Kamis, 31 Desember 2009

Mengenai Masalah Perdagangan Bebas Karl Marx (1848)

Pidato umum yang diucapkan oleh Karl Marx di depan Asosiasi Demokratik kota Brussel, 9 Januari 1848
HTML by: Edi Cahyono, 2002

Tuan-tuan,
Pencabutan Undang-undang Gandum di Inggris merupakan kemenangan terbesar dari perdagangan bebas di abad ke sembilan-belas. Di setiap negeri di mana kaum manufaktur berbicara tentang perdagangan bebas, yang terutama ada dalam pikiran mereka ialah perdagangan bebas gandum dan bahan-bahan mentah pada umumnya. Mengenakan bea-bea masuk yang bersifat protektif atas gandum asing adalah sangat tak-terpuji, itu berarti berspekulasi atas kelaparan rakyat banyak.
Makanan murah, upah-upah yang tinggi, inilah tujuan tunggal yang untuknya para pedagang-bebas Inggris telah menghabiskan berjuta-juta, dan antusiasme mereka sudah menyebar pada saudara-saudara mereka di wilayah Kontinen. Berbicara secara umum, mereka yang berpihak pada perdagangan bebas menghasratkan itu untuk meningkatkan kondisi klas pekerja.
Namun, sungguh aneh, rakyat banyak yang dengan segala cara diusahakan mendapatkan makanan murah adalah sangat tidak berterima-kasih. Makanan murah sama dipandang hina di Inggris seperti halnya pemerintah murah di Perancis. Rakyat melihat pada tuan-tuan yang mengorbankan-diri ini, pada Bowring, Bright & Co., musuh-musuh mereka yang terburuk dan kaum munafik yang paling tidak tahu malu.
Setiap orang mengetahui bahwa di Inggris pergulatan antara kaum Liberal dan kaum Demokrat berlangsung atas nama perjuangan antara kaum Pedagang-bebas dan kaum Chartis.
Mari kita melihat bagaimana para pedagang-bebas Inggris telah membuktikan pada rakyat semua niat baik yang mendorong mereka.
Inilah yang mereka katakan pada kaum buruh pabrik:
"Bea masuk yang dikenakan atas gandum adalah suatu pajak atas upah-upah; pajak ini anda bayarkan pada para tuan-tanah, kaum aristokrat zaman pertengahan itu; jika posisi anda adalah posisi yang sangat terpuruk, itu disebabkan oleh mahalnya kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang paling langsung."
Kaum buruh, pada gilirannya, bertanya pada kaum manufaktur itu:
"Bagaimana terjadinya, bahwa dalam proses tiga-puluh tahun terakhir, selagi industri kita mengalami perkembangan terbesar, upah-upah kami telah jatuh jauh lebih cepat, dalam proporsinya, ketimbang harga gandum yang naik itu?
"Pajak yang menurut kalian kami bayarkan pada kaum tuan-tanah adalah kurang-lebih tiga pence seminggu per pekerja. Namun begitu upah-upah kaum perajut tangan telah jatuh, antara 1815 dan 1843, dari 28 shilling per minggu menjadi 5 shilling, dan upah-upah para perajut dengan alat mesin, antara l1823 dan 1843, telah jatuh dari 20 shilling seminggu menjadi 8 shilling.
"Dalam selama seluruh periode ini, porsi pajak yang kami bayar pada tuan-tanah tidak pernah melampaui tiga pence. Dan, kemudian, di tahun 1843, ketika roti sangat murah harganya dan bisnis berjalan dengan sangat baiknya, apakah yang kalian katakan pada kami? Kalian mengatakan, Jika kalian tidak mujur, itu adalah karena kalian mempunyai terlalu banyak anak, dan perkawinan-perkawinan kalian adalah lebih produktif daripada kerja kalian!
"Inilah kata-kata kalian yang diucapkan pada kami, dan kalian mulai membuat Undang-undang Kemiskinan baru, dan membangun pabrik-pabrik, (benteng-benteng) Bastille kaum proletariat itu."
Menjawab ini kaum manufaktur mengatakan:
"Kalian benar, kaum pekerja yang terhormat; tidak hanya harga gandum saja, tetapi persaingan di antara para pekerja sendiri juga, yang menentukan upah-upah.
Tetapi renungkanlah satu hal, yaitu, bahwa tanah kita terdiri hanya atas batu karang dan medan-medan pasir. Tentunya kalian tidak membayangkan bahwa gandum dapat tumbuh dalam pot-pot kembang. Maka itu, jika gantinya memesta-riakan modal kita dan kerja kita atas tanah yang sepenuhnya steril, kita harus melepaskan agrikultur, dan mengabdikan diri kita secara khusus pada industri, maka seluruh Eropa akan meninggalkan pabrik-pabriknya, dan Inggris akan membentuk suatu kota pabrik raksasa, dengan seluruh sisa Eropa sebagai pedesaannya."
Sementara secara demikian itu mengusik para pekerjanya sendiri, sang manufaktur diinterogasi oleh sang pedagang kecil, yang berkata:
"Jika kita mencabut Undang-undang Gandum, kita memang akan menghancurkan agrikultur; tetapi walaupun begitu, kita tidak akan memaksa bangsa-bangsa lain agar mereka melepaskan pabrik-pabrik mereka sendiri dan membeli dari pabrik-pabrik kita.
Apakah dan bagaimanakah akan konsekuensinya? Saya akan kehilangan pelanggan-pelanggan yang kupunyai sekarang di pedesaan, dan perdagangan rumahan akan kehilangan pasarnya."
Si Manufaktur, sambil membalikkan badan dan membelakangi kaum pekerja, menjawab sang pemilik toko:
"Oh, mengenai hal itu, serahkan saja hal itu pada kami! Begitu bea masuk atas gandum itu hapus, kita akan mengimpor gandum yang lebih murah dari luar negeri. Kemudian akan kita turunkan upah-upah pada saat bertepatan upah-upah itu naik di negeri-negeri dari mana kita mendapatkan gandum kita.
"Dengan demikian, sabagai tambahan keuntungan yang sudah kita nikmati, kita juga akan mendapatkannya dari upah-upah yang lebih rendah dan, dengan semua keuntungan ini, kita akan dengan mudah memaksa Daratan (Eropa) untuk membeli dari kita."
Tetapi kini para pengusaha pertanian dan kaum pekerja agrikultur bergabung di dalam diskusi itu.
"Dan, mohon diterangkan, apakah yang akan jadinya kita-kita ini?
"Akankah kita menjatuhkan suatu hukuman mati pada agrikultur, dari mana kita mendapat nafkah kita? Mestikah kita memperkenankan tanah direnggut dari bawah kaki kita?"
Sebagai keseluruhan jawabannya, Lembaga Undang-undang Anti-Gandum telah mencukupkan diri dengan menawarkan hadiah-hadiah bagi tiga essai terbaik mengenai pengaruh sehat pencabutan Undang-undang Gandum itu atas agrikultur Inggris.
Hadiah-hadiah ini telah digondol oleh Tuan-tuan Hope, Morse dan Greg, yang esai-essainya didistribusikan dalam jumlah ribuan copy di seluruh pedesaan.
Yang pertama dari para pemenang hadiah itu mencurahkan dirinya pada pembuktian bahwa petani pesewa tanah maupun pekerja agrikultur tidak akan kehilangan apa-apa dengan pengimporan gandum luar negeri secara bebas, dan bahwa yang rugi itu hanyalah si tuan-tanah. "Petani pesewa-tanah Inggris," demikian ia berkata,
"tidak perlu takut pada pencabutan Undang-undang Gandum, karena tidak ada negeri lain yang dapat mrmproduksi gandum yang sebagus dan semurah Inggris.
"Demikianlah, bahkan apabila harga gandum jatuh, itu tidak akan merugikan anda, karena kejauhan harga ini hanya akan mempengaruhi sewa, yang akan turun, dan sama sekali bukanlah laba industrial dan upah-upah, yang akan tetap tidak berubah."
Pemenang-hadiah kedua, tuan Morse, sebaliknya mempertahankan, bahwa harga gandum akan naik sebagai akibat dari pencabutan Undang-undang Gandum itu. Ia berusaha dengan susah-payah untuk membuktikan bahwa bea-bea masuk yang bersifat protektif tidak pernah mampu menjamin suatu harga yang menguntungkan bagi gandum.
Dan menunjang pernyataannya ia mengutip kenyataan bahwa, pabila gandum asing telah diimpor, harga gandum di Inggris naik secara sangat berarti, dan apabila cuma sedikit gandum yang diimpor, maka harga gandum sangat jatuh. Sang pemenang hadiah ini lupa bahwa pengimporan bukanlah sebab dari harga yang tinggi itu, tetapi bahwa harga yang tinggi itulah sebab dari pengimporan.
Dan dalam pertentangan langsung dengan sesama pemenang-hadiah itu, ia menyatakan bahwa setiap kenaikan harga gandum adalah menguntungkan bagi petani pesewa tanah maupun pekerja pertanian, tetapi tidak menguntungkan bagi tuan-tanah.
Pemenang-hadiah yang ketiga, Tuan Greg, yang adalah seorang manufaktur besar dan yang pekerjaannya tertuju pada petani-petani pesewa tanah besar, tidak tahan terhadap ketololan-ketololan seperti itu. Bahasanya lebih ilmiah.
Ia mengakui bahwa Undang-undang Gandum dapat menaikkan sewa hanya dengan menaikkan harga gandum, dan bahwa mereka dapat menaikkan harga gandum hanyalah dengan memaksa penerapan modal pada tanah yang kualitasnya rendah, dan ini dapat dijelaskan dengan sederhana sekali.
Dalam proporsi pertambahan penduduk, jika gandum luar negeri tidak dapat diimpor, maka tanah yang kurang subur mesti dipakai, yang pembudi-dayaannya menyangkut biaya lebih besar dan produk tanah ini karenanya menjadi lebih mahal.
Karena terdapat penjualan gandum secara paksa, maka harganya dengan sendirinya akan ditentukan oleh harga produk dari tanah yang paling mahal. Beda antara harga ini dan biaya produksi di tanah yang berkualitas lebih baik membentuk sewa itu.
Jika, oleh karenanya, sebagai hasil pencabutan Undang-undang Gandum, harga gandum dan sebagai konsekuensinya sewa itu jatuh, itu adalah karena tanah yang kualitasnya rendah tidak akan dibudi-dayakan lagi. Demikianlah, reduksi sewa mau-tidak-mau mesti menghancurkan sebagian kaum petani pesewa tanah.
Catatan-catatan ini diperlukan agar supaya menjadikan bahasa tuan Greg itu dapat dimengerti.
"Para pengusaha pertanian kecil," demikian tuan Greg berkata,
"yang tidak dapat menghidupi diri dengan agrikultur akan mendapatkan suatu sumber dari industri. Sedang bagi para pengusaha pertanian pesewa tanah, mereka itu tidak akan gagal mendapatkan laba. Sebab, para tuan-tanah akan terpaksa menjual tanah kepada mereka dengan harga sangat murah, atau menyewakannya pada mereka untuk jangka-waktu sangat panjang. Ini akan memungkinan para petani pesewa tanah itu menanamkan jumlah-jumlah besar modal atas tanah itu, untuk menggunakan mesin-mesin pertanian dalam skala lebih besar, dan menghemat kerja manual yang akan, lagi pula, menjadi lebih murah, disebabkan oleh kejatuhan umum dari upah-upah, yaitu akibat langsung dari pencabutan Undang-undang Gandum itu."
Dr. Bowring memberkati semua argumentasi ini dengan persucian agama, dengan berseru pada suatu rapat umum, "Jesus Kristus adalah Perdagangan Bebas, dan Perdagangan Bebas adalah Jesus Kristus."
Orang dapat mengerti bahwa semua kemunafikan ini tidak diperhitungkan untuk menjadikan roti murah menarik bagi kaum buruh.
Kecuali itu, bagaimana kaum pekerja dapat memahami filantropi tiba-tiba dari kaum manufaktur itu, orang-orang yang justru masih sibuk bertempur melawan Undang-undang Sepuluh Jam Kerja, yang adalah untuk mengurangi hari kerja kaum pekerja pabrik dari duabelas jam menjadi sepuluh jam?
Sebagai gambaran akan ide filantropi kaum manufaktur ini, tuan-tuan, saya ingin mengingatkan kalian, pada peraturan-peraturan pabrik yang berlaku di semua pabrik (penggilingan).
Setiap pengusaha manufaktur bagi kepentingannya sendiri menggunakan suatu kode pidana tertentu di mana denda-denda ditetapkan untuk setiap pelanggaran dengan sengaja atau yang tidak di sengaja. Misalnya, pekerja membayar sekian jika ia terkena sial dan duduk di atas sebuah kursi; jika ia berbisik, atau berbicara, atau ketawa; jika ia tiba di pabrik beberapa menit terlambat; jika suatu bagian dari mesin rusak, atau jika ia tidak menghasilkan pekerjaan dari kualitas yang diminta, dsb., dsb. Denda-denda itu selalu lebih besar daripada kerusakan yang sesunggunya dibuat oleh pekerja itu. Dan untuk memberikan setiap kesempatan pada pekerja itu untuk dikenai denda, jam pabrik disetel lebih dini, dan pada pekerja diberikan bahan mentah yang buruk untuk diolah menjadi barang-barang jadi yang baik. Seorang mandor bisa dipecat karena tidak cukup trampil dalam memperbanyak kasus-kasus pelanggaran peraturan.
Anda lihatlah, tuan-tuan, perundang-undangan swasta ini diberlakukan dengan tujuan istimewa untuk menciptakan pelanggaran-pelanggaran seperti itu, dan pelanggaran-pelanggaran itu dibuat dengan maksud menciptakan uang. Demikianlah kaum manufaktur itu menggunakan segala cara untuk mengurangi upah nominal, dan bahkan menarik keuntungan dari kecelakaan-kecelakaan yang berada di luar kendali kaum buruh.
Para pengusaha manufaktur ini adalah para filantropis; yang telah berusaha membuat kaum buruh percaya bahwa mereka mampu mengikhtiarkan segalanya demi untuk meningkatkan nasib mereka. Demikian, di satu pihak, mereka menggerogoti upah-upah kaum buruh dengan cara-cara yang licik, dengan mengadali peraturan-peraturan pabrik dan, di lain pihak, mereka melakukan pengorbanan-pengorbanan besar untuk menaikkan upah-upah itu dengan jalan Lembaga Anti Undang-undang Gandum.
Mereka membangun istana-istana besar dengan mengeluarkan biaya-biaya luar-biasa besarnya, dan Lembaga itu dengan cara-cara tertentu menjadikan istana-istana itu tempat huniannya; mereka mengirimkan sepasukan misionaris ke segala penjuru Inggris untuk mengkhotbahkan perdagangan bebas; mereka telah mencetak dan menyebarkan secara Cuma-Cuma ribuan pamflet untuk mencerahkan kaum buruh akan kepentingan-kepentingannya sendiri, mereka menghabiskan jumlah-jumlah dana luar-biasa besarnya untuk membikin pers menguntungkan kepentingan mereka; mereka mengorganisasi sebuah sistem yang luar-biasa luasnya untuk melaksanakan gerakan perdagangan bebas itu, dan mereka memperagakan seluruh kekayaan kefasihan mereka di rapat-rapat umum. Adalah pada salah satu rapat-rapat itu seorang pekerja meneriakkan:
"Andaikata para tuan-tanah menjual tulang-tulang kami, adalah kalian: kaum pengusaha manufaktur akan yang paling pertama menjadi pembelinya untuk memasukkannya dalam penggilingan-uap dan menjadikan tulang-tulang itu tepung."
Kaum buruh telah sangat memahami arti-penting perjuangan antara para tuang-tanah dan kaum kapitalis industrial. Mereka sangat mengetahui bahwa harga roti mesti diturunkan agar upah-upah diturunkan, dan bahwa laba industrial akan naik setaraf dengan jatuhnya sewa.
Ricardo, murid para pedagang-bebas Inggris, ahli ekonomi paling terkemuka negeri kita, sepenuhnya setuju dengan kaum buruh dalam satu hal ini. Dalam bukunya yang termashur mengenai ekonomi politik, ia mengatakan:
"Apabila sebagai gantinya kita menanam gandum kita sendiri…… kita menemukan suatu pasaran baru dari mana kita dapat mensuplai diri kita…. dengan harga yang lebih murah, maka upah-upah akan turun dan laba akan naik. Jatuhnya harga produksi agrikultur menurunkan upah-upah, tidak saja dari buruh yang dipekerjakan dalam pembudi-dayaan tanah, tetapi juga dari semua yang dipekerjakan dalam perdagangan atau manufaktur."
Dan janganlah percaya, tuan-tuan, bahwa adalah soal ketak-acuhan kaum buruh apakah ia hanya menerima empat franc karena harga gandum lebih murah, sedangkan sebelumnya ia menerima lima franc.
Tidakkah upah-upah telah selalu jatuh jika dibandingkan dengan laba, dan tidakkah jelas bahwa kedudukan sosialnya telah menjadi semakin buruk jika dibandingkan dengan kedudukan si kapitalis? Dan kecuali itu, ia sesungguhnya kehilangan jauh lebih banyak lagi.
Selama harga gandum lebih tinggi dan upah-upah juga lebih tinggi, suatu penghematan dalam konsumsi roti cukuplah untuk memberikan padanya kesenangan-kesenangan lainnya. Tetapi seketika roti itu sangat murah, dan upah-upah karenanya sangat murah, ia nyaris bisa tidak menghemat apapun atas roti ini untuk membeli barang-barang lain.
Kaum buruh Inggris telah membuat kaum pedagang-bebas Inggris menyadari bahwa mereka bukan korban dari ilusi-ilusi atau kebohongan-kebohongan mereka; dan apabila, sekalipun demikian, kaum buruh berjuang bersama mereka terhadap kaum tuan-tanah, itu adalah dengan maksud menghancurkan sisa-sisa terakhir feodalisme dan agar tersisa satu musuh saja untuk dihadapi. Kaum buruh tidak salah-perhitungan, karena kaum tuan-tanah, demi membalas-dendam terhadap para pengusaha manufaktur itu, telah berjuang bersama dengan kaum buruh untuk menggoalkan Undang-undang Sepuluh (Jam Kerja), yang oleh yang tersebut belakangan ini telah gagal dituntut selama tigapuluh tahun, dan yang disahkan seketika sesudah pencabutan Undang-undang Gandum.
Ketika Dr. Bowring pada Kongres Para Ahli Ekonomi, mengeluarkan sebuah daftar panjang dari sakunya untuk menunjukkan betapa banyak ternak, berapa banyak ham, daging, unggas dsb. telah diimpor oleh Inggris, untuk dikonsumsi-sebagaimana ia tegaskan-oleh kaum buruh, sungguh malang sekali ia lupa mengatakan bahwa pada waktu itu kaum buruh Manchester dan kota-kota industri lainnya sedang mendapatkan diri mereka terlempar ke atas jalanan-jalanan oleh krisis yang sedang mulai.
Sebagai hal azasi dalam ekonomi politik, angka-angka satu tahun saja tidak pernah dipakai sebagai dasar untuk merumuskan hukum-hukum umum. Orang mesti senantiasa mengambil kurun-waktu rata-rata dari enam hingga tujuh tahun-suatu kurun waktu yang dilalui industri modern untuk berbagai tahapan kemakmuran, kelebihan-produksi, stagnasi, krisis, dan lengkap menjalani daurnya yang tidak dapat dihindari.
Jelaslah, apabila harga dari semua barang-dagangan jatuh-dan ini adalah akibat yang tidak terhindari dari perdagangan bebas-saya dapat membeli jauh lebih banyak untuk satu franc daripada sebelumnya. Dan uang franc-nya seorang buruh adalah sama baiknya seperti orang lain yang manapun. Karenanya, perdagangan bebas akan sangat menguntungkan bagi pekerja itu. Dalam hal ini hanya ada suatu perbedaan kecil, yaitu, bahwa si pekerja, sebelum menukarkan uang franc-nya dengan barang-barang dagangan lainnya, ia lebih dulu menukarkan kerjanya dengan si kapitalis. Jika dalam pertukaran ini ia selalu menerima franc tersebut untuk kerja yang sama dan harga dari semua barang-dagangan jatuh, maka ia selalu menjadi yang diuntungkan oleh pertukaran seperti itu. Kesulitannya tidaklah terletak pada pembuktian bahwa, jika harga dari semua barang-dagangan jatuh, akan didapatkan lebih banyak barang-dagangan untuk (jumlah) uang yang sama itu.
Para ahli ekonomi selalu berpegang pada harga kerja pada saat itu dipertukarkan dengan barang-barang dagangan lain. Mereka sama sekali mengabaikan saat di mana kerja melaksanakan pertukarannya sendiri dengan modal.
Manakala lebih sedikit pengeluaran (pembiayaan) diperlukan untuk menggerakkan mesin yang memproduksi barang-barang dagangan, maka hal-hal yang diperlukan bagi pemeliharaan mesin ini, yang disebut buruh itu, akan juga lebih kecil ongkosnya. Jika semua barang-dagangan lebih murah, maka kerja, yang adalah juga barang-dagangan, akan jatuh pula harganya, dan, sebagaimana kemudian akan kita lihat, barang-dagangan ini, kerja, akan jatuh secara proporsional jauh lebih rendah daripada barang-barang dagangan lainnya. Jika si buruh masih memancangkan kepercayaannya pada argumen-argumen para ahli ekonomi, ia akan mendapatkan bahwa (uang) franc itu telah lumer dalam sakunya, dan bahwa yang tersisa cuma lima sous.
Mengenai hal itu para ahli ekonomi akan mengatakan:
"Baiklah, kami mengakui bahwa persaingan di antara kaum buruh, yang jelas tidak surut dengan adanya perdagangan bebas, akan segera menyerasikan upah-upah dengan rendahnya harga-harga barang-barang dagangan. Tetapi, di lain pihak, rendahnya harga-harga barang-barang dagangan akan meningkatkan konsumsi, dan semakin besarnya konsumsi akan memerlukan peningkatan produksi, yang akan disusul dengan lebih besarnya permintaan akan tenaga, dan lebih besarnya permintaan akan tenaga kerja akan disusul oleh suatu kenaikan upah-upah."
Seluruh jalannya argumentasi berarti yang berikut ini: Perdagangan bebas meningkatkan tenaga-tenaga produktif. Jika industri terus bertumbuh, jika kekayaan, jika kekuatan produktif, jika-singkatnya-modal produktif meningkat, permintaan akan tenaga kerja, harga tenaga kerja, dan sebagai konsekuensinya tingkat upah-upah, naik juga.
Kondisi paling menguntungkan bagi kaum buruh adalah pertumbuhan modal. Ini mesti diakui. Jika modal tetap saja (tidak bergerak/stasioner), maka industri tidak hanya tetap saja (tidak bergerak) tetapi akan merosot, dan dalam kasus ini si buruh akan yang pertama menjadi korban. Ia akan menghadapi dinding sebelum si kapitalis. Dan dalam hal modal terus bertumbuh, dalam keadaan-keadaan yang kita katakan yang terbaik bagi si buruh, apakah yang menjadi nasibnya? Ia akan tetap menubruk dinding itu juga. Pertumbuhan modal produktif berarti akumulasi dan konsentrasi modal. Sentralisasi modal melibatkan suatu pembagian kerja yang lebih besar dan penggunaan mesin secara lebih luas. Lebih besarnya pembagian kerja terutama menghancurkan ketrampilan si pekerja; dan dengan menggantikan pekerjaan trampil ini dengan pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh siapapun, maka akan ditingkatkanlah persaingan di antara kaum buruh.
Persaingan ini menjadi semakin sengit karena pembagian kerja memungkinkan seorang pekerja tunggal melakukan pekerjaan tiga orang. Mesin menghasilkan hal serupa dalam skala jauh lebih besar. Pertumbuhan modal produktif yang memaksa kaum kapitalis industri bekerja dengan alat-alat yang terus-menerus meningkat, menghancurkan para industrialis kecil dan menghempaskan mereka menjadi proletariat. Kemudian, jatuhnya tingkat bunga dalam proporsi berakumulasinya modal, para rentenir kecil yang tidak dapat lagi hidup dari dividen-dividen mereka, terpaksa memasuki industri dan dengan demikian membengkakkan jumlah kaum proletar.
Demikianlah dengan bertumbuhnya modal produktif, persaingan di antara kaum buruh bertumbuh dalam proporsi yang jauh lebih besar. Anugrah kerja berkurang untuk semua pihak dan beban kerja meningkat bagi sementara pihak.
Pada tahun 1829 terdapat 1.088 pemintal kapas yang bekerja di 36 pabrik di Manchester. Pada tahun 1844 terdapat lebih dari 448 pabrik dan mereka mengerjakan 53.353 kumparan (buluh/gelondong) lebih banyak daripada yang dikerjakan 1.088 pemintal di tahun 1829. Jika pekerja manual telah meningkat dalam proporsi yang sama seperti tenaga produktif itu, maka jumlah pemintal mestinya telah mencapai angka 1.848 orang; kemajuan permesinan telah-oleh karenanya-merampas 1.100 pekerja dari pekerjaan.
Kita mengetahui sebelumnya jawaban para ahli ekonomi. Orang-orang yang dengan demikian terampas pekerjaan, demikian mereka berkata, akan mendapatkan jenis-jenis pekerjaan lainnya. Dr. Bowring mereproduksi argumen ini pada Kongres Para Ahli Ekonomi, tetapi ia juga mengemukakan penolakannya sendiri.
