Rabu, 29 September 2010

Setahun Rekomendasi Kasus Penghilangan Paksa

Kamis, 30 September 2010 | 03:10 WIB
Chrisbiantoro

Meski tak spesifik disebutkan dalam pidato Presiden tentang delapan isu nasional baru-baru ini, tindak lanjut terhadap rekomendasi DPR terhadap kasus penghilangan orang secara paksa tetap dinantikan publik.

Membangun Administrasi Istana

Kamis, 30 September 2010 | 03:09 WIB
Eko Prasojo

Istana Presiden diguncang kembali oleh persoalan administrasi negara. Keputusan Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sesuai dengan makna dalam ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
Masa tugas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji, menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berakhir tatkala Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada 20 Oktober 2009 berakhir.

Memulihkan Kesaktian Pancasila

Kamis, 30 September 2010 | 03:08 WIB
Azyumardi Azra
Hari-hari seputar 30 September dan 1 Oktober ini, warga Indonesia, khususnya Angkatan 45, kembali merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Dasar negara Indonesia ini disebut memiliki kesaktian karena dipercayai mampu menggagalkan kudeta yang terjadi seputar peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965.

Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (1/3)

I. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (1/3)

oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
Sajian khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel. Artikel pertama ditulis oleh Hans Kung berjudul "Christianity and World Religions: The Dialogue with Islam as One Model." Artikel kedua ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr berjudul "Response to Hans Kung's Paper on Christian-Muslim Dialogue." Mulanya kedua tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity School's Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 0ktober 1984, yang kemudian dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII, No. 2 (April 1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq. (Red.)

Mencoba Meramu APBN Syariah

Oleh Dr. Fahmi Amhar
Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah?  Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN?  Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?

Berharap “Green Economy”?

Oleh M. Hatta

Problem Mata Uang Kertas (Fiat Money)

Oleh Taufik Hidayat, SEI
Fiat-Empire

Mencegah Jakarta Tenggelam

Rabu, 29 September 2010 | 03:13 WIB
Firdaus Ali
Bencana ekologis perkotaan mengancam Ibu Kota akibat pengelolaan sumber daya air yang sangat buruk dan daya dukung lingkungan Kota Jakarta yang memburuk.

Jebakan Keragaman Agama

Rabu, 29 September 2010 | 03:09 WIB
Komaruddin Hidayat
Keragaman budaya, agama, dan bahasa semakin menyatu dengan kehidupan sehari-hari, khususnya di kota dan dunia perguruan tinggi.

Jakarta Kian Sesak

Rabu, 29 September 2010 | 03:12 WIB
Tommy Firman
Hasil sementara Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta telah mencapai 9,6 juta jiwa dengan laju kenaikan 1,39 persen per tahun dalam kurun 2000-2010.

Penduduk, Kesempatan Kerja dan Kinerja Perekonomian Daerah

Wednesday, 04 March 2009
Oleh : Syafrudin Sapsuha, SP, MSi. Alumni Magister Ekonomika Pembangunan UGM Yogyakarta

Dengan membaca penduduk Indonesia yang sekarang 220 juta akan berjumlah 247,5 juta tahun 2015 dan 273 juta pada tahun 2025, kita memang harus memikirkan berapa jumlah pangan yang harus kita produksi-atau kita beli-untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pembatasan BBM

Selasa, 28 September 2010 | 03:47 WIB
Kurtubi
Memerhatikan bagaimana pemerintah mengelola masalah energi, khususnya yang menyangkut kebijakan harga BBM, diperoleh kesan pemerintah masih ragu dan tidak yakin dengan kebijakan yang akan diambil.

Memilih Jaksa Agung

Selasa, 28 September 2010 | 03:43 WIB
Oce Madril
Siapa calon Jaksa Agung yang akan dipilih Presiden SBY, masih simpang siur.
Selama ini beredar beberapa nama, baik dari internal maupun eksternal kejaksaan. Banyak kalangan berharap Jaksa Agung kali ini berasal dari luar kejaksaan (nonkarier). Alasannya sederhana, kinerja Kejaksaan Agung diyakini berjalan lebih baik di bawah kepemimpinan sosok dari kalangan eksternal atau dari luar institusi kejaksaan.

Lahirnya Generasi Baru Pembalik Krisis

Selasa, 28 September 2010 | 03:41 WIB
Catatan untuk Alexander Supelli
Hendro Sangkoyo
Tulisan ini catatan pribadi menyambut tulisan Alexander Supelli (Kompas, 19/6) dengan judul ”Hilangnya Sebuah Generasi”.

Sasaran Pembangunan Minimum

Senin, 27 September 2010 | 03:15 WIB
Wahyu Susilo
Pekan lalu, Sidang Majelis Umum PBB menyelenggarakan pertemuan khusus Millennium Development Goals Summit yang dihadiri para kepala pemerintahan sedunia.

Mengelola Perubahan Ekonomi

Senin, 27 September 2010 | 03:16 WIB
Ahmad Erani Yustika
Entah disadari atau tidak, dalam tiga dekade terakhir telah terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, baik pada level global maupun domestik. Indonesia juga bukan merupakan perkecualian, di mana perubahan ekonomi pada level makro, mezzo (menengah), dan mikro terjadi secara dramatis, baik karena menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia maupun kesadaran internal untuk mendesain perubahan.

Memerangi Terorisme

Senin, 27 September 2010 | 03:13 WIB
Donny Gahral Adian
Peristiwa teror senantiasa membawa efek disruptif dan disorientasi. Penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, misalnya, menimbulkan disorientasi dalam pengambilan kebijakan.

"Reshuffle"

"Reshuffle"
Senin, 27 September 2010 | 03:13 WIB
Hikmahanto Juwana
Menjelang bulan Oktober, istilah ”reshuffle” (perombakan kabinet) santer dibicarakan. Ada menteri yang rajin menyampaikan keberhasilannya, ada yang menyatakan tidak khawatir karena jabatan bisa datang dan pergi, ada pula yang mengandalkan partainya untuk bersuara.

Sabtu, 25 September 2010

Jaksa Agung

Sabtu, 25 September 2010 | 03:11 WIB
Oleh Eddy OS Hiariej
Saling silang pendapat perihal keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung terjawab sudah, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tertanggal 22 September 2010.

Memahami Putusan MK

Sabtu, 25 September 2010 | 03:10 WIB
Oleh Refly Harun
Pagi-pagi sekali, dua orang rekan mengirim pesan singkat (SMS). Dua-duanya mengenai tulisan Mohammad Fajrul Falaakh berjudul ”Memaknai Putusan MK” (Kompas, 24/9) yang mengomentari putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.

Robohnya Kerukunan Beragama

Sabtu, 25 September 2010 | 03:09 WIB
Oleh Yenny Zannuba Wahid
Penganiayaan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Asia Lumban Toruan, tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia.

Ekologi Politik Pesisir

Sabtu, 25 September 2010 | 03:08 WIB
Oleh Arif Satria

Tanggal 24 September 2010 adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Kesembuhan, Kedamaian, Keheningan

Sabtu, 25 September 2010 | 03:07 WIB
Oleh Gede Prama
Di ruang minum teh, seorang murid bertanya ke gurunya. ”Mana jalan tercepat menuju pencerahan?” Gurunya bergumam, ”Minumlah tehmu.”

Kamis, 23 September 2010

Peningkatan Daya Saing Minus Infrastruktur

Kamis, 16 September 2010 | 04:25 WIB
A Prasetyantoko 
Ada dua berita kontradiktif terkait perekonomian kita. Pertama, berita gembira datang dari Forum Ekonomi Dunia yang menyatakan, Indonesia mengalami peningkatan progresif dalam hal daya saing. Laporan Perkembangan Daya Saing Dunia menunjukkan Indonesia naik 10 tingkat dari posisi ke-54 menjadi ke-44 pada periode 2010-2011 ini. Hal kedua terkait berita buruk, menyatakan bahwa kinerja ekonomi kita ternyata kalah jauh daripada negara-negara tetangga.

Kembali ke Fitrah, Kembali ke Optimisme

Kamis, 16 September 2010 | 04:26 WIB
Hatta Rajasa
Dalam diskusi ringan di akhir Ramadhan lalu, seorang pengguna Twitter prihatin terhadap sikap (attitude) kalangan muda kita. ”Kebanyakan apatis! Sulit diajak berpikir kreatif. Mereka benar-benar membutuhkan contoh dari pemimpin. Sudah saatnya pemimpin bangsa ini tampil lebih inspiring!” Sebuah pernyataan yang menyentakkan saya.

Jabatan Politik dalam Pemerintahan

Kamis, 16 September 2010 | 04:28 WIB
Miftah Thoha
Baru-baru ini Presiden memberitahukan bahwa Kapolri dan Jaksa Agung akan diganti. Dalam pernyataannya Presiden menyatakan bahwa jabatan Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung adalah bukan jabatan politik.

Insiden HKBP Bekasi: Benarkah Negara Absen?

Kamis, 16 September 2010 | 04:28 WIB
 Bambang Darmono
Begitu cepat pernyataan Polri menyatakan bahwa kasus penusukan Asia Lumban Toruan dan penganiayaan Pendeta Laspida, jemaat HKBP Pondok Timur Indah, adalah kasus kriminal murni. Pernyataan ini tentu menarik untuk dicermati.

Memaknai Putusan MK

Jumat, 24 September 2010 | 03:53 WIB
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
Jaksa Agung dipecat oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD lebih cepat dari rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Harapan di Hari Tani

Jumat, 24 September 2010 | 03:51 WIB
Oleh Henry saragih
Saat hendak menulis refleksi Hari Tani Nasional, 24 September, yang terbayang adalah keadaan kelam, suram, dan seram.

