Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB
Setelah Membaca Opini dari Berbagai Madzhab Pemikiran dalam Blog Ini Saya Harap wawasan anda bertambah jika memang otak anda tidak bisa tercuci
Minggu, 19 September 2010
"Penyakit Belanda"?
Setelah Mudik Fitrah Usai
Senin, 13 September 2010 | 04:42 WIB
Mengelola Negara Kesejahteraan
Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB
Mu'tazilah
Muʿtazilah (Arabic: المعتزلة) is an Islamic school of speculative theology that flourished in the cities of Basra and Baghdad, both in present-day Iraq, during the 8th–10th centuries. It is still adopted by some of Muslim intellectuals today. The adherents of the Mu'tazili school are at odds with other Sunni scholars due to the former's belief that human reason is more reliable than scripture. Because of this belief, Mu'tazilis tend to interpret passages of the Qur'an in a highly metaphorical matter, a practice frowned upon by traditional, orthodox schools.
Contents
Contents
Mengupayakan Kerukunan dan Keserasian
Jumat, 17 September 2010 00:01 WIB
Di sisi lain, penganiayaan fisik maupun batin yang dialami seseorang atau suatu kelompok adalah bukti bahwa tidak ada manusia sempurna. Ada unsur-unsur baik maupun buruk dalam dirinya. Unsur-unsur buruk itulah yang membangkitkan konflik dan ketidakadilan sosial. Ini yang akan terus-menerus kita waspadai.
CALAK EDU Melek Aksara
Senin, 20 September 2010 00:01 WIB
Arah Pendidikan Buta Aksara
Senin, 20 September 2010 00:01 WIB
Suksesi Penegak Hukum
Senin, 20 September 2010 | 03:04 WIB
Secara hampir bersamaan, kita dihadapkan pada proses suksesi penegak hukum, yaitu Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kita angkat isu suksesi karena posisi ketiganya strategis dalam sistem penegakan hukum Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi. Suksesi itu penting karena ketiga lembaga sedang tersandera persoalan yang membuat tingkat kepercayaan publik kepada lembaga itu rendah.
Kita angkat isu suksesi karena posisi ketiganya strategis dalam sistem penegakan hukum Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi. Suksesi itu penting karena ketiga lembaga sedang tersandera persoalan yang membuat tingkat kepercayaan publik kepada lembaga itu rendah.
Pertarungan Baru di Timteng
Senin, 20 September 2010 | 03:04 WIB
Kriminal dan Kebebasan Beragama
Senin, 20 September 2010 | 03:01 WIB
Persoalan itu bukan saja dapat mendorong timbulnya pelanggaran hak atas kebebasan yang bertalian dengan aktivitas keagamaan atau keyakinan orang atau golongan, tetapi juga suatu tindak kriminal.
Negara, baik melalui pemerintah maupun melalui aparat kepolisian, bukan saja mengemban kewajiban untuk menghormati (to respect), tetapi juga melindungi (to protect) hak atas kebebasan bagi setiap orang, terutama kebebasan dasar (fundamental freedom) seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Dengan kewajiban itu, negara tak boleh campur tangan terhadap kebebasan setiap orang dalam beragama atau berkeyakinan dan menjalankan ibadah. Negara juga berkewajiban menghormati orang yang melaksanakan ibadah secara kolektif dengan damai.
Bagaimana pelanggaran berlangsung?
Pertama, ketika campur tangan pemerintah atau polisi berupa tindakan sewenang-wenang berlangsung terhadap kegiatan beribadah, maka saat itulah terjadi pelanggaran.
Kedua, pelanggaran pasti lebih kokoh jika kebebasan beragama atau berkeyakinan dipecundangi oleh hukum atau UU seperti UU No 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan rezim otoriter. Apalagi jika undang-undang ini justru memecundangi konstitusi atau UUD 1945 yang menghormati kebebasan beribadah secara damai.
Ketiga, UU itu juga dapat menjadi sumber kebijakan diskriminatif dalam pembangunan atau pendirian rumah ibadah bagi golongan minoritas sehingga tak heran jika mereka pun menjadikan rumah pribadi atau ruko sebagai rumah ibadah. Kebijakan dan praktik pemerintah yang berkarakter diskriminatif atas suatu golongan agama atau keyakinan dapat dituduhkan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beribadah.