Pada tahun 1835 Dr. Bowring berpidato di Parlemen mengenai 50.000 penenun tangan kota London yang untuk waktu yang lama sekali menderita kelaparan karena tidak mendapatkan pekerjaan jenis baru yang diiming-imingkan para pedagang-bebas dari kejauhan.
Akan kita berikan di sini bagian-bagian pidato Dr. Bowring yang paling mencolok:
"Kecemasan para penenun ini ... adalah suatu kondisi yang tidak terelakkan dari jenis pekerjaan yang dapat dengan mudah dikuasai-dan terus-menerus diselangi dan digantikan oleh cara-cara produksi yang lebih murah. Suatu penghentian permintaan yang singkat, ketika persaingan akan pekerjaan itu begitu besarnya…. mengakibatkan suatu krisis. Para penenun tangan berada di pinggir keadaan di mana kehidupan manusia nyaris tidak dapat bertahan, dan suatu persoalan remeh-temeh saja menghempaskan mereka ke wilayah kelaparan ...
P"erbaikan-perbaikan permesinan,... dengan semakin digantikannya kerja manusia, tanpa bisa dicegah lagi membawa dengannya dalam peralihan itu banyak sekali penderitaan temporer.... Kebaikan nasional tidak dapat diperoleh kecuali dengan penyertaan keburukan individual. Tiada kemajuan pernah diciptakan di dalam manufaktur kecuali dengan biaya tertentu bagi mereka yang berada di urutan belakang; dan dari semua penemuan, mesin tenun adalah yang secara paling langsung membebani kondisi para penenun tangan. Ia sudah tergusur dari wilayah itu dalam banyak hal; ia secara tidak terelakkan akan dipaksa menyerah di banyak wilayah lainnya."
Lebih lanjut dikatakannya:
"Dalam tangan saya ada surat-menyurat yang berlangsung antara Gubernur Jendral India dan East-India Company, mengenai masalah para penenun tangan Dacca… Beberapa tahun berselang East -India Company per tahunnya menerima produk alat tenun India sebanyak 6 juta hingga 8 juta potong barang katun. Permintaan secara berangsur-angsur turun hingga 1 juta dan kini nyaris berhenti sama sekali. Pada tahun 1800, Amerika Serikat mengambil hyampir 800.000 potong katun dari India; dalam tahun 1830, tidak sampai 4.000. Dalanm tahun 1800, 1 juta potong dikapalkan ke Portugal; dalam tahun 1830, hanya 20.000. Sungguh mengerikan adalah laporan-laporan mengenai penderitaan para penenun miskin India, yang terpuruk hingga kelaparan total. Dan apakah yang menjadi sebabnya? Kehadiran manufaktur Inggris yang lebih murah… Jumlah besar dari mereka mati karena kelaparan, yang selebihnya, untuk sebagian besar, dipindahkan ke pekerjaan-pekerjaan lainnya, terutama ke agrikultural. Tidak berganti pekerjaan mereka berarti kelaparan yang pasti. Dan pada saat ini, ketika distrik Dacca disuplai dengan benang dan kain katun dari mesin-mesin tenun Inggris…. Kain muslin Dacca, yang termashur di seluruh dunia karena keindahan dan kehalusannya, juga dihancurkan karena sebab serupa. Dan penderitaan sekarang, bagi banyak klas di India, nyaris tidak terbandingi dalam sejarah perdagangan."
Pidato Dr. Bowring semakin besar artinya karena fakta yang disebutkannya itu adalah sangat eksak, dan kalimat-kalimat yang dipakainya untuk melunakkan (fakta itu) sepenuhnya dikarakterisasi oleh kemunafikan yang bersifat umum pada semua kutbah perdagangan bebas. Ia mengemukakan kaum buruh sebagai alat produksi yang mesti digantikan oleh alat-alat produksi yang lebih murah. Ia berlagak melihat dalam kerja yang dibicarakan itu suatu jenis kerja yang sepenuhnya merupakan pengecualian, dan dalam mesin yang telah menggusur para penenun itu sebuah mesin yang sama luar-biasanya. Ia lupa bahwa tidak ada jenis kerja manual yang pada setiap saat dapat mengalami nasib yang sama dari para penenun tangan.
"Sesungguhnya, menjadi tujuan dan kecenderungan yang terus-menerus setiap perbaikan dalam permesinan untuk sama sekali menggantikan kerja manusia, atau untuk mengurangi ongkosnya dengan menggantikan kerja kaum laki-laki dengan kerja kaum perempuan dan anak-anak; atau dari para tukang terlatih dengan kerja pekerja biasa. Di kebanyakan pabrik katun tenaga air atau penganyam, pemintalan seluruhnya dikerjakan oleh kaum perempuan dari usia enambelas tahun ke atas. Akibat penggantian keledai biasa dengan keledai yang bergerak-sendiri adalah untuk melepaskan bagian besar pemintal laki-laki dan untuk mempertahankan remaja dan anak-anak."
Kata-kata dari pedagang-bebas yang paling bersemangat, Dr. Ure ini, adalah untuk melengkapi pengakuan-pengakuan Dr. Bowring. Dr. Bowring berbicara tentang kebatilan-kebatilan individual tertentu, dan, bersamaan dengan itu, mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan individual ini menghancurkan klas-klas secara menyeluruh; ia berbicara tentang penderitaan temporer selama periode peralihan, dan justru pada saat berbicara mengenai itui, ia tidak mengingkari bahwa kejahatan-kejahatan temporer ini bagi mayoritas berarti peralihan dari kehidupan pada kematian, dan bagi selebihnya orang berarti suatu peralihan dari keadaan yang lebih baik pada keadaan yang paling buruk. Jika ia menyatakan, selanjutnya, bahwa penderitaan kaum buruh ini tidak terpisahkan dari kemajuan industri, dan memang perlu bagi kemakmuran nasion, maka ia dengan seenaknya saja mengatakan bahwa kemakmuran klas borjuis mempersyaratkan penderitaan klas pekerja.
Segala hiburan yang ditawarkan Dr. Bowring pada kaum buruh yang mendapat celaka, dan sesungguhnyalah, seluruh doktrin mengenai kompensasi yang dikemukakan oleh para pedagang-bebas, adalah sebagai berikut:
Kalian, beribu-ribu kaum buruh yang sedang mendapat celaka, janganlah berputus-asa! Kalian dapat meninggal dengan hati-nurani yang bersih. Klas kalian tidak akan mendapat celaka. Ia akan selalu berjumlah cukup banyak bagi klas kapitalis untuk mencincang-cincangnya tanpa kemungkinan membasminya sampai habis. Kecuali itu, bagaimana modal dapat diterapkan secara menghasilkan jika ia tidak selalu menjaga pemeliharaan bahan yang dapat dieksploitasinya itu, yaitu kaum buruh, untuk mengeksploitasinya berulang kali?
Tetapi, kecuali itu, mengapa mengedepankan sebagai masalah yang masih harus dipecahkan: Pengaruh apakah yang dihadapi penerimaan perdagangan bebas itu atas kondisi kelas pekerja? Semua undang-undang yang dirumuskan oleh para ahli ekonomi politik dari Quesnay hingga Ricardo telah didasarkan atas hipostesis bahwa belenggu-belenggu yang masih mengganggu kebebasan perdagangan telah menghilang. Undang-undang ini telah dikonfirmasi secara proporsional dengan penerimaan perdagangan bebas. Yang pertama dari undang-undang ini ialah bahwa persaingan menurunkan harga setiap barang-dagangan ke ongkos produksi minimum.Dengan demikian maka upah-upah minimum adalah harga wajar dari kerja. Dan apakah upah-upah minimum itu? Ialah sebesar yang diperlukan bagi produksi barang-barang yang tidak bisa tidak ada bagi pemeliharaan kaum buruh, demi menempatkannya dalam suatu posisi untuk mempertahankan dirinya sendiri, betapapun buruknya, dan untuk mengembang-biakkan dirinya, betapapun terbatasnya.
Tetapi jangan membayangkan bahwa pekerja itu hanya menerima upah minimum ini, dan lebih-lebih lagi, bahwa ia selalu menerimanya.
Tidak, menurut hukum ini, klas pekerja kadang-kadang akan lebih mujur. Ia kadang-kala akan menerima sedikit di atas minimum itu, tetapi surplus ini hanya sekedar menutup defisit yang diterimanya di bawah minimum itu pada masa kemacetan industrial. Ini berarti, bahwa selama suatu waktu tertentu yang berlangsung secara berkala, di dalam daur yang dilalui industri sambil mengalami perubahan-perubahan dalam kesejahteraan, kelebihan produksi, stagnasi dan krisis, dengan memperhitungkan segala yang telah didapatkan oleh kelas pekjerja di atas dan di bawah kebutuhan-kebutuhan, kita akan melihat bahwa, dalam keseluruhannya ia tidak akan menerima lebih atau kurang daripada yang minimum itu: yaitu, klas pekerja bertahan diri sebagai suatu klas setelah menderitakan berapa saja kesengsaraan dan kemalangan, dan setelah meninggalkan banyak mayat di atas medan perang industrial. Lalu apa? Klas itu masih tetap eksis; bahkan lebih dari itu: ia telah meningkat jumlahnya.
Tetapi ini belum semuanya. Kemajuan industri menciptakan keperluan-keperluan hidup yang lebih murah. Demikianlah minuman-minuman keras telah menggantikan bir, katun menggantikan wol dan lenan, dan kentang menggantikan roti.
Demikianlah, dengan terus menerus ditemukannya cara-cara untuk memelihara kerja dengan makanan yang lebih murah dan menyedihkan, minimumnya upah-upah terus menerus berkurang. Jika upah-upah ini dimulai dengan membuat manusia bekerja untuk hidup, itu berakhir dengan membuatnya menjalani kehidupan sebuah mesin. Keberadaannya tidak mempunyai nilai telah daripada nilai sebuah tenaga produksi yang sederhana, dan si kapitalis memperlakukannya bersesuaian dengan itu.
Hukum kerja barang-dagangan ini, hukum upah-upah minimum, akan terus diperkuat dalam proporsi sebagaimana perkiraan kaum ahli ekonomi, perdagangan bebas, menjadi suatu kenyataan aktual. Demikianlah, dari dua hal itu: atau kita mesti menolak semua ekonomi politik yang didasarkan atas asumsi perdagangan bebas, atau kita mesti mengakui bahwa di bawah perdagangan bebas ini, seluruh keparahan hukum-hukum ekonomi akan jatuh ke atas bahu kaum pekerja.
Sebagai kesimpulan, apakah perdagangan bebas itu di bawah kondisi-kondisi masyarakat sekarang? Ia adalah kebebasan modal. Manakala penghalang-penghalang nasional yang masih membatasi kemajuan modal itu telah ditumbangkan, maka itu cuma berarti telah diberikan kebebasan penuh untuk beraksi. Selama hubungan kerja upahan dan modal dibiarkan eksis, tidaklah penting mengenai betapa menguntungkan kondisi-kondisi pertukaran barang-barang dagangan berlangsung, selalu akan ada suatu klas yang akan mengeksploitasi dan suatu klas yang akan dieksploitasi. Sungguh sulit dimengerti klaim para pedagang-bebas yang membayangkan bahwa semakin menguntungkannya penerapan modal akan menghapuskan antagonisme di antara para kapitalis industrial dan buruh upahan. Sebaliknya, satu-satunya hasil ialah bahwa antagonisme dari kedua klas ini akan menonjol dengan semakin jelasnya.
Marilah kita untuk sesaat lamanya berasumsi bahwa tidak ada lagi Undang-undang Gandum atau bea-bea masuk lokal atau nasional; kenyataannya bahwa semua keadaan aksidental yang dewasa ini dipandang oleh kaum buruh sebagai penyebab keadaannya yang menyedihkan itu telah sepenuhnya lenyap, dan anda akan menyingkirkan begitu banyak tirai yang telah menyembunyikan musuh-sesungguhnya dari penglihatan anda.
Ia akan melihat bahwa menjadi bebasnya modal tidak akan lebih mengurangi kenyataan dirinya sebagai budak ketimbang dari modal yang diganggu habis oleh bea-bea masuk.
Tuan-tuan! Jangan biarkan diri kalian dikecohkan oleh kata abstrak kebebasan itu. Kebebasan siapa? Itu bukan kebebasan dari seorang individu dalam hubungannya dengan individu lainnya, tetapi adalah kebebasan modal untuk menggencet kaum buruh.
Buat apa menghasratkan diperkenankannya persaingan bebas dengan ide kebebasan ini, ketika kebebasan hanyalah produk dari suatu keadaan yang didasarkan pada persaingan bebas?
Kita telah menunjukkan jenis apakah yang telah diperoleh persaudaraan perdagangan bebas di antrara berbagai klas dari nasion yang satu dan sama itu. Persaudaraan yang akan ditegakkan oleh perdagangan bebas antara bangsa-bangsa di atas bumi ini akan nyaris lebih bersaudara. Menyebutkan eksploitasi kosmopolitan sebagai persaudaraan universal adalah suatu gagasan yang hanya mungkin dilahirkan dalam benak klas burjuasi. Semua gejala destruktif yang ditimbulkan oleh persaingan tanpa batas di suatu negeri telah direproduksi dalam proporsi-proporsi yang lebih meraksasa di pasar dunia. Kita tidak perlu membahas lebih lanjut mengenai sofisme perdagangan bebas perihal ini, yang nilainya cuma sederajat argumen-argumen para pemenang-hadiah kita: tuan-tuan Hope, Morse dan Greg.
Misalnya, kita diberitahu bahwa perdagangan bebas akan menciptakan suatu pembagian kerja internasional, dan dengan begitu memberikan produksi pada setiap negeri yang paling selaras dengan kelebihan-kelebihan alamnya
Mungkin kalian percaya, tuan-tuan, bahwa produksi kopi dan gula adalah takdir alami dari Hindia Barat.
Dua abad yang lalu, alam yang tidak merepotkan dirinya dengan perdagangan, tidak menanamkan tebu ataupun pohon-pohon kopi di sana.
Dan mungkin saja bahwa dalam waktu kurang dari setengah abad anda tidak akan menemui di sana kopi maupun gula, karena Hindia Timur, dengan cara produksi yang lebih murah, telah berhasil melawan yang dianggap takdir alami dari Hindia Barat. Dan Hindia Barat dengan kekayaan alamnya, sudah menrupakan suatu beban berat bagi Inggris seperti para penenum Dacca, yang juga ditakdirkan sejak awal zaman bertenun dengan tangan.
Satu hal yang jangan sampai dilupakan, yaitu, bahwa dengan menjadinya segala sesuatu suatu monopoli, dewasa ini terdapat juga beberapa cabang industri yang mendominasi semua industri lainnya, dan menjamin pada bangsa yang paling berhasil membudidayakannya, kekuasaan atas pasar dunia. Demikianlah dalam perdagangan internasional hanya kapas yang memiliki arti penting komersial yang jauh lebih besar daripada semua bahan mentah lainnya yang digunakan dalam manufaktur pakaian. Sungguh ganjil melihat para pedagang-bebas memberi penekanan pada beberapa pengistimewaan di setiap cabang industri, melemparkan itu ke dalam perimbangan terhadap produk-produk yang dipakai dalam konsumsi sehari-hari dan yang diproduksi secara paling murah di negeri-negeri di mana manufaktur telah berkembang paling maju.
Jika kaum pedagang-bebas tidak dapat mengerti bagaimana satu nasion dapat bertumbuh kaya sekali dengan merugikan nasion lain, kita tidak perlu heran, karena tuan-tuan yang sama ini pula yang juga menolak untuk memahami bagaimana di dalam satu negeri satu klas dapat memperkaya dirinya sendiri dengan merugikan klas lainnya.
Jangan berkhayal, tuan-tuan, bahwa dalam mengkritik perdagangan bebas kita sekurang-kurangnya beriktikad untuk membela sistem perlindungan/proteksi.
Orang boleh-boleh saja menyatakan dirinya sebagai musuh rejim konstitusional tanpa menyatakan dirinya seorang sahabat dari rejim lama.
Lagi pula, sistem proteksionis tidak lain dan tidak bukan hanyalah satu cara untuk menegakkan industri skala besar di suatu negeri tertentu, yaitu, membuatnya bergantung pada pasar dunia, dan dari saat ditegakkannya ketergantungan pada pasar dunia itu, sudah ada kurang-lebih suatu ketergantungan pada perdagangan bebas. Di samping itu, sistem proteksionis membantu pengembangan persaingan bebas di dalam suatu negeri. Karena itu kita melihat bahwa di negeri-negeri di mana kaum burjuasi mulai membuat dirinya dirasakan sebagai suatu klas, di Jerman misalnya, ia nelakukan usaha-usaha kuat untuk memperoleh bea-bea masuk protektif. Ini dipakai oleh burjuasi sebagai senjata-senjata melawan feodalisme dan pemerintahan absolut, sebagai alat untuk mengonsentrasikan kekuatan-kekuatannya sendiri dan bagi realisasi perdangan bebas di dalam negeri itu pula.
Tetapi, pada umumnya, sistem protekstif zaman sekarang adalah bersifat konservatif, sedangkan sistem perdagangan bebas adalah destruktif. Ia membongkar nasionalitas-nasionalitas lama dan mendorong antagonisme dari proletariat dan burjuasi pada titik paling ekstrem. Singkat kata, sistem perdagangan bebas mempercepat revolusi sosial.
Adalah dalam pengertian revolusioner ini saja, tuan-tuan, saya menyatakan persetujuan saya mengenai perdagangan bebas.
Berlin, 1859, hal.61-64
Teori mengenai waktu kerja sebagai suatu satuan uang seketika untuk pertama kali dikembangkan secara sistematikal oleh John Gray.[1]
Ia membuat sebuah Bank Sentral nasional –melalui cabang-cabangnya– menetapkan dengan resmi waktu kerja yang dicurahkan dalam produksi berbagai barang-dagangan. Sebagai gantinya (pertukaran) barangdagangan itu, produser menerima suatu sertifikat resmi nilai tsb., yaitu suatu tanda-terima untuk sekian banyak waktu kerja yang dikandung barang-dagangannya,[2] dan kertas-kertas uang dari seminggu kerja, sehari kerja, sejam kerja dsb. sekaligus berlaku sebagai suatu klaim atas ekuivalen (kesetaraan) dalam semua barang-dagangan yang tersimpan dalam gudang-gudang bank itu.[3] Ini adalah azas dasar yang digarap secara penuh keberhati-hatian secara terinci dan sepenuhnya diadaptasikan pada lembaga-lembaga Inggreis yang ada. Dengan sistem ini, demikian Gray berkata, “menjual untuk uang dapat dianggap –di segala waktu– presis sama mudahnya sekarang ini untuk membeli dengan uang; produksi akan menjadi sumber permintaan yang seragam dan tidak pernah gagal.”[4] Logam-logam berharga akan kehilangan “privilese”-nya atas barang-barang dagangan lainnya dan akan “mengambil tempatnya yang selayaknya di pasar di samping mentega dan telur, dan kain dan kaliko, dan kemudian nilai logam-logam berharga akan kurang merepotkan kita seperti nilai batu intan.”[5] “Akankah kita mempertahankan standar nilai kita yang fiktif itu, emas, dan dengan begitu menahan sumber-sumber produktif negeri dalam kungkungan? atau akankah kita beralih pada standar nilai yang alamiah, yaitu kerja, dan dengan demikian membebaskan sumber-sumber produktif kita?”[6]
Karena waktu kerja merupakan ukuran nilai secara tetap (immanen), mengapa mesti ada ukuran eksternal lain di sampingnya? Mengapa nilai tukar berkembang menjadi harga? Mengapa semua barang-dagangan mendapatkan nilainya diperkirakan dalam satu barang-dagangan eksklusif, yang dengan demikian ditransformasi menjadi keberadaan selayaknya dari nilai tukar, yaitu menjadi uang? Inilah permasalahan yang mesti dipecahkan oleh Gray.
Gantinya memecahkannya, ia membayangkan bahwa barang-barang dagangan dapat mempunyai suatu hubungan langsung/seketika satu sama lain sebagai produk-produk kerja sosial. Namun, mereka dapat hanya mempunyai satu hubungan satu sama lainnya sebagai apa adanya mereka itu. Barang-barang dagangan adalah –secara seketika/langsung– produk-produk satuan-satuan kerja terisolasi, bebas, perseorangan yang mesti dikukuhkan sebagai kerja sosial umum oleh alienasinya dalam proses pertukaran perseorangan, atau kerja atas dasar produksi barang-dagangan khanya menjadi kerja sosial oleh alienasi menyeluruh dari satuan-satuan kerja individual. Tetapi apabila Gray menggantikan waktu kerja yang terkandung dalam barang-barang dagangan sebagai “langsung/seketika sosial,” maka ia menggantikan itu sebagai kerja sosial atau waktu kerja dari individu-individu yang secara langsung/seketika berasosiasi. Dengan demikian, sesungguhnya, suatu barang-dagangan khusus, seperti emas atau perak, tidak akan dapat dikontraskan dengan barang-barang dagangan lainnya sebagai inkarnasi kerja umum, nilai tukar tidak akan menjadi harga, begitu pula nilai pakai tidak menjadi nilai tukar, produk itu tidak akan menjadi suatu barang-dagangan dan dengan begitu landasan produksi burjuis akan lenyap bersamanya. Tetapi ini sama sekali bukan pendapat Gray. “Produk-produk mesti diproduksi sebagai barang-barang dagangan, tetapi tidak dipertukarkan sebagai barang-barang dagangan.”
Gray menyerahkan kepada sebuah Bank nasional pengeksekusian keinginan/harapan saleh ini. Di sdatu pihak, masyarakat dalam bentuk bank itu memnjadikan individu-individu bebas atas kondisi pertukaran perseorangan, dan, di lain pihak, masyarakat membuat mereka terus memproduksi atas dasar pertukaran perseorangan. Sementara itu, logika intern mendorong Gray menolak suatu kondisi produksi burjuis demi kondisi produksi burjuis lainnya, sekalipun ia hanya bermaksud “mereform” uang yang timbul dari pertukaran barang-dagangan.
Demikianlah ia mengubah modal menjadi modal nasional,[7] pemilikan tanah menjadi pemilikan nasional,[8] dan jika banknya diperiksa dengan cermat, maka akan didapatkan bahwa itu tidak sekedar menerima barang-barang dagangan dengan tangan sebelah dan dengan tangan lainnya mengeluarkan sertifikat-sertifikat kerja yang disuplai, melainkan bahwa itu meregulasi produksi itu sendiri. Dalam karya terakhirnya, Lectures on Money, di dalam mana Gray dengan cemas berusaha merepresentasikan uang kerja-nya sebagai suatu reform burjuis semurninya, ia menjerumuskan dirinya dalam omong kosong yang tidak ketolongan lagi.
Setiap barang-dagangan seketika ada uang. Inilah teori Gray, yang disimpulkkan dari analisis mengenai barang-barang dagangan yang tidak lengkap dan karenanya palsu. Konstruksi “organik” dari “uang kerja” dan “bank nasional” dan “gudang-gudang barang-dagangan” hanya sebuah gambaran impian, di dalam mana dogma disuapkan sebagai suatu hukum universal. Dogma bahwa suatu barang-dagangan seketika adalah uang, atau bahwa kerja tertentu dari individual perseorangan yang dikandung di dalamnya adalah kerja sosial seketika/langsung, dengan tidak dengan sendirinya benar oleh bank yang mempercayai hal itu dan yang beroperasi sesuai dengan kepercayaan itu. Dalam kasus seperti itu, sangat besar kemungkinannya kebangkrutan akan mengganti kritisisme praktis. Yang tersembunyi pada Gray dan memang tetap sebuah rahasia bahkan bagi dirinya sendiri, yaitu, bahwa uang kerja adalah suatu ungkapan/ frase yang kedengaran-ekonomik bagi keinginan saleh untuk melepaskan diri dari uang, dan dengan uang mengenyahkan nilai tukar, dan dengan nilai tukar mengenyahkan barang-barang dagangan, dan dengan barangbarang dagangan mengenyahkan sistem produksi burjuis, ini diucapkan secara blak-blakan oleh sementara Sosialis Inggris yang sebagian telah menulis sebelum dan sebagian lagi setelah Gray.[9] Tetapi dicadangkan bagi Proudhon dan ajarannya untuk dengan serius mengkhotbahkan tentang degradasi uang dan naiknya ke surga “barang-barang dagangan” sebagai inti sosialisme dan dengan begitu menguraikan sosialisme menjadi suatu kesalahfahaman mengenai keharusan hubungan antara barang-barang dagangan dan uang.[10]