"Quo Vadis" UUPA?

Jumat, 24 September 2010 | 03:50 WIB
Oleh Maria SW Sumardjono
Tanggal 24 September genap 50 tahun Undang-Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 terbit.

Indonesia Lumbung Pangan Dunia?

Jumat, 24 September 2010 | 03:49 WIB
Oleh Murniaty Santoso
Memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional, 24 September, sebagai anak bangsa kita bertanya, masihkah Indonesia disebut negara agraris mengingat negara ini masih mengimpor beras, kedelai, dan gandum dalam jumlah yang besar?

Rabu, 22 September 2010

Sebelas Tahun Perjalanan UU Pers

Kamis, 23 September 2010 | 03:29 WIB
OLEH ATMAKUSUMAH
Hari ini, 11 tahun yang lalu, Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang ditandatangani dan disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, pas 10 hari setelah disetujui dalam Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat.

Pergeseran Pola Terorisme

Kamis, 23 September 2010 | 03:28 WIB
Oleh Noor Huda Ismail
Siapa dan apa motif di balik penyerangan yang membabi buta di Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga kemarin malam masih diselidiki pihak kepolisian.

Pertumbuhan dan Kemiskinan

Kamis, 23 September 2010 | 03:25 WIB
Oleh Robert B Zoellick
Diadopsinya upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) secara global satu dekade lalu didasari semangat untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi

Kamis, 23 September 2010 | 03:22 WIB
Oleh Idham Arsyad

Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.

Simalakama Inpres Beras

Rabu, 22 September 2010 | 03:34 WIB
Oleh Mochammad Maksum Machfoedz
Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman.
Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.
Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.
Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.
Inpres No 7/2009
Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.
Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.
Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.
Besaran HPP
Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.
Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.
Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.
Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.
Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.
Proporsionalitas
Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.
Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.
Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.
Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.
HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan.
Mochammad Maksum Machfoedz Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP-UGM
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/22/03344820/simalakama.inpres.beras

Kemiskinan Turun, Kelaparan Naik

Rabu, 22 September 2010 | 03:46 WIB
OLEH IVAN A HADAR
Pada 8 September 2000, lewat MDGs, PBB mencetuskan sebuah janji ambisius untuk mengurangi kemiskinan global menjadi separuh dibandingkan dengan kondisi pada 1990.

Kemanjaan Politisi Kita

Rabu, 22 September 2010 | 03:46 WIB
Oleh Djohan Effendi
Belum lama ini media massa memberitakan polah politisi muda bangsa kita yang bisa membuat kita geleng- geleng kepala.

Cerita dari Blora

Rabu, 22 September 2010 | 03:35 WIB
Oleh Frenky Simanjuntak
Dalam kumpulan cerita pendeknya, Pramoedya Ananta Toer bertutur tentang kesengsaraan yang dihadapi oleh rakyat Blora pada masa penjajahan dan sesudah kemerdekaan.

Memudarnya "Virtue"

Rabu, 15 September 2010 | 04:44 WIB
Airlangga Pribadi
Komitmen setiap warga maupun elite dalam aktivitas politik untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan personal adalah hal esensial untuk merawat keadaban republik dan memberi makna terhadap demokrasi. 

AS dan Kebebasan Beragama

Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB
Muhamad Ali
Kontroversi pembangunan pusat Islam di dekat Ground Zero—tempat serangan teroris 11 September 2001— membuat Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang beragama Protestan harus angkat bicara. Wali Kota New York Michael Bloomberg, yang beragama Yahudi, sebelumnya mendukung.

"Ukhuwwah Islamiyyah" dalam berhukum

Rabu, 15 September 2010 | 04:43 WIB
Moh Mahfud MD
Beberapa waktu yang lalu seorang kawan lama yang saat mahasiswa aktif bersama saya di Himpunan Mahasiswa Islam datang kepada saya untuk meminta tolong agar, atas nama ukhuwwah islamiyyah, saya membantu memenangkan seorang calon kepala daerah yang sedang beperkara di Mahkamah Konstitusi.

Negara dan Nasib Peneliti

Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB
Asvi Warman Adam
Ketika hubungan antara Indonesia dan Malaysia agak memanas belakangan ini, terbetik pula berita bahwa negara jiran itu mencari para peneliti Indonesia dalam bidang ilmu dasar. Gaji yang ditawarkan sekitar 40 juta rupiah per bulan, sepuluh kali lipat gaji di Indonesia.

Selasa, 21 September 2010

Pembagian Lafal Ditinjau dari Ketidakjelasan Maknanya

I. PENDAHULUAN
Lafal yang tidak jelas artinya adalah suatu lafal yang maksud dari lafal tersebut tidak bisa ditemukan dari bentuk asli lafal itu, akan tetapi dapat ditemukan maksudnya dari indikator-indikator eksternal lafal. Lafal seperti ini, menurut ulama Hanafi, terbagi menjadi empat tingkat, yaitu lafal khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih. Yang paling rendah kadar ketidakjelasannya adalah lafal khafi, di atasnya lafal musykil, di atasnya lagi lafal mujmal dan yang paling tinggi kadar ketidakjelasannya adalah lafal mutsyabih.

Aliran-Aliran Utama dalam Ilmu Kalam

I. PENDAHULUAN
Sebagaimana sering dibicarakan oleh para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad I H telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa di kalangan umat Islam terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak diinginkan oleh mereka sendiri, di mana suatu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, akan tetapi bahkan telah saling membunuh. Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Persia dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak mereka masing-masing. Seperti penyelamatan Tuhan dengan surga, apakah faktor amal atau rahmat Tuhan semata kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini muncul besar kemungkinan karena menurut doktrin kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam, bahwa penyelamatan Tuhan tidak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, melainkan semata-mata atas dasar rahmat yang disediakan melalui pintu tunggalnya, Yesus.

Senin, 20 September 2010

Mau yang Mana: Kriminal Murni atau Oplosan?



Monday, 20 September 2010
Bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa-bahasa lain yang digunakan manusia, mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Makna lama bisa bertahan, bisa pula menemukan arti baru.

Keprihatinan Presiden soal Korupsi



Monday, 20 September 2010
Keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal korupsi yang telah dilansir International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya tentang perekonomian Indonesia adalah juga keprihatinan seluruh anak bangsa di republik ini.

Tata Kelola Kelautan dan Perikanan

Oleh Max Tehusalawany
Selasa, 21 September 2010
 

Sebagai negara bahari atau kepulauan, Indonesia termasuk negara di kawasan Asia-Pasifik dengan tingkat konsumsi produk perikanan terbesar di dunia. Data Food and Agriculture Organization (FAO) 2006 menunjukkan, sekitar 87% pelaku usaha sektor perikanan berada di kawasan Asia. Sayang, kekayaan dan potensi sumber daya kelautan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pembatasan BBM Bersubsidi

Oleh Paul Sutaryono
Selasa, 21 September 2010
 

Pemerintah berencana membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi mobil pribadi mulai Oktober 2010. Sesungguhnya, masalah apa saja yang bakal mencuat di permukaan apabila kebijakan itu diberlakukan? Dan, bagaimana mengatasinya?

Land Reform and Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran dari China

Selasa, 21 September 2010 00:01 WIB   
Di tengah memanasnya konflik antara Indonesia dan Malaysia, sebenarnya ada permasalahan krusial yang perlu belum terpecahkan secara efektif dan agak terlupakan. Dalam rilis terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa angka kemiskinan turun dengan lambat. Saat ini sekitar 31,02 juta atau sekitar 13,33% dari total penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal Indonesia bertekad untuk mengurangi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan di menjadi sekitar 8% pada tahun 2015 mendatang sebagai salah satu target Millenium Development Goals (MDGs).

Robohnya Industri Kami

Selasa, 21 September 2010 00:01 WIB
Ada pertanyaan mendasar, apakah kondisi makro ekonomi sekarang ini merupakan produk dari sinergi kebijakan ekonomi nasional? Bagaimana dengan kondisi mikro, sektor riil, terutama sektor industri?

Arah Pendidikan Buta Aksara

Senin, 20 September 2010 00:01 WIB

Buta aksara adalah keadaan ketika orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, keduanya merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta teknologi informasi (TI). Akibat banyaknya penderita buta aksara, majalah Time pada 2007 lalu, melabeli kita sebagai bangsa yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Indonesia, tulis Time, bahkan tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara maju Asia seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan sebagainya, tapi juga tertinggal dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja. Julukan sebagai bangsa tertinggal dan tidak punya pengaruh memang menyakitkan!

TAJUK RENCANA

Selasa, 21 September 2010 | 03:19 WIB
Kemiskinan dan Korupsi

Upaya Indonesia menurunkan angka kemiskinan dalam 10 tahun terakhir tergolong kurang mengesankan. Jumlah orang miskin masih tetap tinggi.
Sekalipun ada sejumlah kemajuan dalam mengurangi kemiskinan ekstrem dan bahaya kelaparan, secara keseluruhan persoalan kemiskinan masih menjadi isu serius bagi bangsa Indonesia. Sempat muncul optimisme, program Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) tahun 1990-2015 menjadi momentum penting bagi Indonesia bersama sekitar 150 negara berkembang lainnya untuk mengurangi kemiskinan secara drastis.

