Selasa, 29 September 2009

Darul Kutub Akui Bajak Kitab Karya Ulama Indonesia

Darul Kutub Akui Bajak Kitab Karya Ulama Indonesia

By Republika Newsroom
Minggu, 27 September 2009 pukul 17:12:00
Darul Kutub Akui Bajak Kitab Karya Ulama Indonesia

JAKARTA--Kasus pembajakan kitab Sirajut Thalibin oleh penerbit Darul Kutub Al-Ilmiah di Lebanon, diakui oleh direktur penerbit itu sebagai keteledoran. Pihaknya menyadari telah melakukan kesalahan karena mengganti nama penulis kitab, Syekh Ihsan Jampes asal Kediri, di halaman sampul dan di halaman mukadimah. Serta telah membuang kata pengantar dari pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.

Darul Kutub Al-Ilmiyah secara resmi telah menyatakan permohonan maaf kepada Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi di Jakarta pekan lalu. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai bahwa Darul Kutub Al-Ilmiah menunjukkan kebesaran hati, karena bersedia mengakui kekeliruannya dan meminta maaf.

”Kita menyambut baik permintaan maaf ini. Ternyata Darul Kutub Ilmiyah mau berbesar hati mengakui kesalahannya,” kata Rais Syuriyah PBNU KH Hafidz Utsman yang menjadi koordinator pengusutan kasus pembajakan ini atas nama ahli waris Syekh Ihsan.

Namun, menurutnya, proses penyelesaian kasus ini tetap berjalan. ”Kita telah menerima surat permintaan maaf yang ditandatangani oleh Direktur penerbit, Mohamed Ali Baydoun ini, dan nanti akan kita bicarakan lebih lanjut,” jelasnya, seperti dikutip NU Online.

Dalam surat itu Darul Kutub Al-Ilmiyah juga menyertakan copy sampul dan halaman pertama kitab Sirajut Thalibin edisi ketiga yang telah mencantumkan nama penulis aslinya. Pada edisi kedua, penerbit mengganti nama pengarang kitab menjadi Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Al-Quraisyi dari Makkah.

“Kami meminta maaf atas pencantuman nama yang tidak sebenarnya dari kitab Sirajut Thalibin yang merupakan syarah dari kitab Minhajul Abidin,” kata Ali Baydoun dalam suratnya yang ditulis dengan bahasa Arab.

Ia juga menyatakan, penggantian nama itu hanya dilakukannya pada terbitan edisi kedua. Sementara pada edisi pertama telah menyantumkan nama penulis yang sebenarnya.

Sejak kasus pembajakan ini mencuat, desakan permohonan maaf dilakukan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Lebanon. Hingga kemudian keluar surat resmi bernomor 7629 tertanggal 11 September 2009 tentang permintaan maaf kepada PBNU.

Akan tetapi, seperti dijelaskan oleh Muhammad Zainal Aziz, ketua PCINU Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah tidak mungkin menarik semua buku yang telah beredar luas ke beberapa negara Muslim di dunia. Yang akan ditarik hanya buku-buku yang masih berada dalam jangkauan penerbit.

Zainal Aziz melihat langsung proses pencetakan edisi ketiga kitab Sirajut Thalibin di kota kecil dekat Beirut. Ia menjelaskan, cetakan ketiga itu belum memuat pengantar dari KH Hasyim Asyari. Pihak penerbit, katanya, berkilah bahwa pengantar semacam itu tidak penting khususnya di dunia Arab. rid/taq

Minggu, 27 September 2009

Maling

Cerpen
[ Minggu, 27 September 2009 ]
Maling
Di jalanan yang sudah bertahun-ta­hun saya lalui, ada rumah orang ka­ya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.

Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Me­reka juga heran. Karena mereka pun tahu, se­tiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Di­teguk langsung juga sedapnya bukan main. Se­mua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, le­wat. Kelapa memang nomor satu.

***

Setelah berhasil membeli rumah yang saya kon­trak, yang pertama saya lakukan adalah me­nanam pohon kelapa gading. Tidak perlu di­urus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekalipun, pohon kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai ber­buah. Lebatnya juga tidak ketulungan.

Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sen­diri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menenggak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.

Ketika satpam di kompleks dengan malu-ma­lu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.

''Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!''

Satpam itu nampak segan.

''Dua saja cukup, Pak,'' katanya malu-malu.

Tapi belakangan pembantu saya mengadu.

''Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi se­puluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!''

Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak diberi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.

Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa ka­lau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Sa­ya hanya ketawa.

''Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan ma­rah doang,'' kata saya .

''Bukan begitu, Pak.''

''Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!''

''Terima kasih, Pak. Memangnya saya tupai, sa­ya tidak doyan kelapa!''

Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi sa­ya tanda hubungan kemanusiaan di antara ka­mi masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan na­sib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu ada­lah bekas pembantu.

Tapi kemarin, pembantu saya mengetuk pin­tu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang ti­dur enak.

''Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan di­ganggu!''

''Tapi ini gawat, Pak.''

''Gawat apa?''

''Memangnya Bapak sudah ngijinin?''

''Ngijinin apa?''

''Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!''

''Biarin aja. Apa salahnya satpam buka de­ngan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Ka­mu saja terlalu sensitif!''

''Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!''

''Bukan?''

''Bukan sekali!''

''Siapa?''

''Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tang­ga aja. Apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala, nyuruh bikin kopi lagi, Pak!''

Saya tertegun. Sambil membetulkan re­sluiting celana, saya keluar rumah.

Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua ka­rung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.

''Heee, lagi ngapain?'' teriak saya terkejut.

Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.

''Selamat sore, Pak.''

''Kamu lagi ngapain?''

''Lagi metikin kelapa, Pak.''

''Lho, ini kan kelapa saya?''

''Betul, Pak.''

''Kenapa dipetik?''

''Nanti ketuaan, Pak?''

"Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kela­pa saya?''

Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.

''Jo, Bapaknya nanyain ini!''

Orang yang di atas menoleh ke bawah, ke arah saya.

''Kenapa Pak?''

''Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?''

''Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.''

''Terserah. Tapi ini kelapa saya!''

''Ya, Pak!''

''Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?''

Orang itu tertegun heran.

''Emang kenapa Pak?''

Saya mulai marah.

''Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!''

''Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.''

Saya tambah keki.

''Turunnn!''

Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Da­rah saya tersirap, seakan kapak mengiris le­her saya. Terus terang saya ngeper. Meski­pun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.

''Kenapa Pak?'' tanya lelaki itu setelah de­ngan sigapnya turun.

''Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian me­me­tik kelapa saya?''

''Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.''

''Apa?''

''Sudah saya bayar, Pak.''

''Bayar apa?''

''Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.''

''Harga apa?''

''Harga kelapanya semua, Pak.''

''Kamu beli kelapa saya?''

''Ya Pak.''

''Tapi ini kelapa saya, tahu!''

''Betul Pak!''

''Kelapa ini tidak dijual!''

Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha men­jadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.

''Kami sudah bayar lunas, Pak.''

''Bayar lunas apa?''

''Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.''

''Aku tidak jual kelapa!''

Ganti orang itu nampak heran. Dia balik me­noleh temannya. Lalu temannya mengambil ka­pak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.

''Begini, Pak,'' kata lelaki yang membawa ka­pak itu, ''Memang belum lunas semua, tapi se­perempatnya lagi akan dibayar setelah kami ram­pung.''

Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.

''Mana duitnya?!''

Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.

''Nih lunasi sekarang!''

Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.

''Sana kasih sekarang!''

''Tapi itu kelapanya masih ada?''

''Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang ke­cil-kecil itu jangan diambil dulu,'' katanya sam­bil menoleh saya dengan tersenyum. ''Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!''

Orang yang membawa amplop itu bergerak per­gi menuju ke pos satpam.

''Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.''

''Jadi kamu beli kelapa saya?''

''Ya Pak.''

''Beli dari siapa?''

''Pak satpam, Pak.''

Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Ta­pi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Le­laki itu tidak bicara lagi. Ia memasukkan se­mua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.

''Dijual berapa?''

Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang mem­bawa kapak itu menyahut.

''Seratus ribu, Pak.''

''Wah lumayan! Boleh juga!''

Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bi­carakan.

Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pan­dangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke ru­mah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu.

Di luar saya dengar suara entakan sepatu sat­pam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu ha­nya harapan saya. Dan saya jadi benci sekali kare­na semuanya itu tetap hanya harapan.

Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurang ajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus di­beri pelajaran biar tahu rasa.

Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang an­tar-jemput saya ke kantor.

''Kamu mau berbuat baik, Jon?''

''Apa itu, Pak, boleh.''

''Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?''

''Tahu, Pak.''

''Cantik kan?''

''Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.''

''Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang ka­rena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.''

''Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau ka­win lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya se­karang. Pulang juga jarang.''

''Coba hibur dia.''

''Hibur bagaimana, Pak?''

''Kembalikan kepercayaan dirinya!''

''Bagaimana itu Pak?''

''Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenar­nya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.''

Sopir ketawa.

''Ah Bapak bisa aja!''

''Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau ngu­ruskan badan lagi, dengan gampang dia bi­sa dapat suami baru. Ya tidak?!''

Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan ma­ta curiga.

''Aku serius!''

Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang me­nebar gosip. Saya pura-pura tidak tahu. Te­tapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.

Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh ke­marahan.

''Kenapa Min?''

''Ada masalah, Pak!''

''Masalah apa lagi? Ada bom?''

''Bukan ini pribadi, Pak!''

''O, kamu mau kawin lagi?''

''Ah itu gosip, Pak!''

''Atau sudah kawin?''

''Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi... Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sam­pai dia ter­paksa jualan sayur dengan gerobak.''

''Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri ka­mu dorong gerobak, padahal dia asma kan?''

''Itulah, Pak!''

''Makanya jangan kawin melulu!''

''Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena ba­tunya sekarang!''

''Kena batunya gimana?''

''Istri saya ada yang godaan, Pak!''

''O ya?''

''Betul, Pak! Istri saya digoda!''

''Digoda bagaimana?''

''Masak istri saya dibilang cantik, Pak!''

''Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!''

''Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anak­nya sudah dua, asma lagi, mana ada cantik­nya. Nggak ada orang yang akan melirik dia, ke­cuali kalau ada niat jahat.''

''Maksudmu apa?''

Satpam itu pindah kursi, mendekat, lalu bicara de­ngan berbisik.

''Ini menyangkut sopir Bapak.''

''Si Jon?''

''Betul, Pak.''

''Kenapa dia?''

''Masak dia merayu istri saya, Pak!''

''Merayu bagaimana?''

''Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!''

''Terus?''

''Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu per­sis apa maunya kalau laki-laki sudah ngo­mong memuji-muji begitu. Perempuan kan le­mah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa sa­ja dia kasih.''

''O ya?''

''Betul, Pak.''

''Jadi sekarang maksudmu apa?''

''Ya, Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!''

''Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan is­tri kamu lagi.''

''Bukan tidak memperhatikan, Pak.''

''Terus apa?''

''Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana sa­ya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bi­sa saya kasihkan?''

''Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya ma­lah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?''

''Betul, Pak.''

''Kenapa?''

''Kan dia itu istri saya!''

''Jadi, meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!''

''Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya ka­rena saya ini satpam, saya jadi serbasalah. Sa­ya tidak berani melakukan kekerasan, masak sat­pam yang harusnya menjaga keamanan me­la­kukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!''

''Jadi maksud kamu apa?''

''Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, ja­ngan­lah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang ma­sih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!''

Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak me­ngerti. Dia tahu. Meskipun tidak ditunjuk-tun­jukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangka­hi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?

Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.

''Jangan didengar omongannya, Pak!'' kata­nya dengan berani. ''Dia ngaku-ngaku saya is­trinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar sa­ya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!''

Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.

''Ngapain lu ikut-ikutan kemari? Pulang!''

Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas meng­gertak.

''Lu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.''

Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia men­cium tangan saya sambil menangis.

''Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.''

Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.

Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Se­perti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.

Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasa­nya agak aneh melihat satpam mewek se­perti itu.

''Saya memang salah, Pak.'' katanya kemudian, ''Saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa sa­ya sudah punya istri, punya dua anak. Saya su­dah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.''

Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia ber­gerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual ke­lapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih si­buk memikirkan istrinya yang baru dapat wa­risan itu tapi akan meninggalkannya. Saya ja­di geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.

''Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita ba­ru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi mes­kipun maling itu ada gunanya, tetap saja nama­nya maling!! Kudu dihukum!''

Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.

''Kurangaajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!'' teriaknya ganas sam­bil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tem­pat sopir saya membersihkan mobil.

''Malingggg!''

Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.

Untung si Jon seorang pendekar. Dengan re­fleknya yang luar biasa dia menepis serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan mu­ka satpam. Saya berteriak.

''Jangan!!!!!''

Sekarang saya menyesal.

''Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar ka­pok!'' kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.

Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Ha­nya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak ''jangan'' maksud saya ''hajar''. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan ketua RT. ***

Jakarta, 4 September 09 (setelah berita tentang Pulau Jemur)

---

*) Putu Wijaya, cerpenis, dramawan, pendiri Teater Mandiri

Sabtu, 26 September 2009

Alexander Fleming

ilmuwan dan Penemu


Alexander Fleming 6 Agustus 1881 - 11 Maret 1955
Penicillin (penisilin)

Sir Alexander Fleming adalah orang yang dikenal sebagai penemu penisilin (antibiotik untuk melawan bakteri).

Lahir di daerah pertanian Lochfield dekat Darvel, Skotlandia. Dia adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara dan mempunyai empat orang saudara tiri lagi.

Fleming bersekolah di Loudoun Moor School dan Darvel School, kemudian selama dua tahun dia bersekolah di Kilmarnock Academy. Setelah bekerja di kantor jasa pengiriman selama empat tahun, Fleming yang berumur 20 tahun saat itu mewarisi sebagian harta dari pamannya. Kakak Fleming yang waktu itu adalah seorang dokter menyarankan agar adiknya mengikuti jejak karirnya, sehingga pada tahun 1901 Alexander Fleming kemudian mendaftarkan diri di Rumah Sakit St. Mary's, London. Dia kemudian mendapatkan kualifikasi khusus untuk bersekolah di tahun 1906 dengan pilihan menjadi ahli bedah.

Alexander Fleming sendiri terkenal karena dia merupakan ahli peneliti yang sangat pandai, tetapi ceroboh dan laboratoriumnya sendiri sering terlihat berantakan. Tahun 1928, setelah pulang dari liburan panjang, Fleming baru teringat akan bakteri-bakteri dipiringan laboratorium lupa di simpan baik-baik, dan telah terkontaminasi dengan sejenis jamur. Beberapa piring laboratorium yang berisikan bakteri di buang, tetapi kemudian Fleming memperhatikan bahwa perkembangan bakteri pada daerah yang terkontaminasi oleh jamur tersebut menjadi terhambat. Fleming kemudian mengambil sampel contoh dari jamur tersebut dan menelitinya, dia menemukan bahwa jamur tersebut berasal dari genus Penicillium. Inilah sebabnya mengapa obat tersebut bernama penicillin atau penisilin (Indonesia).

Penemuan Fleming pada September 1928 menandai abad baru dalam dunia antibiotik modern. Fleming juga menemukan bahwa bakteri sendiri dapat mengembangkan resistansi dan daya tahan terhadap penisilin apabila penisilin yang digunakan sebagai antibiotik terlalu sedikit dan digunakan dalam jangka waktu yang pendek.

Karena penisilin waktu itu sangat sukar untuk dikembangkan, Fleming putus asa untuk mengembangkan antibiotik tersebut. Segera setelah Fleming tidak lagi mengembangkan penisilin, Howard Florey dan Ernst Chain mengambil alih pengembangan tersebut dan melakukan produksi besar-besaran dengan bantuan dana dari pemerintah Amerika dan Inggris.

Norman Heatley menyarankan bahwa dengan mentransfer bahan aktif penisilin kembali ke air dan mengubah tingkat asam-nya, akan cukup untuk memproduksi obat-obatan yang dapat dipakai untuk percobaan pada binatang.

Timbul satu pendapat bahwa "Tanpa Fleming, tidak ada Chain, tanpa Chain, tidak ada Florey, tanpa Florey, tidak ada Heatley, tanpa Heatley, tidak ada Penisilin."

Ibu Minang

Cerpen
[ Minggu, 06 September 2009 ]
Ibu Minang
Kabar itu selalu diiringi hujan badai yang amat lebat berhias kilat dan petir. Semacam penguburan tumbal pada bukit-bukit yang dikeruk perutnya. Tapi mereka yang masih selamat seperti tak punya jera.

***

Ia seorang guru di nagari1 kami. Guru yang cantik dan rupawan. Semua orang sayang dan kagum kepadanya. Begitu pun aku. Sebab ia seperti perawan-perawan berjilbab modis di sinetron-sinetron televisi. Ramah, anggun, dan pintar pula. Lengkaplah sudah semua yang diimpikan laki-laki!

Namanya Minang. Ya, Minang saja. Ada titel sarjana pendidikan di belakangnya. Beberapa tahun lalu ia pulang kampung setelah menyelesaikan kuliah di kota provinsi. Aku kini jadi muridnya di madrasah tsanawiyah. Sebuah sekolah agama yang amat sederhana, filial2 dari sekolah di kota kecamatan. Di mana ketika ujian tiba, kami akan ke kota kecamatan untuk mengikutinya.

Ibu Minang selalu mengingatkan kami agar tidak pernah ketinggalan pelajaran dari murid sekolah yang ada di kota kecamatan. Ia tak mau mendapat malu karena anak didiknya tak lulus ujian naik kelas maupun ujian akhir. Sebab hal itu pertaruhan keguruannya.

Dia guru satu-satunya yang mau bertahan di nagari kecil di lambung bukit ini. Selebihnya tak pernah tahan. Yang lain pindah setelah satu atau dua tahun bertugas dengan beragam alasan. Mereka memilih mengabdi di kota, bukan di kampung kami. Beberapa tahun silam madrasah ini kerap tak punya guru dan murid. Lalu gedung madrasah yang sederhana itu ditumbuhi rumput liar.

Kehadiran Ibu Minang membuat madrasah ini hidup kembali. Generasi kami bisa kembali sekolah. Generasi yang tak mampu hijrah ke kota kecamatan atau kota kabupaten untuk melanjutkan sekolah lanjutan pertama. Di nagari sendiri, sekolah bisa sambil membantu orang tua.

Ibu Minang mengajar semua mata pelajaran. Semua kelas. Inilah yang membuat murid-murid terasa amat dekat dengan beliau. Setiap hari diberi ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang kehidupan.

Hampir tiga tahun belajar dengan Ibu Minang yang anggun itu, aku banyak tahu. Ibu Minanglah yang membuka pemikiran kami. Dan itu, diam-diam membuat hasrat kecil laki-lakiku tumbuh. Memimpikan seorang gadis seperti Ibu Minang. Pintar, cantik, ramah, dan aktif membangun nagarinya.

Ibu Minang dari dulu memang sudah menjadi bunga nagari kami. Setiap acara nagari, ia selalu di depan. Jadi pembawa acara, jadi ketua panitia, dan lain sebagainya. Ia memang berbeda dari teman-teman sebayanya, yang memilih menikah dan punya anak. Ibu Minang tampaknya belum juga menikah sampai aku akan tamat dari madrasah ini.

Ibu Minang anak Pak Imam. Imam di mushala kami. Anak semata wayang. Disayang dan dikagumi orang nagari. Disanjung dan dipuja. Pintar dan cantik. Kadang-kadang sebelum tidur, aku sering berkhayal tentang Ibu Minang yang cantik dan akulah yang dipilihnya menjadi suami.

Tapi dari dua puluh dua orang murid di lokalku, aku memang sering dipilih untuk membantu proses belajar Ibu Minang. Misalnya, menulis pelajaran di papan tulis pakai kapur. Lalu menghapusnya kembali. Aku suka mengerjakannya. Bahkan, kalau ada yang nakal -beberapa teman di kelasku memang nakal- menganggu Ibu Minang, akulah yang maju untuk menyelesaikannya dengan alasan agar proses belajar tidak terganggu. Oleh karena itu, aku memang patut dijadikan ketua kelas. Patut dekat dengan Ibu Minang.

***

Aku tahu tentang orang yang mendapatkan hati Ibu Minang. Dia bernama Dendi. Orangnya gagah. Sering datang pakai sepeda motor dengan berpakaian dinas perusahaan tambang batu bara. Aku pikir wajarlah Pak Dendi jadi pilihan dari banyak orang yang mengagumi Ibu Minang. Ia memang beruntung daripada pengangguran di nagari kami yang hanya mampu suit-suitan dari jauh. Pak Dendi punya wibawa tersendiri dengan pakaian seragam perusahaan batu bara yang berada di ibu kota kecamatan. Perusahaan yang telah membuat daerah kami sangat terkenal.

Setahuku, sudah cukup lama hubungan mereka terjalin. Sejak aku sekolah di madrasah ini dan mungkin jauh sebelum itu. Tapi hingga aku hampir tamat, belum juga ada tanda-tanda mereja akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sering anak-anak menggoda Pak Dendi kalau ia datang menjemput Ibu Minang. Pertanyaan dan pernyataan teman-teman nakal sekali. Misalnya, menanyakan kapan melamar Ibu Minang. Berapa akan punya anak. Aduh, kelewatan. Tapi, kalau Ibu Minang mendekat, teman-teman akan diam dan lari. Takut pada Ibu Minang.

Kata orang-orang, hubungan mereka memang kurang disetujui mamak3 Ibu Minang. Sedangkan ayah dan ibunya, setuju-setuju saja. Mereka menyerahkan semua keputusan kepada Ibu Minang. Karena keputusan yang diambil oleh orang seperti Ibu Minang pastilah keputusan terbaik bagi masa masa depan dirinya.

Aku maklum, peran mamak dalam kekerabatan di daerah kami memang sangat dominan daripada peran ayah. Ayah hanyalah bak abu di atas tunggul4 di dalam sistem kekerabatan matrilinial5. Sedangkan mamak melebihi peran itu untuk mengatur kemenakan dalam keluarga besar mereka. Mamak menjadi tempat mengadu dan segala urusan keluarga dipulangkan. Di tangan mamak pula penyelesaian diharapkan.

Kabarnya, selain tidak setuju dengan Pak Dendi, mamak Ibu Minang juga telah punya pi­lihan sendiri buat kemenakannya6. Yang satu ini, mungkin sisa-sisa dari masa Siti Noerbaja7 dulu. Di mana perjodohan masih berlangsung un­tuk mereka yang dianggap pantas diperlakukan seperti itu.

Tetapi, aku yakin, soal ini Ibu Minang pasti akan memberontak. Sebab, karakter Ibu Minang punya prinsip dan pendirian kuat. Berani menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Pemikiran yang sudah jauh berkembang daripada pemikiran mamak-nya.

Alasan lain, yang aku kira dibuat-buat, Ibu Minang anak tunggal yang tak mungkin bersuamikan orang luar, apalagi sampai membawa pergi dari nagari ini. Nah, Pak Dendi memang pendatang dari Sumatera Utara, berdarah Jawa. Bekerja di perusahaan tambang batu bara.

Begitulah cerita di nagari kami berkembang sampai hubungan mereka begitu-begitu saja beberapa tahun ini. Pak Dendi sudah berusaha melakukan penjajakan untuk melamar tapi belum ada tanda-tanda restu atas hubungan mereka dari mamak Ibu Minang.

Aku kadang-kadang berkhayal ingin seperti Pak Dendi. Punya sepeda motor dan berbaju dinas. Senang bercampur bangga menjemput bunga nagari di madrasah dan mengantarnya pulang. Atau mengajaknya jalan-jalan sebentar ke kota untuk mereguk kebahagiaan bersama-sama. Tiba-tiba aku ingin cepat besar dan melangkah ke kota meraih harapan-harapan yang ada dalam kepalaku.

Namun semua itu patah ketika aku teringat, aku tak mungkin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Aku sudah punya tugas untuk menolong ayah dan ibu bekerja untuk biaya adikku masuk madrasah. Liurku terasa pahit aku telan. Hidup sering tak sesuai dengan pengharapan di nagari kami ini.

***

Namaku Deni Setia. Sering aku selipi huruf ''D'' biar menjadi ''Dendi''. Ibu Minang sempat tersenyum ketika tahu aku mengutak-atik namaku jadi begitu di buku catatan yang diperiksanya di depan kelas. Ia geleng-geleng kepala, tersenyum manis. Manis sekali. Aku puas dengan kenakalanku itu. Ketika hal ini aku ceritakan kepada teman-teman, mereka menyorakiku: Tak tahu diri! Tukang berkhayal! Kurang ajar! Aku tak peduli. Aku kreatif. Begitu kata Ibu Minang suatu hari.