[1] John Gray: The Social System, etc. A Treatise on the Principle of Exchange, Edinburgh 1831. Bandingkan Lectures on the Nature and Use of Money, Edinburgh 1848, oleh penulis yang sama. Setelah Revolusi Februari, Gray mengirimkan sebuah memorandum pada Pemerintah Sementara Perancis, di dalam surat itu ia menyatakan bahwa Perancis tidak memerlukan sebuah organisasi kerja, tetapi memerlukan sebuah organisasi pertukaran, yang rencananya, jika disusun selengkapnya, terkandung di dalam sistem uang yang telah dibuat penemuannya. John yang baik itu tidak menyadari bahwa enam-belas tahun sesudah permunculan The Social System, sebuah paten untuk penemuan yang sama akan diklaim oleh Proudhon yang banyak akal itu.
[2] Gray, The Social System, dst. hal.63. “Uang mestinya cuma sekedar tanda-terima, sebuah bukti bahwa pemegangnya telah menyumbang ksuatu nilai tertentu pada persaediaan kekayaan nasional, atau bahwa ia telah memperoleh hak atas nilai tersebut dari seseorang yang mempunyai sumbangan pada nilai tersebut.”
[3] “Suatu nilai perkiraan yang sebelumnya telah diberikan pada produk, biarlah itu disimpan di sebuah bank, dan ditarik lagi kapan itu diperlukan; yang sekedar menentukan, berdasarkan kesepakatan umum, bahwa siapapun yang menyimpan suatu jenis kepemilikan pada Bank nasional yang dimaksud itu, dapat mengeluarkan darinya suatu nilai yang sama dari (berapapun) yang dikandungnya, tanpa diharuskan untuk mengeluarkan barang yang telah disimpankan (di Bank) tsb.” Loc.cit. hal. 68.
[4] Loc.cit. hal. 16
[5] Gray, Lectures on Money, etc. hal.182-183.
[6] Loc.cit. hal. 169.
[7] “Bisnis setiap bangsa akan dilakukan atas dasar suatu modal nasional.” (John Gray: The Social System, dst. hal.171.) '
[8] “Tanah itu mesti dikonversi menjadi milik nasional.” ( Loc.cit., hal. 208.)
[9] Lihat misalnya: W. Thompson: An Inquiry into the Distribution of Wealth, etc. London 1824; Bray: Labour’s Wrongs and Labour’s Remedy, Leeds 1839.
[10] Dapat dianggap sebagai sebuah kompendum dramatikal dari teori tentang uang adalah: Alfred Darimont: De la reforme des banques, Paris 1856.