Keempat, tentu saja aparat kepolisian wajib melindungi suatu golongan menjalankan ibadah secara kolektif secara damai agar tidak diganggu atau dirusak oleh golongan lain yang tak bertenggang rasa. Jika keberadaan polisi tak mencegah gangguan atau perusakan, maka polisi dapat dituduh melanggar kebebasan beribadah: lalai atau abai.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah—provinsi, kabupaten, dan kota—wajib menghormati dan melindungi orang beribadah secara kolektif dan damai. Sebaliknya, menghapus praktik diskriminasi.
Memang, perilaku dan praktik tak bertenggang rasa dan diskriminatif bersumber dari pandangan sempit dan eksklusif mengenai golongan sehingga dapat menimbulkan sikap penolakan atau kebencian atas golongan lain. Dan pada umumnya, golongan minoritas menjadi sasaran praktik penolakan dan kebencian.
Secara ekstrem, seolah-olah hanya ada satu golongan saja di muka Bumi. Sebaliknya, golongan lain diabaikan hanya karena mereka berlainan warna kulit, pandangan, agama atau keyakinan, dan bukan karena perbuatan buruk atau kesalahan yang dilakukan. Inilah diskriminasi dan intoleransi yang terjadi dalam realitas keberagaman.
Eksklusivisme, penolakan atau kebencian atas dasar perbedaan ras atau agama, bisa memicu seseorang atau segolongan orang untuk bertindak brutal atas golongan lain yang tak bersalah. Ekspresi eksklusivisme itu bisa dimulai dengan propaganda yang meneriakkan yel-yel kebencian atas suatu golongan, kemudian disusul dengan aksi mengganggu dan intimidasi aktivitas beribadah, perusakan harta benda, bahkan melakukan penganiayaan, atau bentuk perbuatan keji lainnya.
Penganiayaan seperti pemukulan dan penusukan atas orang dari suatu golongan agama atau keyakinan jelas sebagai tindakan yang merusak keutuhan tubuh/ pribadi orang (personal integrity) dan termasuk sebagai perbuatan kriminal. Norma ini berlaku dalam semua masyarakat beradab. Namun, kejadian seperti itu tak pernah sebagai ”kriminal murni” seperti mencuri. Apalagi jika dilatari dengan propaganda dengan menyebarkan kebencian.
Setiap perbuatan kriminal harus dipertanggungjawabkan secara pribadi sesuai norma hukum yang berlaku. Polisi sebagai penegak hukum wajib memproses hukum mereka yang disangka berbuat kriminal. Dalam menjalankan fungsi dan tugas ini polisi tak boleh pandang bulu. Tak hanya itu, polisi juga tak boleh dikesankan kecut atau tunduk kepada segelintir orang sehingga merusak citra sebagai pengayom masyarakat, dengan membiarkan orang yang bertanggung jawab justru bebas berkeliaran untuk mengulangi perbuatannya tanpa pertanggungjawaban hukum.
Jaksa yang Kebablasan
Senin, 20 September 2010 | 03:02 WIB
Bahkan, ”permintaan” jaksa-jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) ini seperti sudah dirancang (by design) guna menghadapi desakan mayoritas publik agar Presiden memilih Jaksa Agung dari luar kejaksaan. Penilaian seperti itu muncul karena langkah para jaksa tersebut merupakan kelanjutan manuver Hendarman yang terlebih dulu telah menyampaikan delapan nama calon penggantinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dibandingkan dengan Kepala Polri, posisi Jaksa Agung sangat mungkin diisi oleh kalangan luar kejaksaan. Dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No 16/2004) tidak satu pun ketentuan yang mengisyaratkan bahwa Jaksa Agung harus berasal dari kalangan internal kejaksaan. Bahkan, syarat menjadi Jaksa Agung lebih sederhana dibandingkan dengan jaksa biasa yang memerlukan syarat batas usia dan syarat pegawai negeri sipil.
