diciptakan oleh Tuhan dengan keberagaman. Manusia sebagai animal rational memiliki kemampuan untuk menciptakan kreasi serta innovasi dalam mengelola lingkungan agar dapat bermanfaat bagi manusia itu sendiri. Interaksi manusia dengan lingkungan dapat melahirkan suatu kebiasaan yang berbeda dengan lingkungan yang lain dan bahkan melahirkan suatu symbol dari masyarakat tertentu. Symbol yang dimiliki oleh masyarakat tersebut bersifat eksklusif guna mengikat dan memberikan makna didalam masyarakat yang memiliki symbol tersebut. Symbol yang berada dalam masyarakat merupakan representasi dari masyarakatnya dan menggambarkan keadaan tertentu dalam masyarakat. Misalkan symbol kain putih dalam masyarakat merupakan suatu gamabaran tentang duka cita atau biasanya ada orang yang meninggal.

Manusia dengan dikarunia akal yang digunakan untuk megelola alam, serta menggali manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan kemusiaan. Interaksi manusia dengan alam dan memanfaatkan alam dengan bekerja. Kerja merupakan aktualisasi diri dengan segenap kemampuan dan mengelola alam diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bekerja merupakan salah satu wahana dari terciptanya suatu kebudayaan. Kebudayaan yang dihasilkan merupakan kebudayaan bagaimana manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam. Kebudayaan dalam hal ini bisa mencapai kerangka berfikir untuk survaiv dalam alam dan menghasilkan alat guna pengelolaan alam. Alat yang dihasilkan oleh manusia dalam sejarahnya dari yang klasik samapai dengan sekarang yang modern. Alat klasik dapat dilihat dari zaman manusia zaman dulu dalam memanfaatkan alam seperti bentuk kampak yang terbuat dengan batu atau kerang. Sedangkan untuk zaman sekarang merupakan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan alam.

Sikap KH. Ahmad Dahlan yang melihat serta merespon suatu realitas sehingga ia menerjemahkannya dengan suatu organisasi merupakan langkah yang cerdas dalam rangka memkoordinir dalam permasalahan social. Sikap KH.Ahmad Dahlan yang khas bersama organisasinya yang membedakan keberagamaan dapat dikatan sebagai suatu kebudayaan. Sikap ini seperti ia konstekstualisasi ajaran agama agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan merupakan langkah yang penting guna menjawab problem social pada waktu itu. Sikap KH. Ahmad Dahlan yang menghargai ilmu dan menganjurkan pada umat agar menguasai ilmu umum yang bersifat duniawi bukan hanya ilmu keagamaan ini merupakan semangat dari Muhammadiyah yang berusaha melakukan modernisasi. Sikap pembaharuan juga yang ia lakukan dalam penggabungan antara dua model pendidikan tradisioal corak agamis dengan pendidikan sekuler modernis, dan menghasilkan system pendidikan agamis modernis seperti sekolah Muhammadiyah sekarang perpaduan antara ilmu agama dengan ilmu alam dan ilmu humaniora.

Sekilas Pengertian Etos dan Kebudayaan

Etos memiliki hubungan erat dengan sikap moral, walaupun keduanya tidak seluruhnya identik. Kesamaan erletak dalam kesamaan sikap, keduanya didasari sebagai sifat mutlak atau wajib diambil terhadap sesuatu. Perbedaanya terletak pada tekanan, sikmap moral menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai standar yang harus diikuti. Sedangkan etos mengegaskan bahwa sikap itu sikap yang sudah mantap dan biasa, sesuatu yang nyata-nyata mempengaruhi, yang menentukan idividu atau kelompok orang mendekati atau melakukan sesuatu. Etos mengungkapkan semangat dan sikap tetap batin seseorang atau sekelompok orang sejauh sejauh didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu. Etos merupkan sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dapat dipaksa. Etos merupakan deskriftif tentang sikap mental yang ada. (Franz Magnis Suseno, Befilsafat dari Konteks)

Etos merupakan suatu pandangan yang khas suatu bangsa dimana membedakan dengan bangsa yang lain. Etos sebagai pandangan yang khas atau semangat atu jiwa yang khas merupakan suatu hal yang mencirikan identitas serta eksistensi bangsa dihadapan negaranya ataupun Negara yang lain. Etos merupakan salah satu kajian yang sering dipakai oleh antroplog dalam menggambarkan suatu kebudayaan yang khas dan membedakan dengan yang lain dari suatu Negara atau kelompok tertentu. Misalakan dalam hal ini, dapat dianalisis tentang semangat serta terjadinya kapitalisme merupakan ethos dari Protestan bukan Katolik. Etos dalam Protestan ini yang diyakini yang menyebabkan kapitalisme. Hal ini, dapat dianalisis dari ajaran Protestan Madzab Calvinis tentang konsep keselamatan, asketis dan gemar menabung. Madzab Calvinis yang menyebabkan kapitalisme menurut Weber merupakan suatu penggalian terhadap agama Protestan yang tidak dapat diketemukaan pada Katolik. Semangat yang ada mengenai konsep keselamatan bahwa orang yang masuk kedalam keerajaan Tuhan (surga) merupakan orang yang kaya membantu orang lain untuk mandiri dan tidak mengalami ketergantungan. Selanjutnya bahwa dalam memperoleh keselamatan tersebut diharapkan umat bersikap asketis atau zuhud (menahan diri). Menahan diri dalam konteks ini ia hidup secara wajar tidak berlebihan atau bermewah-mewah dan hartanya digunakan untuk melakukan investasi membangun usaha atau ditabungkan. Dari semangat tersebut yang dilaksanakan sambil bergulir waktu maka menjadikan investasi dan modal yang besar sehingga menjadi suatu system yang dapat berdiri sendiri. System tersebut mengambil dari nilai ajaran agama dan sekarang menjadi sangkar besi rasionalis dimana kapitalisme tidak dapat dikontrol.