Sosok Ideal Kapolri Baru

Selasa, 21 September 2010 | 03:29 WIB
Oleh Abdul Hakim G Nusantara

Tanggal 8 September 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kepada publik rencana pemerintah mengangkat Kapolri baru sehubungan akan berakhirnya jabatan Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.
Beberapa minggu sebelumnya di media massa berkembang wacana tentang instansi mana yang bertanggung jawab dan berhak melakukan seleksi dan menyampaikan para calon yang layak kepada Presiden, untuk kemudian akan dipilih oleh Presiden siapa di antara para calon yang layak dan pas untuk diajukan ke DPR guna memperoleh persetujuan DPR.

Bersama Kita Bisa?

Selasa, 21 September 2010 | 03:19 WIB
Oleh Saparinah Sadli
 
Menjelang Pertemuan Tingkat Tinggi PBB di New York, Amerika Serikat, 22-24 September 2010, media menurunkan aneka pandangan tentang Tujuan Pembangunan Milenium yang disetujui oleh hampir 200 negara.
Pandangan bervariasi dari optimisme dapat mencapai sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) (dalam kurun waktu yang masih tersisa lima tahun) sampai keprihatinan karena Indonesia gagal mengentaskan kelompok penduduk termiskin.

DPR Menuju Tirani Parlementer?

Selasa, 21 September 2010 | 03:15 WIB
Oleh Syamsuddin Haris

Ketika kontroversi pembangunan gedung baru dengan fasilitas spa dan kolam renang belum usai, DPR kembali dikecam publik karena masih melestarikan tradisi studi banding.

Anomali Harga Pangan

Selasa, 21 September 2010 | 03:14 WIB
Oleh Jusuf
 
Anomali iklim telah mengakibatkan penurunan produksi pangan dan membawa dunia pada bayang-bayang krisis pangan.
Saat ini produksi gandum dunia turun, terutama di Rusia dan Kazakstan, sehingga memicu kenaikan harga gandum dunia. Harga beras lokal di Thailand dan Vietnam juga bergerak naik. Hal ini berdampak pada melambungnya harga beras dalam negeri hingga hampir Rp 1.000 per kg pada Juli dan Agustus 2010.
Kepanikan dunia tentu diharapkan tidak berdampak terhadap harga pangan, terutama beras di Indonesia. Kenaikan bisa diredam dengan peningkatan produksi dalam negeri dan efisiensi usaha tani.

Risiko RAPBN 2011

Selasa, 14 September 2010 | 04:29 WIB
Anggito Abimanyu

Pada 16 Agustus lalu, di hadapan Sidang Paripurna DPR dan DPD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011. RAPBN 2011 disusun berdasarkan tema yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2011, yakni ”Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah”.
Tema tersebut dicerminkan dengan sasaran kuantitatif pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, inflasi 5,3 persen, tingkat pengangguran 7 persen, dan tingkat kemiskinan 11,5 persen. Sasaran ini secara umum jelas lebih baik daripada tahun sebelumnya (2010) dan tetap konsisten dengan sasaran jangka menengah RPJM 2010-2014 yang sudah dicanangkan.
Realistis, tetapi berisiko
Meskipun realistis, RAPBN 2011 disusun dengan risiko yang tidak kecil.
Pertama, risiko pelambatan pertumbuhan global. Ada indikasi awal krisis utang di Eropa mulai memberikan sentimen negatif di sektor riil. Stimulus fiskal membuat defisit anggaran di hampir semua negara di dunia mengakibatkan utang naik secara signifikan. Keadaan ini mengganggu proses pemulihan ekonomi global.
Kedua, risiko nilai tukar dan external shock. Di pasar uang dan pasar modal domestik, fenomena akhir-akhir ini seperti meningkatnya capital flow jangka pendek, kepemilikan surat utang dan saham oleh asing, jumlah utang jangka pendek khususnya swasta memberikan indikasi bahwa perekonomian Indonesia memiliki risiko external shock yang meningkat.
Ketiga, risiko sasaran inflasi tahunan dipicu oleh kenaikan harga beras. Fakta menunjukkan bahwa fluktuasi harga beras terjadi karena keterbatasan cadangan/stok beras yang dikuasai Bulog. Dengan jumlah cadangan selama ini 1 juta-2 juta ton beras, harga beras sangat mudah digoyang oleh spekulan. Idealnya, jumlah cadangan beras berada pada 3 juta-5 juta ton beras sehingga memungkinkan Bulog untuk melakukan operasi pasar yang memadai pada waktu terjadinya paceklik atau gagal panen. Jika tidak ada tambahan, tekanan pada inflasi akan berulang dan kemiskinan menjadi ancaman serius.
Keempat, kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Kenaikan TDL dan HET pupuk adalah kebijakan yang tepat untuk menyehatkan APBN sekaligus merasionalkan tarif listrik dan harga pembelian pupuk. Meski demikian, karena penghematan dananya cukup signifikan dan tidak disediakan anggaran pengganti (cadangan risiko fiskal), apabila kebijakan tersebut ditolak atau direduksi oleh DPR (dan pengusaha), APBN 2011 memiliki risiko dan tekanan pembiayaan yang serius.
Kelima, eksekusi percepatan pencairan dana DIPA kementerian dan lembaga. Meskipun dalam tiga tahun terakhir rasio pencairan DIPA sudah mencapai di atas 90 persen, lebih dari 50 persen di antaranya terjadi pada akhir kuartal ketiga dan kuartal keempat. Komposisi belanja barang juga masih lebih tinggi dibandingkan belanja modal. Keterlambatan dan kepincangan komposisi tersebut memengaruhi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter dan inflasi, serta penyerapan lapangan kerja.
Pencegahan risiko
Meskipun risiko RAPBN 2011 cukup serius, berbagai upaya internal harus dilakukan oleh pemerintah bersama DPR untuk membuat APBN 2011 kredibel, berfungsi, dan dapat dipercaya.
Pertama, momentum pertumbuhan terus didorong dan stabilitas makro, khususnya inflasi, harus dijaga. Bank Indonesia perlu memperbaiki struktur dana- dana jangka pendek yang masuk dan menjaga fluktuasi nilai tukar dengan menghitung tingkat daya saing perekonomian regional. Target pertumbuhan 6,3 persen sudah realistis, maksimum dapat dioptimalkan lagi pada tingkat 6,4 persen, dengan ekspansi anggaran dan insentif investasi tambahan yang nyata. Cadangan stok beras harus ditambah melalui tambahan dana alokasi APBN untuk mengurangi spekulasi harga beras di pasar.
Kedua, pembahasan RAPBN 2011 harus diupayakan benar-benar dengan mengingat risiko ekonomi global tersebut serta kemampuan eksekusi dalam belanja negara. Fiscal space yang masih ada dari sisi perpajakan, cukai, dan penerbitan SBN dapat dioptimalkan. Rasio perpajakan pusat 12 persen terhadap PDB, plus 2 persen pajak daerah, memang sudah hampir setara dengan negara tetangga. Meski demikian, dengan pertumbuhan ekonomi nominal sebesar 11,6 persen, pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 12,9 persen masih memungkinkan dioptimalkan, paling tidak dengan tambahan 0,1 persen dari PDB atau sekitar 7 triliun rupiah. Optimalisasi tersebut dapat berasal dari intensifikasi PPh orang pribadi dan PPh badan untuk sektor-sektor yang tergolong undertax. Penerimaan cukai juga masih dapat ditingkatkan dengan kenaikan tarif cukai sesuai dengan tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok.
Penerbitan SBN juga masih dapat ditambah terutama dari SBN (Surat Berharga Negara) dan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), khususnya di kelompok investor ritel dan domestik. Potensi demand SBN dari domestik, baik bank maupun bukan bank, serta ritel (ORI) masih terbuka. Seri penerbitan SBSN ritel (SUKRI) yang baru dua saja masih terbuka untuk ditambah. Maka, tambahan penerbitan SBN sebesar 0,1 persen dari PDB atau sekitar Rp 7 triliun masih realistis.
Ketiga, perlu disediakan anggaran risiko revisi kenaikan TDL dan HET supaya tidak terjadi krisis fiskal. Dengan adanya kenaikan fiscal space tersebut, dapat dialokasikan sebagian untuk dana risiko revisi kenaikan TDL dan HET. Namun, menurut saya, kenaikan TDL dan HET sebaiknya tetap dilakukan dengan besaran dan waktu yang mempertimbangkan momentum pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri. Tingkat TDL yang berada di bawah biaya pokok penjualan (BPP) PLN membuat subsidi listrik terus terjadi dan terjadi inefisiensi ekonomi. Upaya untuk menambah energi primer (fuel mix) dari batu bara dan gas harus menjadi prioritas utama sehingga tekanan kenaikan TDL akan berkurang.
Keempat, eksekusi belanja APBN dan infrastruktur terus dipacu jika tidak menghendaki adanya ekonomi kepanasan (overheating). Upayakan tidak ada perubahan DIPA dalam APBN-P yang sering menghambat pencairan DIPA di tengah jalan dan memberikan kebijakan reward dan punishment bagi penyelesaian APBD di daerah. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah diharapkan dapat mempercepat tender dua bulan sebelum dimulai tahun anggaran sehingga tidak ada lagi keterlambatan pencairan seperti sekarang.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa APBN adalah jangkar dari perekonomian. APBN mengamankan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. APBN 2011 harus dapat mengurangi risiko yang meleset dari rencana. Untuk itu, perlu langkah-langkah pencegahannya. Situasi perekonomian global yang volatil dan labil sekarang dan ke depan juga menambah risiko APBN kita.
Kredibilitas APBN 2011 terletak pada kemauan politik DPR dan pemerintah untuk merumuskannya bersama-sama. Jangan sampai APBN yang selama ini sudah mampu menjalankan fungsinya terganggu oleh keinginan sesaat, kemauan sendiri atau kelompok, dan populis belaka.
Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/04291125/risiko.rapbn.2011

Para Pencari Harapan

Selasa, 14 September 2010 | 04:31 WIB
Yanuar Rizky

Majalah Newsweek mengungkapkan hasil survei tentang 100 negara terbaik dunia. Indonesia berada di peringkat ke-73, di bawah negara tetangganya, yaitu Singapura (20), Malaysia (37), Thailand (58), dan Filipina (63).