Surat Marx pada J.B. Schweitzer London, 24 Januari 1865

Dengan hormat,
Kemarin saya menerima surat di mana anda minta dari saya suatu penilaian terinci tentang Proudhon. Kekurangan akan waktu menghalangi saya untuk memenuhi keinginan anda. Ditambah pula kenyataan bahwa saya tidak memiliki satupun dari karya-karyanya. Namun begitu, agar meyakinkan anda akan iktikad baik saya, dengan ini saya dengan buru-buru menyampaikan beberapa catatan singkat. Anda dapat melengkapinya, menambahkan atau memotongnya – singkat kata, boleh melakukan apa saja sesuai keinginan anda.[51]
Saya tidak ingat lagi akan usaha-usaha paling dini dari Proudhon. Karya sekolahnya mengenai Langue Universelle [Bahasa Universal] membuktikan betapa tanpa keengganan sedikitpun ia menyerang masalah-masalah yang mengenai pemecahannya ia bahkan tidak memiliki unsur-unsur pengetahuan paling utama mengenainya.
Karya pertamanya, Qu’est ce que la propriete? [ Apakah Hak Pemilikan itu?], “jelas-jelas karyanya yang terbaik.” Karya itu jmembuat sejarah. Kalaupun bukan karena isinya yang baru, setidak-tidaknya karena caranya yang baru dan berani dalam memaparkan segala sesuatu. Sudah tentu “hak milik” tidak saja telah dikritik dengan berbagai cara, tetapi juga “telah dibereskan” secara utopian oleh kaum Sosialis dan Komunis Perancis yang karya-karyanya telah dikenalnya. Dalam buku itu hubungan Proudhon dengan Saint-Simon dan Fourier adalah kurang lebih sama dengan hubungan Feuerbach dengan Hegel. Dibandingkan dengan Hegel, Feuerbach itu sangat-sangatlah miskinnya. Namun begitu ia tetap membuat-sejarah “setelah” Hegel karena ia memberi “tekanan” pada hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan kesadaran Kristiani, tetapi penting bagi kemajuan kritisisme, dan yang telah ditinggalkan dalam kekaburan-mistikal oleh Hegel.
Gaya Proudhon yang masih kuat berotot, kalau boleh saya memakai ungkapan ini, berdominasi dalam buku ini. Dan gayanya itu menurut pendapat saya adalah kelebihannya yang utama.
Bahkan di mana ia cuma mereproduksi bahan lama, orang dapat menyaksikan bahwa Proudhon telah menemukannya sendiri bagi dirinya, bahwa apa yang dikatakan itu adalah baru baginya dan berperingkat sebagai sesuatu yang baru. Penolakannya yang provokatif, menyinggung pada “kekeramatan” ekonomi yang “paling keramat,” paradoks cemerlang yang membuat tertawaan kelaziman pikiran borjuis, kritisisme yang meluluhkan, ironi penuh kegetiran, dan, terangkat di sana sini di balik semua itu, suatu perasaan kemarahan yang mendalam dan sejati terhadap kenistaan tatanan yang berkuasa, suatu kesungguh-sungguhan revolusioner – semua ini mencekam para pembaca Apakah Hak Milik itu? Dan menimbulkan suatu kehebohan besar pada permunculannya yang pertama kali. Dalam sejarah mengenai ekonomi politik yang sepenuh-penuhnya ilmiah, buku itu nyaris tak patut disebut-sebut. Tetapi karya-karya sensasional jenis ini memainkan peranannya di dalam ilmuilmu pengetahuan tepat sebagaimana dalam sejarah novel. Ambil saja, misalnya, buku Malthus tentang “Kependudukan.” Pada edisi pertamanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya sebuah
“pamflet sensasional” dan “plagiarisme” dari awal hingga akhirnya. Namun begitu, betapa telah ditimbulkan suatu “stimulus” oleh “fitnah terhadap bangsa manusia” ini!
Seandainya ada buku Proudhon di hadapan saya, dengan mudah saya dapat memberikan beberapa contoh untuk menggambarkan gaya awalnya itu. Dalam pasase-pasase yang ia sendiri pandang sebagai yang paling penting ia menirukan cara Kant memperlakukan “antinomy-antinomi” – Kant, yang karya-karyanya telah Proudhon baca dalam terjemahan-terjemahan, pada waktu itu satu-satunya filsuf Jerman yang dikenalnya – dan ia memberikan kesan yang kuat bahwa bagi dirinya – seperti bagi Kant – penyelesaian antinomi-antinmomi itu adalah sesuatu “yang berada di luar” pemahaman manusia, yaitu, sesuatu yang tentanya pengertiannya sendiri sepenuhnya berada dalam kegelapan.
Tetapi walaupun segala ikonoklasme (penghancuran patung ‘kesucian’) nya itu, dalam Apakah Hak Milik itu? Orang sudah dapat menjumpai kontrtadiksi bahwa Proudhon –di satu pihak– sedang mengritik masyarakat dari sudut pandang dan dengan mata seorang petani kecil Perancis (kemudian burjuis kecil) dan, di lain pihak, dengan standar-standar yang diambil dari warisannya dari kaum Sosialis.
Kekurangan buku itu ditandakan oleh judulnya sendiri.
Pertanyaannya telah dirumuskan sedemikian sesatnya sehingga ia tidak dapat dijawab secara tepat. “Hubungan-hubungan pemilikan kuno” telah diserap-habis oleh hubungan-hubungan pemilikan “feodal” dan ini oleh hubungan-hubungan kepemilikan “borjuis.” Demikianlah sejarah sendiri telah mempraktekkan kritiknya terhadap “hubungan-hubungan pemilikan” yang lalu. Yang sesungguhnya dihadapi oleh Proudhon adalah “hak milik/pemilikan burjuis modern” sebagaimana itu adanya sekarang. Pertanyaan mengenai apakah ini hanya dapat dijawab dengan suatu analisis kritikal mengenai “ekonomi politik,” yang meliputi “hubungan-hubungan pemilikan” ini sebagai suatu keseluruhan, tidak dalam ungkapan legalnya nyera sebagai “hubungan-hubungan volunter” tetapi dalam bentuk mereka yang sebenarnya, yuaitu, sebagai “hubungan-hubungan produksi.” Tetapi karena ia telah meruwetkan keseluruhan hubungan-hubungan ekonomi ini dalam konsep umum juristik mengenai “hak milik/pemilikan,” Proudhon telah meruwetkan dirinya sendiri dalam segala macam fantasi, yang bahkan kabur bagi dirinya sendiri, tentang “hak milik/pemilikan borjuis yang sesungguhnya.”
Selama saya tinggal di Paris pada tahun 1844 saya berkontrak pribadi dengan Proudhon. Saya menyebutkan hal ini karena hingga batas tertentu saya juga mesti menanggung kesalahan atas “sofistikasi/kecanggihan”- nya, sebagaimana orang Inggris menyebutkan pendewaan barang-barang komersial itu. Dalam berlangsungnya perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan, yang kadang-kadang berlangsung sepanjang malam, saya telah menginfeksi Proudhon –demi kejangkitannya yang parah– dengan Hegelianisme, yang, karena kekurangannya akan bahasa Jerman, ia tidak dapat mempelajarinya dengan selayaknya. Setelah pengusiran diri saya dari Paris, Herr Karl Grun melanjutkan yang telah saya mulai itu. Sebagai seorang guru filsafat Jerman ia juga mempunyai kelebihan atas diri saya karena ia sendiri sama sekali tidak memahaminya.
Tidak lama sebelum munculnya karya penting Proudhon yang kedua, Phiklosophie de la Misere (Filsafat Kemiskinan), dsb, ia mengumumkannya sendiri pada saya dalam sepucuk surat yang sangat rinci, di dalam manyha ia antara lain mengatakan: “Saya menantikan lecutan kritik anda.” Dan ini segera dialaminya lewat tulisan saya Miserede la Philosophie (Kemiskinan Filsafat), dsb., Paris 1847, dengan cara yang mengakhiri persahabatan (antara) kita untuk selama-lamanya.
Dari yang sudah saya kemukakan dapatlah anda melihat bahwa karya Proudhon Philosophie de la Misere ou Systeme des Contradictions economiques pertama-tama sesungguhnya memuat jawabannya atas pertanyaan Apakah Hak Milik itu? Sebenarnya baru setelah beredarnya karyanya ini M. Proudhon memulai studi-studinya tentang perekonomian; ia telah menemukan bahwa pertanyaan yang dikemukakannya itu tidak dapat dijawab dengan “caci-maki” ( invective), melainkan hanya dengan sebuah “analisis” tentang “ekonomi politik.” Bersamaan dengan itu ia berusaha menyajikan sistem kategori-kategori ekonomi secara dialektikal. Gantinya “antinomi-antinomi” Kant yang tidak terpecahkan, “kontradiksi” Hegelian mesti diintroduksikan sebagai cara/alat perkembangan.
Bagi suatu penilaian atas bukunya, yang ditulis dalam dua jilid tebal, saya mesti merujukkan pada anda, karya yang telah saya tulis sebagai sebuah jawaban. Di situ saya menunjukkan, antara lain, betapa dangkal M. Proudhon telah menyusupi rahasa dialektika ilmiah dan betapa, sebaliknya, ia seia-sekata dalam ilusi-ilusi filsafgat spekuklatif dalam memperlakukan “kategori-kategori ekonomi”; bagaimana gantinya memahami itu sebagai “ungkapan teoritis dari hubungan-hubungan historis dalam produksi , yang bersesuaian pada suatu tahap perkembangan tertentu dalam produksi material,” ia mengubahnya – dengan berkeceknya– menjadi “ide-ide abadi” yang sudah ada sejak awal, dan dengan cara berputar ini sekali lagi kembali pada pendirian ekonomi burjuis.*
Selanjutnya telah juga saya tunjukkan betapa sangat kurang dan kadang-kadang bahkan kekanak-kanakan pengetahuannya mengenai “ekonomi politik” yang hendak dikritiknya, dan bagaimana ia dan kaum utopian memburu apa yang dinamakannya “ilmu” yang dengannya suatu formula bagi “pemecahan masalah sosial” itu akan dipikirkan secara a priori, gantinya mendapatkan ilmu mereka dari suatu pengetahuan kritikal mengenai gerakan historis, suatu gerakan yang sendirinya menciptakan “kondisi-kondisi material dari emansipasi.” Tetapi secara khusus telah saya tunjukkan betapa bingung, salah dan dangkal Proudhon mengenai “nilai tukar,” dasar dari seluruh persoalan, dan bagaimana ia bahkan mencoba menggunakan interpretasi utopian dari teori Ricardo mengenai nilai sebagai landasan suatu ilmu baru. Mengenai titik-pandang umumnya ini saya telah membuat penilaian komprehensif berikut ini:
Setiap hubungan ekonomi memiliki suatu sisi baik dan satu sisi buruk; ini adalah suatu hal yang cukup jelas bagi M. Proudhon. Ia melihat sisi baiknya diuraikan oleh para ahli ekonomi; sisi buruknya ia ketahui ditolak oleh kaum Sosialis. Dari para ahli ekonomi ia meminjam keharusan akan hubungan-hubungan abadi; dari kaum Sosialis ia meminjam ilusi untuk melihat dalam kemiskinan sebagai kemiskinan semata-mata (dan tidak melihat padanya aspek subversif revolusioner yang akan menumbangkan masyarakat lama). Ia berkesepakatan dengan kedua-duanya dalam hal bersandar kembali pada otoritas ilmu. Ilmu baginya menyusutkan diri pada proporsi-proporsi ramping dari sebuah formula ilmiah; ia adalah orang yang dalam pencarian akan formula-formula. Demikianlah M. Proudhon telah mengelu-elukan dirinya sendiri telah membverikan suatu kritik atas ekonomi politik maupun komunisme: ia berada di bawah kedua-duanya. Di bawah kaum akonomis, karena sebagai seorang filsuf yang disikunya memiliki sebuah formula ajaib, ia mengira dirinya dapat melepaskan diri dari keharusan memberikan rincian-rincian yang sepenuhnya ekonomik; di bawah kaum Sosialis, karena ia tidak memiliki kcukup keberanian maupun cukup wawasan untuk naik, biarpun Cuma sekedar spekulatif, di atas kaki-langit burjuis ...
Ia ingin meluncur sebagai orang ilmu di atas kaum borjuis dan kaum proletar; ia Cuma sekedar si borjuis kecil, yang terus-menerus dilempar ke sana ke mari di antara modal dan kerja, ekonomi politik dan komunisme.[52]
Betapapun kerasnya penilaian di atas ini, sekarang ini saya masih tetap membenarkan setiap kata. Bersamaan dengan itu, namun, mestilah diingat bahwa pada waktu saya menyatakan bukunya adalah sandi borjuis kecil mengenai sosialisme dan telah membuktikan hal ini secara teoritis, Proudhon masih dicap sebagai seorang datuk-revolusioner ekstrem oleh para ahli ekonomi politik dan oleh kaum Sosialis. Itulah sebabnya mengapa bahkan kemudian pun saya tidak pernah bergabung dalam pengecaman mengenai “pengkhianatan”-nya (M. Proudhon) terhadap revolusi. Bukanlah kesalahannyta bahwa, sejak awal-mula disalah mengerti oleh orang-orang lain maupun oleh dirinya sendiri, ia telah gagal memenuhi harapan-harapan yang tidak pada tempatnya.
Di dalam Philosophy of Poverty (Filsafat Kemiskinan) semua kekurangan metode penyajian Proudhon menonjol dengan sangat tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan What is Property? (Apakah Hak Milik itu?). Gayanya seringkali dalah yang disebut orang Perancis ampoule [bombastik]. Jargon spekulatif yang berkoar-koar, ;yang dianggap sebagai filosofikal-Jerman, secara teratur muncul ketika ketajaman pengertian Gallik-nya meninggalkan dirinya. Suatu nada pengiklanan-diri, menyombongkan-diri, membesar-besarkan diri dan teristimewa ocehannya mengenai ilmu serta pemeragaan bohong, yang senantiasa begitu merendahkan, secara terus-menerus diteriakkan ke telinga orang. Gantinya kehangatan sejati yang memancar dari usaha pertama kalinya, di sini pasase-pasase tertentu secara sistematikal dipacu menjadi suatu kepanasan sesaat lewat retorika. Tambahkan pada hal itu erudisi yang canggung menjijikkan dari orang yang belajar sendiri, yang kebanggaan primitifnya atas keorijinalan pikirannya sendiri telah dipatahkan dan yang kini sebagai seorang parvenu ilmu, merasa perlu mengelembungkan diri sendiri dengan apa yang bukan dirinya dan yang tidak dimilikinya. Maka mentalitas borjuis kecil yang dengan cara brutal dan tak-senonoh –dan, yang secara tidak kena, secara tidak bersungguh-sungguh, bahkan secara tidak tepat– menyerang seseorang seperti Cabet, untuk dihormati akan sikap praktikalnya terhadap proletariat, sementara ia memuji-muji seseorang seperti Dunoyer (seorang Penasehat Negara, memang benar). Padahal seluruh arti-penting Dunoyer ini terletak pada kefanatikan menertawakan dengan mana, diseluruh tidak jilid tebal dan luar-biasa menjemukan, ia mengkhotbahkan ketegaran yang dikarakterisasikan oleh Helvetius sebagai On veut queles malheureux soient parfaits (menuntrut agar yang tidak mujur/beruntung sempurna adanya).
Revolusi Februari jelas tiba pada suatu saat yang sangat tidak tepat bagi Proudhon, yang beberapa minggu sebelumnya secara tidak terbantahkan membuktikan bahwa “era revolusi-revolusi” telah berlalu untuk selamanya. Tampilnya dirinya dalam Majelis Nasional, betapapun gersang akan wawasan yang ditunjukkkannya akan kondisi-kondisi yang ada, patut mendapatkan pujian. Setelah pemberontakan bulan Juni itu adalah suatu tindakan keberanian. Sebagai tambahan itu berakibat kemujuran bahwa M. Thiers, dengan pidatonya yang menentang saran-saran Proudhon, yang ketika itu dikemukakan sebagai suatu publikasi istimewa, membuktikan bagi seluruh Eropa , di atas alas kateketik anak-anak yang bagaimana pilar intelektuan borjuasi Perancis itu diletakkan. Sesungguhnya, dibandingkan dengan M. Thiers, Proudhon telah memuai hingga ke ukuran suatu kolosus ante-diluvian.
“Penemuan Proudhon tentang Credit gratuit [kredit cuma-cuma]” dan “ banque du peuple [bank rakyat]” yang berlandaskan itu, adalah “tindak-tindak” ekonominya yang terakhir. Dalam buku saya A Contribution tothe Critique of Political Economy, Bagian I, Berlin 1859 (hal.59-64), dapat dijumpai bukti bahwa landasan teoritis dari idenya timbul dari suatu kesalah-fahaman mengenai uncur-unsur pertama dari “ekonomi politik” burjuis, yaitu hubungan antara “barang-barang dagangan” dan “uang”; sedangkan bangunan-atas (superstructure) praktikalnya adalah Cuma suatu reproduksi dari skema-skema lebih tua dan yang berkembang jauh lebih baik
Bahwa dalam kondisi-kondisi ekonomi dan politik tertentu, sistem perkreditan dapat berguna untuk mempercepat emansipasi kelas pekerja, presis seperti, misalnya, di awal abad ke delapan-belas dan kemudian pada awal abad ke sembilan- belas di Inggris, ia berguna bagi transfer/pemindahan/peralihan kekayaan kelas yang satu ke kelas yang lainnya, sungguh hal yang tidak usah dipersoalkan, adalah terbukti sendiri. Tetapi untuk menganggap “modal penghasil-bunga sebagai bentuk utama dari modal” sambil mencoba suatu bentuk kredit khusus, peranggapan mengenai penghapusan bunga, sebagai landasan bagi suatu transformasi masyarakat adalah sepenuhnya suatu fantasi “borjuis kecil.” Oleh karenanya fantasia ini, jika dikembangkan lebih lanjut, sudah dapat dijumpai di kalangan “juru bicara ekonomi kaum burjuis kecil Inggris di abad ke tujuh-belas.” Polemik Proudhon dengan Bastiat (1850) tentang modal penghasil-bunga berada di tingkat yang jauh lebih rendah daripada Philosophy of Poverty. Ia berhasil membuat dirinya sendiri diganyang bahkan oleh Bastiat dan berantakan menjadi kegagapan menertawakan ketika lawannya melancarkan gempuran-gempuran dengan mengena sekali.
Beberapa tahun berselang Proudhon –saya kira dihasut oleh pemerintah Lausanne– menulis sebuah esai berhadiah mengenai “Perpajakan.” Disini kerlip kejeniusan terakhir telah dipadamkan. Tiada yang tersisa kecuali keborjuisan-kecil belaka.
Sejauh yang mengenai tulisan-tulisan politik dan filosofinya, kesemuanya menunjukkan watak mendua, kontradiktif yang sama seperti karya-karya ekonominya. Lebih dari itu, nilainya cuma terbatas di Perancis saja. Betapapun serangan-serangannya terhadap agama, gereja dsb. Sangat besar jasanya di negerinya sendiri pada masa kaum Sosialis Perancis beranggapan lebih menguntungkan untuk menunjukkan dengan religiositas mereka betapa lebih unggulnya mereka itu dibanding dengan Voltairianisme burjuis abad ke delapan-belas dan ketidak-berTuhanan Jerman abad ke sembilan-belas. Jika Peter Agung mengalahkan barbarisme Russia dengan Berbaritas, Proudhon berbuat sebisa-bisanya untuk mengalahkan silat-lidah Perancis dengan frase-frase. Karyanya mengenai Coup d”etat, di mana ia bergenit-genitan dengan Louis Bonaparte dan, sesungguhnya, berusaha keras menjadikannya diterima oleh kaum pekerja Perancis, dan karya terakhirnya, yang ditulis terhadap Polandia, di mana demi kemuliaan lebih besar bagi Tsar ia menyatakan sinisisme seorang kerdil, mesti dikarakterisasi sebagai tidak hanya buruk, tetapi sebagai produksi-produksi yang hina; dengan suatu kehinaan yang bersesuaian, namun, dengan titik-pandang borjuis kecil.
Proudhon telah seringkali dibandingkan dengan Rousseau. Tidak ada yang lebih salah daripada ini. Ia adalah lebih seperti Nicolas Linguet, yang karyanya: Theorie des lois civiles, –ini secara sambil lalu–, adalah sebuah buku yang sangat bagus.
Proudhon memiliki suatu kecondongan alamiah akan dialektika. Tetapi, karena ia tidak pernah menangkap dialektika yang benar-benar ilmiah, ia tidak pernah melewati sekedar sofistri. Sesungguhnya ini berkaitan erat dengan titik-pandangan borjuis kecilnya. Seperti ahli sejarah Raumer, sang borjuis kecil terdiri atas “Di Satu Pihak” dan “Di Lain Pihak.” Memang demikianlah dalam kepentingan-kepentingan ekonominya dan “karena itu” dalam politiknya, dalam pandangan-pandangan ilmiah, religius dan artistiknya. Demikian jmuga dalam moralnya, dalam segala hal. Ia suatu kontradiksi yang hidup. Jika, seperti Proudhon, ia kseorang berbakat pula, aka ia akan segera belajar bermain dengan kontradiksi-kontradiksinya sendiri dan mengembangkannya sesuai keadaan menjadi paradoks-pradoks yang mencolok, bermegah-megah, sebentar menghebohkan atau sesaat kemudian cemerlang. Charlatantisme dalam ilmu dan akomodasi dalam politik tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya dari sudut pandangan seperti itu. Yang tinggal hanyalah satu motif yang berkjuasa, “kekenesan” sang subjek, dan satu-satunya persoalan baginya, seperti bagi semua orang kenes, adalah keberhasilan sesaat itu, perhatian sesaat itu. Demikianlah kesadaran moral sederhana, yang senantiasa membuat seorang Rousseau misalnya, jauh dari bahkan yang mendekati kompromi dengan kekuasaan yang bercokol, harus dipadamkan.
Barangkali generasi-generasi masa depan akan menyimpulkan tahap terakhir dari perkembangan Perancis dengan mengatrakan bahwa Louis Bonaparte adalah Napoleon-nya dan Proudhon adalah Rousseau-Voltaire-nya.
Dan kini mesti anda ambil tanggung-jawab atas pundak anda sendiri setelah menimpahkan pada saya peranan menjadi hakim Proudhon, begitu cepat sesudah wafatnya.