Menurut ilmu antropologi bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan merupakan seluruh hasil tindakan manusia karena hanya sedikit tindakan manusia yang tidak diterapkan dalam bejar seperti tindakan refleks, dan beberapa tindakan proses fisiologi. Kata kebudayaan berasal dari kata sangsekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kata budaya merupakan kata majemuk dari budi-daya, yang berarti daya dari budi. Oleh sebab itu ada yang membedakan antara kebudayaan dan budaya. Budaya merupakan daya dari budi yang berupa cipta rasa dan karsa dan kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa. (Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi)

Pada umunya yang tergambar dalam pemahaman tentang kebudayaan merupakan kesenian. Misalkan dalam Muhammadiyah gambaran tersebut akan dilengkapi dengan olah raga, seperti bela diri dan sepak bola. Menurut Ernst Cassirer dalan An Essay of Man, mengatakan bahwa kebudayaan adalah agama, seni, filsafat, ilmu sejarah, mitos dan bahasa. Bahkan manusia menambahkan bahwa cara beragama pada agama, kebudayaan gaya hidup, fashion, upacara, dan festival. Kebudayaan merupakan ide dan symbol, sedangkan manusia merupakan animal simbolicum, dimana ia akan menciptakan symbol. System symbol erat kaitannya dengan ideological constraint untuk menggambarkan mahluk hidup. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid).

Kebudayaan menurut Karl Marx kotemplasi diri di dunia yang kita ciptakan sebagai produk kerja manusia dan alat utama yang menghubungkan diri dengan manusia yang lain, tetapi juga dengan alam. Kebudayaan merupakan sebagai produk kerja yang belum selesai, merupakan perpanjangan tubuh manusia dalam tubuh alam melalui kebudayaan yang unik. Aktivitas tersebut tidak akan mereduksi seakan-akan terbenam dalam realitas yang selesai dan tidak berubah. (John C. Raines, Marx tentang Agama) Aktivitas manusia dalam alam yang teraktualisasikan dalam kerja menjadikan suatu kebudayaan dan kebudayaan tersebut tidak akan pernah selesai dikarenakan dalam realitas yang selalu berubah. Aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan berkerja dalam mengelola alam memerlukan alat yang dibutuhkan. Pemenuhan terhadap alat yang diperlukan manusia dalam mengelola alam mengalami kemajuan yang baik dari yang sederhana hingga kompleks. Aktualisasi dalam kerja tersebut menghasilkan suatu kebudayaan yang membawa pemberdayaan alam guna memenuhi kebutuhan dan kemudahan bagi manusia. Kebudayaan menurut E.B Taylor merupakan kompleks yang mencangkup pengetahuan, keprcayaan kesenian, moral hokum dan adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh aspek yang dapat dipelajari oleh manusia dalam menjadi anggota masyarakat. Kebudayaan merupakan ketiga unsure dari cipta rasa dn karsa yang telah dimiliki oleh manusia dalam masyarakat. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar)

Kebudayaan memiliki tiga gejala menurut ahli ilmu antropologi, yakni idea, activities, dan artifac. Wujud dari kebudayaan yang ideas, merupakan suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan. Wujud ini merupakan yang ideal dalam kebudayaan memiliki sifat yang abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Lokasi tersebut berada dikepala manusia, atau berada dalam alam pikiran masyarakat diman kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Pertama, wujud ini merupakan wujud yang ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak tidak daaat di foro atau diraba. Lokasi kebudayaan tersebut terletak pada kepala, atau perakataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Ide dan gagasan manusia hidup bersama dengan suatu masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat itu pula. Gagasan tidak dapat dilepaskan dari sutu system dan para sosiolog dan antropolog menyebutnya dengan sebutan system budaya.

Kedua, merupakan social system, mengenai tindakan berpola dari manusia, yang terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, hubungan serta bergaul dengan yang lain selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adapt dan kelakuan. System social dalam manusia bersifat konreat, tertaji disekelilong kita sehari-hari bias diobservasi difoto dan didokumentasikan. Ketiga, merupakan dalam bentuk fisik, karena seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua, manusia dalam masyarakat, sifatnya merupakan paling konreat, berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Ketiga, wujud kebudayan merupakan realitas yang ada dalam kenyataan kehidupan masyarakat tertentu yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan karya manusia.baik pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda dalam kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatannya, bahkan juga cara berfikirnya. (Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi).

Bercermin pada Sejarah Muhammadiyah dan Ikatan

Hidup yang tak direfleksikan merupakan kehidupan yang tak pantas dijalani, itulah perkataan bijak Socrates. Begitupula, dengan perkataan dari nabi bahwa hari ini lebih baik dari pada hari kemarin merupakan orang yang beruntung, hari ini sama dengan hari kemarin merupakan orang yang rugi sedangkan dalam hari ini lebih buruk dari kemarin merupakan orang-orang yang mendapatkan laknat. Perkataan bijak Socrarates maupun nabi merupakan pentingnya melakukan sebuah refleksi yang dilakukan oleh secara sendiri atau kolektif guna meningkatkan atau apa yang telah dilakukan. Cara melakukan refleksi dengan pengevaluasian perbuatan yang telah dilakukan, proses dalam mencapai tujuan yang telah diidealkan. Refleksi digunakan dalam menilai dan koreksi apa yang telah dikaukan dapat menunjang atau menghambat tujuan serta jalan yang digunakan dalam rangkan penyelesaian masalah yang dihadapi. Refleksi yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan apa yang telah dilakukan sihingga tercipta kehidupan lebih baik dari pada hari kemarin dan menciptakan makna dalam kehidupan.

