Rabu, 14 Oktober 2009

Mengembangkan Tradisi Ilmu Melalui Kertas

Selasa, 13 Oktober 2009 pukul 01:59:00

Mengembangkan Tradisi Ilmu Melalui Kertas


Pembuatan kertas telah memicu penulisan buku dan berdirinya perpustakaan.


Lembaran-lembaran kertas telah memantik lompatan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk di dunia Islam. Melalui lembaran-lembaran kertas, beragam pemikiran ditorehkan. Hingga terwujud berjilid-jilid buku. Pun, sejumlah perpustakaan megah.

Dunia Islam mengenalkan teknologi baru dalam pembuatan kertas. Hingga kemudian, teknologi ini memicu bermunculannya pabrik kertas. Hingga muncul berjilid-jilid buku para ilmuwan Muslim. Ilmu pengetahuan juga berkembang pesat di dunia Islam.

Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar, dalam bukunya, Kembali ke Masa Depan, menuturkan, teknik pembuatan kertas pada mulanya dikenalkan oleh orang-orang Cina. Mereka adalah para tahanan perang pasukan Muslim yang ditahan di Samarkand, Uzbekistan.

Orang-orang Cina ini kemudian diminta untuk memperkenalkan teknik pembuatan kertas. Namun di Cina, pembuatan kertas dilakukan dengan menggunakan bahan baku daun murbei. Bahan baku yang sama tak terdapat di Samarkand.

Bahan baku pembuatan kertas disesuaikan dengan bahan yang ada. Mereka menggantinya dengan bahan lain, yaitu pohon linen, kapas, dan serat. Orang-orang Islam mengenalkan bambu sebagai alat untuk mengeringkan lembaran kertas basah, dan memindahkan kertas saat masih lembab.

Bahan baku kertas kemudian ditumbuk dengan palu besar, agar bahan-bahn tersebut dapat dihaluskan dengan baik.

Selain itu, dilakukan sejumlah fermentasi guna mempercepat pemotongan linen maupun serat, serta penambahan bahan kimia lain, seperti pemutih. Pada 1151, di Jativa, yang merupakan pusat pembuatan kertas di Spanyol, ditemukan sebuah kincir air.

Kincir tersebut digunakan untuk menggerakkan palu penempa bahan-bahan pembuat kertas. Di sisi lain, teknik pembuatan kertas terus dikembangkan oleh orang-orang Muslim. Pada akhirnya, mereka menemukan proses pemotongan kertas dengan menggunakan kanji gandum.

Teknik ini menghasilkan permukaan kertas yang bisa ditulis dengan menggunakan tinta. Penemuan ini memantik perkembangan industri kertas secara pesat. Tak heran jika kemudian, tempat pembuatan kertas tak hanya di Samarkand.

Namun kemudian, pembuatan kertas menyebar ke kota-kota Islam lainnya, seperti Baghdad, Tiberia, Tripoli, Damaskus, Kairo, Fez, juga Sicilia pada era Islam. Bahkan, seorang wazir dari dinasti Abbasiyah, Ja'far ibn Yahya, mengganti seluruh perkamen di kantornya dengan kertas.

Langkah ini ditempuh Ja'far karena menilai bahwa kertas mudah diperoleh dan mudah digunakan untuk menulis. Harganya pun murah. Keadaan ini tentu terwujud seiring dengan pesatnya industri kertas di dunia Islam.

Pada abad ke-10, tersebar pula pabrik-pabrik kertas yang mengapung di atas Sungai Tigris. Seorang petualang dari Persia pun pernah berujar, di Kairo, Mesir, pedagang sayur membungkus sayuran yang dijualnya dengan kertas.

Lalu, teknologi kertas pun akhirnya masuk dalam ranah peradaban Eropa. Ini ditandai dengan dibangunnya sejumlah pabrik kertas di Fabriano, Italia, pada 1276. Selain itu, ada juga pabrik kertas di Nuremberg, Jerman, pada 1390.

Di sisi lain, produksi massal kertas di dunia Islam memantik lahirnya sebuah profesi baru yang disebut warraqin. Profesi ini berperan membuat kertas, menulis dan menyalin tulisan, dan membuat buku sekaligus membuka toko buku.

Seorang yang berprofesi sebagai warraqin, memiliki kemampuan menyalin yang luar biasa. Mereka mampu menyalin buku setebal 100 halaman hanya dalam satu hingga dua hari. Mereka juga sering menuliskan komentar maupun kritik terhadap buku yang disalinnya.

Komentar tersebut biasanya ditulis di pinggir halaman. Jadi, seorang warraqin tentu saja merupakan orang yang memiliki kemampuan intelektual. Selain itu, toko-toko buku juga akhirnya menjamur di banyak tempat.