Dengan hormat saya,
Karl Marx

[51] Dimuat dalam Sozialdemokrat 1, 3 dan 5 Januari 1865. “Kami menimbang yang terbaik untuk memuat tulisan itu tanpa diubah,” demikian dinyatakan dalam sebuah catatan redaksi. Lihat edisi sekarang, hal.177.
[52] Marx, Kemiskinan Filsafat, “bab. II.” Lihat penerbitan ini hal. 120 .
* “Manakala para ahli ekonomi mengatakan, bahwa hubungan-hubungan dewasa ini –hubungan-hubungan produksi borjuis– adalah alamiah mereka mengartikan bahwa inilah hubungan-hubungan yang menciptakan kekayaan dan tenaga-tenaga produktif dikembangkan bersesuaian dengan hukum-hukum alam. Karenanya hubungan-hubungan ini sendiri adalah hukum-hukum abadi yang mesti selalu memerintah masyarakat. Demikianlah telah ada sejarah, tetapi kini itu tiada lagi” (hal.113 dari karya saya. [Catatan Marx] [Lihat penerbitan ini, hal. 113 – Ed.

Surat Marx pada P.V. Annenkov Brussel, 28 Desember 1846

Tuan Annenkov yth.
Semestinya anda menerima jawaban saya atas surat anda tanggal 1 November, tetapi ini tidak terjadi karena toko buku baru minggu lalu mengirimkan pada saya buku Monsieur Proudhon, The Philosophy ofPoverty. Buku itu telah saya baca dan selesai dalam dua hari agar dapat segera menyampaikan pada anda pendapatku tentang buku itu. Karena saya membaca buku itu dengan sangat tergesa-gesa, saya tidak dapat membicarakan hingga terperinci sekali, tetapi hanya dapat menyampaikan pada anda kesan umum yang saya peroleh darinya. Jika anda menghendaki, saya dapat membicarakannya secara mendetail dalam sepucuk surat kedua.
Dengan terus-terang saya mesti mengaku bahwa buku itu menurutku buruk pada umumnya, dan sangat jelek. Anda sendiri tertawa dalam surat anda pada “sekelumit filsafat Jerman” yang diperagakan M. Proudhon dalam karya tiada bentuk dan pretensius ini, tetapi anda beranggapan bahwa argumen ekonominya tidak terinfeksi oleh racun filsafatnya. Saya sendiri jauh daripada menuduhkan kesalahan-kesalahan dalam argumen ekonomikal pada filsafat M. Proudhon. M Proudhon tidak menyajikan suatu kritik palsu mengenai ekonomi politik karena ia adalah pemilik suatu teori filsafat yang absurd, teapi ia memberikan pada kita suatu teori filsafat yang absurd karena ia gagal memahami sistem sosial dewasa ini dalam engrenement-(proses merangkaikan/menghubungkan dalam suatu rangkaian)nya, ini menggunakan sebuah kata yang seperti banyak lainnya dipinjam M. Proudhon dari Fourier.
Mengapa M. Proudhon berbicara tentang Tuhan, tentang nalar universal, tentang nalar kemanusiaan yang impersonal dan yang tidak pernah salah, yang selalu setara dengan dirinya sendiri selama berabad-abad dan yang tentangnya orang cuma memerlukan kesadaran tepat agar mengetahui kebenaran? Mengapa ia bersandar pada Hegeliansime yang lembek untuk memberikan pada dirinya sendiri tampang seorang pemikir yang berani?
M. Proudhon serndiri yang memberikan kunci pada enigma ini.
M. Proudhon melihat dalam sejarah suatu rentetan perkembangan sosial; ia menemukan kemajuan dilaksanakan dalam sejarah; akhirnya ia mendapatkan bahwa manusia, sebagai individual-individual, tidak mengetahui yang sedang mereka kerjakan dan salah mengenai gerak mereka sendiri, yaitu, perkembangan sosial mereka pada penglihatan pertama tampaknya jelas, terpisah dan berdiri sendiri dari perkembangan individual mereka. Ia tidak dapat menerangkan fakta ini, dan karenanya ia cuma membikin-bikin hipotesis mengenai nalar universal mengungkapkan dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih mudah daripada membikin-bikin sebab-sebab mistikal, yaitu, frase-frase yang tidak mengandung akal sehat.
Tetapi, tatkala M. Proudhon mengakui bahwa ia tidak mengerti sedikitpun tentang perkembangan historis kemanusiaan – ia mengakui hal ini dengan menggunakan kata-kata yang bernada-tinggi seperti: Nalar Universal, Tuhan, dan sebagainya – tidakkah dengan begini ia secara implisit kdan mau-tidak-mau mengakui bahwa dirinya tidak mampu memahami perkembangan ekonomi?
Apakah masyarakat itu, apa dan bagaimanapun bentuknya? Produk dari tindakan timbal-balik orang-orang. Bebaskan orang memilih masyarakat yang bentuknya begini atau bentuknya yang begitu bagi diri mereka sendiri? Sama sekali tidak bisa. Andaikanlah suatu kelas dan perkembangan tertentu dalam tenaga-tenaga produktif manusia dan anda akan mendapatkan suatu bentuk perdagangan dan konsumsi yang tertentu pula. Andaikan tahap-tahap perkembangan tertentu dalam produksi, perdagangan dan konsumsi, dan anda akan mendapatkan bentukan sosial yang bersesuaian, suatu organisasi keluarga yang bersesuaian, dari tatanan-tatanan atau dari kelas-kelas, singkat kata, suatu masyarakat sipil (madani) yang bersesuaian.
Andaikan sebuah masyarakat sipil tertentu dan akan anda dapatkan kondisi-kondisi politikal tertentu yang hanya merupakan ungkapan resmi dari masyarakat sivil. M. Proudhon tidak akan pernah memahami hal ini karena ia mengira dirinya sedang melakukan sesuatu yang besar dengan menghimbau dari negara pada masyarakat – yaitu, dari resume/ikhtisar resmi masyarakat pada masyarakat resmi.
Adalah terlalu berlebihan untuk menambahkan bahwa manusia tidak bebas memilih “tenaga-tenaga produktif” mereka –yang adalah dasar dari seluruh sejarah mereka– karena setiap tenaga produktif adalah suatu tenaga perolehan, produk dari aktivitas sebelumnya. Karenanya, tenaga-tenaga produktif adalah hasil energi praktikal manusia; tetapi energi ini sendiri dikondisikan oleh keadaan-keadaan dalam mana manusia mendapatkan diri mereka, oleh tenaga-tenaga produktif yang sudah diperoleh, oleh bentuk sosisal yang sudah ada sebelumnya, yang tidak mereka ciptakan, yang adalah produk dari generasi yang mendahului mereka. Karena kenyataan sederhana bahwa ksetiap generasi berikutnya mendapatkan dirinya memiliuki tenaga-tenaga produktif yang diperoleh generasi sebelumnya, yang berlaku sebagai bahan-bahan mentah bagi produksi baru, maka lahirlah suatu koherensi (perpautan) di dalam sejarah manusia, suatu sejarah kemanusiaan terbentuk yang semakin merupakan suatu sejarah kemanusiaan karena tenaga-tenaga produktif manusia dan karenanya hubungan-hubungan sosialnya telah semakin berkembang. Dari situ mau tidak mau menyusul bahwa sejarah sosial manusia tidak lain dan tidak bukan adalah sejarah perkembangan individual mereka, baik hal itu mereka sadari atau tidak sadari. Hubungan-hubungan material mereka adalah dasar dari semua hubungan-hubungan mereka. Hubungan-hubungan material ini hanyalah bentuk-bentuk yang diharuskan untuk merealisasikan aktivitas material dan individual mereka.
M. Proudhon mencampur-adukkan gagasan-gagasan dan hal-hal ikhwal. Manusia tidak pernah melepaskan yang telah dimenangkannya, tetapi ini tidak berarti bahwa mereka tidak pernah melepaskan benmtuk sosial yang di dalamnya mereka telah memperoleh tenaga-tenaga produktif tertentu. Sebaliknya, agar supaya mereka tidak dirampas hasil yang telah dicapainya, dan kehilangan buah-buah peradaban, mereka diharuskan – sejak saat bentuk perdagangan mereka tidak lagi bersesuaian dengan tenaga-tenaga produktif yang diperoleh– untuk mengubah semua bentuk-bentuk sosial tradisional mereka. Saya menggunakan kata “lalu lalang” (commerce) di sini dalam arti seluas-luasnya, sebagaimana kita menggunakan kata verkehr dalam bahasa Jerman. Misalnya, hak-hak istimewa (prvivilese-privilese), lembaga gilde-gilde dan korporasi-korporasi, rezim regulatori Abad-abad Pertengahan, adalah yang merupakan hubungan-hubungan sosial satu-satunya yang bersesuaian dengan tenaga-tenaga produktif telah dicapai dan bersesuaian dengan kondisi sosial yang ada sebelumnya dan dari padanya lembaga-lembaga ini telah lahir. Di bawah perlindungan rezim korporasi-korporasi dan regulasi-regulasi, modal diakumulasi, perdagangan seberang lautan dikembangkan, koloni-koloni dibangun. Tetapi buah-buahnya berarti akan hilang bagi manusia apabila mereka mencoba mempertahankan bentuk-bentuk yang mengayomi mematanmgnya buah-buah ini. Dari situlah menyambarnya dua petir – Revolusi-revolusi tahun 1645 dan tahun 1688. Semua bentuk ekonomi lama, hubungan-hubungan sosial yang bersesuaian dengannya, kondisi-kondisi politikal yang menjadi ungkapan resmi dari masyarakat sivil lama, semua itu dihancurkan di Inggris. Dengan demikian maka bentuk-bentuk ekonomi yang dengannya manusia berproduksi, berkonsumsi dan melakukan pertukaran, adalah semuanya bersifat peralihan (transitori) dan historis. Dengan diperolehnya fakultas-fakultas produktif baru, manusia menguba cara produksi dan dengan cara produksi itu semua hubungan ekonomi yang cuma sekedar hubungan-hubungan yang diperlukan dari cara produksi tertentu ini.
Inilah yang tidak dimengerti M. Proudhon dan bahkan lebih tidak diperagakannya. M. Proudhon yang tidak mampu mengikuti gerak sesungguhnya dari sejarah, membuat suatu fantasmagoria yang dengan pongah menyatakan diri sebagai puncaknya dialektika. Ia tidak merasa perlu untuk berbicara tentang abad-abad ke tujuh belas, ke delapan belas atau ke sembilan belas bagi proses-proses sejarahnya alam alam-imajinasi yang berkabut dan menjulang jauh di atas ruang dan waktu. Singkat kata, itu bukan sejarah tetapi rongsokan lama Hegelian, itu bukan sejarah duniawi –suatu sejarah kemanusiaan– tetapi sejarah keramat – suatu sejarah dari ide-ide. Dari sudut pandangnya, manusia Cuma alat yang digunakan oleh ide atau nalar abadi untuk mengungkap diri sendiri. Evolusi-evolusi yang dibicarakan M. Proudhon dipahami sebagai evolusi-evolusi sebagaimana yang digenapkan dalam lubuk mistik ide mutlak itu. Jika orang merobek cadar dari bahasa mistikal ini, jadinya adalah bahwa M. Proudhon menawarkan pada kita tatanan yang di dalamnya kategori-kategori ekonomi menata dirinya sendiri di dalam kepalanya. Tidaklah memerlukan banyak pengerahan tenaga dari pihak saya untuk membuktikan bahwa itu adalah tatanan dari suatu pikiran yang sangat amburadul.
M. Proudhon memulai bukunya dengan sebuah disertasi tentang nilai, yang memang menjadi subjek kegemarannya. Sekarang ini saya tidak akan melakukan suatu pemeriksaan atas disertasi ini.
Rangkaian evolusi-evolusi ekonomi dari nalar abadi mulai dengan “pembagian kerja.” Bagi M. Proudhon pembagian kerja itu sesuatu yang sederhana sekali. Padahal, tidakkah rezim kasta itu juga suatu pembagian kerja tertentu? Tidakkah rezim korporasi-korporasi suatu pembagian kerja yang lain? Dan tidakkah pembagian kerja di bawah sistem manufaktur, yang di Inggris dimulai sekitar pertengahan abad ke tujuh belas dan berakhir pada bagian akhir abad ke delapanbelas, juga sangat berbeda dari pembagian kerja dalam industri modern raksasa?
M. Proudhon begitu jauhnya dari kebenaran sehingga ia mengabaikan yang bahkan para ahli ekonomi yang duniawi perhatikan. Ketika M. Proudhon berbicara tentang pembagian kerja ia tidak merasa perlu menyebutkan pasar dunia. Bagus. Namun ;tidakkah pembagian kerja pada abad-abad ke empat belas dan lima belas, ketika belum terdapat koloni-koloni, ketika Amerika masih belum eksis bagi Eropa, dan Asia Timur hanya ada baginya (bagi Eropa) lewat perantaraan Konstantinopel, adalah secara fundamental berbeda dari yang ada pada abad ke tujuhbelas ketika koloni-koloni sudah berkembang?
Dan itu belum semuanya. Adakah seluruh organisasi intern dari bangsa-bangsa (nasion-nasion), adakah semua hubungan-hubungan internasional mereka tidak lain dan tidak bukan adalah ungkapan dari suatu pembagian kerja tertentu? Dan tidakkah ini berubah ketika pembagian kerja itu berubah?
M. Proudhon begitu dangkal memahami masalah pembagian kerja sehingga ia bahkan tidak pernah menyebutkan perpisahan kota dan desa yang terjadi di Jerman, misalnya, dari abad ke sembilan hingga abad ke duabelas. Demikianlah bagi M. Proudhon, pemisahan ini adalah suatu hukum abadi karena ia tidak mengetahui asal-usulnya maupun perkembangannya. Di sepanjang bukunya ia berbicara sepertinya penciptaan suatu cara produksi tertentu ini akan bertahan hingga akhir zaman. Segala yang dikatakan M. Proudhon mengenai pembagian kerja hanyalah sebuah ringkasan, dan lebih dari itu suatu ringkasan yang sangat dangkal dan tidak lengkap dari yang telah dikatakan oleh Adam Smith dan ribuan orang lainnya sebelum dirinya (M. Proudhon).
Evolusi kedua adalah “permesinan.” Hubungan antara pembagian kerja dan mesin adalah sepenuh-penuhnya mistikal bagi M. Proudhon. Setiap jenis pembagian kerja mempunyai alat-alat produksinya yang khusus. Antara pertengahan abad ke tujubelas dan pertengahan abad delapanbelas, misalnya, orang tidak membuat segala sesuatu dengan tangan. Terdapat mesin-mesin, dan mesin-mesin yang sangat rumit, seperti perkakas tenun, bahtera, pengumpil, dan sebagainya.
Karenanya tidak ada yang lebih absurd daripada menderivasi mesin dari pembagian kerja pada umumnya.
Sambil lalu boleh juga saya menyatakan bahwa, tepat sebagaimana M. Proudhon tidak memahami asal-usul permesinan, ia lebih tidak memahami lagi perkembangannya. Orang dapat mengatakan bahwa sampai tahun 1825 –periode krisis umum pertama– tuntutan-tuntutan konsumsi pada umumnya telah meningkat lebih pesat daripada produksi, dan perkembangan permesinan adalah suatu konsekuensi yang niscaya dari kebutuhan-kebutuhan pasar. Sejak 1825 penemuan dan penerapan permesinan cuma hasil belaka dari pergulatan antara kaum buruh dan kaum majikan. Namun ini hanya benar bagi Inggris. Sedangkan bagi nasion-nasion Eropa, mereka itu didera untuk mengadopsi permesinan karena persaingan Inggris, baik di pasar-pasar dalam negeri mereka maupun di pasar dunia. Akhirnya, di Amerika Utara sendiri introduksi mesin disebabkan oleh persaingan dengan negeri-negeri lain maupun karena kekurangan tenaga pekerja, yaitu, karena adanya disproporsi (ketidak seimbanan) antara penduduk Amerika Utara dan kebutuhan-kebutuhan industrialnya. Dari fakta ini dapatlah dilihat kebijaksanaan apa yang dikembangkan Monsieur Prouydhon ketika ia memanterakan hantu persaingan sebagai evolusi ketiga, antitesis terhadap permesinan!
Yang terakhir dan pada umumnya, adalah sepenuhnya absurd untuk menjadikan “permesinan” suatu kategori ekonomi secara berdampingan dengan pembagian kerja, persaingan, kredit dan sebagainya.
Permesinan tidaklah lebih merupakan suatu kategori ekonomi daripada lembu yang menyeret luku. Penerapan mesin dewasa ini adalah salah satu hubungan sistem ekonomi kita masa kini, tetapi cari permesinan itu dipergunakan secara total berbeda dari permesinan itu sendiri. Bubuk tetaplah bubuk, apakah ia dipakai untuk melukai seseorang atau untuk mengobati luka-lukanya.
M. Proudhon melampaui dirinya sendiri ketika ia memperkenankan persaingan, monopoli, pajak-pajak atau polis-polis, neraca perdagangan, kredit dan pemilikan berkembang di dalam kepalanya menurut urutan sebagai saya menyebutkannya. Nyaris semua lembaga perkreditan telah dikembangkan di Inggris pada awal abad ke delapan belas, sebelum penemuan mesin-mesin. Kredit publik hanyalah suatu cara segar untuk meningkatkan pemajakan dan pemuasan tuntutan-tuntutan baru yang diciptakan oleh naiknya burjuasi pada kekuasaan. Akhirnya, kategori terakhir dalam sistem M. Poroudhon terbentuk oleh pemilikan. Dalam dunia nyata, sebaliknya, pembagian kerja dan semua kategori M. Proudhon yang lainnya adalah hubungan-hubungan sosial yang dalam keseluruhannya membentuk yang dewasa ini dikenal sebagai pemilikan: diluar hubungan-hubungan ini pemilikan burjuis tidak lain dan tidak lebih daripada suatu ilusi metafisikal atau juristik. Pemilikan dari suatu kurun waktu lain, pemilikan feodal, berkembang dalam serentetan hubungan-hubungan sosial yang sepenuhnya berlainan. M. Proudhon, dengan menegakkan pemilikan sebagai suatu hubungan yaqng bebas, melakukan lebih dari sebuah kesalahan dalam metode: ia dengan jelas menunjukan bahwa dirinya tidak menangkap hal ikatan yang meragamkan semua bentuk produksi burjuis, bahwa dirinya tidak memahami sifat “historis” dan “transitori” (sementara/peralihan) bentuk-bentuk produksi dalam suatu kurun waktu tertentu. M. Proudhon, yang tidak memandang lembahga-lembaga siosial kita sebagai produk-produk historis, ;yang tidak dapat memahami asal-usul maupun perkembangan mereka, hanya dapat menghasilkan kritik dogmatik mengenai semua itu.
Karenanya M. Proudhon terpaksa lari pada sebuah fiksi agar dapat menjelaskan perkembangan. Ia membayangkan bahwa pembagian kerja, kredit, permesinan, dsb., semuanya ditemukan untuk melayani ide pancangannya, ide mengenai persamaan/keadilan. Penjelasannya itu sungguh kepandiran sublim. Hal-hal ini ditemukan untuk kepentingan-kepentingan keadilan tetapi malangnya semua itu berbalik terhadap keadilan. Inilah seluruh persoalannya. Dengan kata-kata lain, M. Proudhon membuat suatu pengandaian Cuma-Cuma dan kemudian, ketika perkembangan sesungguhnya berlawanan fiksinya di setiap langkah dan sudut, ia menyimpulkan akan adanya suatu kontradiksi. Ia menyembunyikan fakta bahwa kontradiksi itu semata-mata ada antara ide-ide pancangannya dan gerak sesungguhnya.