Begitupula, dengan ikata sebelum menggulirkan sebuah pemikiran atau penggagasan tentang kebudayaan ikatan, sebuah ikatan melakukan sebuah refleksi tentang Muhammadiyah dan ikatan guna melihat sejarah agar mencapai subtansi dari mengapa oragnisasi itu berdiri. Bercermin kepada Muhammadiyah dikarenakan iktan merupakan salah satu ortom dari Muhammadiyah sehingga secara tidak langsung ikatan merupakan penerus dari jalannya Muhammadiyah guna menciptakan masyarakat yang telah diidealkan oleh Muhammadiyah. Ikatan dalam tujuan serta langkah geraknya merupakan salah satu usaha dalam mencapai tujuan ideal dari Muhammadiyah. Begitupula, dengan Muhmmadiyah sebagai orang tua dari ikatan membrikan kesempatan kepada ikatan untuk menentukan pilihan jalan guna menciptakan tujuan dari Muhammadiyah meskipun jalan tersebut berlawanan dengan Muhammadiyah, tetapi yang terpenting masih dalam kerangka pikir Muhmmadiyah dan meniru pendirinnya KH. Ahmad Dahlan.

Muhammadiyah sebagai organisasi social kemasyarakatan dalam sejarahnya tidak dapat dilepaskan dari tokoh yang berada dalam Muhammadiyah dan mengembangkannya. Muhammadiyah merupakan organisasi social modern yang berada di Indonesia yang konsen pada lembaga pendidikan serta social kemasyarakatan. Pilihan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai lahan gerakannya dalam bidang social kemasyarakatan. Muhammadiyah dilahirkan dikarenakan dua factor yang melatar belakanginya. Faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah dua bagi menjadi dua macam factor eksternal dan faktor internal. Factor eksternal situasi politik penjajahan colonial Belanda dan ide-ide pembharuan yang berada di Timur Tengah. Sedangkan untuk factor internal merupakan yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh. Hal ini, seperti kebragamaan umat Islam, lembaga pendidikan Islam. Melihat berbagai persolan baik yang berada dalam umat Islam atapun berbagai persoalan yang berkaitan dengan kondisi social masyarakat pada waktu itu dima terjadiny penjajahan yang menyebabkan dehumanisasi.

Melihat realitas dan pemaknaan terhadap doktrin agama sehingga melahiorkan pemikiran dan tindakan yang praktis dalam rangka mengatasi permasalah yang terjadai dalam umat pada waktu itu. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh KH. Ahamad Dahalan merupakan tindakan agar menjadikan Islam sebagai rahmat atau paling tidak dapat menyelesaikan permasalahan sehingga dalam tafsirannya Islam sangat praktis dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini, dapat dilihat apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah awal mendirikan PKU, sekolah dan panti asuhan dalam rangkan untuk mengurangi beban masyarakat miskin dan merupakan proyek kemanusiaan tanpa balas jasa. Semangat yang dimiliki oleh Muhammadiyah awal adalah semangat Ikhlas serta amliyah yang kosekuens. Sikap yang dimiliki oleh Muhammadiyah sebagai respon terhadap realitas ini merupakan pilihan yang dilakukan oleh generasi awal Muhammadiyah yang membedakan Muhammadiayh dengan organisasi yang lain. Gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah memilili social kemanusian dari pada partai politik serta gerakan purifikasi ansih, tetapi yang dilakukan oleh Muhammadiyah gerakan moden yang leboih cenderung rasional serta melakukan rasionalisasi bukan dalam gerakannya dibawa pada mistis dan irasional.

Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan organisasi social keagamaan dalam gerakannya berbeda dengan gerakan organisasi yang lain. Gerakan yang berbeda tersebut, melahirkan kultur serta paradigma yang berbeda maka dalam etos serta kebudayaan yang dilahirkan pun berbeda. Sebagaimana, dalam kerangka etos bahwa etos merupakan pandangan dasar yang berbeda dari suatu komunitas atau masyarakat yang mencerminkan dirinya sendiri. Menurut pengertian dari etos sebagai sesuatu sikap mental yang ada, maka sikap mental yang ada dalam Muhammadiyah yang telah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan setidaknya memilimi etos. Sedangkan etos dalam Muhammadiyah dengan gerakannya menurut Haedar Natshir memiliki dua etos yaitu; etos keilmuan (kemajuan), dan etos pembaharu (tajdid). Etos Kemajuan (keilmuan), etos ini dimiliki oleh Muhammadiyah yang menjadi gerakanya dalam mengatasi persolan umat dengan menggunakan atau pemanfaatan teknlogi serta pengembangan sumber daya manusia yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Semangat keilmuan ini dapat dilihat dari penerapan dan penggabungan dua lembaga pendidikan yang saling bertentangan yakni penggabungan antara pendidikan tradisionalis dan pendidikan modern yang bersifat sekuler. Penggabungan antara ilmu agama dan ilmu umum menjadikan corak yang khas pada lembaga pendidikan yang telah dirintis oleh Muhammadiyah. Pendidikan yang dilakukan merupkan kritik terhadap keadaan pendidikan pada waktu itu. Pendidikan yang berjalan tanpa sapa dan berdiri sendiri antara agama dengan ilmu pengetahuan. Upaya yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan salah satu upaya kreatif guna memberikan solusi agar umat dapat menguasai ilmu alam dan humaniora agar dapat menerapkan ajaran Islam sebagai rahmat dan diterima oleh semua manusia. Kerangka keilmuan dalam Muhammadiyah juga di miliki oleh KH. Ahmad Dahlan ia menganjurkan kepada umat agar mencari ilmu-ilmu dunia bukan ilmu tentang ukhrawi saja. Ia juga meletakkan etos guru dan murid merupakan warga aktivis Muhammadiyah yang selalu bersedia belajar kepada siapapun agar dapat memperoleh ilmu, kebenaran dan kebaikan (murid) dan selalu menyebarkan ilmu, kebenaran dan kebaikan itu saat berkomunikasi dengan orang lain siapa pun orang itu (guru). (Abdul Munir Mulkhan , Kesalehan Multikultural).