Aku suka belajar bahasa dan sastra. Aku belajar menulis puisi. Satu puisiku mendapat nilai tertinggi dari teman-teman sekelas. Ibu Minang sangat terkesan dan membawanya ke kota. Lalu mencetaknya dengan kertas dan huruf besar. Diberi bingkai. Diletakkan di kelas. Aku bangga sekali.

***

embun turun ketika segenap pipit bernyanyi

tentang kami masih pagi meraup mimpi

hasrat itu berbisik pada malam-malam penuh bintang

dan kunang-kunang sampai pungguk berbunyi:

engkau hadir melampau batas hasrat!

memberi sekat dekat!

tanah kita gembur ditanam apa saja

tapi bara jadi mutiara

dan kami menunggu

gemulai langkahmu

belaian tanganmu

pada batas yang kami miliki

Nagari Talawi, pada Purnama ke delapan

Buat Ibu Minang Tercinta

Itulah karyaku yang membuat Ibu Minang tersipu-sipu.

Tidak hanya ilmu pengetahuan yang diberikan Ibu Minang kepada kami, namun juga kabar berita terbaru. Di sela-sela menyampaikan pelajaran, ia bisa menyelipkan berita-berita terbaru yang tak pernah kami tahu sebelumnya.

Yang terbaru, tentang kepergian perusahaan tambang laksana peluit terakhir kereta yang membawa batu bara. Menjerit perih menyayat jiwa, meninggalkan jejak kenangan berdebu di hati kami. Perpisahan memang mematah segenap harapan.

Ibu Minang menceritakan kepulauan Sumatera. Penduduknya. Sampai cerita tentang daerah yang kami huni. Kami hidup di atas emas hitam bernama batu bara. Daerah kami kaya raya rupanya. Tapi entah kenapa nagari yang kami huni masih miskin juga. Akses jalan ke kota belum juga diaspal. Masih tanah merah.

Beberapa waktu setelah itu, baru aku tahu, kepergiaan perusahaan tambang batu bara itu ternyata menyertakan Pak Dendi. Mereka pergi ke daerah tambang yang paling menjanjikan di selatan sana.

Maka, benar apa yang dikatakan Ibu Minang waktu itu, kepergian itu akan membuat kota kecamatan lesu darah. Tak lagi bergairah. Semua seperti kena debu dari gerbong yang tak lagi bernyanyi membawa emas hitam itu. Debu yang membuat lesu.

Seiring dengan kepergian perusahaan batu bara itu, warga menambang sendiri di lokasi yang ditinggalkan para pekerja. Jika selama ini mereka menambang sembunyi-sembunyi di tempat yang sepi, kini penduduk berani beroperasi terang-terangan. Meletakkan tumpukan batu bara di tepi jalan. Mereka menggali dan menggali dengan alat seadanya: pacul, linggis, sekop, parang, dan alat sebangsa itu. Membentuk gua-gua di bukit-bukit daerah kami.

Sehari, dua hari, sebulan, dua bulan, dan seterusnya, kami makin sering mendengar orang mati tertimbun ketika sedang berada di dalam gua. Kabar itu selalu diiringi hujan badai yang amat lebat berhias kilat dan petir. Semacam penguburan tumbal pada bukit-bukit yang dikeruk perutnya. Tapi mereka yang masih selamat seperti tak punya jera.

Batu bara memang tetap jadi emas hitam yang laku dijual. Kini tengkulak pengumpul yang datang membawa truk ke lokasi tambang. Langsung membawa uang. Dibayar lunas. Penambang liar yang selama ini jadi pengangguran sangat terbantu. Mereka bersemangat untuk mendapatkan uang dari tengkulak. Malahan sudah ada yang berani berhutang. Mereka dililit nasib harus menjadi manusia gua siang dan malam. Sedangkan uang yang didapatkan tak dapat mengubah nasib.

Dan, tahukah kau, sepupuku jadi tumbal tambang itu. Ketika mengikuti ayahnya bekerja, ia tertimbun di sana. Jasadnya tak pernah kembali. Sejak itu aku tak boleh sekali-kali mendekati lubang itu. Lubang yang menyimpan harapan dan misteri.

Satu lagi yang membuat sedih hatiku sejak perusahaan tambang itu pergi. Sayur-sayuran dari kebun emak tak lagi dibawa ke kota. Tak ada tauke sayur menjemput karena memang tak laku dijual lagi. Tak ada yang mau membeli. Selama ini, pelanggan sayur-sayuran dari kebun emak adalah ratusan karyawan perusahaan tambang yang kini sudah kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka tak lagi punya gaji. Sebagian sudah pergi, sebagian lagi mungkin sedang merenungi diri.

Cerita Ibu Minang siang itu terus menganga dalam kepalaku. Terus teringat seperti teror yang menakutkan. Kepergian itu ternyata mengerikan.

***

Bukan hanya Ibu Minang yang merasakan pahit itu. Mereka yang ditinggalkan merasakan kepiluan tak bertepi. Sepi laksana danau kering bekas galian tambang luar di setiap sudut kota. Menganga luka ditingkahi debu-debu yang beterbangan dan hinggap menjadi daki.

Aku telah membaca buku-buku tentang daerah di mana aku dibesarkan ini. Buku-buku pemberian Ibu Minang. Buku sosialisasi dari perusahaan tambang itu. Di situ disebutkan, daerah kami terbangun dari batu bara sejak zaman Belanda menjajah Nusantara. Sejarah mencatat, sejak 1887, batu bara sudah diproduksi oleh pemerintah Belanda. Sejak ditemukan penjajah, orang-orang berbondong-bondong dijadikan pekerja paksa. Separo hidup tertindas sedangkan yang lain hidup makmur. Pemerintah Belanda memodali lebih kurang 5,5 juta gulden untuk membangun peralatan tambang canggih waktu itu. Juga dibangun alat transportasi berupa sistem perkeretaapian dengan biaya 17 juta golden sebagai alat angkut dari daerah kecil ini.

Jalurnya menuju Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang. Kereta api mulai beroperasi 1887, tetapi baru sampai Muaro Kalaban dari Kota Padang dengan jarak lebih kurang 180 km. Pada 1894 barulah bisa menembus Kota Sawahlunto dengan menambah rel kira-kira 20 km lagi. Sejak itu transportasi lancar, produksi meningkat dari tahun ke tahun. Puluhan menjadi ribuan ton per tahun bisa digali dari perut bumi daerah ini. Belanda pernah meraih untung terbesar 4,6 juta gulden pada 1920. Pada waktu itu, upah buruh paksa hanya 18 sen per hari, dan dapat dikenakan sanksi hukum cambuk bagi yang membangkang. Sedangkan upah pekerja kontrak 32 sen per hari dengan fasilitas tempat tinggal dan jaminan kesehatan. Buruh bebas upahnya 62 sen per hari tanpa fasilitas apa apa.

Itulah nagari kami, yang terperosok ke balik bukit. Sedikit mendaki ke pinggangnya. Jalannya menanjak dan berliku.

***

Pak Dendi memang tidak lagi menjemput Ibu Minang. Sedangkan Ibu Minang masih tetap tampak anggun, walau aku lihat ada sedikit luka di telaga itu. Aku mampu melihatnya.

Sejak kepergian Pak Dendi, banyak pemuda yang mendekati Ibu Minang. Menurutku, mereka tak jauh berbeda dengan penampilan Pak Dendi. Malah ada satu orang -lagi-lagi menurut penilaianku- yang aku restui untuk mendapatkan hati Ibu Minang walau aku sangat sakit hati melihat gayanya. Sombong. Dia anak orang terkaya di kota kecamatan. Mengandalkan kekayaan orang tuanya untuk mendapatkan hati Ibu Minang. Tapi, tampaknya Ibu Minang biasa-biasa menanggapi siapa saja yang datang.

Ibu Minang memang orang berpendidikan. Punya wibawa yang sulit ditaklukkan oleh laki-laki. Laki-laki harus benar-benar memiliki mental dan modal yang melebihi dari apa yang dimiliki Ibu Minang. Harus punya sikap dan wawasan yang bagus jika tak mau terlempar oleh logika yang terbangun sendiri. Cuma aku tak tahu, yang mana pemuda pilihan mamak Ibu Minang di antara mereka. Aku tak dapat kabar itu.

Ibu Minang itu pintar. Mungkin itu pula yang membuatnya bisa membaca rona setiap orang yang mencoba mendekatinya. Dan tampaknya ia masih menyimpan rasa sayang pada Pak Dendi. Mungkin rasa itu tidaklah mudah pergi seperti kepergian perusahaan tambang dari nagari kami. Ah, Pak Dendi, kenapa kau kecewakan Ibu Minang? Apa karena kalian berdua tak berjodoh? Apa karena engkau pemuda pendatang?

Mungkinkah Pak Dendi akan kembali menjemput Ibu Minang? Membawanya pergi dari nagari ini? Kalau benar, aku akan kecewa sekali. Bukan hanya aku, nagari ini akan kehilangan Ibu Minang. Atau Pak Dendi telah memutuskan tidak akan menjemput Ibu Minang, lalu membiarkan Ibu Minang merana seperti daerah kami merana ditinggal perusahan tambang itu? Apakah Pak Dendi terlalu kecewa dengan tertutupnya hati mamak Ibu Minang untuk menjadikannya menantu? Aku jadi berpikir keras untuk menjawab hal-hal yang tak perlu aku tahu itu. Ah, entahlah. Aku jadi iba sendiri melihat nasib dua sejoli itu. Aku gamang sendiri. Entah mengapa.

***

Beberapa hari belakangan hujan kerap turun menyapu debu jalanan nagari. Jalan yang belum diaspal jadi licin. Hujan memang tak ditingkahi denyar kilat dan petir. Pagi ini juga sedikit masih rinai. Tapi hujannya lebih dahsyat daripada hujan badai yang pernah ada. Aku merasakan ada yang bakal terjadi.

Dan benar, kabar itu aku dengar dari emak yang baru pulang dari tepian mandi. ''Ada yang tertimbun lagi,'' kata emak. Sebuah kabar yang menjadi basi. Namun kabar belum berhenti.

''Ibu Minang jatuh dari ojekan, kabarnya luka parah,'' aku terperangah.

Belum usai resah di hatiku berserakan, kabar itu melaju ke telingaku. Ibu Minang tak hanya terjatuh, ternyata juga diserempet truk yang turun membawa batu bara dari penambang liar. Menabrak sepeda motor tumpangan Ibu Minang yang baru jatuh itu. Tubuh perempuan anggun yang selalu jadi inspirasiku itu remuk tak berbentuk.

Aku limbung. Terhempas sesuatu yang aku tak mengerti. Sulit tersingkap. Kehilangan itu tak sekadar hilang. Kepergian itu juga tak sekadar pergi. Tetapi menanam perih dan melumat jiwa sampai melepuh. Nagari kami mungkin dituliskan untuk selalu kehilangan. Entahlah! ***

Sawahlunto 2006-Padang 2008

"Turut Berduka untuk korban Tambang Dalam"

*) Abdullah Khusairi, lahir di pedalaman Sumatera. Magister Filsafat Islam IAIN Imam Bonjol Padang. Aktif menulis dalam bentuk esai, puisi, dan cerpen

---

Endnotes

1 Nagari adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi Sumatera Barat di bawah kecamatan. Istilah "Nagari" menggantikan "desa", yang sebelumnya digunakan di Sumatera Barat, seperti halnya di provinsi lain di Indonesia. Sebuah nagari dipimpin oleh wali nagari.

2 Cabang

3 Paman dari pihak ibu.

4 Sebuah pepatah dengan maksud: tidak punya peran dan mudah terbuang dari kekerabatan isteri.

5 Sistem kekerabatan yang menganut garis keturunan ibu. Lawan dari Patrilinial, susunan kekerabatan menurut garis keturunan bapak.

6 Keponaan, anak dari saudara.

7 Tokoh utama dalam novel berjudul asli Siti Noerbaja karangan Marah Roesli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di era 1930. Dengan latar belakang adat budaya Minangkabau, novel ini berkisah tentang percintaan sepasang kekasih, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri yang gagal karena keadaan dan budaya pada masa itu. Menyebut zaman Siti Nurbaya, asumsi yang tertangkap, perjodohan yang diatur oleh hegemoni keluarga, bukan atas azas hubungan percintaan sepasang kekasih.