Membangun Tradisi Politik yang Sehat

Selasa, 14 September 2010 | 04:29 WIB
Siswono Yudo Husodo

Tokoh senior Singapura, Lee Kwan Yew, adalah yang pertama menganjurkan agar masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperpanjang, setidaknya menjadi tiga periode, agar terjadi kontinuitas atas konsep pembangunan yang diletakkannya.

Dicari Kapolri dan Jaksa Agung Penegak HAM!

Selasa, 14 September 2010 | 04:30 WIB
USMAN HAMID

Di tengah pemberitaan seputar arus mudik masyarakat ke kampung halamannya, tiba-tiba Presiden SBY menyampaikan pidato di hadapan para pemimpin media massa dan disiarkan langsung hampir di semua stasiun televisi.

Menyoal Aktivis Islam

Sabtu, 18 September 2010 pukul 15:54:00
Oleh: Nuim Hidayat (Mantan Aktivis Hizbut Tahrir)

"Mereka yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang Allah beri petunjuk dan mereka itulah Ulil Albab." (QS Az-Zumar 18).
Bila kita cermati, saat ini para aktivis mahasiswa Islam terkotak-kotak dan mayoritas cenderung fanatik terhadap organisasi atau gerakannya. Aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), misalnya, bangga berlebihan terhadap kelompoknya dan 'hanya' menjadikan Taqiyuddin an Nabhani sebagai rujukan utama pembinaannya.

Quo Vadis Kerukunan

Senin, 20 September 2010 pukul 14:46:00
Nawari Ismail (Dosen FAI UMY)

Kembali dunia kerukunan umat beragama di Indonesia ternodai dengan peristiwa berdarah 12910 di Bekasi. Suatu peristiwa yang bersamaan dengan peristiwa pemboman WTC dan pembakaran Alquran  di Amerika Serikat. Walau belum diketahui pasti ada-tidaknya hubungan ketiganya, namun yang pasti polisi sudah menetapkan tersangka, keputusan sudah diambil,   dan korban tubuh sudah jatuh dan (akan) segera sembuh, namun korban psikologis (perasaan) dan sosiologis (emosi kelompok) masih akan terpendam terus, merasuk ke dalam relung hati dan pikiran terdalam  tiap kelompok. Semuanya akan melahirkan stigma, persepsi dan etno-religiosentrisme baru.

Solusi Konflik Ciketing

Senin, 20 September 2010 pukul 14:57:00
Jeje Zaenudin
Ketua Umum PP Pemuda Persis

Insiden kekerasan di Ciketing-Bekasi sudah berlalu, para pelaku tampaknya segera diproses di peng adilan, se dang kan kesehatan dua korban berangsur pulih. Namun, buntut insiden itu belum berakhir.

Minggu, 19 September 2010

"Penyakit Belanda"?

Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB
Muhammad Chatib Basri
Tingginya pertumbuhan ekspor komoditas kita di satu sisi dan terpuruknya industri manufaktur di sisi lain mengingatkan saya akan obrolan rutin dengan Max Corden sepuluh tahun yang lalu di Cellar Café University House, Australian National University, di Canberra.

Setelah Mudik Fitrah Usai

Senin, 13 September 2010 | 04:42 WIB
Abdul Munir Mulkhan
Puasa yang diakhiri dengan membayar fitrah dilanjutkan Lebaran bagai jalan tapa Bima memenuhi perintah Durno, gurunya, mencari air suci ya Dewa Ruci. Idul Fitri berarti kembali ke fitrah diri setelah sebulan mengarungi lautan batin menahan nafsu (makan-minum) dan berahi dalam puasa.

Mengelola Negara Kesejahteraan

Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB
Budiman Sudjatmiko
Konsepsi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan para pendiri republik harus berkembang menerjang waktu. Hal tersebut mensyaratkan watak modern, efektif, dan efisien, tetapi tetap berbasis kearifan lokal bangsa.

Mu'tazilah

Muʿtazilah (Arabic: المعتزلة‎) is an Islamic school of speculative theology  that flourished in the cities of Basra and Baghdad, both in present-day Iraq, during the 8th–10th centuries. It is still adopted by some of Muslim intellectuals today. The adherents of the Mu'tazili school are at odds with other Sunni scholars due to the former's belief that human reason is more reliable than scripture. Because of this belief, Mu'tazilis tend to interpret passages of the Qur'an in a highly metaphorical matter, a practice frowned upon by traditional, orthodox schools.
Contents

Mengupayakan Kerukunan dan Keserasian

Jumat, 17 September 2010 00:01 WIB
ADA yang patut kita syukuri pada Ramadan yang lalu. Pembatalan rencana pembakaran kitab suci Alquran di Amerika sungguh melegakan para pencinta damai. Rencana membakar kitab suci menunjukkan sisi gelap manusia. Sikap demikian sama buruknya dengan serangan World Trade Center di New York, 9/11/2001, dan pembunuhan besar-besaran orang Yahudi oleh pemerintahan Nazi Jerman (1933-1945). Pembatalan pembakaran Al Qur'an memberi harapan.
Di sisi lain, penganiayaan fisik maupun batin yang dialami seseorang atau suatu kelompok adalah bukti bahwa tidak ada manusia sempurna. Ada unsur-unsur baik maupun buruk dalam dirinya. Unsur-unsur buruk itulah yang membangkitkan konflik dan ketidakadilan sosial. Ini yang akan terus-menerus kita waspadai.

CALAK EDU Melek Aksara

Senin, 20 September 2010 00:01 WIB

Melek aksara (literacy) adalah harapan semua orang agar bisa dihargai. Sebagai sebuah pemenuhan hasrat kemanusiaan, melek aksara sebanding dengan harapan setiap individu di muka bumi ini untuk ikut serta dalam meningkatkan partisipasi sosial. Jika partisipasi sosial meningkat, dominasi satu golongan terhadap golongan lainnya pasti akan berkurang, kekerasan menurun, dan kesejahteraan hidup manusia di dunia ini menjadi lebih mungkin untuk diwujudkan. Dalam bentuk yang paling formal, melek aksara adalah tujuan dan agenda paling mendasar dari proses pendidikan.

Arah Pendidikan Buta Aksara

Senin, 20 September 2010 00:01 WIB

Buta aksara adalah keadaan ketika orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, keduanya merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta teknologi informasi (TI). Akibat banyaknya penderita buta aksara, majalah Time pada 2007 lalu, melabeli kita sebagai bangsa yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Indonesia, tulis Time, bahkan tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara maju Asia seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan sebagainya, tapi juga tertinggal dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja. Julukan sebagai bangsa tertinggal dan tidak punya pengaruh memang menyakitkan!

Suksesi Penegak Hukum

Senin, 20 September 2010 | 03:04 WIB
Secara hampir bersamaan, kita dihadapkan pada proses suksesi penegak hukum, yaitu Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kita angkat isu suksesi karena posisi ketiganya strategis dalam sistem penegakan hukum Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi. Suksesi itu penting karena ketiga lembaga sedang tersandera persoalan yang membuat tingkat kepercayaan publik kepada lembaga itu rendah.

Pertarungan Baru di Timteng

Senin, 20 September 2010 | 03:04 WIB
Timur Tengah, yang selama ini selalu dikatakan sebagai sumber instabilitas dan konflik politik, menjadi mandala perlombaan senjata lagi.