Etos tajdid (pembaharu). Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu merupakan sikap setelah mengetahui dan bagaiamana cara merespon realitas. Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah merupakan hasil diealektika antara teks, konteks dan kontekstualisasi dari pemahaman keagamaan. Pemahaman kegamaan yang telah dikonstruksi oleh Muhammadiyah bersifat praktis dan menjadikan agama dapat memberikan rasa atau kegunaan pada masyarakat yang pada waktu itu mengalami ketertindasan. Semangat agama yang dibawa oleh Muhammadiyah merupkan semangat keagamaan yang bersifat praksis emansipatoris serta liberatif dan pemihakan terhadap yang termarginalkan baik dalam aksesnya tapun dalam komunikasi. Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah terdiri dari dua aspek yang penting pertama dalam aspek keagamaan dan kedua pada aspek social kemasyarakatan. Etos pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah merupakan sikap Muhammadiyah dalam memberkan solusi terhadap persolan yang terjadi pada masyarakat pada waktu itu dimana terjadinya dehumanisasi.

Tajdid dalam masalah keagamaan. Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah semangat untuk melakukan rasionalisasi, demistifikasi, dan demitologi umat yang terjadi pada waktu itu. Miskan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan pada waktu itu sangat controversial tetapi dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan, sebagai gambaran seorang guru agama merupakan suatu yang sacral dan dalam kajian dalam bidang ilmu keagamaan didatangi oleh muridnya, tetapi apa yang telah dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan malah mendatangi murid-muridnya bahkan supaya bersikap terbuka terhadap suatu kebenaran. Selanjutnya tajdid dalam masalah social kemasyarakatan. Tajdid ini yang dilakukan oleh Muhammadiyah banyak dan telah dirasakan oleh seluruh umat manusia. Hal yang baru dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam mengatasi persolan umat diselesaikan dengan cara kolektif, pengorganisasian dana zakat, infak dan sodaqoh. Kesadaran untuk memperdayakan umat merupakan kesadaran individu tetapi apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ia mendirikan PKO, panti asuhan dan orang terlantar merupakan kesadaran individu dibawa menjadi kesadaran kolektif. Pengelolaan kolektif merupakan semangat dari kemajuan persolan umat tersebut tidak boleh ditanggung secara individual tetapi dibawa pada persolan kolektif sehingga dalam penangannya lebih efektif, da meniru organisasi modern yang ada pada waktu itu. Pengumpulan dana zakat, infak, dan sodaqoh yang dikelola secara modern tidak digunakan sebagai barang konsumtif tetapi pada pemberdayaan masyarakat misalkan dengan mendirikan lembaga amal usaha dan ditangani dengan menggunakan organisasi modern serta menegement yang baik. Hasil dari pengelolaan tersebut digunakan modal untuk mendirikan koperasi dan lembaga keungan yang terkait bukan saja untuk dikonsumsi. Kesadaran kolektif yang dimiliki oleh Muhammadiyah menjadikan suatu terbangunya solideritas oraganis yakni suatu soilideritas yang terjadi melalui diferensiasi pemikiran atau gebrakan social yang dipandang tidak wajar oleh orang sekitar. Ini terjadi pada struktur masyarakat modern dimana umat yang terjalin dalam Muhammadiyah tidak tergantung pada kharisme ulama. Sedangkan pada waktu, konteks yang terjadi dalam masyarakat merupakan kesadaran mekanis yang menandakan sebagi kesdaran dari masyarakat tradisonal. (Bahrus Surur Iyunk, Teologi Amal Soleh).

Kedua etos yang telah dimiliki oleh Muhammadiyah ini merupakan saling berkelindan tidak dapat dipisahkan. Muhammadiyah sebagai gerakan yang kemajuan bersikap terbuka dan melakukan emansipatoris terhadap masyarakat melalalui amal usahanya menjadikan ciri Muhammadiyah dalam upaya mencapai tujuan utama yang ia ciptakan dalam naungan Tuhan. Etos dalam Muhammadiyah menjadi kebudayaan yang telah dimiliki oleh Muhammadiyah guna menciptakan suatu masyarakat ilmu dimana bersifat, terbuka, toleran serta inklusif. Pilihan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam gerakannya sebagai organisasi social keagamaan bukan organisasi polik merupakan pilihan yang "genius" untuk tidak menyatakan orisinal. Terlebih lagi, pilihan tersebut tidak didasarkan kajian cerman terhadap literature Islam klasik dan juga tidak memperoleh ispirasi dari konsep-konsep "teologis" atau kalam klasik yang telah baku atau mapan. Tetepi Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang memiliki program aksi guna menciptakan apa yang telah diidealkan oleh Muhammadiyah. (M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural). Masyarakat ilmu telah dirintis oleh Muhammadiyah sebagai pemecahan problem umat Islam pada waktu itu. Pemecahan permasalahan umat diharapkan dapat mencapai apa yang telah dicita-citakan oleh Muhammadiyah.