Toko-toko itu bertebaran di pinggir jalan kota-kota besar Islam. Seperti, di Damaskus, Baghdad, Kairo, Fez, dan Granada. Para pelajar dan ilmuwan terpikat mengunjungi toko-toko itu. Dalam perkembangan selanjutnya, toko-toko itu menjadi diskusi ilmiah.

Perkembangan yang tak terduga juga kemudian muncul. Merebaknya pabrik kertas, warraqin, toko buku, dan minta baca umat Islam, memantik berdirinya perpustakaan. Tak hanya perpustakaan publik, tetapi juga perpustakaan pribadi.

Perpustakaan publik biasanya hadir di masjid-masjid besar. Para jamaah berbondong-bondong untuk menggali ilmu di perpustakaan tersebut. Bahkan, pada masa itu, lahir sebuah perpustakaan terbesar dan terkenal, yaitu Bayt al-Hikmah.

Perpustakaan tersebut didirikan oleh Khalifah Abbasiyah Harun al Rasyid pada 830. Selain berfungsi sebagai perpustakaan, Bayt al-Hikmah juga menjadi pusat penelitian dan penerjemahan. Ilmuwan Muslim, seperti Al-Kindi dan Al-Khawarizmi, berkunjung ke perpustakaan itu.

Sardar menyatakan, pengembangan ilmu pengetahuan yang telah berkembang di dunia Islam, melalui teknik pembuatan kertas hingga bermunculan perpustakaan, mestinya dilanjutkan oleh Muslim pada zaman ini. Buku-buku bisa dijadikan sarana efektif menyebarkan ilmu pengetahuan.

Menurut cendekiawan kelahiran Pakistan pada 1951, yang berbasis di London, Inggris ini, jika umat Islam terus mampu mempertahankan tradisi keilmuan dengan baik, umat Islam bisa memberikan sumbangsihnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan di kancah global.

Dalam Kembali ke Masa Depan, Sardar juga mendorong umat Islam memanfaatkan dan mengikuti perkembangan teknologi yang kian pesat. Jadi, kata dia, umat Islam misalnya bisa menyebarkan ilmu pengetahuan tak hanya melalui penerbitan buku.

Compact disk (CD), ujar Sardar, mestinya juga bisa dimanfaatkan dengan baik oleh umat Islam dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Jadi, tradisi pengembangan ilmu pengetahuan bisa dilakukan sambil mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Termasuk internet.

Karya-karya cendekiawan Muslim, Harun Yahya, misalnya, kini telah menyebar luas. Pemikiran dan pandangan-pandangannya bisa dibaca dan diakses oleh umat Islam di seluruh pelosok dunia, melalui internet dan CD. Demikian pula, pemikiran Sardar.

Sardar tak hanya menuliskan pemikirannya dalam setumpuk buku karyanya, yang telah diterjemahkan pula ke sejumlah bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Ia pun memiliki situs resmi yang berisi mengenai biografinya, pandangan, dan pemikiran-pemikirannya. dyah ratna meta novia



Melanjutkan Tradisi Penulisan dan Penerbitan


Tradisi penulisan dan penerbitan buku di dunia Islam terus berlangsung hingga kini. Langkah-langkah itu telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-10. Sebuah lompatan yang berawal dari teknologi pembuatan kertas.

Di Indonesia, tradisi penulisan buku juga berkembang. Di sisi lain, penerbit buku Islam juga bermunculan. Buku-buku Islam pun kian banyak membanjiri pasar. Bahkan akhir-akhir ini, antusiasme umat Islam terhadap buku dan novel Islam kian signifikan.

Tak heran jika saat ini, banyak buku bertemakan Islam dipajang di toko-toko buku. Bahkan, penerbit di Tanah Air, tak hanya menerbitkan tulisan dari cendekiawan maupun penulis di dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.

Sejumlah penulis luar negeri, seperti Yusuf Qardawi, Ziauddin Sardar, Tariq Ramadhan, dan Ali Syariati diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit di Indonesia. Jadi, umat Islam di Indonesia akhirnya bisa mengakses pemikiran-pemikiran para cendekiawan Muslim tersebut.

Ada sejumlah penerbit, yang menerbitkan buku-buku Islam di Indonesia. Di antaranya, penerbit Republika. Salah satu buku fenomenal yang diterbitkan penerbit ini adalah novel Islam berjudul Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.

Selain itu, ada pula Gema Insani Pers (GIP), yang menerbitkan sejumlah buku bertemakan Islam baik dalam bidang pendidikan maupun keluarga.

Penerbit lainnya, Serambi. Selain menerbitkan buku bertemakan Islam, penerbit ini juga menerbitkan buku-buku bertemakan umum.