Belo yang Ingin Diperistri Lelaki Kaya Itu...

Cerpen
[ Minggu, 30 Agustus 2009 ]
Belo yang Ingin Diperistri Lelaki Kaya Itu...
Rasanya aku mengenal perempuan, yang bergenggaman tangan dengan pria asing, tampan tinggi tegap, yang berdiri di depan pintu masuk restoran itu. Ia persis sekali Belo, kawan sepermainanku di dusun, yang bercita-cita ingin menjadi istri lelaki kaya, yang memberinya rumah gedong, mobil colt, dan toko kelontong!

Jika benar itu Belo, aku gembira melihatnya di kala pikiranku kalut dan pasrah seperti ini.

Tak banyak yang berubah padanya. Rambut lurus sepunggung, hidung sedang, dan kulit hitam. Aku suka memandang matanya yang bundar besar, maka itu aku dan teman-teman memanggil Atikah, Belo. Mata itu sama bagusnya kala ia mendelik, marah, kesal, kecewa, dan gembira.

Pandangan perempuan itu menyapu seluruh ruang restoran. Aku menunggu dengan was-was, semoga ia melihat dan mengenali lelaki yang dulu tak sudi ia nikahi karena bercita-cita menjadi pegawai pemerintah.

Siang itu aku sendirian, menikmati, lebih tepatnya mencoba menikmati sushi, menghilangkan gundah, di restoran Jepang langgananku, sambil menunggu sesuatu yang bisa saja menimpaku hari ini.

Aku duduk tak jauh dan searah dengan tempat ia berdiri. Aku menatapnya, berharap kami bersirobok pandang. Aku akan berlari menghampirinya jika ia melihat dan mengenaliku. Ternyata aku lepas dari pandangannya. Kulihat kemudian ia memandang pria di sampingnya dengan senyum memesona.

Belo masih bahenol! Dia benci sekali disebut bahenol, karena tidak suka pada buah dada dan pantatnya yang berisi, yang menurutnya memalukan karena tidak sama dengan ukuran teman-teman seusianya dan sering jadi bahan olok-olok. Dia berupaya menyembunyikan buah dadanya dengan mengenakan kutang ketat, menghimpit.

Siang itu ia mengenakan sackdress batik motif riang, berleher rendah, tanpa lengan. Sepatu sandal bertumit sedang. Tas kulit cokelat kecil dengan simbol tapal kuda tergantung di bahunya. Mustahil ia bisa membeli tas kulit buatan Jerman itu dari hasil tangannya memegang ani-ani memetik padi serupa dahulu.

Benarkah itu Belo? Belo yang pernah kubonceng di punggung lembu yang kugembala keliling di tegalan dengan jalan tanah gronjalan. Belo yang kala itu duduk di kelas 1 SMP pernah membuatku terpana, karena bercita-cita ingin men­jadi istri lelaki kaya, yang bisa memberinya rumah gedong, mobil colt, dan toko kelontong.

Belo tertawa kencang ketika kukatakan aku ingin menjadi pegawai pemerintah, yang kerjanya ringan dan sebentar, tapi dapat gaji tiap bulan.

''Kalau begitu aku tidak akan menikah denganmu. Guru dan pegawai desa yang kerja pa­kai seragam tidak kaya,'' katanya.

''Menurutmu pekerjaan apa yang membuat aku kaya dan bisa menikahimu?''

''Jadi juragan angkot seperti Haji Juki, yang bekerja dari pagi hingga sore, bahkan malam hari. Makanya ia banyak uang, bisa beli rumah, mobil, dan membantu anak-anak tak punya, seperti kita, menyelesaikan sekolah.''

Akan kukatakan padanya kalau dia keliru. Ternyata pegawai pemerintah juga bisa kaya!

***

Aku dan Belo berasal dari keluarga miskin. Gubuk kami bersebelahan. Kami sekelas dari kelas satu sampai kelas enam, di SD Inpres yang beberapa temboknya berlubang. Kami ragu-ragu bisa menyelesaikan SMP negeri. Untungnya kami tergolong pandai. Itu sebab Haji Juki memberi kami beasiswa hingga selesai SMP dan lulus dengan nilai tidak jelek-jelek amat untuk orang miskin, yang tak punya banyak waktu untuk belajar karena harus bekerja.

Satu saat Belo mengatakan padaku ingin sekali bisa mengendarai sepeda.

''Dari mana kau dapat uang untuk membelinya?'' tanyaku.

''Aku sedang mikir bagaimana cara bisa naik sepeda tanpa perlu membelinya.''

Sebulan kemudian aku kaget bukan main ketika melihat Belo menggenjot sepeda ontel milik Mbak Yum, putri Kepala Desa. Ia kemudian memboncengku. Namun, karena Belo belum mahir betul, ia gugup saat berpapasan dengan pedati. Ia kehilangan kendali. Kami pun terperosok ke parit, di tepi jalan.

''Aku jadi mak comblang Mbak Yum dan Pak Guru. Aku yang mengantar surat-surat mereka. Aku juga suka mengantar mereka pacaran di bantaran sungai,'' cerita Belo.

Tak lama setelah itu aku melihat Belo bisa mengendarai motor bebek milik Palal, putra pemilik penggilingan padi.

Menurut teman-teman, Belo bisa belajar motor karena pacaran dengan Palal, kelas 2 SMA. Seseorang mengatakan, telah melihat Belo dibonceng Palal ke waduk tempat wisata, di dusun sebelah. Belo dibonceng dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Palal. Sebelah kepalanya tergolek di punggung Palal.

Mengingat sepak terjang yang pernah dilakukannya, mungkin saja, perempuan itu adalah Belo. Mungkin saja pria asing itu suaminya yang kaya, memberinya rumah gedong. mobil colt, dan toko kelontong?

Melihat penampilannya, Belo tentu sudah pensiun dari kerja serabutan. Dulu, banyak pekerjaan yang ia lakukan untuk memperoleh nasi, beras, atau uang. Sepulang sekolah kadang ia diminta menjaga warung kelontong Aheng, sejam dua jam. Aheng memberinya makan siang dan sedikit uang.

Lalu pindah ke rumah Kepala Desa menyapu daun-daun kelengkeng kering di halamannya yang luas. Ia makan malam di situ. Usai magrib ia ke surau, mengaji. Setelahnya kadang membantu Emak Biyoh membungkus kue moci jika mendapat banyak pesanan. Di musim panen ia ikut memegang ani-ani, memetik padi.

Orang-orang senang mempekerjakan Belo yang murah senyum, manis, periang, rajin bekerja, jujur, dan pandai membawa diri. Di kalangan pemuda pemudi ia terkenal sebagai orang yang bisa dipercaya menjadi mak comblang. Ia baik padaku, sering membagi makanan dari pemberian orang-orang.

Aku adalah Si Gembala, begitu orang-orang kampung memanggilku karena itulah keahlianku. Aku bisa menggembala kambing dan kerbau. Kambing kubawa ke padang rumput di balik bukit. Senjataku pecut dan sabit untuk menebas rumput. Kepala Desa puas dengan jasaku karena kerbau peliharaannya tumbuh sehat dan bersih. Aku sering memandikannya di sungai, menggosoknya dengan sabut kelapa kering.

Kalau sedang tidak ada pekerjaan Belo turut menggembala denganku. Ia membantuku menyabit rumput dan mengawasi kambing agar tidak lepas dari rombongan. Sambil mengawasi kambing kami membuat boneka-bonekaan dari ilalang yang panjang-panjang. Jika menggembala kerbau, kami paling suka naik di punggungnya, mengikuti langkah kerbau yang lamban dengan terus memamah rumput-rumput yang ia lewati Saking seringnya kami terlihat berduaan, kami diisukan pacaran.

''Kamu tahu aku, cita-citaku jadi istri lelaki kaya, yang memberiku rumah gedong, mobil, dan toko kelontong. Tapi, kalau kamu kaya, mungkin aku akan menikah denganmu.'' Begitu Belo berkomentar tentang gosip tersebut, saat kami pulang menggembala kambing, menuruni bukit setengah berlari. Kala itu kami duduk di kelas 3 SMP. Namun Belo seperti siswi kelas 2 SMA karena tubuhnya bongsor. Lekuk dan bukit-bukit kewanitaannya tampak menonjol. Sementara aku, mimpi basah pun belum.

Selulus SMP Belo pindah ke kota kabupaten, ikut salah seorang saudaranya yang berjualan di pasar. Dari ayahnya aku dengar ia sekolah di SMKK. Sementara, karena nilaiku yang bagus, Haji Juki menawariku melanjutkan ke SMA. Sore dan hari libur aku diminta bantu-bantu di pool angkotnya.

Tak lama setelah itu aku belajar mengemudi. Ingin sekali aku menunjukkan pada Belo bahwa meski tak memiliki mobil aku kini bisa menyopir. Bahkan kadang di hari libur aku menjadi sopir tembak. Satu hari aku mengemudi dengan kencang menghindari kejaran polisi karena aku tidak punya SIM. Sialnya mobilku menabrak mobil baru milik Pak Hakim yang sedang diparkir di tepi jalan. Polisi menangkapku dengan dua kesalahan, menabrak mobil dan tidak punya SIM. Tapi, aku terbebas dari jerat hukum karena Haji Juki memberi uang damai pada polisi.

Sejak saat itu aku bertekad ingin menjadi hakim, pegawai pemerintah yang kulihat punya mobil mewah.

Gubuk kami kemudian tak lagi bersebelahan setelah sebagian kampung kami digunakan untuk asrama haji. Berhubung untuk kepentingan amal penduduk tidak keberatan mendapat ganti rugi. Saat itu aku baru tahu kalau gubuk keluargaku dan Belo dibangun di atas tanah Haji Juki. Haji Juki kemudian memberi keluarga kami sebuah gudang kosong dekat lumbung padi miliknya. Sedangkan Belo dan ayahnya meninggalkan desa, ikut saudaranya.

Sejak itu aku tidak pernah bertemu Belo.

***

Kutatap lekat-lekat perempuan yang berjalan ke arahku, menggelendot di lengan pria tampan, tinggi tegap itu. Aku semakin yakin ia adalah Belo. Aku ingin cerita padanya bahwa Haji Juki memuji kepintaranku dan terus membantuku kuliah dan lulus dengan nilai-nilai yang bagus.

Citaku-citaku untuk menjadi pegawai pemerintah terwujud. Aku ingin Belo tahu bahwa pekerjaan itu membuatku kaya. Aku punya dua rumah besar, satu apartemen, tiga mobil mewah, deposito, dan lain-lain. Aku yakin mata bundar Belo akan terbelalak ketika tahu isi pundi-pundiku.

Bukan hanya itu, teman-temanku banyak; politisi, pengusaha, dan pengacara. Namaku belakangan ini sedang beredar media cetak dan terus masuk di breaking news televisi. Aku sudah merasa, mungkin hari ini akan menjadi hari besarku. Jika ia rajin menyimak berita tentulah ia tahu betapa populer teman masa kecilnya ini. Bagaimana ya perasaannya?

Kuputuskan aku akan menghampirinya dan menyapanya. Jika benar dia Belo akan kujelaskan tentangku sebelum ia tahu dari orang lain. Tapi perlukah?

''Belo,'' aku pura-pura terkejut saat aku bersimpangan langkah dengannya.

Belo menatapku dengan matanya yang belo, bundar besar dan indah.

Reaksinya kulihat ragu-ragu. ''Maaf, saya kira Anda...'' Kupikir dia bukan Belo atau ia lupa padaku. Jangan-jangan ia tak mau kenal lagi denganku.

Ia meneliti wajahku, dasiku, sepatuku, sekujur tubuhku. Lalu spontan ia memelukku, mengesun kedua pipiku. ''Aku tahu hanya teman-teman masa kecil yang memanggilku Belo. Namun aku ingin yakin bahwa kamu adalah Si Gembala.''

''Masih ingat panggilanku...,'' ucapku.

Belo tersenyum. ''Tentu saja. Oh, ya, ini Angelo suamiku. Kecil dulu aku dan dia suka menggembala bersama,'' cerita Belo pada suaminya.

''Kami tinggal di Italia, bisnis ukiran Jepara. Banyak peminat ukiran di sana...''

Italia? Pantaslah, jika ia tidak tahu bahwa teman masa kecilnya terkenal.