Ikatan merupakan salah satu organisasi kader yang memiliki kaitan erat dengan Muhammadiyah dalam setiap dan langkahnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah dengan etos ilmu dan pembaharuan merupakan tugas yang mulia dan sikap ikatan sebagai organisasi kader adalah sebagai penerus terhadap etos yang telah dimiliki oleh Muhammadiyah dalam rangka menciptakan kebudayaan ilmu guna mewujudkan ummat yang terbaik. Ikatan memiliki tujuan yang jelas dan harus berani menentukan pilihan serta konsisten terhadap pilihan guna mewujudkan masyarakat yang diidealkan. Sikap pilihan gerakan merupakan langkah tak asal pilih tetapi merupkan perenungan panjang kontemplasi diri serta bagaimana keadaan sekarang. Gerakan yang diangkat oleh ikatan sebagai kader Muhammadiyah yang memiliki kehasan dalam sikap dan tingkah seoarang intelektual profetik. Gerakan intelektual profetik ini, merupakan sebuah paradigama gerakan dalam melakukan transformasi profetik guna mewujudkan khoirul ummah sebuah masyarakat yang adil, masyarakat ilmu serta berfikir rasional dan ilmiah.

Sebelum menggagas apa yang dilakukan oleh ikatan guna mewujudkan khoirul ummah yang memiliki para meter masyarakt ilmu yang berkesadaran rasional, bersifat ilmiah serta berkeadilan. Ikatan dalam mewujudkan masyarakat ilmu selaknya, ikatan bersifat sebagai komunitas ilmu, sebagai eksperimen dalam suatu peradaban. Masyarakat ilmu, serta komunitas ilmu ini memiliki sikap dan sifat yang melekat karakter intelektual profetik. Penggagasan tersebut, merupakan penggalian ikatan guna mewujudkan apa yang telah diimpikan, tetapi langkah yang perlu diambil oleh ikatan ada tiga macam; (1) sejarah ikatan dan pengungkapan internal ikatan, (2) konteks ikatan sekarang dan keadaan masyarakat sekarang, (3) kontektualisasi ikatan.

Sejarah dan pengungkapan diri ikatan. Ikatan sebagai organisasi pergerakan dalam kelahirannya tidak dapat dipisahkan dari kondisi realitas pada waktu itu yang menyebabkan ikatan berdiri. Ikatan beridiri dikarenakan sikap dari aktivis muda Muhammadiyah yang tidak puas dengan keadaan pada waktu itu yang terjadinya polarisasi ideology dimana masuknya paham komunisme dalam berbagai lini kehidupan. Ikatan berdiri di kota Surakarta pada tanggal 14 Maret 1964 yang telah diprakarsai oleh Djasman al Kindi, Subdibyo Markus, Rausyad Soleh. Secara garis besar ikatan berdiri diakarenakan dua factor yang melatar belakanginya factor internal dan factor eksternal. Factor internal merupakan dalam diri Muhammadiyah dan kondisi aktivis muda Muhammadiyah yang telah menginginkan berdirinya iakatan. Muhammadiyah sebagai induk dari ikatan meginginkan adanya kader (ortom) yang memiliki latar belakang atau basik sebagai Mahasiswa. Hal ini dikarenakan banyak kade dari Muhammadiyah tersebar dalam berbagai organ pergerakan seperti HMI dan pada waktu itu, kader tersebut tidak merasa terayomi dalam Muhammadiyah serta juga faham komunisme yang masuk kedalam suatu organ pergerakan Mahasiswa yang dikhawatirkan kader Muhammadiyah aktif dalam organisasi yang bercorak sosialisme. Factor eksternal ini, merupakan kondisi sosio histories atau realitas pada waktu itu yang menyebabkan ikatan berdiri. Kondisi pada waktu itu, terjadinya polarisasi ideology yang beragam, bahkan adannya upaya untuk penggabungan ideology seperti yang dikemukakan pemerintah pada waktu itu dengan adanya Nasakom. Sejarah ikatan yang menyebabkan ikatan berdiri merupakan kesadaran Muhammadiyah yang menginginkan agar kadernya tidak tersusupi oleh ideology yang lain dan anak muda merespon realitas ideology dengan mendirikan ikatan sehingga ikatan berdiri dikarenakn faktor ideology. Meminjam istilah Kuntowijoyo kesadaran yang menjadi kerangka berfikir ikatan kesadaran ideology bukan kesadaran ilmu sehingga pemahaman Islam pada waktu itu, tidak untuk melakukan objektifikasi terhadap Islam tetapi Islam sebagai Ideologi. Sejarah ini, akan lain jika melihat dari Muhammadiyah mencoba melakukan penannaman benih tentang kesadaran ilmu dan dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan gerakannya.