Kriminal dan Kebebasan Beragama

Senin, 20 September 2010 | 03:01 WIB
OLEH HENDARDI
Kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menemui kerikil untuk berjalan mulus di negeri kita yang asal-usulnya sudah beraneka ragam. Itu karena tindak-tanduk suatu golongan tanpa tenggang rasa atau intoleran terhadap golongan lain maupun praktik diskriminatif oleh negara tak sepenuhnya terhapus.
Persoalan itu bukan saja dapat mendorong timbulnya pelanggaran hak atas kebebasan yang bertalian dengan aktivitas keagamaan atau keyakinan orang atau golongan, tetapi juga suatu tindak kriminal.
Negara, baik melalui pemerintah maupun melalui aparat kepolisian, bukan saja mengemban kewajiban untuk menghormati (to respect), tetapi juga melindungi (to protect) hak atas kebebasan bagi setiap orang, terutama kebebasan dasar (fundamental freedom) seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Dengan kewajiban itu, negara tak boleh campur tangan terhadap kebebasan setiap orang dalam beragama atau berkeyakinan dan menjalankan ibadah. Negara juga berkewajiban menghormati orang yang melaksanakan ibadah secara kolektif dengan damai.
Bagaimana pelanggaran berlangsung?
Lalai dan abai
Pertama, ketika campur tangan pemerintah atau polisi berupa tindakan sewenang-wenang berlangsung terhadap kegiatan beribadah, maka saat itulah terjadi pelanggaran.
Kedua, pelanggaran pasti lebih kokoh jika kebebasan beragama atau berkeyakinan dipecundangi oleh hukum atau UU seperti UU No 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan rezim otoriter. Apalagi jika undang-undang ini justru memecundangi konstitusi atau UUD 1945 yang menghormati kebebasan beribadah secara damai.
Ketiga, UU itu juga dapat menjadi sumber kebijakan diskriminatif dalam pembangunan atau pendirian rumah ibadah bagi golongan minoritas sehingga tak heran jika mereka pun menjadikan rumah pribadi atau ruko sebagai rumah ibadah. Kebijakan dan praktik pemerintah yang berkarakter diskriminatif atas suatu golongan agama atau keyakinan dapat dituduhkan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beribadah.
Keempat, tentu saja aparat kepolisian wajib melindungi suatu golongan menjalankan ibadah secara kolektif secara damai agar tidak diganggu atau dirusak oleh golongan lain yang tak bertenggang rasa. Jika keberadaan polisi tak mencegah gangguan atau perusakan, maka polisi dapat dituduh melanggar kebebasan beribadah: lalai atau abai.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah—provinsi, kabupaten, dan kota—wajib menghormati dan melindungi orang beribadah secara kolektif dan damai. Sebaliknya, menghapus praktik diskriminasi.
Memang, perilaku dan praktik tak bertenggang rasa dan diskriminatif bersumber dari pandangan sempit dan eksklusif mengenai golongan sehingga dapat menimbulkan sikap penolakan atau kebencian atas golongan lain. Dan pada umumnya, golongan minoritas menjadi sasaran praktik penolakan dan kebencian.
Secara ekstrem, seolah-olah hanya ada satu golongan saja di muka Bumi. Sebaliknya, golongan lain diabaikan hanya karena mereka berlainan warna kulit, pandangan, agama atau keyakinan, dan bukan karena perbuatan buruk atau kesalahan yang dilakukan. Inilah diskriminasi dan intoleransi yang terjadi dalam realitas keberagaman.
Eksklusivisme, penolakan atau kebencian atas dasar perbedaan ras atau agama, bisa memicu seseorang atau segolongan orang untuk bertindak brutal atas golongan lain yang tak bersalah. Ekspresi eksklusivisme itu bisa dimulai dengan propaganda yang meneriakkan yel-yel kebencian atas suatu golongan, kemudian disusul dengan aksi mengganggu dan intimidasi aktivitas beribadah, perusakan harta benda, bahkan melakukan penganiayaan, atau bentuk perbuatan keji lainnya.
Penganiayaan seperti pemukulan dan penusukan atas orang dari suatu golongan agama atau keyakinan jelas sebagai tindakan yang merusak keutuhan tubuh/ pribadi orang (personal integrity) dan termasuk sebagai perbuatan kriminal. Norma ini berlaku dalam semua masyarakat beradab. Namun, kejadian seperti itu tak pernah sebagai ”kriminal murni” seperti mencuri. Apalagi jika dilatari dengan propaganda dengan menyebarkan kebencian.
Setiap perbuatan kriminal harus dipertanggungjawabkan secara pribadi sesuai norma hukum yang berlaku. Polisi sebagai penegak hukum wajib memproses hukum mereka yang disangka berbuat kriminal. Dalam menjalankan fungsi dan tugas ini polisi tak boleh pandang bulu. Tak hanya itu, polisi juga tak boleh dikesankan kecut atau tunduk kepada segelintir orang sehingga merusak citra sebagai pengayom masyarakat, dengan membiarkan orang yang bertanggung jawab justru bebas berkeliaran untuk mengulangi perbuatannya tanpa pertanggungjawaban hukum.
HENDARDI  Ketua Badan Pengurus Setara Institute
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/20/03014259/kriminal.dan.kebebasan.beragama

Jaksa yang Kebablasan

Senin, 20 September 2010 | 03:02 WIB
Oleh Saldi Isra
Apa yang terbayang di kepala pembaca ketika 8.479 jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia meminta Jaksa Agung pengganti Hendarman Supandji berasal dari kalangan internal kejaksaan? Pasti ada banyak jawaban atas perilaku di luar kelaziman tersebut. Yang pasti, cara itu adalah bentuk manuver untuk menolak Jaksa Agung dari luar lingkungan kejaksaan.
Bahkan, ”permintaan” jaksa-jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) ini seperti sudah dirancang (by design) guna menghadapi desakan mayoritas publik agar Presiden memilih Jaksa Agung dari luar kejaksaan. Penilaian seperti itu muncul karena langkah para jaksa tersebut merupakan kelanjutan manuver Hendarman yang terlebih dulu telah menyampaikan delapan nama calon penggantinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mendikte Presiden
Dibandingkan dengan Kepala Polri, posisi Jaksa Agung sangat mungkin diisi oleh kalangan luar kejaksaan. Dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No 16/2004) tidak satu pun ketentuan yang mengisyaratkan bahwa Jaksa Agung harus berasal dari kalangan internal kejaksaan. Bahkan, syarat menjadi Jaksa Agung lebih sederhana dibandingkan dengan jaksa biasa yang memerlukan syarat batas usia dan syarat pegawai negeri sipil.
Sekalipun lebih sederhana, calon Jaksa Agung sangat tergantung dari pertimbangan dan pilihan Presiden. Dalam hal ini, Pasal 19 Ayat (2) UU No 16/2004 menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena tidak ada keharusan melibatkan institusi lain dalam proses pengisiannya, penentuan Jaksa Agung sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden. Dalam pengertian itu, tindakan Hendarman dan 8.479 jaksa tersebut jelas mendikte Presiden. Dalam konteks yang lebih luas, langkah jaksa yang tergabung dalam PJI itu dapat dinilai sebagai langkah politik sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi politik.
Tindakan mendikte ini sulit dibantah karena langkah Hendarman dan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI dilakukan setelah Presiden memberikan isyarat bahwa Jaksa Agung tidak harus dari pejabat karier. Bisa jadi, isyarat itu yang membuat sebagian kalangan internal kejaksaan merasa perlu melakukan manuver sehingga Presiden menimbang ulang keinginan memilih Jaksa Agung dari luar kalangan jaksa. Bahkan, dalam beberapa waktu belakangan mulai diembuskan bahwa Jaksa Agung yang berasal dari luar akan mengancam rencana renumerasi di kejaksaan.
Dalam pengertian itu, manuver yang dilakukan para jaksa dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Presiden. Padahal, secara hukum, isyarat Presiden untuk memilih Jaksa Agung dari luar punya dasar pijakan yang sangat kuat. Selain tidak dilarang dan dibatasi UU No 16/2004, Jaksa Agung yang berasal dari kalangan eksternal telah berkali-kali mengisi pos orang nomor satu di lingkungan Gedung Bundar. Bahkan, Jaksa Agung pertama pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono berasal dari luar kejaksaan.
Kebablasan
Dengan adanya manuver tersebut, pertanyaan besar sebagian kalangan yang concern terhadap kejaksaan: mengapa sebagian (besar) internal kejaksaan resistensi dengan Jaksa Agung dari luar?
Kemungkinan pertama, banyak kalangan elite kejaksaan merasa terganggu dan terancam dengan masuknya orang luar. Kelompok ini hampir dapat dipastikan mereka yang selama ini sangat menikmati perubahan yang bergerak lamban di kejaksaan. Bagaimanapun jika perubahan besar terjadi, akan menghancurkan segala ”kenikmatan” yang mereka peroleh. Karena itu, kelompok ini akan lebih nyaman dengan Jaksa Agung dari internal.
Berikutnya, kelompok yang berkepentingan agar segala macam kebobrokan yang terjadi selama ini tidak terkuak ke permukaan. Setidaknya sampai saat ini sejumlah skandal yang terjadi di Gedung Bundar belum terselesaikan secara tuntas. Sebut saja, misalnya, keterkaitan sejumlah petinggi kejaksaan dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Skandal yang benar-benar menampar wajah kejaksaan ini hanya berhenti sampai jaksa Urip. Padahal, melihat spektrum skandalnya, sulit diterima akal sehat bahwa jaksa Urip bergerak sendiri.
Begitu juga dengan skandal rekayasa dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan Anggodo Widjojo. Sampai saat ini penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kepentingan untuk menutup segala macam kebobrokan itu pasti makin besar jika ditambahkan dengan kemungkinan keterlibatan pihak kejaksaan dalam skandal mafia pajak yang melibatkan penyidik pajak Gayus Tambunan.
Terakhir, kelompok mafia hukum yang amat nyaman bermain dengan kalangan internal. Bagaimanapun, sejak pencanangan antimafia hukum, kelompok ini mulai terusik dan mereka yang selama ini bermain di lingkungan kejaksaan pasti akan mendapat kesulitan besar jika Jaksa Agung berasal dari luar kalangan eksternal.
Begitu urgennya reformasi total di kejaksaan, manuver Hendarman dan permintaan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI adalah sebuah kebablasan yang tidak boleh ditoleransi. Caranya, Presiden tidak boleh tertakluk oleh manuver jaksa-jaksa yang kebablasan itu.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/20/03022397/jaksa.yang.kebablasan

Jakarta dan Ekstraksi Air Tanah Berlebihan

Senin, 20 September 2010 | 03:00 WIB
OLEH NILA ARDHIANIE
Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.

Batas Perairan RI-Malaysia Diselesaikan di Den Haag?

Senin, 20 September 2010 | 03:01 WIB
Oleh Huala Adolf
Mengenai soal batas perairan RI-Malaysia, Deputi Menteri Luar Negeri Malaysia Richard Riot memberi sinyal di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu. Menurut beliau, masalah batas perairan kedua negara bisa berakhir di Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) Den Haag, Belanda. (AFP/Bernama dikutip Pikiran Rakyat, 3/9).