Demikianlah, M. Proudhon terutama karena ia kekurangan pengetahuan historis, maka tidak memahami bahwea dengan berkembangnya tenaga-tenaga produktif manusia, yaitu dalam kehidupan mereka, mereka itu mengembangkan hubungan-hubungan tertentu satu sama lainnya dan bahwa sifat hubungan-hubungan ini mau tidak mau berubah bersama perubahan dan pertumbuhan tenaga-tenaga produktif itu. Ia tidak memahami bahwa “kategori-kategori ekonomi” hanya “ungkapan abstrak” dari hubungan-hubungan aktual ini dan hanyalah tetap berlaku selama hubungan-hubungan itu ada. Karena itulah ia terjerumus ke dalam kesalahan para ahli ekonomi burjuis, yang menganggap kategori-kategori ekonomi ini sebagai hukum-hukum abadi dan tidak sebagai hukum-hukum historis yang adalah semata-mata hukum-hukum bagi suatu perkembangan historis tertentu, untuk suatu perkembangan tertentu dari tenaga-tenaga produktif. Karena itu, ganti menganggap kategori-kategori politikal-ekonomi ini sebagai ungkapan-ungkapan abstrak dari hubungan-hubungan sosial historis, transitori, yang sesungguhnya, Monsieur Proudhon, berkat suatu pembalikan mistik, melihat dalam hubungan-hubungan sesungguhnya itu cuma perwujudan dari abstraksi-abstraksi ini. Abstraksi-abstraksi itu sendiri adalah perumusan-perumusan yang ngendon di jantung Alah Bapa sejak awal dunia.
Tetapi, di sini M. Proudhon kita yang baik terjerumus ke dalam kejang-kejang intelektual yang amat seangat. Apabila semua kategori ekonomik ini adalah pancaran-pancaran dari jantung Tuhan, adalah kehidupan tersembunyi dan kekal dari manusia, bagaimanakah kejadiannya, pertama-tama, bahwa ada yang disebut perkembangan, dan kedua, bahwa M. Proudhon tidaklah seorang konservatif? Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi yang jelas-jelas ini dengan suatu sistem antagonisme yang menyeluruh.
Untuk mendapatkan kejelasan mengenai sistem antagonisme-antagonisme ini marilah kita mengambil sebuah contoh.
“Monopoli” adalah sesuatu yang baik, karena ia adalah suatu kategori ekonomi dan karenanya suatu pancaran dari Tuhan. Persaingan adalah sesuatu yang baik karena ia juga suatu kategori ekonomik. Namun yang tidak baik adalah realitas dari monopoli dan realitas dari persaingan itu. Yang lebih buruk lagi adalah kenyataan bahwa persaingan dan monopoli saling mengganyang satu sama lain. Apakah yang harus dilakukan? Karena kedua ide kekal dari Tuhan ini saling berkontradiksi, tampaknya jelas sekali padanya bahwa terdapat juga di lubuk Tuhan suatu sintesis dari keduanya, di mana kejahatan-kejahatan monopoli diseimbangkan dengan persaingan dan vice versa. Sebagai hasil pergulatan di antara kedua ide itu, hanya sisi baiknya yang akan tampak pada kita. Orang harus menyambar ide rahasia ini dari Tuhan dan kemudian menerapakannya dan segala sesuatu akan jadilah yang paling baik; perumusan sintetik yang tersembunyikan dalamn kegelapan nalar manusia yang tidak mempribadi harus diungkapkan. M. Proudhon tidak ragu-ragu sejenak pun untuk maju ke depan sebagai pengungkapnya.
Tetapi, lihatlah sejenak pada kehidupan nyata. Dalam kehidupan ekonomi masa kini anda tidak hanya akan menjumpai persaingan dan monopoli, tetapi juga sintesis mereka, yang bukanlah sebuah “perumusan” (formula), melainkan adalah sebuah “gerakan.” Monopoli menghasilkan persaingan, persaingan menghasilkan monopoli. Tetapi kesetaraan ini, sebaliknya daripada menghilangkan kesulitan-kesulitan keadaan dewasa ini, sebagaimana para ahli ekonomi borjuis membayangkannya, menghasilkan suatu situasi yang semakin sulit dan membingungkan. Maka, jika anda mengubah landasan yang di atasnya hubungan-hubungan ekonomi dewasa ini bertumpu, jika anda mentghancurkan cara produksi “masa-kini,” maka anda tidak hanya akan menghancurkan persaingan, monopoli dan antagonisme mereka, melainkan juga akan menghancurkan kesatuan mereka, sintesis mereka, gerakan yang adalah keseimbangan yang sesungguhnya dari persaingan dan monopoli.
Nah akan saya berikan sekarang sebuah contoh dari dialektika Monsieur Proudhon.
“Kebebasan” dan “perbudakan” merupakan sebuah antagonisme . Tidak perlu berbicara mengenai sisi baik dan sisi buruk dari kebebasan, juga – berbicara mengenai perbudakan– tidak perlu membicarakan sisi buruknya. Satu-satrunya hal yang mesti dijelaskan adalah sisi baiknya. Kita tidak membicarakan perbudakan tidak langsung, perbudakan proletariat, tetapi mempersoalkan perbudakan langsung, perbudakan ras-ras hitam di Suriname, di Brazil, di Negara-negara Bagian Selatan dari Amerika Utara.
Perbudakan langsung dewasa ini sepenuhnya merupakan poros industrialisme kita seperti halnya mesin, perkreditan dan sebagainya. Tanpa perbudakan tidak adalah kapas; tanpa kapas tidak adalah industri modern. Perbudakan telah memberi nilai pada koloni-koloni; koloni-koloni telah menciptakan perdagangan dunia; perdagangan dunia menjadi syarat mutlak bagi industri mesin besar-besaran. Demikianlah, sebelum lalu-lintas orang negro dimulai, koloni-koloni menyuplai Dunia Lama dengan produk-produk yang sedikit sekali dan tidak membuat suatu perubahan yang tampak pada wajah bumi. Perbudakan karenanya merupakan suatu kategori ekonomi dengan arti-penting tertinggi. Tanpa perbudakan, maka Amerika Utara –negeri yang paling progresif– akan ditransformasi menjadi sebuah negeri patriarkal. Cukup anda menghapus Amerika Utara dari peta bangsa-bangsa, dan yang anda dapatkan adalah anarki, pembusukan total dari perdagangan dan peradaban modern. Tetapi, membiarkan perbudakan menghilang berarti menyapu Amerika Utara dari peta bangsa-bangsa. Dan karenanya, kartena ia adalah suatu kategori ekonomik, kita mendapati perbudakan di setiap bangsa sejak awal dunia.Bangsa-bangsa modern Cuma mengetahui caranya menyembunyikan perbudakan di negeri-negeri mereka sendiri, sambil secara terbuka mereka mengimportnya ke Dunia Baru. Sesudah pengamatan-pengamatan mengenai perbudakan ini, bagaimanakah M. Proudhon kita yang terhormat itu melanjutkannya? Ia akan mencari sintesis antara kebebasan dan perbudakan, jalan tengah atau keseimbangan antara perbudakan dan kebebasan.
Monsieur Proudhon telah dengan sangat baik menangkap kenyataan bahwa manusia memproduksi kain, lenan, sutera, dan adalah suatu jasa besar dari pihak M. Proudhon bahwa dirinya telah menangkap sejumlah hal kecil ini! Yang tidak ditangkapnya adalah bahwa orang-orang ini, sesuiai kemampuan-kemampuan mereka, telah juga memproduksi “hubungan-hubungan sosial” di dalam mana mereka membuat kain dan lenan itu! Yang lebih tidak dipahaminya adalah bahwa orang-orang yang memproduksi hubungan-hubungan sosial mereka sesuai dengan produktivitas material mereka, juga memproduksi “ide-ide,” “kategori-kategori,” yaitu ekspresi ideal abstrak dari hubungan-hubungan sosial itu pula. Dengan demikian kategori-kategori tidaklah lebih kekal-abadi daripada hubungan-hubungan yang mereka ekspresikan itu. Itu semua adalah produk-produk historis dan transitori.
Bagi M. Proudhon, sebaliknya, abstraksi-abstraksi, kategori-kategori adalah sebab primordial. Menurutnya itulah, dan bukan manusia, yang membuat sejarah. “Abstraksi-abstraksi,” “kategori sebagaimana adanya,” yaitu terpisah dari manusia dan aktivitas material mereka, sudah barang tentu kekal, tidak bisa berubah, tidak digerakkan; ia hanyaklah satu bentuk dari keberadaan nalar murni; yang hanyalah satu cara lainh untuk mengatakan bahwa abstraksi itu sendiri adalah abstrak. Sungguh sebuah tautologi yang mempesona!
Demikian, dipandang sebagai kategori-kategori, hubungan-hubungan ekonomi bagi M. Proudhon adalah formula-formula kekal-abadi tanpa asal-usul atau kemajuan.
Biarlah kita mengatakan secara lain: M. Proudhon tidak secara langsung menyatakan bahwa “kehidupan burjuis” bagi dirinya adalah suatu “kebenaran abadi”; ia menyatakan itu secara tidak langsung dengan mendewakan kategori-kategori yang mengekspresikan hubungan-hubungan borjuis dalam bentuk pikiran. Ia menganggap produk-produk masyarakat borjuis sebagai makhluk-makhluk/keberadaan-keberadaan abadi yang lahir secara spontan, yang diberkati suatu kehidupan mereka sendiri, seketika mereka itu menghadirikan diri mereka sendiri pada pikirannya dalam bentuk kategotri-kategori, dalam bentuk pikiran. Jadi, ia tidak bangkit di atas kaki langit borjuis. Selagi dirinya beroperasi dengan ide-ide borjuis, kebenaran abadi yang dipraperkirakannya, ia mencari suatu sintesis, suatu keseimbangan/ekuilibrium dari ide-ide ini, dan tidak melihat bahwa metode satu itu, yang dengannya mereka mencapai ekuilibrium, adalah satu-satunya metode yang memungkinkannya.
Sesungguhnya, M. Proudhon telah melakukan yang dilakukan semua borjuasi yang baik. Mereka semua mengatakan bahwa pada asasnya, yaitu dipandang sebagai ide-ide abstrak, persaingan, monopoli, dsb, adalah satu-satunya landasan kehidupan, tetapi bahwa di dalam praktek mereka itu masih menyisakan banyak sekali kekurangan. Semua mereka itu menghendaki persaingan tanpa akibat-akibat mematikan dari persaingan. Semua mereka itu menginginkan yang tidak mungkin, yaitu, kondisi-kondisi keberadaan (kehidupan) burjuis tanpa keharusan konsekuensi-konskuensi dari kondisi-kondisi itu. Tiada di antara mereka memahami bahwa bentuk produksi burjuis adalah historis dan transitori, tepat sebagaimana bentuk feodal adanya. Kesalahan ini lahir dari kenyataan bahwa manusia burjuiis bagi mereka merupakan satu-satunya landasan yang mungkin bagi setiap masyarakat; mereka tidak dapat membayangkan sebuah masyarakat di mana manusia berhenti sebagai borjuis.
Karena itu M. Proudhon tidak bisa tidak adalah seorang “doktriner.”
Baginya gerak historis yang menjungkir-balikkan dunia masa-kini telah menyusut menjadi masalah menemukan ekuilibrium yang tepat, sintesis dari dua pikiran borjuis. Dan dengan begitu si pintar itu, dengan kelicikannya, dapat mengungkapkan pikiran Tuhan yangh tersembunyi, kesatuan dari dua pikiran terisolasi – yang hanya terisolasi karena M. Proudhon telajh mengisolasinya dari kehidupan praktikal, dari produksi masa-kini, yaitu dari kesatuan realitas-realitas yang mereka ekspresikan.
Gantinya gerakan bersejarah yang besar yang lahir dari konflik antara tenaga-tenaga produktif yang sudah dicapai oleh manusia dan hubungan-hubungan sosial mereka yang sudah tidak bersesuaian lagi dengan tenaga-tenaga produktif ini; gantinya peperangan-peperangan yang mengerikan yang sedang disiapkan antara berbagai kelas di dalam setiap bangsa dan di antara berbagai bangsa; gantinya aksi massa yang praktikal dan penuh kekerasan sebagai penyelesaian satu-satunya untuk konflik-konflik itu – gantinya gerakan besar, berkepanjangan dan rumit ini, Monsieur Proudhon memberikan gerak-ulah dari kepalanya sendiri. Jadinya yalah orang-orang terpelajar yang membuat sejarah, orang-orang yang tahu caranya mencuri pikiran-pikiran rahasia Tuhan. Orang-orang biasa cuma tinggal menerapkan wahyu-wahyu orang-orang terpelajar itu. Kini anda mengertilah mengapa M. Proudhon adalah yang dinyatakan sebagai musuh dari setiap gerakan politik. Pemecahan masalah-masalah sekarang bagi dirinya tidaklah terletak pada aksi publik, tetapi dalam perputaran dialektikal dari pikirannya sendiri. Karena baginya kategori-kategori itu adalah tenaga pendorong, maka tidak perlu mengubah kehidupan praktikal untuk mengubah kategori-kategori itu. Justru sebaliknya. Orang mesti mengubah kategori-kategori itu dan konsekuensinya ialah terjadinya perubahan dalam masyarakat yang ada itu.
Dalam hasratnya untuk mendamaikan kontradiksi-kontradiksi itu Monsieur Proudhon bahkan tidak bertanya apakah dasar kontradiksi-kontradiksi itu sendiri tidak mesti ditumbangkan. Ia presis seperti doktriner politik yang menginginkan raja dan dewan para wakil dan dewan para sesepuh sebagai bagian-bagian integral dari kehidupan sosial, sebagai kategori-kategori abadi. Yang dicarinya hanyalah sebuah perumusan baru yang dengannya dibentuknya suatu keseimbangan/ekuilibrium antara kekuatan-kekuatan yang keseimbangannya justru ada di dalam gerakan aktual, di mana satu kekuatan sekarang penakluknya dan kemudian budak yang lainnya. Demikianlah dalam abad ke XVIII itu sejumlah pikiran sedang-sedang (mediocre) sibuk mencari formula yang benar yang yang akan menyeimbangkan golongan-golongan sosial, kaum ningrat, raja, parlemen dsb, dan mereka terbangun pada suatu pagi menemukan bahwa dalam kenyataan tidak ada lagi seorangpun raja, parlemen atau kaum ningrat. Ekuilibrium yang sesungguhnya dalam antagonisme ini ialah penumbangan semua hubungan sosial yang berlaku sebagai suatu landasan bagi keberadaan-keberadaan feodal ini dan bagi antagonisme-antagonisme eksistensi-eksistensi feodal ini.
Karena M. Proudhon menempatkan ide-ide abadi, kategori-kategori nalar murni di satu pihak dan makhluk manusia dengan kehidupan praktikal mereka, yang menurut M. Proudhon adalah terapan-terapan kategorikategori ini, di lain pihak, maka sejak awal orang mendapatkan bersama M. Proudhon suatu “dualisme” antara kehidupan dan ide-ide, antara roh dan tubuh, suatu dualisme yang berulang-jadi dalam banyak bentuk. Sekarang orang dapat melihat bahwa antagonisme ini tidak lain dan tidak bukan adalah ketidak-mampuan M. Proudhon untuk memahami asal-usul keduniawian dan sejarah keduniawian kategori-kategori yang didewakannya.
Surat saya ini sudah menjadi terlalu panjang untuk berbicara lagi mengenai kasus yang absurd yang diangkat oleh M. Proudhon terhadap komunisme.Untuk sementara ini sudilah anda membiarkan aku mengatakan bahwa seorang yang tidak memahami keadaan masyarakat sekarang pastilah semakin tidak memahami gerakan yang cenderung akan menumbangkannya, dan semakin tidak memahami ungkapan-ungkapan literer dari gerakan revolusioner ini.
“Satu-satunya hal” yang sepenuhnya saya bersepakat dengan M. Proudhon adalah ketidak-sukaannya akan mimpi-mimpi sosialistik yang sentimental di siang-hari bolong. Saya sendiri sudah, sebelum M. Proudhon, membuat diriku dimusuhi karena mencemoohkan sosialisme utopian, berotak-kosong dan sentimental ini. Tetapi, tidakkah M. Proudhon secara ganjil membohongi dirinya sendiri ketika ia membangun sentimentalitas borjuis-kecilnya – di sini saya mengacu pada penolakannya mengenai rumah-tangga, cinta suami-isteri (konjugal) dan semua kedangkalan-kedangkalan seperti itu – secara berlawanan dengan sentimentalitas sosialis, yang pada Fourier, misalnya, adalah sangat lebih mendalam daripada pernyataan-pernyataan berulang yang penuh pretensi dari Proudhon kita yang terhormat? Ia sendiri begitu menyadari sendiri akan kehampaan argumen-argumennya, akan ketidak-ampuannya yang habis-habisan untuk berbicara mengenai hal-hgal ini, sehingga ia meledak-ledak dalam amarah , keributan riuh-rendah dan murka ( irae hominis probi), berbusa-busa mulutnya, mencaci-maki, mengumpat, menista dan menyumpah-nyumpah, memukul-mukul dadanya dan berteriak-teriak di hadapan Tuhan dan manusia bahwa dirinya tidak dicemari oleh kehina-dinaan sosialis! Ia tidak dengan serius mengritik sentimentalitas-sentimentalitas sosialis, atau yang dianggapnya seperti itu. Bagaikan seorang suci, seorang paus, ia mengekskomunikasikan para pedosa yang malang dan menyanyikan kejayaan-kejayaan burjuasi-kecil dan dari ilusi-ilusi rumah-tangga yang penuh asmara serta patriarchal menyengsarakan. Dan ini tidaklah kebetulan belaka. Dari ujung rambut hingga telapak kakinya, M. Proudhon adalah filsuf dan ahli ekonomi borjuis-kecil. Dalam suatu masyarakat yang maju, sang borjuis-kecil dari posisinya sendiri niscaya adalah seorang sosialis di satu pihak dan seorang ahli ekonomi di pihak lain; artinya, ia silau dengan kemuliaan borjuasi besar dan bersimpati pada penderitaan rakyat. Ia sekaligus borjuis dan rakyat biasa. Di lubuk hatinya ia memuji diri sendiri bahwa dirinya tidak memihak dan telah menemukan keseimbangan yang tepat, yang mengklaim dirinya sebagai sesuatu yang berbeda dari kesedang-sedangan. Seorang borjuis-kecil dari jenis ini memuliakan “kontradiksi” karena kontradiksi adalah landasan keberadaannya. Ia sendiri tidak bukan dan tidak lain adalah kontradiksi sosial yang sedang beraksi. Ia mesti membenarkan dalam teori yang menjadi dirinya dalam praktek, dan M. Proudhon memahkotai dirinya sebagai penerjemah ilmiah dari burjuasi kecil Perancis – sebuah berkat sejati, karena burjuasi-kecil akan membentuk suatu bagian integral dari semua revolusi sosial yang akan datang.
Ingin sekali saya dapat mengirimkan pada anda buku saya mengenai ekonomi politik bersama surat ini, tetapi sampai sejauh ini saya tidak berhasil mencetakkan buku itu, dan kritik atas para filsuf dan Sosialis Jerman yang saya bicarakan dengan anda di Brussel. Anda tidak akan percaya betapa banyaknya kesulitan yang dihadapi publikasi seperti ini di Jerman, dari pihak kepolisian di satu pihak dan dari para penjual buku – yang adalah wakil-wakil berkepentingan dari semua kecenderungan yang saya serang, di pihak lain. Dan mengenai Partai kita sendiri, ia tidak cuma sekedar miskin, tetapi bagian besar dari Partai Komunis Jerman juga marah pada saya karena telah menentang utopia-utopia dan hafalan-hafalan mereka ...