Demikian pula, dengan penerbit Mizan. Penerbit ini juga banyak menerbitkan buku-buku berbobot. Tak hanya dalam bidang pemikiran, tetapi juga buku-buku bertemakan how to. Laskar Pelangi menjadi salah satu buku fenomenal penerbit Mizan. dya

Menelusuri Bendungan di Masa Islam

Rabu, 14 Oktober 2009 pukul 01:48:00

Menelusuri Bendungan di Masa Islam


Bendungan dibangun dengan kemampuan teknik yang tinggi.


Ilmu pengetahuan telah menebar jaringnya ke segala ranah kehidupan. Ini terjadi di dunia Islam. Beragam karya bertebaran dari pemikiran cendekiawan Muslim. Tak hanya karya dalam tataran pemikiran, tetapi juga berwujud bangunan-bangunan megah.

Bendungan menjadi salah satu dari beragam buah karya cendekiawan Muslim. Mereka merancang dan membangun bendungan tak semata untuk mewujudkan sebuah fungsi. Namun, ada sentuhan seni dan teknik tingkat tinggi.

Walaupun, terkadang tak ada pengakuan jujur atas buah karya mereka. Dalam bukunya, History of Dams, Norman Smith, seorang ilmuwan Barat, mengungkapkan keprihatinannya itu. Ia menuliskannya saat mengawali bab dalam bukunya tersebut.

Menurut Smith, yang dikutip situs Muslimheritage, sejarawan teknik sipil hampir sepenuhnya mengabaikan bangunan bendungan yang ada pada periode Muslim. Mereka tak membuat referensi mengenai hasil karya Muslim.

Bahkan, dinyatakan pula, pada masa Ummayah dan Abbasiyah, pembangunan bendungan, irigasi, dan aktivitas teknik lainnya mengalami kemunduran tajam dan kepunahan. ''Pandangan seperti ini tak adil dan tak benar,'' kata Smith.

Padahal, menurut Josef Schnitter, seorang arsitek dan ahli teknik, Muslim telah membangun banyak bendungan dengan beragam struktur dan bentuk. Mayoritas bendungan paling awal dibangun di wilayah Arabia, yang menjadi awal pusat penyebaran Islam.

Schnitter mencontohkan keberadaan Qusaybah, sebuah bendungan yang ada di dekat Madinah, memiliki tinggi 30 meter dan panjang 205 meter. Berdasarkan penemuannya, sepertiga dari bendungan yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8 itu masih utuh hingga sekarang.

Hal ini tentu saja menunjukkan kekuatan bangunan bendungan dan kemampuan arsitekturnya yang dimiliki para cendekiawan Muslim. Di Irak, di sekitar Kota Baghdad, terdapat sejumlah besar bendungan yang dibangun pada masa Kalifah Abbasiyah.

Kebanyakan bendungan tersebut dibangun di Sungai Tigris yang menggambarkan kemampuan teknik sipil yang tinggi. Sebagai contoh, sebuah bendungan di Baghdad dibangun dari balok-balok batu yang dipotong dengan hati-hati.

Lalu, balok-balok itu dipaku dengan paku besi. Lubang-lubang tempat paku besi ditancapkan, diisi dengan timah cair. Dari konstruksi bendungan itu, sudah terlihat kekuatan dan kekerasannya untuk menahan aliran air.

Di Iran, terdapat bendungan dengan nama Kebar yang dibangun pada abad ke-13. Bendungan itu dibuat dari pecahan-pecahan batu yang dicampur dengan adukan semen, yang terbuat dari jeruk nipis dilumatkan dengan abu tanaman gurun lokal.

Campuran ini membuat adukan kuat dan keras. Adukan yang sangat ideal bagi pembuatan bendungan itu yang menjadikannya tahan lama. Selain itu, dengan adukan yang kuat itu membuat tak ada retakan pada bendungan.

Selain itu, di Dezful, Iran, juga terdapat bendungan yang mampu mengalirkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu. Bendungan ini menjadi contoh bagi pembangunan bendungan di kota-kota lain.

Keberadaan sejumlah bendungan, membuat masyarakat Muslim pada masa itu tak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Pun, mereka tak menghadapi kendala mendapatkan air yang dibutuhkan untuk mengairi kebun dan tanah pertanian mereka.

Di wilayah yang sekarang ini disebut Afghanistan, terdapat tiga bendungan lebih tua dibandingkan Kebar yang ada di Iran. Ketiga bendungan itu dibangun oleh Raja Mahmoud dari Ghaznah (998-1030). Bendungan dibangun di dekat ibu kota kerajaan, Kabul.

Satu di antara ketiga bendungan itu dinamai sesuai namanya, yakni Bendungan Mahmoud. Bendungan tersebut memiliki tinggi 32 meter dan panjang 220 meter, yang terletak pada jarak 100 km dari Kabul.

Di pusat kekuasaan Islam di Spanyol, bendungan juga banyak berdiri. Konstruksinya tak kalah megah dan indah. Di Sungai Guadalquivir, Kordoba, terdapat sebuah bendungan tertua yang merupakan peninggalan masa pemerintahan Islam.