Peengungkapan diri ikatan. Pengungkapan diri ikatan merupakan pengungkapan potensi yang dimiliki ikatan yang selama ini jarang tersentuh oleh ikatan untuk menjadikan suatu gerak ikatan dalam melihat realitas (interpretasi symbol ikatan). Symbol representasi dari kepentigan serta identitas dari suatu yang disimbolkan sebagai bentuk diri dan respon terhadap yang ia hadapi. Ikatan memiliki tiga symbol yang popular, dimana symbol tersebut perlu dimaknai untuk memberi makna dalam ikatan. Symbol dalam ikatan seperti tujuan ikatan, semboyan ikatan, dan trilogi ikatan.[1] Penggungkapan terhadap diri ikatan merupakan pengungkapan kesadran ikatan berdiri dan bertolak belakang dengan sejarah ikatan. Tujuan serta apa yang akan dilakukan ikatan didasarkan pada kesdaran ilmu bukan kesadaran ideologis. Kesadaran ilmu terlihat dari tujuan ikatan berdiri untuk membentuk akademisi Islam yang berakhlak mulia. Akademisi Islam merupakan suatu kesadaran jangka panjang diman ikatan berdiri bukan dengan tujuan yang bersifat pragmatis tetapi untuk meneruskannya ikatan sebagai kader Islam. Kata Islam disini bukan dalam dataran ideology tetapi merupakan upaya objektifikasi Islam agar nilai-nilai dapat diterima semua umat manusia tanpa mengenal asal ia dilahirkan. Islam dalam kata akdemisi merupakan suatu kajian dimana agama sebagai ilmu meminjam istilah Kuntowijoyo menjadikan Islam sebagai ilmu agar Islam menjadi objektif bisa ditema oleh siapapun. Islam sebagai ilmu merupakan tugas ikatan dalam mewujudkan menjadikan al Qur'an sebagai paradigma atau melakukan peng-teorian al Qur'an.

Konteks ikatan dan kondisi realitas sekarang. Ikatan merupakan dua organisasi dimana ia dilahirkan sebagai organisasi kader dan organisasi pergerakan. Ikatan sebagai organisasi kader dikarenakan ia dilahirkan dan tidak dapat dilepaskan dari asalnya yakni Muhammadiyah. Sedangkan untuk ikatan sebagai organisasi pergerakan dapat dilihat dari latar belakang ikatan dan masanya adalah mahasiswa yang peka dan responsive terhdap fenomena keilmuan serta perpolitikan. Ikatan dalam melakukan pilihan dalam pengembangan serta potensi kadernya tidak memiliki kerangka berfikir yang jelas yang membedakan ikatan dengan pergerakan yang lain atau ikatan dengan ortom yang lain di Muhammadiyah. Perbedaan tersebut hanyalah dari segi lahiriah dan orang yang mendudukinya, sedangkan dalam karakteristik, kerangka berfikir dan etis ikatan masih terbawa arus besar pergerakan. Sifat ikatan dalam pergerakan hanya melakukan konsumsi, dan mengikuti arus dominant tanpa melakukan kritisi. Ikatan terbawa arus sebelum memiliki paradigma pergerakan yang jelas dan ikut-ikutan hanya untuk kepentingan sesaat, atau orang disekitar yang mengikutinya tetapi mengabaikan (menafikan) kondisi ikatan secara keseluruhan. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan ikatan hanya dapat dirasakan oleh golongan tertetu dan kelompok yang dekat dengan kekuasaan dalam ikatan.

Ikatan yang berlatar belakang aktivis muda Muhammadiyah memiliki kecenderungan yang sama dalam arus muda Muhammadiyah. Kecenderungan dalam arus muda Muhammadiyah yang terkena kebudayaan instant, berfikir pragmatis, serta arus glabalisasi menjadikan apa yang dipilih oleh ikatan pun akan bersifat pragmatis juga. Tetapi yang paling menyedihkan bagi ikatan adalah "menggadaikan" nama ikatan guna mendukung kelompok tertentu dan memberikan keuntungan yang bersifat sementara aspirasi yang ditingkatan masa real (bawah) tidak didengar malahan dianggap sebagai angin yang lalu. Kerangka fakir kaum muda bersifat pragmatis dan telalu terburu melakukan perubahan dengan mengambil secara radikal, bukan transformasi atau perubahan keasadaran. Perubahan yang dihembuskan bersifat cepat radikal dan bercorak pragmatis, cara perubahnnya dengan mengambil kebijakan dalam perubahan serta mamasuki system, tetapi yang terjadi terbawa dan ikut hanyut dalam system tersebut. Begitu pula yang terjadi dalam ikatan hanya ingin melakukan perubahan dengan cepat tetapi cara dan kerangka berfikir dalam menganalisis (paradigma) belum tergagas. Paradigma pergerakan yang belum tergagas ini menjadikan kader ikatan yang masuk kedalam system, hanya ikut arus tanpa mencirikan kondisi ikatan yang ikut merubah system sehingga dalam kebijakannya lebih populis. Orang yang mencoba masuk kedalam system tersebut hanya memberikan keuntungan bagi kelompoknya serta menafikan tujuan utama dan mengabaikan persolan ikatan secara keseluruhan. Ikatan terlalu terburu-buru dalam menentukan pilihan gerakan tanpa mencoba mengembangkan paradigma gerakan serta munculnya etis ikatan yang membedakan gerakan ikatan dengan yang lain.