Rabu, 15 September 2010

Editorial: Vote for liberal democracy

| Wednesday, the daily Jakarta Post, 09.15.2010 10:46 Editorial |

When Turkey voted early next week to amend the constitution was written 30 years ago in the Army to support the secular legacy of Mustafa Kemal Ataturk , not voting to reject the secular in this way. And these changes were to make Turkey more compatible with the European Union , which it hopes to join.

Rabu, 08 September 2010

Momentum Perbarui Negara

Kamis, 9 September 2010 | 04:43 WIB
Eko Prasojo
Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan momentum untuk memperbarui hidup. Bukan saja bagi hamba-hamba Allah secara individual, melainkan secara kolektif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika setiap Muslim menyadari betapa pentingnya stasiun Ramadhan yang telah berlalu bagi pengembangan keimanan, ibadah, dan akhlak, niscaya sebagian dari persoalan berbangsa dan bernegara dapat terselesaikan.
Memperbarui hidup merupakan kewajiban setiap Muslim. Kewajiban ini terletak pada dua aras. Pertama, secara alami manusia adalah makhluk yang membutuhkan pembaruan-pembaruan dalam hidupnya. Keinginan untuk membuka lembaran baru pada setiap fajar tiba adalah sesuatu yang lahir karena fitrah manusia.
Kedua, kewajiban untuk memperbarui hidup merupakan perintah Allah SWT dan sunah Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan harapan yang diberikan Allah kepada manusia untuk tidak berputus asa atas pengampunan Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Ampunan Allah kepada hamba-Nya sangatlah luas.
Pada sisi lainnya, kewajiban untuk memperbarui hidup ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Seorang Muslim bahkan tidak boleh pesimis apalagi putus asa atas rahmat Allah dalam setiap langkah kehidupannya. Ampunan dan rahmat Allah sangat luas, dan menanti manusia untuk memohon kepada-Nya.
Memperbarui negara
Negara adalah cerminan pemimpin dan masyarakatnya. Keberhasilan suatu negara, tidak saja ditentukan oleh kemampuan akal untuk melakukan perubahan sistem ekonomi, politik, hukum, sosial, administrasi, dan pemerintahan, tetapi juga sangat ditentukan oleh jiwa dan akhlak para pemimpin dan rakyatnya. Karena itulah, kebangkitan Indonesia dari segala persoalan yang saat ini dihadapi tidak boleh hanya didasarkan pada kekuatan akal pikiran manusia, tetapi harus diiringi oleh rahmat Allah SWT.
Tidak heran jika Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga juga mencantumkan pernyataan para pendiri negara tentang dukungan Allah atas kemerdekaan Indonesia: ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Adalah suatu kemustahilan bahwa perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan hanya semata-mata didukung oleh kekuatan fisik tanpa pertolongan dan rahmat Allah.
Idul Fitri adalah momentum untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia akan makna penting kemerdekaan yang telah berumur 65 tahun. Kemerdekaan Indonesia harus memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya, dan bukan hanya kekayaan kepada segelintir orang. Sulitnya Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan negara serta bangkit menjadi negara besar bisa jadi karena telah hilangnya rahmat Allah, bukan saja kepada para pemimpinnya, melainkan juga rakyatnya.
Rahmat Allah yang hilang karena kehidupan para pemimpin dan rakyat Indonesia tidak lagi memiliki keimanan kepada Allah. Islam hanya dipahami secara ritual budaya, tetapi nilai-nilainya tidak terefleksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kembalinya tiap-tiap diri Muslim menjadi fitrah pada tanggal 1 Syawal tahun ini hendaklah menjadi fondasi bagi pembaruan negara Indonesia. Negara pada dasarnya kumpulan dari jiwa-jiwa manusia. Jika tiap-tiap jiwa Muslim tunduk pada nilai-nilai Islam, hal ini akan menjadi modal dasar bagi kebangkitan Indonesia. Dilakukannya berbagai ibadah wajib ataupun sunah pada bulan Ramadhan yang akan segera berlalu harus dapat mengembalikan jiwa Muslim pada fitrahnya. Fitrah untuk menjadikan hidupnya sebagai bekal kehidupan akhirat kelak, fitrah untuk memberikan kebaikan kepada sesama manusia, fitrah untuk senantiasa memperbarui hidupnya, serta bagi kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Idul Fitri harus memberi makna bukan saja secara individual bagi umat Islam, melainkan juga secara kolektif bagi kebangkitan negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan kaidah dasar Islam yang memberikan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, keberadaan Islam hanya bisa dirasakan jika terdapatnya rahmat sumber-sumber kekayaan negara bagi seluruh rakyat Indonesia. Seorang pemimpin yang berkarakter Islam, tidak akan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tidak akan membiarkan korupsi merajalela, dan seorang pemimpin berkarakter Islam tidak akan membiarkan rakyatnya hidup berkesusahan. Seorang pemimpin Muslim akan menjunjung tinggi keadilan, memajukan kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Akhirnya, momentum Idul Fitri tahun ini harus dapat memberikan kesadaran kepada umat Islam untuk segera menghindarkan diri dari dicabutnya rahmat Allah kepada negeri tercinta ini.
Kebinasaan kaum-kaum terdahulu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat yang telah Allah syariatkan. Dalam bahasa ilmiah populer, mari kita jadikan momentum Idul Fitri untuk mencegahnya terjadinya kebinasaan Indonesia sebagai negara yang gagal (failed state). Semoga.
Eko Prasojo Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04435856/momentum.perbarui.negara

Lebaran dan Hak PRT

Kamis, 9 September 2010 | 04:45 WIB
Yulianti Muthmainnah
Lebaran sebentar lagi tiba. Takbir kemenangan segera akan dikumandangkan. Lebaran biasanya identik dengan silaturahim, mudik, dan yang tak kalah pentingnya adalah tunjangan hari raya.
Tunjangan hari raya (THR) senantiasa dinantikan banyak pekerja dari berbagai sektor, baik formal maupun nonformal, termasuk pekerja dalam rumah tangga (PRT) kita. Pertanyaannya adalah sudahkah kita memberikan kemenangan kepada PRT kita dengan cara menunaikan kewajiban memberikan hak THR bagi mereka?
PRT adalah seseorang yang sangat integral dalam kehidupan keluarga hampir mayoritas masyarakat perkotaan di Indonesia. Meski peranannya sangat penting, keberadaan dan jasa mereka sering kali diabaikan. Profesi PRT acap kali disepelekan dan dipandang sebelah mata. Kemiskinan dan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan telah memaksa banyak perempuan desa menjadi PRT.
Jumlah PRT di Indonesia sangat tinggi dan ia merupakan sumber utama ekonomi keluarga miskin. Estimasi ILO tahun 2009 menunjukkan bahwa PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global dan terdapat sekitar 100 juta PRT di dunia, lebih kurang 6 juta di antaranya merupakan PRT migran dari Indonesia. Di Indonesia sendiri, ada sekitar 2,5 juta orang yang berprofesi sebagai PRT. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya perempuan.
Sekalipun jasa PRT sangat besar karena ia mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dalam hal pengupahan, PRT merupakan kelompok pekerja yang dibayar paling rendah daripada sopir, tukang kebun, serta pengasuh orang tua jompo.
Frederick Engles dalam The Origin of the Family, Private Property, and State menyebutkan bahwa kerja perempuan menjadi tidak terlihat secara ekonomi karena berakar dari adanya pembagian kerja secara seksual di dalam rumah tangga dan masyarakat. Perempuan dianggap bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi, seperti melahirkan anak, mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga. Sementara laki-laki diberi hak untuk kegiatan produksi di luar rumah.
Kerja domestik
Perempuan yang sudah terpinggirkan dari kerja bernilai ekonomi karena pembagian kerja di rumah tangga akan semakin kesulitan mendapatkan kerja berupah secara layak jika pemerintah dan kita semua tidak memberikan penghargaan dan penghormatan pada kerja-kerja domestik.
Menurut Mubyarto, sesungguhnya perempuan tidak ada yang menganggur jika memasukkan kerja domestik sebagai pekerjaan. Bahkan, sejak tahun 1969, Margaret Benston dalam bukunya The Political Economy for Women tegas mengingatkan, sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara lebih serius dalam setiap analisis pekerjaan ekonomi sehingga akhirnya tidak disepelekan menjadi status yang marjinal dan tidak eksis.
Sebagai sebuah pekerjaan, PRT sesungguhnya berhak atas THR. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tidak ada pembedaan perlakuan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak dalam hal pengupahan, termasuk THR.
Tanpa THR dan transpor pergi pulang yang diberikan kepada PRT, dapat dipastikan PRT enggan kembali bekerja kepada kita. Karena itu, alasan anak tidak bisa ditinggal, hendak menikah, atau mengurus orangtua adalah alasan klasik untuk tak mengatakan secara jujur bahwa ”saya enggan kembali karena tuan/nyonya tidak memberikan hak dan jaminan kepada saya”. Mari menghitung kontribusi besar yang telah diberikan PRT bagi aktivitas dan aktualisasi kita di publik. Sebab, tanpa ada yang mengerjakan pekerjaan domestik, sangat sulit bagi kita bekerja di ruang publik atau berkarier dengan sempurna.
Jika PRT pulang kampung saja, barulah dirasakan repotnya mengurus pekerjaan domestik itu. Atau, kita harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya laundry, katering makanan, dan cleaning service rumah. Padahal, jika ada PRT, semua hal di atas akan dikerjakan oleh satu orang, yakni PRT.
Untuk itu, Lebaran ini seharusnya menjadikan kita agar lebih menghargai serta memanusiakan profesi PRT yang luar biasa besar jasanya bagi kita. Juga, seharusnya kita tidak perlu berhitung panjang dalam memberikan THR kepada mereka. Sebab, THR bukan hanya hak seorang pekerja, tetapi sekaligus penghargaan atas dedikasi mereka.
Ada baiknya jika kita kembali merenungkan pesan Tuhan bahwa termasuk orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak mau memberi makan fakir miskin, dan enggan menolong sesama. Memberikan apa yang semestinya menjadi hak PRT adalah bagian dari menjalankan pesan Tuhan itu. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir batin.
Yulianti Muthmainnah Peneliti di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04450471/lebaran.dan.hak.prt