''Senang sekali bertemu kamu. Istrimu, anakmu, kamu, kok tampak kusut-masai?'' Belo memegang kedua pundakku, menatap mataku lekat-lekat.

Aku ingin mengatakan sesuatu pada Belo, tapi mataku menangkap beberapa wartawan televisi dan media cetak bergegas masuk ke restoran. Aku tercekat dibuatnya. Aku tak punya waktu lagi.

''Angelo, bagaimana kalau kita rayakan pertemuan dengan teman lamaku?''

''Sure...'' Angelo menepuk pundakku, mengajakku mengikuti pelayan yang mengantar ke meja.

Aku pura-pura menjajari langkahnya. Sebab aku tahu, langkahku akan terhenti beberapa saat lagi. Derap sepatu itu sudah ada di belakangku, semakin dekat. Lalu seorang petugas polisi berdiri di depanku.

''Pak Hakim, kami memegang surat perintah untuk...''

Wartawan televisi kemudian mengerubutiku, mewawancaraiku. Kulihat Belo menatapku dengan mata bundarnya yang tetap bagus kala ia mendelik marah, kesal, kecewa, dan bahagia. Beberapa saat kemudian kulihat ia mengucek-ucek matanya yang belo dengan mulut terbuka.

Aku yakin sebentar lagi ia akan tahu tentang Si Gembala, yang tak lain adalah hakim yang terungkap menerima suap, dari breaking news di hampir semua statsiun televisi. ***

Oleh Ida Ahdiah

Nyanyian Seribu Bulan

Cerpen
[ Minggu, 13 September 2009 ]
Nyanyian Seribu Bulan
Mungkin Hawa namanya. Tak penting! Ia datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang da­lam pori-pori kulit ini. Berumah da­lam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Ada Ken De­des di betis mulusnya. Ada Roro Jonggrang di mata beloknya. Ada De­wi Yunani di senyum bibirnya. Ada Fatimah ber­bunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan mencera­cau dalam kepalaku. Selalu. Tak kuasa aku menampiknya. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam is­tana kesendirianku.

''Maaf, karena telah kerasan!'' Ia girang menyapa.

Aku hidup dari sunyi dan Hawa membawaku ter­bang melayang-la­yang. Katanya kami bakal meng­gapai surga. Matanya yang pur­nama menulariku mengeja matahari. Ia buka mataku dan me­nun­tunku memasuki lorong-lorong bumi. Alam ini indah bagi pa­ra ilmuwan keindahan, bi­siknya. Tapi mataku? Hanya retina dan optik yang perih dan luka. Mungkin silau oleh gempuran cahaya ke­indahan yang tiba-tiba.

Begitulah awalnya. Sejak entah aku berdiam di re­lung hampa. Pu­tus jalinan hati antaraku dan hu­bungan darah para handai taulan. Sejak bumi mengafani Ayah dan Ibundaku, mataku kehila­ngan matahari. Dan tubuhku kecurian planet. Aku su­wung! Berja­lan ngelangut sesiang semalam tanpa gigi tanpa kepala. Ruhku, ba­rangkali ruhku saja nyelinap di antara halaman buku sejarah yang ber­debu di toko loak.

Sesosok jemari halus memungutnya. Memberi­nya sentuhan cin­ta. Tergeragap bangun kaget dan bingung. Aku menjurai bayangan liar dan satin. Seperti orang lain, perempuan lain, tak penting sia­pa nama, menjebol pintu belakang rumah ber­sama angin.

Mata lelah dan sengsara, rambut gimbal baju mo­yak, serasa pe­ngemis yang datang dari dunia jelaga. Berjalan ia meremas hari tak pasti. Banyak lo­rong dan ceruk dari batu-batu dan luka yang mes­­ti dilewati. Kadang ia menawar senja. Pabila bu­rung-burung ber­baris syahdu merindu sangkar­nya, ia tengadah membuka sebaris gigi keropos yang telah habis dipalu masa. Ia jalan terus mencari ti­mur di barat, mengejar utara di selatan.

''Aduhai hari-hariku,'' ia cerita apa adanya.

Menerawang. Perempuan itu menjumpa api da­lam gedung ting­gi. Api yang disentuhnya de­ngan sepuluh jari bersama degup jan­tung yang pas­­ti. Stabil. Matanya berubah menyala. Bibirnya me­rekah pink. Berayun-ayun tangannya gemulai me­narikan sebuah melodi.

''Di sini hari masih pagi. Dan selalu pagi.''

Lalu ia tinggal di gedung itu mengeja pagi. Mem­baca banyak ma­ta dan bau mulut beraneka aroma. Dilihatnya juga banyak ta­ngan teracung ke udara. Atau mengepal tinju ke angkasa. Suatu ka­li ia kebagian jatah menepukkan dua telapak tangan dalam so­rak gembira. Karena tangannya hitam dan berdaki, bertumpuk daki, soraknya terdengar paling kuat. Cukup kuat untuk memutar se­kian ratus kepala dari wajah-wajah yang ber­minyak pagi.

Tak percaya. Ia kembali bersorak menepuk ­riang, membahasakan matahari pagi. Tak dinyana pula, ratusan kepala itu menjadi ribuan, me­mutar wajahnya menatap tajam kagum dan se­nang, ke arah matanya.

''Ke arah mataku mereka memandang,'' keluhnya bahagia.

Mata-mata itu lalu berubah jadi api yang membakar dadanya. Pe­­rempuan itu naik ke podium dan merebut separo simpati dari audiens. Dikunyahnya jam bersama menit dan detik-detiknya. Ter­nyata ia lebih canggih dari sekadar mitos dan le­genda yang pernah tergantung di pundaknya. Ter­­senyum ia menikmati karunia yang pernah hi­­lang itu. Kembali dalam ayunan ibu.

Matahari menyorot dari balik matanya. Seakan tokoh politik yang turun dari podium, perempuan itu lahir kembali jadi beraneka rupa. Berdesakan dalam pasar ikan bau. Suatu kali terlihat tengah sibuk menata menu dalam perjamuan makan ma­lam bersama orang-orang penting. Para pah­­la­wan dan penjahat dari berbagai negeri. Kala lain ia tampil dalam fashion show melenggokkan ma­ta-mata narsis, dan ratusan mulut buaya yang mendesis. Saat lain pula ia akan bertarung memperebutkan kejua­raan dalam arena lomba. Mengalahkan lawan main dengan cara yang muskil.

''Karena hidup, kau mesti terus mengalir,'' bi­siknya padaku.

Kakinya memanjang berkilometer, beratus ber­ibu-ribu, sejauh ja­lan membentang. Sampai api yang pernah menyentuhnya jadi hilang, tak sega­rang dulu. Maka hilang juga matahari dalam ru­mahnya. Sebab rumah tinggal pilu dan luka. Tak ada yang mesti di­pertahankan dari kampung dan kota yang disesak kebodohan. Jiwa butuh re­fre­shing. Otak perlu kanal yang mengalir nuju sa­mu­de­ra, melarung hari-hari berkerudung takziah.

''Di mana kau kini, Hawa!?'' Aku bertanya.

''Inilah perjalanan pertama dari seribu episode pe­tualangan. Ka­rena seluruh bumi adalah asing. Wi­layah baru beserta segala yang runtuh. Usai om­bak hitam yang bangkit dari tidur lautnya. Te­gak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilo­meter per menit. Sambar apa saja dilalui. Meng­ge­ram mendesis bak kobra lapar berabad me­lahap ma­nusia berikut peradabannya. Maka, lihat itu Adam, be­tapa bi­ngungnya ia tanpa peta. Betapa pusingnya ia terlipat om­bak dalam da­danya, hing­ga peta itu dipinjam laut tak kembali.''

''Tapi aku tahu. Aku mesti jalan ke depan,'' te­riakku.

''Banyak daerah yang tak dikenal di masa depan. Kau akan kesasar!'' jawabnya.

Lalu pergi begitu saja. Lenyap dalam nyanyian se­ribu bulan. Pua­sa tak henti-henti. Lapar haus meng­geleparkan diri. Gerimis mengundang. Petir dan kabut bergulung meninggalkan jalan be­cek ber­lumpur. Kampung ramai dikepung pe­nyakit dan air comberan. Aspal rekah berbuih. Ma­tahari merah saga membawa pergi semua yang telah diberi nama. Gunung, laut, sungai, batu, pa­sir, debu, ber­gema di ruang kepalaku. Sampai Adam tiba-tiba datang di si­siku, menatap ca­­kra­wala. Mengurai kemegahan hidup yang meng­­­hampar di tepi pantai. Ia resap anginnya. Ia hirup napas semesta. Lalu karam hatinya da­lam tum­pu­kan tanda tanya.

''Di mana kau sem­bu­nyikan ke­kasihmu, sobat?'' Aku mem­­bi­sik gelisah telinga­nya bersa­ma ombak yang kemarin sa­pa la­ngit dan menjamah da­­rat dengan kuku Izrail.

''Kau bawa semua, bu­kan. Dan kau tinggal­kan aku sendiri, ngungun di gigir sepi!''

''Dan pilu,'' kataku.

''Hah! Siapa kau?'' Ia tergagap, menatapku ba­gai kilat.

''Sahabat Izrail. Sang Mikail!''

''Dan urusanmu datang kemari?''

''Urusan kemalaikatan!''

''Haaa!!'' Ia tergagap lagi dan pikun.

Batin Adam alzheimer! Benda-benda lenyap da­ri batok kepalanya. Puluhan triliun dikira ha­nya beberapa puluh miliar. Dolar datang membanjir dari langit hujan persaudaraan, berpuluh kontainer minyak tanah berubah jadi air mata, dari bu­mi kembali ke bumi. Di atas derita sebuah ne­geri, di atas tindih luka lara, masih juga ada tangan yang mengambil bukan haknya. Begitu mungkin ia berpikir. Seperti Karun sibuk menge­lu­pasi mangsa. Mencucup darah sesama sampai sekarat dan koma dalam tiga puluh dua kali dua belas purnama.

''Nyanyian seribu bulan, maksudmu?''

''Bukan.''

''Lalu apa?''

''Kau memang pelupa kelas kakap.''

''Bukan Adam jika tak pelupa.''

Nihil benar jawabnya. Pengungsi akhirat tamu-ta­mu dunia. Alangkah aneh dan ajaibnya. Tak me­rasa terlempar ke planet asing tak berkampung Tak berkota. Diri tanpa kepala. Burung-burung kembali ke sarang namun kami tak ada rumah tak ada halaman ke mana pulang. Pelancong be­nar dunia tanpa halte, bisikku. Dan barak-barak ada­lah rombongan mudik ke negeri tanpa istana. Tak ada desir angin. Malam ngungun. Burung-bu­rung hilang kicauan. Rumputan diam. Gunung-gu­nung menangis. Kami berlelehan air mata.

''Mengapa tanganmu meminjam tangannya, sobat?''

Sendu menyulap sunyi di mata Adam. Dan su­nyi menjelma belati. Siap menghunjam meremuk w­ajah kuasa yang bertengger di pucuk sana. Ka­rena romantikus pemberontak adalah tanah yang di­urap bening air mata. Narsistik! Ia jarang man­di karena setia bau tubuhnya. Tak ngaruh nasionalisme semu. Haram laundry karena menghalang upa­ya pencarian diri. Ia melihat dunia bagaimana harusnya. Bukan begitu adanya.

''Mengapa, Adam? Nadamu hujatan berseru?''

''Karena amanah yang dikotori. Karena bening langit dicemar lumpur bumi. Hati yang busuk dan sakit!''

''To the point aja,'' kataku.

''Semua semu. Harta rakyat diguna tutup hutang ne­gara. Tapi orang masih bisa bangga selamatkan negara dalam duka. Hihi, fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdziban?''

''Ah! Yang benar?''

''Religius bukan?''

''Bukan?!'' jawabku keras.

''Bukan! Haha... dari zaman lama sampai yang ba­ru, mungkin juga kini, rakyat kita sudah ditabal sebagai modal para kuasa. Bendera hampir hilang warnanya, tinggal tanah menyala api zamrut ka­tulistiwa.''

''Gombal, ah!''

''Tak boleh merdeka! Ahistorik namanya. Itu ba­ru gombal.''

''Tapi negeri ini tak mau gila. Entar diprovo­kasi separatis lagi. Maka itu aku suka seribu bulan di atas danau!'' Aku berkata semau-mau.