Kemiskinan Filsafat Karl Marx (1847) BAB II METAFISIKA EKONOMI-POLITIK 5. Pemogokan-pemogokan dan Kombinasi- kombinasi Pekerja

Setiap gerak naik upah-upah tidak bisa berakibat lain kecuali suatu kenbaikan dalam harga gandum, anggur dsb., yaitu, akibat dari suatu kekurangan/kelangkaan. Apakah upah-upah itu? Itu adalah harga ongkosnya gandum dsb.; mereka adalah harga integran dari segala sesuatu. Kita bahkan bidsa lebih jauh lagi: upah-upah adalah poroporsi dari unsur-unsur yang menggubah kekayaan dan dikonsumsi secara reproduktif setiap hari oleh massa kaunm pekerja. Nah, melipatgandakan upah-upah ... adalah menjulukkan pada setiap produser suatu bagian lebih besar daripada produknya, dan yang adalah kontradiktif, dan jika kenaikan itu hanya meluas daripada sejumlah kecil industri, ia menimbulkan suatu gangguan umum dalam pertukaran; singkat-kata, suatu kelangkaan ... Aku menyatakan bahwa tidaklah mungkin bagi pemogokan-pemogokan yang disusul oleh suatu kenaikan dalam upah-upah untuk tidak berkulminasi pada suatu kenaikan umum dalam harga-harga; ini jelas sejelas-jelas sebagaimana dua tambah dua adalah empat. (Proudhon, Vol.I, hal.110 dan 111.)

Kita menyangkal semua pernyataan ini, kecuali bahwa dua tambah dua adalah empat.

Pertama-tama, tidak ada kenaikan umum dalam harga-harga. Jika harga segala sesuatu berlipat-ganda bersamaan waktu dengan harga-harga, maka tidak ada perubahan dalam harga, satru-satunya perubahan adalah dalam istilah-istilah.

Lagi pula, suatu kenaikan umum dalam upah-upah tidak akan pernah menghasilkan suatu kenaikan umum yang kurang atau lebih dalam harga barang-barang. Sesungguhnya, jika setiap industri mengerjakan jumlah pekerja yang sama dalam hubungannya dengan modal tetap atau dengan perkakas-perkakas yang digunakan, suatu kenaikan umum dalam upah-upah akan menghasilkan suatu kejatuhan umum dalam laba dan harga barang-barang yang berlaku sekarang tidak akan mengalami perubahan.

Tetapi, karena hubungan kerja manual pada modal tetap tidaklah sama dalam berbagai industri, semua industri yang mempekerjakan suatu massa modal yang relatif lebih besar dan massa pekerja yang lebih sedikit jumlahnya, akan –cepat atau lambat—terpaksa menurunkan harga barang-barang mereka. Dalam kasus yang sebaliknya, di mana harga barang-barang mereka tidak diturunkan, laba mereka akan baik di atas tingkat umum laba-laba. Mesin bukanlah penghasil upah. Karenanya kenaikan umum dalam upah-upah akan kurang mempengaruhi industri-industri yang, dibandingkan yang lain-lainnya, mempekerjakan lebih banyak mesin daripada pekerja. Tetapi karena persaingan selalu cenderung meratakan tingkat laba, maka laba-laba yang naik di atas tingkat rata-rata tidak bisa tidak bersifat sementara. Jadi, kecuali beberapa fluktuasi, suatu kebaikan umum dalam upah-upah akan mengakibatkan, —tidak sebagaimana dikatakan M. Proudhon, pada suatu kenaikan umum dalam harga-harga, tetapi pada suatu kejatuhan pasial, yuaitu suatu kejatuhan dalam harga barang-barang yang berlaku sekarang, dan yang –barang-barang itu– terutama dibuat dengan bantuan mesin-mesin.

Kenaikan dan kejatuhan laba-laba dan upah-upah hanyalah mengungkapkan proporsi dalam berbaginya kaum kapitalis dan kaum buruh dalam produk satu hari kerja, tanpa mempengaruhi –dalam kebanyakan peristiwa – harga produk itu. Tetapi, bahwa “pemogokan-pemogokan yang disusul oleh suatu kenaikan dalam upah-upah berkulminasi dalam suatu kenaikan umum dalam harga-harga, bahkan dalam suatu kelangkaan” – ini adalah pengertian-pengertian yang hanya dapat merekah di dalam otak seorang penyair yang telah tidak dipahami orang.

Di Inggris, pemogokan-pemogokan telah secara teratur melahirkan penemuan baru dan penerapan mesin-mesin bvaru. Mesin-mesin adalah, boleh dikatakan, senjata yang dipakai oleh kaum kapitalis untuk menindas pemberontakan kerja yang dispesialisasikan. “Keledai yang berswalaku,” penemuan terbesar dari industri modern, telah melumpuhkan kaum pemintal yang sedang memberontak. Jika kombinasi-kombinasi dan pemogokan-pemogokan tidak berakibat lain daripada membuat usaha-usaha sang jenius mekanis bertindak terhadap mereka, maka mereka akan tetap mempunyai pengaruh luar biasa atas perkembangan industri.

“Aku mendapatkan,” demikian M. Proudhon melanjutkan, “dalam sebuah karangan yang dipublikasikan oleh M. Leon Faucher ... September 18455, bahwa beberapa waktu lamanya kaum pekerja Inggris telah keluar dari kebiasaan kombuinasi. Yang jelas suatu kemajuan yang sudah seharusnya orang layak memberi selamat pada mereka: tetapi perbaikan dalam moral kaum buruh ini terutama datang dari pendidikan ekonomi mereka. Tidaklah pada para manufaktur, berteriak seorang pekerja pabrik pemintalan pada suatu rapat di Boston, bergantungnya upah-upah. Pada masa-masa depresi yang menjadi dipertuan adalah, boleh dikatakan, hanyalah cambuk yang dengannya keharusan mempersenjatai diri sendiri, dan apakah mereka mau atau tidak mau, mereka harus mengayunkan hajaran-hajaran itu. Azas pengaturnya adalah hubungan antara persediaan dan permintaan; dan para majikan/dipertuan itu tidak memiliki kekuasaan ini ... Bagus sekali!” M. Proudhon berseru, “mereka ini adalah para pekerja yang terlatih baik, kaum pekerja teladan, etc. Kemiskinan seperti itu tidak ada di Inggris; ia tidak akan menyeberangi Selat” (Proudhon, Vol.I, hal.261 dan 262.)

Dari semua kota di Inggris, Bolton merupakan kota tempat anarkisme paling berkembang. Pada waktu agitasi besar di Inggris untuk penghapusan Undang-undang Gandum, kaum manufaktor Inggris mengira dapat menyelesaikan kaum pemilik tanah dengan mendorong saja kaum pekerja menghadapi mereka. Tetapi, karena kepentingan-kepentingan kaum buruh itu tidak kurang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan kaum manufaktor daripada kepentingan-kepentingan kaum pemilik tanah, maka wajarlah bahwa kaum manufaktor akan mengalami nasib buruk pada rapat-rapat kaum buruh. Apakah yang dilakukan kaum manufaktor itu? Untuk menyelamatkan muka, mereka mengorganisasi rapat-rapat yang untuk sebagian besar terdiri atas kaum mandor, terdiri atas sejumlah kecil kaum buruh yang paling patuh pada mereka, dan para “kerabat usaha” sejati. Ketika, kemudian, para buruh sejati berusaha – seperti di Bolton dan Manchester, untuk mengambil bagian dalam demonstrasi-demonstrasi gadungan itu, yaitu agar dapat memrotes / menentang demonstrasi-demonstrasi bahwa yang berlangsung itu adalah sebuah “rapat berkarcis” – sebuah rapat yang hanya mengizinkan kehadiran orang-orang yang membawa karcis masuk. Padahal plakat-plakat yang ditempelkan di dinding-dinding mengumumkannya sebagai rapat-rapat umum.Setiap kali rapat seperiti itu dilangsungkan, surat-surat kabar kaum manufaktor memuat berita besar-besar dan terperinci mengenai pidato-pidato yang diucapkan dalam rapat itu. Sudah barang tentu adalah bahwa para mandor itu yang berpidato. Surat-surat kabar London mereproduksi pidato-pidato itu kata demi kata. Sungguh malang bagi M. Proudhon telah menganggap para mandor itu sebagai kaum buruh biasa, dan melarang mereka menyeberangi Selat.