Kohesivitas Sosial Idul Fitri

Kamis, 9 September 2010 | 04:44 WIB
ASEP SALAHuDIN
Tentu ada banyak makna yang dapat kita petik di hari kemenangan Idul Fitri. Salah satu dari sekian makna itu adalah desakan akan keinsafan membangun kohesivitas dan solidaritas sosial.
Di momen yang penuh kegembiraan itu, hasrat bersatu dipancangkan. Masyarakat yang lama tinggal di kota-kota secara bersamaan bergerak ke tempat kelahirannya, berbaur bukan hanya dengan memori silam yang mengendap dalam layar bawah sadarnya, melainkan juga dengan handai tolan dan sanak saudara. Mereka melakukan arus balik untuk segera melaksanakan ritus silaturahim di tempatnya masing-masing. Ucapan selamat terucap. Permohonan permaafan yang datang dari lubuk nurani tersampaikan. Munajat agar segenap kebaktian di bulan suci diterima diujarkan.
Dalam suasana seperti itu, umat benar-benar terasa menjadi sebuah keluarga besar. Berbinar merasakan kebahagiaan yang sama. Diikat dengan ingatan dan penghayatan keberagamaan yang tidak jauh berbeda: keinginan untuk kembali suci. Idul Fitri. Kembali bening dan berada dalam kafilah para pemenang sebagaimana tampak dalam jargon yang nyaris menjadi klasik: minal aidin wal faizin.
Melampaui eksklusivisme
Tentu saja kekerabatan yang terbangun yang dijangkarkan pada spirit permaafan pada gilirannya harus dijadikan tonggak persaudaraan yang lebih luas lagi. Persaudaraan yang tidak hanya disekat persamaan pilihan keagamaan, tetapi juga melintasi batas persaudaraan kemanusiaan yang berlainan opsi keyakinan, berlainan haluan imannya.
Keragaman, apalagi dalam konteks negara kebangsaan kita, sudah semestinya disikapi sebagai fakta sosial yang tidak mungkin kita hindari. Keragaman justru menjadi pintu masuk membangun kebersamaan. Hidup sedunia, perbedaan adalah suatu keniscayaan. Kebersamaan ini hanya mungkin terwujud manakala kita menjadi sebuah ”keluarga besar” yang selalu mengembangkan sikap toleran, terbuka, dialog, dan tidak terlintas sedikit pun untuk mengembangkan sikap-sikap eksklusif yang selalu memonopoli kebenaran seraya menganggap orang lain keliru.
Persaudaraan yang melampaui batas-batas formalisme agama sebagai substansi Idul Fitri mengingatkan kita akan keteladanan profetis yang diperagakan Muhammad SAW di Madinah. Keragaman Madinah di tangan Nabi justru menjadi jembatan untuk membangun masyarakat berkeadaban. Piagam Madinah menjadi dokumen penting yang merekam jejak-jejak sikap inklusif Sang Nabi. Dalam piagam yang disebut Haikal sebagai ’watsiqah siyasiyyah’ atau dokumen politik itu diteguhkan, di antaranya (1) menjamin kebebasan beragama, (2) larangan saling mengganggu satu sama lain, (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, 4) larangan orang melakukan kejahatan. Sebuah piagam yang hakikatnya, sebagaimana dikatakan A Syafii Maarif (1986), merupakan cermin utuh upaya penerjemahan secara fungsional nilai-nilai universal dengan tujuan utama membangun bumi ideal yang berkeadilan di atas jangkar nilai moral dan multikulturalisme.
Robert N Bellah menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi. Komunitas itu disebut ”modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin menerima penilaian berdasarkan kemampuan dan menanggalkan eksklusivisme.
Lebih jauh Bellah, seperti dikutip Yudi Latif, juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk sikap egaliter partisipatif.
Haluan persaudaraan
Persaudaraan bukan sekadar basa-basi dan atau hanya sekadar rekayasa kekuasaan, melainkan juga benar-benar menjadi modus cara kita ”berada”. Orang lain relasinya dengan kita bukan sebagai pelengkap, melainkan yang menyebabkan eksistensi kita wujud di dunia. Tanpa mengakui positif kehadiran ”orang lain”, eksistensi kita dipertaruhkan.
Inilah yang disebut Gabriel Marcel persekutuan tuntas dan sempurna yang dibangun di atas landasan ”Aku bertemu engkau secara pribadi sehingga aku-engkau menjadi kita. Pertemuan dengan orang lain adalah keniscayaan untuk menunjukkan eksistensi kita. Bukan persoalan ada dan tidak ada, tapi satu kemestian yang tidak dapat ditawar lagi”.
Orang lain yang berbeda dengan kita bukanlah neraka seperti dituduhkan filsuf ateis-eksistensialis murni Jean Paul Sartre (L’enfer c’est les autres: neraka adalah orang lain), melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita yang mempunyai tanggung jawab sama dalam ikhtiar membentuk bumi manusia yang santun.
Bahkan, lebih dari itu, Idul Fitri juga mengingatkan bahwa persaudaraan itu harus dibangun di atas panggilan suci ketuhanan, menjangkarkan setiap hubungan antarmanusia kepada akar yang bersifat ilahiah yang diistilahkan Marcel sebagai Engkau Absolut. Toi Absolu: Allah menjadi dasar metafisis terdalam bagi setiap relasi antarmanusia sebagaimana kondisi kesucian kita adalah fitrah yang kita bawa jauh sebelum kita lahir, seperti ikrar yang kita ucapkan di hadapan Tuhan dalam sebuah perjanjian ajali. Persekutuan berada dalam tatapan terang Ilahi.
Jika persaudaraan itu tidak menjadi persekutuan kemanusiaan yang utuh (ummah wahidah), yang dipertaruhkan tidak hanya masa depan kemanusiaan, tetapi juga kehadiran kita. Seandainya satu makna ini absen dari momen Idul Fitri, Lebaran itu hanya menyisakan hal yang artifisial: kenduri ketupat. Selamat berlebaran 1431 H.
ASEP SALAHUDIN Wakil Rektor IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/0444333/kohesivitas.sosial.idul.fitri.

