Senin, 20 September 2010 pukul 14:46:00
Nawari Ismail (Dosen FAI UMY)Kembali dunia kerukunan umat beragama di Indonesia ternodai dengan peristiwa berdarah 12910 di Bekasi. Suatu peristiwa yang bersamaan dengan peristiwa pemboman WTC dan pembakaran Alquran di Amerika Serikat. Walau belum diketahui pasti ada-tidaknya hubungan ketiganya, namun yang pasti polisi sudah menetapkan tersangka, keputusan sudah diambil, dan korban tubuh sudah jatuh dan (akan) segera sembuh, namun korban psikologis (perasaan) dan sosiologis (emosi kelompok) masih akan terpendam terus, merasuk ke dalam relung hati dan pikiran terdalam tiap kelompok. Semuanya akan melahirkan stigma, persepsi dan etno-religiosentrisme baru.
Selama ini negara (pemerintah dan legislatif) seolah menjadi peragu dan 'bersilat' ketika mau mengatur dan melaksanakan kerukunan umat beragama. Pada tahun 2003 yang lalu pemerintah sudah mempersiapkan rancangan undang-undang tentang kerukunan, namun sampai sekarang tidak pernah tuntas. Ada kesan kuat rancangan aturan tentang hal ini hanya sebagai komoditas politik untuk meredam sementara ketika konflik umat beragama terjadi. Ketika konflik sudah mulai mereda, rancangan itu diabaikan lagi, dan ketika terjadi konflik baru, kembali rancangan itu diangkat, atau mewacanakan revisi terhadap aturan yang sudah ada.
Hasil penelitian di beberapa daerah konflik antar umat beragama yang dilakukan penulis menunjukkan kecenderungan baru dalam kaitan interaksi umat beragama, khususnya yang berkembang di kalangan muslim yaitu adanya pergantian peran dari Islam mapan ke kelompok 'Islam konsisten' yang memiliki kepekaan terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain. Sementara dari pihak Kristiani hampir semua kasus konflik melibatkan kelompok non-Katholik. Selain itu masalah klasik masih terus berkembang yaitu pembangunan tempat ibadah dan penyiaran agama (akan) selalu menjadi sumber dan penyebab konflik. Justru karena pelanggaran yang dilakukan umat beragama dan kurangnya tegasnya penegakan aturan yang sudah ada. Misalnya tentang perizinan dari tokoh masyarakat dan agama (lain) setempat serta kurang proposionalnya antara bangunan tempat ibadah dengan jumlah umat suatu agama.
Dalam proses penyelesaian konflik umat beragama ke depan, suatu hal yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi ulang terhadap pendekatan mayoritas. Selama ini pemerintah hanya melibatkan organisasi keagamaan mapan, khususnya di kalangan Islam, dalam setiap penyelesaian konflik umat beragama. Hal ini harus diimbangi dengan perlunya mulai memperhatikan serta mendekati organisasi 'Islam konsisten' yang terus mengembangkan pengaruhnya terutama dalam hubungan antarumat beragama, baik pada skala lokal maupun nasional. Pendekatan ini bukan berarti sebagai upaya 'pemandulan' aspirasi dan sikap peka mereka terhadap nonmuslim, namun mengarahkan agar kepekaan itu tidak menjadi konflik kekerasan.
Paduan berkembangnya (etno)religiosentrisme, kecenderungan subyek berkonflik di kalangan kelompok agama, dan masalah tempat ibadah dan penyiaran agama harus dipandang satu kesatuan. Ketika satu kelompok berupaya memaksakan kepentingan untuk membangun tempat ibadah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, maka pasti akan menimbulkan reaksi dari kelompok agama lain. Kasus di Bekasi juga harus dilihat dari sisi ini, bukan hanya dilihat dari adanya korban tubuh di satu pihak. Sebab selain ada korban tubuh masih banyak korban-korban psikologis dan sosiologis dari pihak yang lain. Yaitu korban perasaan yang menyakitkan tiap individu, dan korban pelecehan secara sosial sebagai mayoritas yang merasa tidak diperhatikan aspirasinya, dan ini semoga menjadi pertimbangan serius dalam mengadili yang dianggap tersangka.
Sebab jika dilihat dari prolog peristiwa menunjukkan adanya formula aksi-reaksi. Dari informasi melalui media massa, banyak warga setempat yang sudah berusaha mengeluarkan aspirasinya secara lisan maupun tulisan agar kelompok yang lain tidak melakukan kebaktian dan menggunakan tempat ibadah yang dianggap ilegal. Namun kelompok yang lain tetap melakukan dan bahkan melakukan konvoi.
Selain itu sering terjadi kelompok agama mewacanakan toleransi dan hak azasi manusia untuk menklaim kebenaran tindakannya. Tapi di sisi lain justru mengabaikan perasaan dan kepentingan kelompok lain. Kita memang harus menjunjung tinggi toleransi dan HAM namun harus proporsional, baik sebagai mayoritas maupun terutama sebagai minoritas. Artinya, tidak melebihi batas kewajaran, dan batas kewajaran itu harus bertolak dari penghormatan terhadap kepentingan kelompok lain, baik kepentingan doktrin, paham, dan perasaan kelompok. Jika batas-batas itu dilanggar oleh kelompok agama sendiri, maka jangan harap kerukunan yang selalu diwacanakan tersebut dapat terwujud dengan langgeng.
http://koran.republika.co.id/koran/24/119270/Quo_Vadis_Kerukunan
well down
BalasHapus