Apabila pada tahun-tahun 1844 dan 1845 pemogokan-pemogokan kurang mendapatkan perhatian daripada di masa sebelumnya, itu adalah karena tahun-tahun 1844 dan 1845 adalah tahun-tahun pertama dari tahun-tahun kemakmuran yang dialami industri Inggris sejak tahun 1837. Namun begitu tidak ada “serikat buruh” yang dibubarkan.

Sekarang mari kita mendengarkan para mandor Bolton. Menurut mereka kaum manufaktor tidak menguasai upah-upah karena mereka tidak menguasai harga produk-produk, dan mereka tidak menguasai harga produk-produk karena mereka tidak menguasai pasar dunia. Dengan alasan ini mereka menginginkan adanya pengertian bahwa perserikatan-perserikatan dibentuk untuk memeras suatu kenaikan upah dari para majikan. M. Proudhon, sebaliknya, melarang perserikatan-perserikatan karena takut mereka akan disusul suatu kenaikan upah-upah yang akan membawa serta timbulnya suatu kelangkaan umum. Tidak perlu kita sebutkan lagi bahwa pada satu hal terdapat suatu entente cordiale (saling pengertian perkerabatan) antara para mandor dan M. Proudhon: bahwa suatu kenaikan dalam pengupahan adalah setara
dengan suatu kenaikan dalam harga produk-produk.

Tetapi, adakah ketakutan akan suatu kelangkaan sebab sebenarnya dari kecemasan M. Proudhon? Tidak. Sederhananya saja, ia terganggu dengan para mandor Bolton itu karena mereka menentukan nilai dengan “persediaan dan permintaan” dan nyaris tidak memperhitungkan “nilai bentukan,” nilai yang telah beralih menjadi bentukan, dari pembentukan nilai, termasuk di dalamnya “keadaan- dapat-dipertukarkan secara permanen” dan semua “proporsionalitas hubungan-hubungan” dan “hubungan-hubungan proporsionalitas” lainnya, dengan Takdir di pihak mereka.

“Suatu pemogokan kaum buruh adalah ilegal, dan tidak hanya Hukum Pidana yang menyatakan begitu, melainkan (juga) sistem ekonomi, keharusan dari tatanan yang bercokol ... Bahwa setiap pekerja secara individual mesti berlaku bebas atas dirinya dan kedua tangannya, hal ini dapat ditenggang, tetapi bahwa kaum buruh dengan berserikat bertindak melakukan kekerasan terhadap monopoli, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diperkenankan oleh masyarakat.” (Vol.I, hal,. 334 dan 335.)

M. Proudhopn bermaksud menegakkan sebuah pasal dari Hukum Pidana sebagai sebuah hasil yang diperlukan dan bersifat umum dari hubungan-hubungan produksi borjuis.

Di Inggris berserikat (kombinasi) diabsahkan dengan sebuah Undang-undang Parlemen, dan adalah sistem ekonomi yang telah memaksa Parlemen memberikan otorisasi legal ini. Pada tahun 1825, ketika, di bawah Menteri Huskisson, Parlemen mesti memodifikasi undang-undang ini agar semakin menyelaraskannya dengan kondisi-kondisi yang dihasilkan persaingan bebas, ia terpaksa mesti menghapuskan semua undang-undang yang melarang berserikatnya/perserikatan-perserikatan kaum buruh. Semakin modern industri dan persaingan berkembang, semakin banyak unsur yang mengharuskan dan memperkuat perserikatan, dan sesegera perserikatan menjadi sebuah kenyataan ekonomi, yang dari hari-ke-hari bertambah kokoh, maka mau tidak mau dalam waktu tidak terlalu lama ia akan menjadi suatu kenyataan legal.

Dengan demikian pasal Hukum Pidana itu paling banter membuktikan bahwa industri dan persaingan modern masih belum berkembang baik dibawah Majelis Konsituante dan di bawah Kerajaan. [48]

Kaum Ekonomis dan Sosialis****** sepakat dalam satu hal: pengutukan “perserikatan-perserikatan.” Cuma, mereka mempunyai motif-motif yang berlainan bagi tindak pengutukan itu.

Kaum Ekonomis berkata pada kaum buruh: Jangan berserikat. Dengan berserikat kalian menghalangi kemajuan teratur dari industri, kalian menghalangi para manufaktor melaksanakan order-order (pesanan-pesanan) mereka, kalian mengganggu perdagangan dan kalian mempercepat invasi mesin-mesin yang, dengan menjadikan kerja kalian sebagian menjadi tidak berguna, memaksa kalian untuk menerima suatu upah yang lebih rendah lagi. Kecuali itu, apapun yang kalian lakukan, upah-upah kalian akanb selalu ditentukan oleh hubungan tangan-tangan (tenaga kerja) yang diminta dengan tangan-tangan yang tersedia, dan merupakan suatu usaha yang tolol dan sekaligus berbahaya bagi kalian untuk memberontak terhadap hukum-hukum ekonomi politik yang bersifat abadi itu.

Kaum Sosialis berkata pada kaum buruh: Jangan berserikat, karena apakah gerangan yang kalian beroleh dengan itu? Suatu kenaikan upah? Kaum ekonomis akan membuktikan pada kalian dengan sangat jelas sekali bahwa beberapa setengah-pence yang mungkin kalian peroleh dengan berserikat itu untuk beberapa waktu lamanya jika kalian berhasil, akan disusul oleh suatu kejatuhan permanen. Kalkulator-kalkulator terlatih akan membuktikan pada kalian bahwa kalian akan memerlukan bertahun-tahun lamanya untuk sekedar pulih kembali, melalui peningkatan upah-upah kalian, dari biaya-biaya yang ditimbulkan bagi organisasi dan pemeliharaan perserikatan-perserikatan itu.

Dan kami, sebagai Sosialis, mengatakan pada kalian bahwa, di samping masalah uang, kalian bagaimanapun juga akan tetap saja kaum pekerja, dan para majikan akan tetap dan terus menjadi majikan, seperti kenyataan sebelumnya. Maka itu jangan ada perserikatan! Jangan berpolitik! Sebab, tidakkah masuk dalam perserikatan berarti terlibat dalam politik?

Kaum Ekonomis menghendaki agar kaum buruh tetap di dalam masyarakat sebagaimana masyarakat itu dibentuk dan sebagaimana itu ditandai dan diterakan oleh mereka dalam buku-buku teori mereka.

Kaum Sosialis menghendaki agar kaum buruh membiarkan masyarakat lama itu sebagaimana adanya, agar lkebih mungkin memasuki kemasyarakat baru yang telah mereka (kaum Sosialis) persiapkan untuk kaum buruh itu dengan begitu besar wawasan.

Tetapi, walau semua mereka itu, walau segala buku-teori dan utopia itu, perserikatan tidak sesaatpun terhenti dalam gerak majunya dan tumbuhnya dalam perkembangan dan pertumbuhan industri modern. Ia kini telah mencapai suatu tahap sedemikian rupa, sehingga derajat perkembangan perserikatan itu di negeri manapun dengan jelas menandakan peringkat yang ditempatinya di dalam hierarki pasar dunia. Inggris yang industrinya telah mencapai tingkat perkembangan tertinggi, mempunyai perserikatan-perserikatan yang terbesar dan terorganisasi paling baik.

Di Inggris mereka tidak berhenti pada perserikatan-perserikatan parsial yang tidak mempunyai sasaran lain kecuali suatu pemogokan sepintas dan yang menghilang bersama berlalunya pemogokan itu. Perserikatan-perserikatan permanen telah dibentuk, “serikat-serikat buruh,” yang berfungsi sebagai kubu-kubu pertahanan bagi kaum buruh dalam perjuangan mereka terhadap kaum pemberi kerja/majikan. Pada waktu sekarang semua “serikat buruh” lokal menemukan titik berkerumunnya pada Asosiasi Nasional Serikat-serikat Buruh[49] yang sentral komitenya berada di London, dan yang sudah beranggotakan 80.000 buruh. Pengoganisasian pemogokan-pemogokan , perserikatan-perserikatan dan “serikat-serikat buruh” ini berlangsung serentak dengan perjuangan-perjuangan politik kaum buruh, yang kini membentuk sebuah partai politik besar, dengan memakai nama Kaum Chartis.

Usaha-usaha pertama kaum buruh untuk “berasosiasi” (bergabung) diantara mereka sendiri selalu terjadi dalam bentuk perserikatanperserikatan.

Industri besar-besaran mengonsentrasikan sekerumunan orang yang tidak saling mengenal di satu tempat. Persaingan memisahkan kepentingan-kepentingan mereka. Tetapi pemeliharaan upah-upah, kepentingan bersama yang ada pada mereka terhadap majikan mereka ini, mempersatukan mereka dalam satu pikiran bersama untuk berlawan – “berserikat” (combination).

Dengan demikian perserikatan selalu mempunyai tujuan rangkap, yaitu menghentikan persaingan di antara kaum buruh, kagar mereka dapat melakukan persaingan umum dengan kaum kapitalis. Jika tujuan pertama dari perlawanan itu Cuma sekedar pemeliharaan/mem-pertahankan upah-upah, perserikatan-perserikatan,pada mulanya terisolasi, membentuk diri mereka menjadi kelompok-kelompok sementara kaum kapitalis pada giliran mereka bersatu dengan tujuan untuk menindas, dan dihadapan modal yang selalu bersatu, maka pemeliharaan asosiasi menjadi lebih penting bagi mereka daripada upah mereka. Hal ini sedemikian sungguhnya hingga para ahli ekonomi Inggris terheran-heran melihat kaum buruh mengorbanmkan sebagian besar upah mereka demi untuk asosiasi-asosiasi, yang, dimata para ahli ekonomi itu, dibentuk semata-mata demi untuk kepentingan upah. Dalam perjuangan ini – dalam arti sesungguhnya adalah suatu perang saudara– semua unsur yang diperlukan bagi pertempuran mendatang bersatu dan berkembang. Sekali ia mencapai titik ini, asosiasi menjadilah berwatak politik.

Kondisi-kondisi ekonomi mula-mula telah mentransformasi massa rakyat negeri itu menjadi kaum pekerja. Perpaduan/kombinasi modal telah menciptakan bagi massa ini suatu situasi bersama, kepentingan-kepentingan bersama. Massa ini dengan demikian sudah sebuah kelas yang berhadap-hadapan dengan modal, namun belum bagi dirinya sendiri. Di dalam perjuangan, yang mengenainya kita mencatat hanya beberapa tahapan, massa ini menjadi bersatu, dan membentuk dirinya sebagai sebuah kelas bagi dirinya sendiri. Kepentingan-kepentingan yang dibelanya menjadi kepentingan-kepentingan kelas. Tetapi perjuangan kelas melawan kelas adalah suatu perjuangan politik.

Pada borjuasi kita mendapati dua tahan yang mesti dibedakan: yang di dalamnya membentuk diri sendiri sebagai sebuah kelas di bawah rezim feodalisme dan monarki absolut, dan yang di dalamnya –setelah terbentuk sebagai sebuah kelas–, ia menumbangkan feodalisme dan monarki untuk menjadikan masyarakat suatu masyarakat borjuis. Yang pertama dari tahapan-tahapan ini adalah yang lebih lama dan memerlukan usaha-usaha yang lebih besar. Ini juga bermula dengan perpaduan-perpaduan (kombinasi-kombinasi) parsial terhadap tuan-tuan feodal.

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menjejaki berbagai tahapan historis yang telah dilalui oleh borjuasi, dari komune hingga terbentuknya sebagai suatu kelas.

Tetapi manakala soalnya yalah membuat suatu studi yang cermat tentang pemogokan-pemogokan, perserikatan-perserikatan dan bentuk-bentuk lain yang dilakukan kaum proletariat sebagai suatu kelas dengan organisasi mereka di depan mata kita, ada saja pihak-pihak yang dicekam ketakutan luar-biasa dan yang lain-lain lagi memperagakan suatu cemooh transendental.

Suatu kelas tertindas merupakan kondisi vital bagi setiap masyarakat yang didasarkan pada antagonisme kelas-kelas. Emansipasi kelas tertindas dengan demikian berarti keharusan diciptakannya suatu masyarakat baru. Agar kelas tertindas mampu mengemansipasikan dirinya adalah perlu bahwa tenaga-tenaga produktif yang sudah dicapai dan hubungan-hubungan sosial yang ada tidak bisa berdampingan secara damai. Dari semua alat produksi, tenaga produktif yang terbesar adalah kelas revolusioner itu sendiri. Organisasi unsur-unsur revolusioner sebagai suatu kelas mengandaikan keberadaan semua kekuatan produktif yang dapat dilahirkan dalam lubuk masyarakat lama.

Apakah ini berarti bahwa sesudah jatuhnya masyuarakat lama akan ada suatu dominasi kelas yang berkulminasi dalam senbuah kekuasaan politikasl baru? Tidak.

Kondisi bagi emansipasi kelas pekerja adalah penghapusan semua kelas, tepat sebagaimana kondisi bagi pembebasan golongan ketiga (third estate), dari tatanan borjuis, adalah penghapusan semua estat (golongan)******* dan semua tatanan.

Kelas pekerja, dalam proses perkembangannya, akan menggantikan masyarakat madani lama dengan suatu asosiasi yang tidak menyertakan kelas-kelas dan antagonisme mereka, dan tidak akan ada lagi kekuasaan politik dalam arti sebenarnya, karena kekuasaan politis adalah justru ungkapan/ekspresi resmi dari antagonisme dalam masyarakat madani.

Sementara itu antagonisme antara proletariat dan burjuasi adalah suatu perjuangan kelas lawan kelas, suatu perjuangan yang dilakukan hingga ungkapan tertingginya adalah sebuah revolusi total. Sesungguhnyalah, adalah mengherankan bahwa sebuah masyarakat yang didasarkan pada pertentangan kelas-kelas mesti berkulminasi dalam “kontradiksi” brutal, gempuran tubuh dengan tubuh, sebagai denouement (penyelesaian) akhirnya?

Jangan mengatakan bahwa gerakan sosial tidak meliputi gerakan politis. Tidak pernah ada gerakan politik yang tidak sekaligus bersifat sosial.

Hanyalah dalam suatu tatanan ketika tidak ada lagi kelas-kelas dan antagonisme-antagonisme kelas, bahwa “evolusi-evolusi sosial” akan berhenti sebagai “revolusi-revolusi politis.” Hingga saat itu, di ambang setiap pengadukan kembali ( reshuffling) masyarakat , kata akhir ilmu pengetahuan sosial akan selalu berbunyi:

“Le combat ou la mort; la lutte sanguinaire ou le neant. C’est ainsi que la question est invinciblenment posee.” (Perjuangan atau kematian; pertempuran berdarah atau kemusnahan. Demikian itulah masalahnya yang secara tanpa ampun dihadapi) George Sand.[50]


[47] W. Petty, Political Arithmatic, dalam buku W. Petty , Several Essays in Political Arithmatic, London, 1699.
[48] Undang-undang yang berlaku pada zaman itu di Perancis – yang disebut undang-undang Le Chapelier yang disahkan pada tahun 1791 selama revolusi burjuis oleh Majelis Konstituante dan hukum pidana yang disempurnakan di bawah Kerajaan Napoleonik – melarang kaum buruh membentuk serikat-serikat buruh atau mjelakukan pemogokan dengan ancaman hukuman berat. Pelarangan serikat-serikat buruh telah dihapuskan di Perancis selambat tahun 1884.
[49] National Association of United Trades: Sebuah organisasi serikat buruh yang didirikan di Inggris pada tahun 1845. Kegiatannya tidak melampaui rentang perjuangan ekonomi untuk kondisi-kondisi lebih baik bagi penjualan tenaga kerja, untuk undang-undang kerja yang lebih baik. Asosiasi itu berada hingga awal tahun-tahun 60-an, tetapi setelah 1851 ia tidak memainkan peranan penting dalam gerakan serikat buruh.
[50] “Bertempur atau mati: perjuangan berdarah atau pembasmian. Adalah seperti itu kerasnya persoalan itu.” George Sand, Jean Ziska. Sebuah novel sejarah. “Introduksi.”
****** Yaitu, kaum Sosialis masa itu: Kaum (pengikut) Fourier di Perancis, kaum (pengikut) Robert Owen di Inggris. [Catatan Engels pada edisi Jerman tahun 1885]
******* “Estat-estat” disini dalam arti historis estat-estat feodalisme, estat-estat dengan hak-hak istimewa tertentu dan terbatas. Revolusi borjuis telah menghapuskan estat-estat dan hak-hak istimewa itu. Masyarakat borjuis hanya mengenal “kelas-kelas.” Karenanya, adalah secara mutlak bertentangan dengan sejarah untuk melukiskan proletariat sebagai fourth estate (golongan ke-empat). [Catatan F. Engels pada Edisi Jerman, 1885.]