Kondisi realitas sekarang,[2] fenomena globalisasi yang tak dapat dinafikkan sehingga semua orgnisasi dan bangsa terkena dampaknya. Begitu pula dengan ikatan sebagai organisasi pergerakan dalam gerakannya sudah mengalami disorientasi dalam mewujudkan kondisi yang diidealkan. Permasalahan yang paling besar dihadapi oleh ikatan kebudayaan kapitalisme yang telah masuk kedalam relung tulang sumsum manusia sehingga manusia berfikir instant dan pragmatis. Ikatan sebagai organisasi pergerakan perlu merumuskan atau menata ulang paradigma gerakanya agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi serta, membuktikan eksistensi ikatan dengan pergerakan lain. Penataan paradigma gerakan ikatan merupakan refleksi yang panjang serta memperhatikan kondisi dan kemampuan kader singga tidak menghasilkan gerakan yang sama atau terjadinya penyeragaman gerakan ikatan.

Kontekstualisasi ikatan. Kotekstualisasi merupakan upaya ikatan dengan tradisi sekarang dan bagaimana ikatan dapat menentukan pilihan gerakannya agar dapat memberikan konstribusi bagi masyarakat yang membutuhkan. Sebelum melakukan kentektualisasi ikatan lebih baik dilihat apa yag dimiliki oleh ikatan serta tujuan dari ikatan yang termanifestasikan pada: paradigma ikatan, sejarah ikatan, sejarah Muhammadiyah, dan penggalian diri ikatan. Kontekstualisasi kerja yang dilakukan oleh ikatan guna mencapai cita-cita khoirul ummah. Pencapain khoirul ummah dengan ciri yang dimiliki padanya masyarakat meliputi; masyarakat yang berkeadilan, kebudayaan ilmu, serta prroyek dari garden city; peerpaduan budaya industri serta kebudayaan petani. Dua kebudayaan tersebut saling mengiisi dan menghasilkan simbiosis yang mutual menghasilkan corak berfikir masyarakat yang ilmiah, dan petani tak tertungkung oleh mitos dan musim.

Menggagas Kebudayaan Ilmu pada Ikatan

Kebudayaan dalam pengertian seluruh system masyarakat dimana yang utama adalah menjadikan individu dapat mengambil pelajaran dari masyarakat, maka ikatan sebagai kelompok daari bagian masyarakat dan kader dapat mengambil nilai-nilai dari ikatan. Ikatan bagian dari masyarakat dapat dilihat sebagai suatu kebudayaan dan ikut berpartisipasi dalam memujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Tapi sebelum membahas tentang kebudayaan dapat dilihat unsure yang melingkupi khoirul ummah, meliputi; etos profetis, kebudayaan ilmu, masyarakat yang berkeadilan dan garden city. Etos merupakan deskriptif tentang apa adanya yang menjadi semangat suatu kelompok, maka dalam ikatan dapat melihat semangat yang mendasari sehingga menjadi semangat bergerak guna mewujudkan apa yang telah diidealkan. Upaya mewujudkan yang diidealkan dengan berjuang dengan skill dan kelahlian kader melalui jalan yang beragam dan memiliki etis yang sama yakni etis sebagai intelektual profetik.

Etos profetik yang telah menjadi pilihan sadar ikatan yang terangkai dalam paradigma intelektual profetik dikontekstualisasikan dalam kerja transformasi yang dilakukan ikatan menjadi bentuk transformasi profetk dalam rangka mewujudkan khoirul ummah. Etos dalam ikatan merupakan penggambaran tentantang realitas yang terjadi dalam ikatan yang melandasi gerak dan langkah ikatan yang khas dalam ikatan serta membedakan ikatan dengan yang lain. Etos profetik merupakan semangat dan ruh dalam melakukan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh ikatan baik secara organisatoris atapun kader ikatan. Ruh ini dapat dilihat dari aktivitas yang dimiliki oleh ikatan secara organisatoris, serta kader ikatan dalam menjalankan kehidupan.

Kebudayaan sebagai system gagasan (ide), system aktivitas da artifack dalam ikatan menuju pada proses pengilmuan Islam mejadikan Islam sebagai rahmat perwujudkan khoirul umat yang termanifestasi dalam garden city, serta masyarakat yang berkeadilan bercirikan kebudayaan ilmu. Kebudayaan ilmu dalam ikatan merupakan konsep dalam rangka menuju pada khorul ummah. Pertama kebudayaan ilmu dari segi gagasan atau pemikiran. Yang dilakukan oleh ikatan dalam segi budaya ini merupakan pengilmuan Islam melalui objektifikasi dan menjadikan al Qur'an menjadi paradigma dalam melihat dan menganalisis permasalahan social. Ikatan memalakukan intergrasi dan interkoneksitas dalam rangka merespon dan meganalisis permasalahan ilmu barat yang cenderung sekuler. Semangat pengilmuan Islam dalam ikatan digulirkan dari tingkatan pusat sampai tingkatan komisariat. Pada tingkatan ppusat merupakan konseptor dalam pengilmuan Islam dan sebagai pengawas kegiatan yang dilakukan pimpinan daerah serta cabang. Ide yang berkembang dalam ikatan memiliki arus bersama dalam melihat dengan paradigma yang sama sebagai manusia yang berkesadaran intelektual profetis. Kesadaran tersebut dimiliki oleh kader ikatan dari tingkat kamisariat sampai dengan tingkatan pimpinan pusat. Bentuk kesadaran yang sama dalam perfektif ikatan menjadikan suatu gerakan organisasi sesuai dengan keahlian dan skill masing-masing sehingga dalam bentuk gerakan yang dimiliki oleh ikatan beragam atau menggunakan system diaspora gerakan, dalam rangka mencapai tujuan yang sama yakni perwujudan khoirul ummah.