''Dasar!''

''Emang dasar! Di sini piutang, di sana tumpukan uang! Bikin ekonomi putaran luka. Wal ba­la wal laba..."

''Masa iya sih?''

''Kalau mau cari uang tak perlu ke mana-mana. Se­perti sepotong hati yang dipaksa mati!''

''Ah! Yang benar?''

Adam alzheimer lagi mengingat semuanya. Pa­ra relawan yang berbondong datang mengu­sung janji dan pamflet dan panji dan bendera dan partai-partai. Legislatif jadi intip di dasar ketel ibu pertiwi. Tong kosong semua. Ada yang datang dengan truk berisi uang, katanya. Lalu mereka per­gi dengan truk tetap penuh. Di hari lain datang lagi hingga purnama jadi gulita. Yang berdiri ha­nya kerangka, daging hilang entah ke mana.

''Pilihan raja itu seperti gempa. Bumi diayu­n-ge­rakkan. Lalu kampung-kampung jadi puing. Ja­lanan rekah, gedung-gedung nukik ke bawah. Kemanusiaan hanyalah listrik padam. Hati pecah di kegelapan.''

''Bukan! Tapi bumi sedang ditata ulang. Kam­pung-kampung sekarat mesti diremajakan. Aspal usang penuh sejarah korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik padam memberi jeda bagi manusia untuk menyepi, berjuang keluar dari pengap du­nia penuh tipu dan sesak kotoran.''

''Ini bulan lapar dan dahaga. Kau mesti menang,'' kataku.

''Kau sedang mengigau diterjang gempa,'' ka­tanya.

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Ku­rangkum segala pikiran tentang takdir, tak ke­temu juga larik puisi, sajak cinta, dan kesimpulan. Ayat suci jadi keranda di televisi. Sorban dan peci haji bergambar ular. Pulau-pulau kepulkan asap naga hitam.

''Bangsa-bangsa yang dihancurkan biasanya akan bangkit lebih cerdas dan gemilang,'' katanya lagi.

''Tak usah menghiburku dengan pelajaran sejarah.''

''Setuju, sebab aku butuh sepiring nasi.''

''Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, kawan!''

''Bukankah si pencuri paling suka hati?''

''Hati mati di sayap garuda.''

Ingatan mengembara pada baju-baju dan kenda­raan. Juga kampung mati, para janda dan piatu. Begitu banyak yang sudah dikorbankan untuk membangun semuanya. Bertahun-tahun. Ber­puluh-tahun. Tetapi rupanya, bukan wajahnya, negeri ini selalu ingin digempa dari tidur pan­jang. Sementara yang tidur dalam kondisi le­bam sakit mules dan diare. Dehidrasi. Deaqua. Demoral. Sesak napas di ranjang yang kotor dan pengap. Rakyat pilu dan megap-megap.

Aku berlari nuju sungai baru. Kotor juga airnya se­perti rumah sakit gratisan. Tengok kiri kanan dan mendapati semesta berwajah pasi. Meregang nya­wa. Ini sakit akbar tempat berpuluh juta jiwa se­karat dan koma. Menunggu sang penyembuh yang kabarnya tengah lelap di atas kursi goyang istana.

Aku tergagap. Merinding bulu kuduk saat bersitatap dengan tampangnya. Ini Adam atau lelaki kuntilanak? Pasti ini salah alamat. Sebab ia ha­nya mengikik sebelum kutanya. Sampai aku terkesima. Memandangi guratan tokek di sekujur tubuhnya. Aku tak yakin sedang berhadapan dengan manusia ataukah komodo. Demi sebuah jawaban, nyali kupompa habis.

Dupp! Aku meringis. Revolver itu meletup di ka­ki kirinya. Menggesek tulang menembus kulit dan melolonglah ia, jatuh dan mengaduh tak ka­ruan. Beberapa orang sibuk dengan niat kebaikan. Tapi lolong itu terus meninggi menembus berjuta daun telinga dan terpana. Bisik-bisik dan takut merajalela. Saling bertanya. Diri ini Adam atau Hawa. Yang ketemu jawabnya malah manusia merana.

Aku tahu bahwa nasib manusia memang ada di tangan Sang Pencipta. Maka itu tak boleh kuasa sesukanya menentukan segala sesuai keinginan. Tapi di balik tangan sang kuasa itu, ada anugerah otak dan pikiran untuk menimbang baik dan buruk, memilih yang mulia dan nista, serta berusaha mencari yang terbaik bagi hidupnya. Itulah pen­carian yang kini terus menggema mengumandang di balik kesadaran orang-orang gempa. Ingin mendengar nyanyian seribu bulan dari lidah langit. Seperti ditakdir hidupku dalam sunyi dan Ha­wa membawaku terbang melayang-layang, meng­hirup aroma surga yang berhembus dari ku­bah miring diterjang gempa.

Dan aroma itu selalu datang setiap malam tan­pa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Tapi kini hanya Fatimah berbu­nga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan me­nyanyi dalam kepalaku. Selalu. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku. Pilu negeri ini mendayung ulu hati. Manusia kelimpungan tanpa bin­tang gemerlapan. Redup cahaya di dada. Alam bergolak dan bencana jadi upacara. Bersih bumi ber­kali-kali. ***

*) Abidah El Khalieqy, pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja

Safi al-Din al-Urmawi Musisi Gaek dari Kekhalifahan Abbasiyah

Safi al-Din al-Urmawi Musisi Gaek dari Kekhalifahan Abbasiyah

By Republika Newsroom
Rabu, 16 September 2009 pukul 08:49:00

Safi al-Din al-Urmawi Musisi Gaek dari Kekhalifahan Abbasiyah

Pada abad ke-13 M, peradaban Islam memiliki seorang musikus ulung. Dia dikenal sebagai pencipta musik yang hebat di dunia Islam. Musikus Muslim legendaris itu bernama Safi al-Din al-Urmawi. Di era keemasan Islam, al-Urmawi telah menggunakan tujuh belas nada dalam menciptakan musik-musiknya.

Nada-nada yang diciptakannya itu, lalu dikembangkan bangsa Arab. Hasilnya, terciptalah musik-musik yang merdu dan enak didengar. Menurut sejumlah catatan sejarah, al-Urmawi terlahir di Urmia pada 1216 M dan tutup usia pada 1294 M di ibukota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad.

Para sejarawan memperkirakan, dari asal-usul etnis keluarganya, al-Urmawi merupakan keturunan Persia dari Quthb al-Din al-Syiraz,i yang sering disebut sebagai Afdhal-i Iran yang artinya adalah seorang yang bijaksana yang berasal dari Iran. Pada masa mudanya, al-Urmawi hijrah dari tanah kelahirannya untuk menimba ilmu di metropolis intelektual dunia pada masa itu, yakni Baghdad.

Di kota yang sangat terkenal itu, al-Urmawi mendapatkan pendidikan tentang bahasa Arab, sastra, sejarah juga seni tulisan tangan. Bahkan, dia juga mempelajari kaligrafi dan menjadikannya seorang ahli kaligrafi terkenal. Lalu dia diberi jabatan sebagai seorang ahli penyalin di perpustakaan yang dibangun oleh Khalifah Abbasiyah, al-Musta?im.

Selain mempelajari dan menguasai berbagai macam ilmu, al-Urmawi juga mempelajari ilmu hukum Syafi'i dan hukum perbandingan (Khilaf Fiqh) di Madrasah Mustansiriyya yang berdiri pada 1234. Kepandaiannya dalam kedua ilmu hukum tersebut membuatnya memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan sebagai administrator yuridis al-Mustasim pada 1258.

Setelah itu, kariernya kian moncer. Al-Urmawi kemudian dipercaya sebagai kepala pengawas yayasan (nazhariyyat al-wakaf) di Irak, sampai 1267, ketika Nasir al-Din Tusi mengambil alih kekuasaan di Irak. Selain berkiprah di bidang pemerintahan, al-Urmawi pun mulai dikenal sebagai seorang musisi terkemuka.

Ia mendedikasikan dirinya sebagai seorang musisi dan pemain kecapi yang berbakat. Kehebatannya dlam bidang Muslim membuatnya menjadi seorang anggota pemain musik terkenal pada masa itu. Talentanya yang sangat tinggi dalam bidang musik, membuatnya tetap bisa bertahan hidu,p pada saat jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu.

Ketika Baghdad dihancurkan bangsa Mongol, al-Urmawi justru mendapatkan perlakuan istimewa dari Hulagu Khan. Pemimpin bangsa Mongol itu sangat terkesan dengan kehebatan al-Urmawi. Sang musisi pun mendapatkan gaji yang besarnya dua kali lipat dari pendapatannya di era kepemimpinan Dinasti Abbassiyah.

Karier musik Al-Urmawi pun semakin berkibar. Ia mendapat dukungan dari keluarga Juvayni, terutama oleh Syams al-Din Muhammad dan putranya Sharaf Din Harun. Namun, setelah para pendukungnya tersebut mendapatkan hukuman mati, Al-Urmawi mengalami kejatuhan dan keterpurukan. Dia terlupakan dan jatuh miskin. Bahkan dia dijebloskan ke dalam tahanan karena didakwa berutang sebanyak 300 dinar. Hingga akhirnya dia meninggal Madrasah al-Khalil di Baghdad.

Sebagai seorang komposer, Al-Urmawi dikenal sebagai seorang yang mengembangkan bentuk vokal sawt, awl dan nawba. Dia juga dikenal sebagai orang yang menemukan dua alat musik dawai yaitu nuzha dan mughni. Bahkan dawai masih menjadi alat musik yang disukai hingga zaman modern ini.

Karya milik al-Urmawi yang paling penting adalah dua bukunya dalam bahasa Arab yang merupakan teori musik. Buku teori musik tersebut berjuduk Kitab al-Adwar dan risalah al-Sharafiyya fil Nisab al-Talifiyya. Bukunya yang berjudul Kitab al-Adwar dikerjakannya saat masih bekerja di perpustakaan al-Mustasim.

Khalifah al-Mustasim dikenal sebagai pemimpin yang sangat menyukai merdunya bunyi-bunyian dari berbagai macam musik. Kitab al-Adwar, merupakan kitab pertama yang mengembangkan sejumlah teori musik ilmiah yang sebelumnya telah ditulis oleh Ibnu Sina.

Kitab itu berisi informasi yang berharga mengenai berbagai macam praktik dan teori musik di Persia serta di Irak, seperti penciptaan lima senar kecapi yang belum pernah dilakukan pada masa Ibnu Sina. Selain itu, kitab tersebut juga berisi tahap akhir dalam pembagian oktaf menjadi 17 langkah, tata nama lengkap dan definisi timbangan yang merupakan sistem dari dua belas Makams (disebut shudud) dan enam Awaz.

Kitab ini juga berisi gambaran tepat tentang musik kontempore, dan penggunaan huruf dan angka untuk notasi melodi. Kitab karya al-Urmawi itu tercatat sebagai karya yang unik dan memiliki nilai terbesar. Kitab tersebut juga menggambarkan dominasi musik lokal Arab dan Persia dalam tradisi musik Arab.

Kitab al-Adwar yang isinya ringkas dan padat tersebut menjadi salah satu buku teori musik yang paling populer pada abad itu. Bahkan buku tentang musik itu memiliki pengaruh yang besar selama berabad-abad. Buku tersebut disalin baik dalam bahasa Arab, Persia, maupun Turki.

Pada masa Kekhalifahan Turki Usmani, kitab tersebut disalin hingga beberapa kali. Bahkan buku tersebut juga telah disalin negara-negara Barat. Kitab al-Adwar dianggap sebagai kompendium (Mukhtasar) dari pengetahuan musik standar pada masanya.

Buku kedua al-Urmawi bertajuk Risalah al-Sharafiyya, yang ditulis sekitar 1267. Buku musik tersebut dipersembahkan kepada para mahasiswa dan kepada pelindung Khurasan, Sharaf Din Juvayni. Al-Urmawi adalah bagian dari kehidupan ilmiah, sastra dan seni di lingkungan keluarga Juvayni.

Melalui pertemuan dengan keluarga Juvayni, al-Urmawi pernah bertemu dengan sarjana Persia terkenal bernama Nasir al-Din Tusi yang membuat risalah singkat tentang proporsi interval musik yang menarik perhatian al-Urmawi. Risalah Nasir al-Din Tusi tersebut merangsang minat al-Urmawi dalam mempelajari bahasa Yunani serta ilmu pengetahuan dan teori musik.