Idul Fitri sebagai Elan Toleransi

Kamis, 9 September 2010 | 04:45 WIB
Zuhairi Misrawi
Min al-’Aidin wa al-Faizin. Ungkapan ini menggema di setiap momen Idul Fitri sebagai doa dan harapan untuk kembali pada kesucian serta dalam rangka meraih kemenangan, setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Sebab itu, momen tersebut senantiasa dirayakan dengan sukacita, gembira, dan penuh kebahagiaan.
Kebahagiaan yang tersimpan di dalam perayaan hari besar tersebut sejatinya dapat menjadi modal sosial sekaligus modal spiritual untuk mewujudkan kehidupan yang lebih toleran, damai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut mutlak dilakukan agar setiap momentum keagamaan tidak hanya menjadi sekadar perayaan belaka, tetapi juga mempunyai makna transformatif dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap perhelatan Idul Fitri pasti mempunyai keistimewaan. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim, Idul Fitri di Tanah Air mempunyai nilai plus karena dijadikan sebagai momentum untuk mempertemukan keluarga yang lama tidak bersua akibat kesibukan mereka.
Idul Fitri telah menjadi medium untuk membangun solidaritas dan persaudaraan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Istimewanya, masyarakat melakukan mudik ke kampung halaman mereka secara sukarela. Meskipun tidak jarang dari mereka yang harus mengeluarkan biaya cukup besar dalam rangka mempererat tali silaturahmi di antara mereka.
Dalam hal ini, persaudaraan yang terdapat di dalam Idul Fitri telah menjadi modal penting dalam membangun persaudaraan dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan. Kehendak untuk membangun harmoni bagi masyarakat sebenarnya tidak pernah surut karena faktanya selalu ada momen yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya membangun tali persaudaraan.
Thahir bin Asyur dalam Maqashid al-Syariah (2005) menyatakan, momen kembali ke fitrah amatlah penting karena hal itu dapat menjadi fondasi yang kuat bagi pemahaman yang lebih tinggi lagi, utamanya terhadap nilai-nilai universal yang terdapat di dalam agama, seperti toleransi, kemaslahatan, dan keadilan. Fitrah merupakan tuntunan yang diciptakan Tuhan kepada setiap manusia, yang mana mereka sebisa mungkin dapat menggunakan akal budinya untuk mencapai kemuliaan dalam hidup. Sebab itu, beruntunglah mereka yang betul-betul memahami dan memaknai fitrah karena fitrah akan menjadi starting point untuk menyemai kebajikan sembari menjauhi kemungkaran.
Tantangan
Dalam konteks kekinian, kembali ke fitrah mutlak diperlukan karena ruang publik masih dihantui oleh kekerasan dan intoleransi. Pelaku terorisme ditangkap, ditembak, bahkan dihukum mati. Namun, ideologi terorisme masih terus berkeliaran. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan cenderung meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri membenarkan bahwa kekerasan yang dilakukan beberapa ormas cenderung meningkat. Jika pada tahun 2007 terjadi sekitar 10 kasus, tahun 2008 sekitar 8 kasus. Pada tahun 2009, aksi kekerasan melonjak menjadi 40 kasus. Bahkan hingga pertengahan tahun 2010 sudah terdapat 49 kasus (Kompas, 6/9).
Data-data tersebut telah menciptakan keresahan dan kegelisahan di mata publik, bahkan mengganggu ketertiban umum. Jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas membuktikan, rata-rata di atas 80 persen responden menyatakan keresahan mereka terhadap eskalasi kekerasan yang makin telanjang. Semua itu terjadi karena muncul pemahaman di sebagian kelompok bahwa perbedaan agama dan keyakinan merupakan sebuah ancaman, bukan kekuatan untuk membangun harmoni. Dalam hal ini, kebhinekaan yang merupakan pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lambat laun diabaikan, bahkan dicederai.
Tantangan tersebut harus menjadi agenda bersama yang mesti dipecahkan sehingga tidak menjadi energi negatif yang dapat mengganggu integrasi sosial yang sudah mendarah daging di republik ini. Tujuannya agar kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain tidak semakin meluas, dan kehendak untuk membangun harmoni selalu menyala, sebagaimana tercermin dalam momentum Idul Fitri.
Toleransi
Idul Fitri dapat dijadikan sebagai jalan untuk mengatasi problem intoleransi di atas. Ketika setiap umat mampu kembali ke fitrah, yang mana akal budi mereka siap untuk melakukan kebajikan, maka kehendak untuk membangun toleransi akan senantiasa bergelora. Yaitu sebuah sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya dan karakter manusia.
Salah satu tradisi yang biasa dilakukan dalam Idul Fitri adalah bermaaf-maafan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, tradisi bermaaf-maafan itu tidak hanya terjadi di antara umat Islam, tetapi juga melibatkan umat non-Muslim lainnya. Hal ini semakin membentangkan jalan bagi toleransi karena setiap orang mempunyai keterbukaan dan kelapangdadaan terhadap orang lain, bahkan komitmen untuk memaafkan kesalahan di masa lalu serta membuka lembaran hidup masa kini dan masa mendatang untuk kehidupan yang lebih baik.
Sementara perbedaan harus dipahami sebagai sunatullah yang harus disyukuri. Sebab, perbedaan merupakan titah Tuhan yang harus dijadikan sebagai keniscayaan hidup di dunia sehingga setiap kelompok dapat membangun dialog dan pengertian di antara mereka. Tindakan kekerasan atas nama agama sama sekali tidak dibenarkan.
Dalam hal ini, ada baiknya bila meneladani para ulama fikih, seperti Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Di tengah perbedaan pandangan di antara mereka tidak menjadikan mereka bertentangan satu dengan yang lain. Imam Syafii mengeluarkan sebuah pandangan yang penting sekali dalam rangka memaklumi perbedaan dan membangun toleransi, ”Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi mungkin saja benar.”
Toleransi merupakan laku para ulama terdahulu. Sebab itu, dalam suasana Idul Fitri ada baiknya toleransi dijadikan sebagai pesan utama yang dapat memperkokoh tali kebangsaan dan tali kemanusiaan. Harapannya, toleransi akan menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan karena tidak ada lagi kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh warganya.
Zuhairi Misrawi Ketua Baitul Muslimin Indonesia Bidang Hubungan Antar-agama dan Penulis buku ”Al-Quran Kitab Toleransi”
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04455312/idul.fitri.sebagai.elan.toleransi

Terima Kasih Islam!

Rabu, 8 September 2010 | 04:41 WIB
Al Andang L Binawan
Kalau orang Indonesia mengucapkan terima kasih, secara eksplisit memang mengatakan bahwa dia telah menerima kasih, entah besar entah kecil, dari rekan bicaranya. Demikian pun kalau saya ucapkan terima kasih kepada Islam, secara sadar saya sampaikan bahwa saya, sebagai non-Muslim, telah menerima kasih dari Islam, di tengah bangsa Indonesia ini.
Kasih itu lebih dari sekadar pemberian. Kasih itu menghidupkan karena ada tiga unsur penting di dalamnya, yaitu penghargaan, penerimaan, dan pengakuan. Penghargaan terkait dengan apresiasi terhadap kelebihan seseorang. Penerimaan lebih terkait pada kekurangan yang ada.
Sementara itu, pengakuan bukan sekadar recognition, melainkan sebuah peng-aku-an, kesempatan untuk sungguh menjadi ”aku”, menjadi pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bisa dikatakan bahwa kalau dua unsur pertama berada dalam dimensi ruang, unsur ketiga itu menempatkan dua unsur pertama dalam dimensi waktu. Ada proses di dalamnya.
Kasih Islam
Warga Indonesia sudah sepantasnya berterima kasih kepada Islam. Dalam pengalaman hidup di Indonesia ini, harus diakui bahwa kasih Islam itu pulalah yang telah berperan besar membentuk bangsa ini. Ada banyak alasan, tetapi dalam tulisan singkat ini, hanya beberapa hal yang bisa disebutkan.
Alasan berterima kasih kepada Islam yang pertama tentu saja karena dalam sejarah bangsa ini, Islam tampak menghargai atau mengapresiasi peran elemen masyarakat lain dalam membangun negeri. Islam menghargai kebhinekaan. Karya-karya sosial dari agama lain, setidaknya yang dialami gereja Katolik, diberi tempat yang layak. Pun, warga non-Muslim yang berpotensi, sangat diapresiasi.
Kedua, Islam pun telah menunjukkan toleransi yang besar pada keberagaman. Perlu diingat, toleransi bermakna menanggung kekurangan orang lain. Ini sejajar dengan pengalaman diterimanya agama-agama lain hidup berdampingan dengan Islam. Meski dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Islam, keberadaan agama-agama lain diterima di Indonesia, negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Bahkan, Islam di Indonesia mau mengorbankan cita-cita menjadikan negeri ini negeri Islam dengan menerima Pancasila. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit yang masih mau memberi ucapan pada hari raya kami.
Pengalaman panjang hidup di tengah umat Islam di Indonesia, dengan penghargaan dan penerimaan itu, membuat kami yang bukan pemeluk Islam sungguh merasa menjadi bagian dari Indonesia. Sebagai umat Katolik, saya merasa tidak didiskriminasi dan mampu mengaktualisasikan semboyan kami: seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia. Kami sungguh menjadi Katolik dan sekaligus sungguh menjadi warga Indonesia. (Tidak ada niat tersembunyi di balik semboyan itu untuk seratus persen meng-katolik-kan Indonesia.) Itulah pengalaman kami di-aku-i. Itu pulalah alasan ketiga kami berterima kasih kepada Islam di Indonesia.
Memang, dalam proses berinteraksi selama ini, kadang terjadi salah paham atau gesekan. Pengalaman itu terasa menyakitkan meski tetap bisa dipandang sebagai sebuah risiko dari suatu proses pendewasaan bersama. Kami, atau setidaknya saya, tetap berusaha mensyukurinya. Bagaimana pun, kasih tidak selalu berasa manis.
Kasih yang fitri
Pengalaman nyata hidup di tengah umat Islam di bumi Indonesia tadi, setidaknya sampai hari ini, menjadi bukti bahwa pada dasarnya Islam, seperti yang sering saya dengar, adalah rahmatan lil’alamin, rahmat untuk semesta alam. Kalau kami merasa di-aku-i, itu karena kami merasa sungguh hidup. Islam telah menjadi rahmat, menjadi rohima, sebagai kasih yang menghidupkan.
Untuk perjalanan bangsa ke depan, tentu saja kami tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai rahmatan lil’alamin tetap dapat diwujudkan supaya bangsa yang sangat beragam ini tetap dapat hidup damai berdampingan. Memang, harus diakui, harapan ini disampaikan di tengah sedikit kekhawatiran bahwa rahmat yang selama ini kami rasakan menjadi pudar.
Pernyataan Din Syamsuddin, ketua presidium Inter Religious Council yang adalah juga Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, bahwa kerukunan beragama sekarang ini cenderung menurun terkait dengan penghalangan oleh sebagian umat pada umat beragama lain dalam beribadat (Kompas, 28/8) mencerminkan juga kekhawatiran kami. Memang, pernyataan itu juga didasari oleh kekerasan yang dialami oleh sebagian jemaat non-Muslim, yang sebagian terjadi atas nama Islam.
Karena itu, pada hari yang sangat istimewa bagi Islam ini, kami—selain mengucapkan selamat Idul Fitri dan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih kepada Islam dan umatnya—tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai agama yang memberi kehidupan tetap dapat terus diwujudkan, bukan hanya untuk umatnya, melainkan juga untuk seluruh isi semesta alam.
Konkretnya, untuk Indonesia, wujud Islam sebagai rahmatan lil’alamin yang kami harapkan adalah Islam seperti yang pernah kami alami, Islam yang ramah. Dalam Islam yang penuh toleransi dan mau duduk bersama untuk berunding, kami merasa dihargai, diterima, dan diakui. Di situlah kami merasa hidup. Di situlah kami mengalami Islam sebagai rahim kasih sayang. Semoga, selepas Idul Fitri, kasih Islam di tengah bangsa ini bisa makin mewujud dan menghidupkan. Selamat Idul Fitri! Berkah Allah selalu melimpah.
Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/08/04414217/terima.kasih.islam