Kebudayaan sebagai system aktivitas. Aktivitas yang dilakukan oleh ikatan dalam mencapai kebudayaan ilmu, merupakan sikap yang rasional serta kegiatan dan program untuk mencapai masyarakat yang rasional dan tidak berfikir secara mistik dan mitos. Ikatan dalam aktivitasnya melakukan transformasi profetik memberikan kesadaran dan kerangka berfikir agar masyarakat mejadi ilmiah dan rasional. Bentuk yang dilakukan oleh ikatan dalam mencapai itu ada dua macam pertama dilakukan oleh ikatan secara kolektif dan kedua dilakukan oleh individu kadeer sesuai dengan skillnya masing-masing. Aktivitas yang dilakukan oleh ikatan dalam melakukan transformasi profetik dari segi kolektif ikatan dilakukan secara serempak dan berkelanjutan dari pimpinan pusat sampai tingkatan komiasariat. Pelaksanaan tersebut sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing dari tingkatan pusat hingga komisariat. Aktivitas kolektif dalam tugasnya dapat terbagi menjadi dua macam pertama langsung melakukan transformasi social dan yang kedua dengan membuat jaringan yang terklait da sesuai dengan tujuan ikatan dalam mencita-citakan khoirul ummah. Bentuk pendampingan yang dilakukan oleh ikatan, merupakan sudah selaknya bagi ikatan untuk melakukan terjun bersama masyarakat dan mengatasi problem yang terjadi dalam masyarakat. Pengatasan masalah dalam masyarakat secara tidak langsung melakukan trnasformasi kesadaran dan masyarakat dapat berfikir dengan baik, ilmiah dan rasional. Sedangkan untuk pembuatan jaringan merupkan upaaya kerjasama dengan lembaga atau organ yang terkai sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang telah diinginkan oleh ikatan. Pelaksanaan aktivitas yang kedua dilakukan oleh individu kader yang memiliki etos intelektual profetik dalam melakukan transformasi sesuai dengan skillnya. Kader ikatan merupakan manusia yang berkesadaran intektual profetik sehingga dalam gerak dan langkah untuk ibadah dalam rangka meewujudkan apa yang telah dicita-citakan. Aktivitas kader ini sesuai degan keahlian dan skill masing-masng tanpa ada paksaan untuk memilih hal yang kurang sesuai dengan keinginan serta kemampuan. Ikatan hanya memberikan jaringan dan tempat agar kader dapat melakukan aktivitas diri dan pengembangan dirinya.

Ketiga kebudayaan dalam segi artefick. Artefick atau peninggalan yang dilakukan oleh ikatan dalam kebudayaan ilmu belum dapat diselusuri karena dalam ikatan kebudayaan ilmu merupakan masih dalam konsep penggasan dan uapay pencapai kesana dalam menyesiapan masyarakat ilmu. Dokument atau peninggalan yang dapat diselusuri berupa konsep serta arsip berupa kegiatan ikatan dalam menuju kepada apa yang telah diidealkan. Ikatan melakukan rancangan dan dipraktekan dalam diri ikatan serta dalam masyarakat guna menciptakan masyarakat yang ideal dalam versi ikatan. Ikatan dalam melakukan perubahan untuk menciptakan masyarakat ilmu dari kebudayaan ilmu dengan cara dengan mobilitas vertical dan deferensiasi social. Mobilitas vertical menjadikan kader ikatan yang berkarakter untuk duduk dalam tingkatan pembuatan dan pengambilan kebijakan agar kebijakan tersebut sesuai apa yang menjadi tujuan bersama. Sedangkan dalam bentuk deferensiasi social yang dilakukan oleh kader ikatan dengan mengembangkan aktivitas sesuai dengan skill dan megupayakan masyarakat untuk sadar dan berfikir yang rasional serta ilmiah.

Kebudayaan ilmu dalam ikatan perlu ditransformasikan dalam bentuk kesadaran serta merintih master plan garden city sebagai perwujudan dari khoirul ummah. Garden city merupakan merupakan perpaduan budaya industri dengan pertanian jadi satu nafas, sebagai program tindakan praksis gerakan kemanusiaan. Gerakan ini merealisasikan program kemanusiaan berbagai aksi dan amal usaha pembaharuan amal usaha berbasis kesadaran keagamaan. Yang menjiwai berbagai gerakan tersebut, merupakan kesadaran intektual profetis sebagi pembelaan terhadap yang kaum yang tertindas merupakan tema utama sosialisme dan tradisi local ditempatkan sebagai praksis nahi munkar yang diberi makna liberasi. Gagasan tentang progress kapitalismediberi sentuhan akhlak mahmudah sebagai praksis amar makruf dengan perfektif penundukan kapitalisme yang kemudian diberi makna sebagai sebuah praksis humanisasi. Kedua tindakan tersebut dilakukan serentak dalam proyek tentang trasendensi sebagai praksis kesadaran Ilahiah. Dari praksis ini yang diharapkan berhasil melampuai kemodernan merupkan realasi profetik yang kritis pada tradisi sekaligus peduli pada kepentingan kemanusiaan. (Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural)



[1]Untuk lebih jelasnya lihat Interpretasi terhadap Symbol Ikatan pada bagian pertama

[2] Untuk lebih jelasnya lihat Realitas Sekarang dalam bagian kelima.