Kedua adikarya al-Urmawi itu telah menjadi buku rujukan para akademisi di bidang musik Arab. Bahkan, seorang ahli musik modern, Briton Owen Wright juga banyak memberikan komentar mengenai karya-karya teoritis al-Urmawi.

Warisan Zarlino dari Timur

Dunia musik merupakan bagian dari hidupnya. Sepanjang kariernya, al-Urmawi dengan seksama menganalisis sumber-sumber teori musik, baik dari para pemusik Yunani maupun karya-karya musik para sarjana Muslim terdahulu seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Dia belajar musik praktis secara ilmiah dan sistematis yang tergambar dalam bukunya Kitab al-Adwar dan dalam risalah utamanya al-Risalah al-Sharafiyya fi al-Nisab al-Ta'lifiyya.

Kontribusi Safi al-Din al-Urmawi terhadap teori dan praktik musik Arab sangat penting dalam sejarah. Sebab karya-karyanya sangat berharga dalam rantai karya teoretis dalam sejarah teori musik yang dimulai dengan teori musik Al-Kindi. Kemampuannya dalam bidang fisika membuatnya mampu menciptakan alat-alat musik.

Dia juga dikenal sebagai salah satu pencipta sistem suara terbaik. Karena tingkat briliannya yang sangat memukau. Ia pun ditabalkan sebagai Gioseffo Zarlino dari Timur. Zarlino adalah komposer legendari dari Italia pada abad ke-16 M. Karya-karya al-Umrawi telah memberi inspirasi para musisi Muslim untuk menulis teori musik setelah wafatnya al-Urmawi. Tak heran jika pengaruhnya sebagai seorang ahli musik yang hebat tetap melekat dalam karya-karya para musikus setelahnya.

Buku al-Risalah al-sharafiyya yang ditulisnya terdiri dari lima bab dengan judul yang berbeda-beda. Dalam buku tersebut terdapat bab khusus yang membahas diletakkannya dasar-dasar matematika dalam dunia musik. Bagian dari karya-karya al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang penting bagi Al-Urmawi juga ditunjukkan dalam buku tersebut.

Akhirnya, jejak-jejak al-Sharafiyya bisa ditelusuri dengan melihat referensi beberapa karya yang ditulis beberapa abad kemudian. Hal itu memperlihatkan pentingnya dampak buku tersebut dalam dunia musik.

Al-Urmawi juga mempelajari rasio antara angka-angka yang sangat sistematis dalam bermusik, rasio tersebut bernama interval yang diklasifikasikan menurut konsonan dan disonan interval secara terperinci.

Ini merupakan karya terperinci dalam musik setelah karya al-Farabi. Dia juga menyebutkan empat tetrachords dengan interval dan pentachordal untuk menjelaskan jenis konsonan. Beberapa musisi setelahnya menghindari topik tersebut karena sangat rumit dan penuh detail. Inilah yang membuat musisi dunia memuji kehebatan al-Urmawi. dya

Kitab Al-Tasrif, Buku Rujukan Para Dokter

Kitab Al-Tasrif, Buku Rujukan Para Dokter

By Republika Newsroom
Rabu, 16 September 2009 pukul 14:58:00

Kitab Al-Tasrif, Buku Rujukan Para Dokter

Selama enam abad, Kitab al-Tasrif menjadi pan duan praktik medis bagi para dokter dan ahli bedah, baik di dunia Islam maupun Eropa abad pertengahan.

Kitab al-Tasrif. Buku kedokteran karya Abu al-Qasim al-Zahrawi alias Abulcasis itu begitu fenomenal. Ditulis pada abad ke-10 M, Kitab al-Tasrif telah turut berjasa mengubah dunia kedokteran moden. Kehebatan buku kedokteran karya dokter bedah legendaris Muslim dari Andalusia itu telah diakui para dokter dan ilmuwan Barat.

Buku kedokteran karya al-Zahrawi telah menjadi referensi kalangan dokter di dunia Barat. Pada abad ke-14 M, seorang ahli bedah berkebangsaan Prancis bernama Guy de Chauliac tercatat mengutip Kitab al-Tasrif lebih dari 200 kali. Sedangkan Pietro Argallata yang hidup pada 1453 M menabalkan al-Zahrawi sebagai, "Kepala semua ahli bedah yang sangat andal dan tidak diragukan kemampuannya".

Gagasan dan pemikiran yang dituangkan al-Zahrawi dalam Kitab al-Tasrif telah menjadi pijakan dan pegangan para dokter selama lima abad, setelah wafatnya sang ahli bedah Muslim itu. Kitab al-Tasrif telah turut memantik semangat Renaisans yang berlangsung di dunia Barat. Betapa tidak. Al-Tasrif merupakan acuan para dokter terutama ahli bedah di

Kitab al-Tasrif terdiri i dari 30 volume yang mengupas dan membahas tentang; deskripsi anatomi, klasifikasi penyakit, informasi nutrisi, bagian-bagian pada obat-obatan, ortopedi, ophtalmologi, farmakologi, gizi, terutama operasi.

Di dunia Barat, kitab tersebut juga dikenal dengan judul Concessio Data ei Qui Componere Haud. Setidaknya selama enam abad, kitab itu sangat penting sebagai panduan praktik medis bagi para dokter maupun ahli bedah, baik di dunia Islam dan abad pertengahan di Eropa.

Kitab al-Tasrif mencakup berbagai topik medis, antara lain kedokteran gigi serta menangani kelahiran. Kitab tersebut berisi kumpulan pengalaman al-Zahrawi selama 50 mendedikasikan dirinya sebagai seorang dokter dan pengajar. Dalam kitab tersebut, al-Zahrawi menekankan arti pentingnya membangun hubungan yang positif antara dokter dengan pasien, serta hubungan positif antara seorang penagajar dengan para mahasiswanya.

Dia menyebut para mahasiswanya dengan sebutan sebagai "anak-anak saya". Dia juga menekankan pentingnya merawat pasien tanpa memandang status sosial mereka, baik mereka orang kaya mupun orang miskin. Dia juga mendorong pengamatan secara dekat dan mendetil terhadap kasus-kasus individu untuk membuat diagnosis yang paling akurat dan memberikan pengobatan yang terbaik.

Dalam Kitab al-Tasrif, al-Zahrawi menjelaskan secara baik " Metode Kocher" untuk mengobati dislokasi bahu dan metode "Posisi Walcheri" dalam bidang kebidanan. Al-Tasrif juga menggambarkan bagaimana pembuluh darah ligatur sebelum Ambroise Pare. Buku tersebut juga merupakan buku pertama yang mencatat dan mendokumentasikan beberapa perangkat gigi serta menjelaskan sifat turun-temurun dari penyakit darah haemofilia (penyakit kelainan pembekuan darah).

Penyakit tersebut sangat membahayakan jiwa, karena jik orang yang mengidap penyakit tersebut mengalami luka ditubuhnya, misalnya tangannya terkena pisau, maka dia sulit sembuh. Sebab darahnya sulit mengalami pembekuan.

Kitab al-Tasrif diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12 M, dan diberi ilustrasi untuk mempermudah pemahaman bagi para pembacanya. Selama beberapa abad kitab tersebut menjadi sumber utama pengetahuan di dunia medis Eropa, Sehingga kitab tersebut sering digunakan sebagai referensi bagi para dokter dan ahli bedah.

Berikut ini berbagai macam penemuan al-Zahrawi yang tertulis dalam Kitab al-Tasrif:

* Pembedahan pada wanita

Al-Zahrawi menjelaskan alat bedah yang unik untuk wanita, seperti penggunaan forseps dalam pemeriksaan vagina. Dia juga orang yang pertama kali melakukan operasi pengecilan payudara dengan menggunakan metode yang menyerupai teknik modern, seperti yang dijelaskan dalam Kitab al-Tasrif.

* Operasi gigi
Dalam kedokteran gigi dan perbaikan gigi, Kitab al-Tasrif merupakan buku pertama yang berisi penjelasan medis untuk menangani operasi gigi secara rinci dan mendetil. Dia memberikan metode yang rinci dan jelas untuk mencabut gigi dan menggantinya dengan gigi palsu yang baru.

* Pembedahan
Al-Zahrawi memiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan studi pembedahan dan anatomi tubuh. Dia menekankan pentingnya pembedahan dalam bab bedah di Kitab al-Tasrif. Dia menemukan sejumlah alasan mengapa tidak ada ahli bedah yang berpraktik pada zamannya. Sebab belajar ilmu bedah kedokteran membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain itu, ilmu bedah juga membutuhkan banyak latihan sebelum terjun berpraktik. Untuk mengetahui masalah pembedahan, seseorang harus mempelajari anatomi tubuh terlebih dahulu. Galen menggambarkan bagaimana seorang ahli bedah harus mengetahui bentuk dan bagian-bagian dari fungsi tubuh, dia juga harus mengetahui bagaiman bagian tubuh tersebut terkait satu sama lain.

Yang jelas, seorang ahli bedah harus tahu tentang fungsi tulang, saraf, dan otot, pembuluh darah, arteri, serta vena tubuh. Orang-orang yang melakukan pembedahan tanpa mengetahui anatomi tubuh manusia sama saja dengan merusak sebuah kehidupan dan itu merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal.

* Lithotomy dan Urologi
Dalam urologi dan lithotomy, al-Zahrawi merupakan dokter pertama yang berhasil menemukan sebuah pisau untuk menghancurkan batu ginjal besar di dalam kandung kemih. Sehingga batu ginjal bisa dihancurkan satu demi satu. Inovasi ini penting untuk pengembangan operasi batu ginjal karena secara signifikan mampu mengurangi angka kematian sebelumnya yang disebabkan oleh operasi-operasi yang gagal.

* Bedah syaraf

Abu al-Qasim juga mengembangkan materi dan desain teknis yang masih digunakan dalam bedah saraf. Modern. Dia telah melakukan bedah plastik yang pertama kalinya pada masa zaman kuno Sushruta di india. Dia juga mengembangkan metode sayatan, penggunaan benang sutera untuk melakukan jahitan dan untuk mencapai cosmesis yang baik. Abu al Qasim juga menemukan prosedur operasi pengurangan mammoplasty untuk memperbaiki ginekomastia.

Meski telah berusia 1.000 tahun, Kitab al-Tasrif hingga kini masih diperbincangkan dunia kedokteran modern.

Dari Alat Bedah hingga Kosmetika

Selain berhasil menjelaskan berbagai teori penyembuhan dan operasi penyakit, al-Zahrawi dalam Kitab al-Tasrif, juga mengungkap beragam peralatan medis yang ditemukannya. Beberapa penemuan sang dokter legendaris itu antara lain;

*Alat bedah
Dalam al-Tasrif, al-Zahrawitelah lmemperkenalkan koleksi alat-alat bedah yang jumlahnya lebih dari 200 buah. Kebanyakan instrumen itu tidak pernah digunakan sebelumnya oleh para ahli bedah terdahulu. Sekurang-kurangnya terdapat 26 instrumen bedah inovatif yang diperkenalkan oleh Abu al-Qasim .

* Perban perekat dan Plaster
Pada buku kedokterannya, al-Zahrawi juga mengungkapkan keberhasilannya menciptakan perban perekat dan plester, yang masih digunakan di rumah sakit di seluruh dunia hingga zaman modern ini. Penggunaan perban perekat digunakan untuk pasien yang mengalami patah tulang. Hal itu juga menjadi praktik standar untuk dokter di wilayah Arab, meskipun praktik ini tidak diadopsi secara meluas di Eropa sampai abad ke-19.

* Senar dan Forsep
Al-Zahrawi pun mengungkapkan penggunaan senar untuk menjahit luka. Hal itu juga masih dipraktikkan di dalam metode bedah modern. Senar tampaknya menjadi satu-satunya zat alami yang mampu melarutkan dan dapat diterima oleh tubuh. Ia juga menemukan forsep untuk mengeluarkan janin yang sudah mati, seperti digambarkan dalam Kitab Al-Tashrif.

* Penggunaan kapas
Al-Zahrawi adalah ahli bedah pertama yang menggunakan kapas sebagai alat medis untuk mengendalikan perdarahan. Dengan menempelkan kapas pada tubuh yang terluka dan berdarah, maka pendarahan yang berlebihan bisa segera dicegah dengan baik.