Sekalipun lebih sederhana, calon Jaksa Agung sangat tergantung dari pertimbangan dan pilihan Presiden. Dalam hal ini, Pasal 19 Ayat (2) UU No 16/2004 menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena tidak ada keharusan melibatkan institusi lain dalam proses pengisiannya, penentuan Jaksa Agung sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden. Dalam pengertian itu, tindakan Hendarman dan 8.479 jaksa tersebut jelas mendikte Presiden. Dalam konteks yang lebih luas, langkah jaksa yang tergabung dalam PJI itu dapat dinilai sebagai langkah politik sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi politik.
Tindakan mendikte ini sulit dibantah karena langkah Hendarman dan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI dilakukan setelah Presiden memberikan isyarat bahwa Jaksa Agung tidak harus dari pejabat karier. Bisa jadi, isyarat itu yang membuat sebagian kalangan internal kejaksaan merasa perlu melakukan manuver sehingga Presiden menimbang ulang keinginan memilih Jaksa Agung dari luar kalangan jaksa. Bahkan, dalam beberapa waktu belakangan mulai diembuskan bahwa Jaksa Agung yang berasal dari luar akan mengancam rencana renumerasi di kejaksaan.
Dalam pengertian itu, manuver yang dilakukan para jaksa dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Presiden. Padahal, secara hukum, isyarat Presiden untuk memilih Jaksa Agung dari luar punya dasar pijakan yang sangat kuat. Selain tidak dilarang dan dibatasi UU No 16/2004, Jaksa Agung yang berasal dari kalangan eksternal telah berkali-kali mengisi pos orang nomor satu di lingkungan Gedung Bundar. Bahkan, Jaksa Agung pertama pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono berasal dari luar kejaksaan.
Dengan adanya manuver tersebut, pertanyaan besar sebagian kalangan yang concern terhadap kejaksaan: mengapa sebagian (besar) internal kejaksaan resistensi dengan Jaksa Agung dari luar?
Kemungkinan pertama, banyak kalangan elite kejaksaan merasa terganggu dan terancam dengan masuknya orang luar. Kelompok ini hampir dapat dipastikan mereka yang selama ini sangat menikmati perubahan yang bergerak lamban di kejaksaan. Bagaimanapun jika perubahan besar terjadi, akan menghancurkan segala ”kenikmatan” yang mereka peroleh. Karena itu, kelompok ini akan lebih nyaman dengan Jaksa Agung dari internal.
Berikutnya, kelompok yang berkepentingan agar segala macam kebobrokan yang terjadi selama ini tidak terkuak ke permukaan. Setidaknya sampai saat ini sejumlah skandal yang terjadi di Gedung Bundar belum terselesaikan secara tuntas. Sebut saja, misalnya, keterkaitan sejumlah petinggi kejaksaan dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Skandal yang benar-benar menampar wajah kejaksaan ini hanya berhenti sampai jaksa Urip. Padahal, melihat spektrum skandalnya, sulit diterima akal sehat bahwa jaksa Urip bergerak sendiri.
Begitu juga dengan skandal rekayasa dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan Anggodo Widjojo. Sampai saat ini penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kepentingan untuk menutup segala macam kebobrokan itu pasti makin besar jika ditambahkan dengan kemungkinan keterlibatan pihak kejaksaan dalam skandal mafia pajak yang melibatkan penyidik pajak Gayus Tambunan.
Terakhir, kelompok mafia hukum yang amat nyaman bermain dengan kalangan internal. Bagaimanapun, sejak pencanangan antimafia hukum, kelompok ini mulai terusik dan mereka yang selama ini bermain di lingkungan kejaksaan pasti akan mendapat kesulitan besar jika Jaksa Agung berasal dari luar kalangan eksternal.
Begitu urgennya reformasi total di kejaksaan, manuver Hendarman dan permintaan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI adalah sebuah kebablasan yang tidak boleh ditoleransi. Caranya, Presiden tidak boleh tertakluk oleh manuver jaksa-jaksa yang kebablasan itu.
Jakarta dan Ekstraksi Air Tanah Berlebihan
Senin, 20 September 2010 | 03:00 WIB
Batas Perairan RI-Malaysia Diselesaikan di Den Haag?
Senin, 20 September 2010 | 03:01 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)