* Kimia dan Kecantikan

Ia juga dikenal sebagai seorang ahli kimia dan mempersembahkan sebuah bab tentang ilmu kimia pada volume ke-19 Kitab al-Tasrif untuk tata rias. Dia juga menemukan obat kosmetik termasuk deodoran, alat pencabut bulu, losion tangan, pewarna rambut untuk mengubah rambut menjadi berwarna pirang atau hitam, obat untuk perawatan rambut untuk memperbaiki struktur rambut, obat untuk mengeriting rambut.

Dalam bab tersebut, dia juga menggambarkan bahan-bahan yang memiliki manfaat banyak sebagai obat. Misalnya, untuk menghilangkan bau mulut yang dihasilkan karena makan bawang putih atau bawang merah. Ia menyarankan mengkonsumsi kayu manis, pala, kapulaga dan mengunyah daun ketumbar.

Kosmetika lainnya yang ditemukan Abu al Qasim antara lain; lipstik yang wangi yang diletakkan dalam cetakan khusus, minyak mineral yang digunakan untuk tujuan pengobatan maupun tujuan estetika dan kecantikan. Dia juga menggambarkan perawatan dan kecantikan baik rambut, kulit, gigi dan bagian lain dari tubuh, yang dianjurkan dalam hadis.

* Kosmetik gigi
Dalam kedokteran gigi, kosmetika juga diperlukan. Dia menjelaskan metode untuk memperkuat gusi serta metode untuk pemutihan gigi dengan menggunakan pemutih gigi. Sehingga gigi tampak rapi, bersih dan putih, sehingga si pemilik gigi akan tampak lebih cantik atau tampan kala tersenyum.

Al-Zahrawi pun menemukan beberapa perangkat yang digunakan selama operasi, antara lain untuk tujuan pemeriksaan bagian dalam uretra, menerapkan dan memindahkan benda asing dari tenggorokan, juga pemeriksaan telinga. dya

Ibnu al-Banna, Matematikus Legendaris dari Maroko

Ibnu al-Banna, Matematikus Legendaris dari Maroko

By Republika Newsroom
Rabu, 23 September 2009 pukul 07:48:00

Ibnu al-Banna, Matematikus Legendaris dari Maroko

Ibnu al-Banna al-Marrakushi dikenal sebagai matematikus Muslim legendaris dari Maroko pada abad ke-13 M. Kontribusinya bagi pengembangan matematika sungguh sangat tak ternilai.

Lewat kitab yang ditulisnya bertajuk Talkhis Amal al-Hisab (Ringkasan dari Operasi Aritmatika) dan Raf al-Hijab, ia memperkenalkan beberapa notasi matematika yang membuat para para sejarawan sains dan ilmuwan percaya bahwa simbolisme Aljabar pertama kali dikembangkan peradaban Islam.

Menurut sejumlah catatan sejarah, al-Banna dan al-Qalasadi merupakan penemu notasi matematika. Dedikasinya dalam mengembangkan matematika telah diakui dunia. Untuk mengenang jasa-jasanya bagi kemajuan matematika, para ilmuwan dunia mengabadikan namanya di salah satu kawah bulan yang diberi nama al-Marrakushi.

Al-Banna pun menjadi satu dari 24 ilmuwan Muslim legendaris yang namanya diabadikan di kawah bulan. Matematikus Muslim kesohor itu bernama lengkap Abu'l-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Utsman al-Azdi. Dalam catatan sejarah, tidak ada keterangan dengan jelas apakah al-Banna lahir di kota Marrakesh atau di wilayah yang diberi nama Marrakesh, Maroko oleh bangsa Eropa.

Ada pula yang menyebut al-Banna terlahir di Granada di Spanyol dan kemudian hijrah ke Afrika Utara untuk mendapatkan pendidikan dan pengalaman hidup. Yang pasti, menurut sejarawan matematika JJ O'Connor dan EF Robertson, al-Banna menghabiskan sebagian besar hidupnya di Maroko.

Al-Banna lahir pada Desember 1256. Saat itu, Suku Banu Marin di Maroko merupakan sekutu Kekhalifahan Umayyah di Cordoba, Spanyol. Suku tersebut kemudian tinggal di bagian timur Maroko di bawah kepemimpinan Abu Yahya. Mereka mulai menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya. Suku Banu Marin menaklukan Fez pada 1248 dan menjadikan wilayah tersebut sebagai ibu kota.

Kemudian mereka menaklukan Marrakesh dari kekuasaan suku Muwahhidun yang berkuasa pada 1269. Dengan demikian Suku Banu Marin mengambil alih kekuasaan di seluruh Maroko. Setelah mereka berhasil menaklukkan Maroko, Banu Marin mencoba membantu Granada untuk mencegah kemajuan peradaban Kristen.

Hubungan erat antara Granada dan Maroko itulah yang membuat para sejarawan kesulitan untuk menjelaskan dan mengetahui secara pasti asal al-Banna. Menurut O'Connor dan Robertson, al-Banna menyelesaikan studinya di Maroko. Matematika adalah bidang studi yang disukainya.

Saat itu, matematika merupakan ilmu favorit. Al-Banna sangat cinta dengan geometri serta memiliki ketertarikan untuk mempelajari Elemen Euclid. Ia juga mempelajari angka-angka pecahan dan belajar banyak dari orang-orang Arab yang telah menciptakan matematika s400 tahun sebelumnya. Menurut O'Connor, suku Banu Marin memiliki budaya yang kuat untuk belajar serta mencari ilmu pengetahuan.

Banu Marin juga menjadikan Kota Fez sebagai pusat studi dan kebudayaan Islam. Di Universitas Fez, al-Banna mengajarkan semua cabang ilmu matematika termasuk diantaranya; aritmatika, Aljabar, geometri dan astronomi. Fez merupakan kota yang berkembang dengan pesat. Di kota itu berdiri dengan megah istana kesultanan, madrasah, universitas, serta, masjid yang megah.

Selama mengajar di universitas di kota Fez, al-Banna mengembangkan komunitas akademis. Ia memiliki begitu banyak murid. Hal ini menunjukkan pengaruh al-Banna yang sangat kuat di mata muridnya. Komunitas akademis itu melakukan studi dan diskusi dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, khususnya matematika.

Al-Banna merupakan penulis yang sangat produktif. Dia telah melahirkan sejumlah karya besar dan legendaris. Tak kurang terdapat 82 karya al Banna yang didaftar oleh Renaud. Namun tidak semua karya al Banna berupa tulisan tentang ilmu matematika, meskipun kebanyakan karyanya adalah matematika.

Dia menulis buku berisi pengantar Elemen Euclid. Selain itu, menulis sebuah teks tentang Aljabar, dan menulis berbagai karya tentang astronomi. Para sejarawan sains mengaku kesulitan untuk mengetahui secara pasti jumlah karya asli al-Banna. Pasalnya, dia juga banyak menyadur buku karya matematikus Islam terdahulu. Kini, sebagian karya al-Banna telah hilang.

Dalam membuat karyanya, al-Banna memang mendapatkan banyak pengaruh dari para ahli matematika Arab sebelumnya. Al-Banna merupakan orang pertama yang mempertimbangkan pecahan sebagai perbandingan antara dua angka dan dia adalah orang pertama yang menggunakan ekspresi almanak, dalam sebuah karya yang berisi data astronomi dan meteorologi.

Karya al-Banna yang paling terkenal adalah Talkhis Amal al-Hisab (Ringkasan dari Operasi Rritmatika) dan Raf al-Hijab. Kedua buku itu berisi komentar-komentar al-Banna terhadap karyanya Talkhis amal al-Hisab. Dalam karyanya itu, al-Banna memperkenalkan beberapa notasi matematika yang membuat para ilmuwan percaya bahwa simbolisme aljabar pertama kali dikembangkan matematikus Islam yakni al-Banna dan al-Qalasadi.

Dalam buku Raf al-Hijab, al-Banna menjelaskan berbagai macam pecahan matematika dan mereka terus digunakan untuk menghitung perkiraan dari nilai akar kuadrat. Hasil menarik lainnya terdapat pada seri menjumlahkan hasil. Berikut contoh rumus matematika yang dikembangkan al-Banna.

13 + 33 + 53 + ... + (2n-1)3 = n2(2n2 - 1) dan
12 + 32 + 52 + ... + (2n-1)2 = (2n + 1)2n(2n - 1)/6.

Mungkin yang paling menarik dari karya al Banna adalah bekerjanya koefisien binomial yang dijelaskan secara rinci dalam bukunya tersebut. Al -Banna menunjukkan bahwa:

pC2 = p(p-1)/2
lalu
pC3 = pC2(p-2)/3.
Memang hal itu sulit dijelaskan tetapi akhirnya al-Banna menerangkan bahwa:
pCk = pCk-1(p - (k - 1) )/k.
sehingga hasilnya
pCk = p(p - 1)(p - 2)...(p - k + 1)/(k !)

Sebenarnya karya al Banna merupakan langkah kecil dari hasil segitiga Pascal yang tiga abad sebelumnya dijelaskan al-Karaji. Meski begitu, ada sesuatu yang lebih fundamental dari pada segitiga Pascal, hasil itu justru merupakan kombinatorial eksposisi al-Banna, bersama-sama membentuk hubungan antara angka dan kombinasi poligonal.

Adikarya Sang Legendaris


Sebelum menjadi matematikus hebat, al-Banna lebih banyak belajar ilmu-ilmu tradisional seperti, bahasa Arab, Tata Bahasa (nahwu dan sharf), hadis, fikih, tafsir Alquran di kampung halamannya. Setelah itu, ia diperkenalkan dengan matematika dan ilmu kedokteran oleh guru-guru pembimbingnya.

Al-Banna diketahui pernah dekat dengan Saint Aghmat, Abu Zayd Abdur Rahman al-Hazmiri yang kemudian dikenal sebagai orang yang selalu mengarahkan dan memanfaatkan pengetahuan matematika Ibnu al-Banna untuk tujuan yang bersifat ramalan.

Al-Banna juga menjadi salah seorang yang mampu menguraikan atau menjabarkan prinsip-prinsip perhitungan dari bentuk-bentuk ghubar (hisab ghubar adalah suatu metode perhitungan yang berasal dari Persia).

Dia juga menjadi seorang figur yang sangat legendaris dan dikenal sebagai saintis yang ajaib. Betapa tidak. Kecerdasan dan kemampuannya sangat luar biasa dan mampu melebihi manusia pada umumnya. Hal ini dia lakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan ilmiahnya. Meskipun demikian, para biografer memuji kerendahan hatinya dan kesalehannya sebagai hamba Allah SWT.

Dia mempunyai sifat dan tingkah laku yang sangat baik dan santun. Karya-karya al-Banna sebenarnya lebih dari 80 judul dengan berbagai macam variasi ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Karya-karyanya itu meliputi ilmu tata bahasa (nahwu), bahasa retorika, fikih, ushulluddin (perbandingan agama), tafsir Alquran, logika, pembagian warisan (al-farai’d), ramalan, astronomi, meteorologi dan matematika, juga termasuk sebuah resume karya Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulumuddin”.

Namun hanya sebagian karyanya yang dapat bertahan sampai sekarang ini. Di antara karya-karyanya tersebut antara lain; Talkhis fi Amal al-Hisab, Risalah fi Ilm al-Masaha, al-Maqalat fi al-Hisab,Tanbih al-Albab, Mukhtashar Kafi li al-Mutallib, Kitab al-Ushul al-Muqaddamat fi al-Jabr wa al-Muqabala, Kitab Minhaj li Ta’dil al-Kawakib, Qanun li Tarhil asy-Syams wa al-Qamar fi al-Manazil wa ma Kifat Auqat al-Lain wa al-Nahar, Kitan al-Yasar Taqwim al-Kawakib as-Sayyara, Madkhal an-Nujum wa Taba’i al-Huruf, Kitab fi Ahkam al-Nujum, juga Kitab al-Manakh.

Dari sekian banyak karyanya, yang paling penting adalah Talkhis fi Amal al-Hisab, yang menjadi perhatian para ilmuwan. Karyanya itu juga telah diterjemahkan oleh A Marre, dan diterbitkan secara terpisah, di Roma pada 1865. Sebagai seorang ilmuwan yang hebat, al-Banna pernah mendapat penghargaan yang tinggi dari Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun berharap agar karya-karya al-Banna dapat dikembangkan para ilmuwan sepeninggalnya. dya/taq