Menurut seorang ahli geografi abad ke-12 bernama Al-Idrisi, bendungan itu terbuat dari batu qibtiyyah sedangkan pilar-pilarnya terbuat dari batu marmer. Bendungan dibangun mengikuti aliran zig-zag air sungai hingga seberang sungai.

Bentuk bendungan ini menunjukkan orang-orang yang membangunnya, memiliki tujuan meningkatkan kapasitas air yang melimpah. Sisa-sisa bendungan tersebut masih dapat dilihat hingga saat ini.

Diperkirakan, bendungan tersebut semula memiliki tinggi sekitar tujuh atau delapan meter di atas permukaan air tinggi, dengan ketebalan delapan kaki. Bukti lain kejeniusan para insinyur Muslim juga terlihat dari kokohnya delapan bendungan di Sungai Turia.

Hingga ratusan tahun, bendungan-bendungan itu tak membutuhkan perbaikan sama sekali. Jika dilihat, tampaknya bendungan di Sungai Turia memiliki berat yang berlebihan pada badan bendungan. Ini bukannya tanpa sebab.

Jadi, mereka tak sembarangan membuat bentuk bendungan yang semacam itu. Bendungan dengan bentuk demikian, diperlukan untuk menahan aliran air sungai yang tak menentu gerakannya. Selain itu, juga untuk menahan hantaman pohon maupun batu.

Bendungan di Sungai Turia berusia lebih dari 10 abad. Meski telah dimakan zaman, bendungan itu masih terus mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol, tanpa memerlukan tambahan sistem.

Di Sungai Segura, umat Islam membangun sebuah bendungan untuk mengairi lahan yang luas di wilayah Murcia. Bendungan ini dibangun dengan rancangan dan konstruksi sempurna, dengan tinggi 25 kaki serta ketebalan 150 kaki dan l25 kaki.

Layaknya bendungan lainnya, bendungan ini terbuat dari pecahan-pecahan batu dan adukan semen. Pada masa itu, teknik yang digunakan oleh para tukang batu dan insinyur Islam untuk membangun bendungan juga sudah sangat tinggi.

Mereka sudah mampu mengukur baik kedalaman maupun lebar sungai. Sehingga, mereka bisa membuat desain bendungan yang cocok dengan ukuran sungai-sungai tersebut. Para insinyur Muslim telah memiliki kemampuan tinggi.

Selain itu, mereka juga menggunakan metode survei. Manfaatnya, mereka mampu membangun sebuah bendungan di lokasi yang tepat dan paling sesuai. Tak hanya itu, mereka juga telah mampu menata sistem kanal yang begitu kompleks.

Untuk mempermudah semua itu, mereka menggunakan astrolabes dan perhitungan trigonometri. Pada masa kekhalifahan, para cendekiawan Muslim merancang bangunan bendungan yang tak hanya berfungsi untuk mengatur air, tetapi juga mengalihkan arus air.

Bendungan yang juga berfungsi sebagai pengatur air, pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.

Perusakan
Pada suatu masa, ada tangan-tangan yang menghancurkan bendungan-bendungan yang berhasil dibangun itu. Pada 1220, misalnya, tentara Jengis Khan dari Mongol, menghancurkan seluruh bagian timur peradaban di wilayah Islam, termasuk bendungan.

Perusakan terhadap Bendungan Jurjaniyah, yang ada di sebelah selatan Laut Aral, menyebabkan Sungai Oxus mengalami kekeringan pada abad-abad berikutnya. Perusakan juga terjadi pada 163 tahun kemudian, yaitu pada 1383.

Invasi pasukan Tartar juga menyebabkan kehancuran banyak bendungan. Misalnya, bendungan di Zaranj ibu kota Provinsi Seistan. Nasib serupa juga menimpa bendungan yang ada di Band-I-Rustam serta wilayah Bust. dyah ratna meta novia


Berutang pada Al-Kindi dan Al-Biruni


Al-Kindi dan Al-Biruni dinilai memiliki jasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang teknik. Termasuk teknik pembangunan bendungan dan bangunan-bangunan megah lainnya. Al-Kindi, bernama lengkap Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Sabbah Al-Kindi.

Al-Kindi merupakan ahli matematika dan fisika. Ia lahir pada tahun 801 dan mengembuskan napas terakhirnya pada 873. Selain bisa berbahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Yunani. Dia telah menerjemahkan banyak karya para filsuf Yunani, baik karya Aristoteles maupun Plotinus.

Selain itu, Al-Kindi juga diketahui berasal dari kalangan bangsawan di Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad. Ia dikenal pula sebagai seorang tokoh besar yang menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang.

Geometri, fisika, meteorologi, psikologi, astronomi, astrologi, aritmatika, dan musik dikuasai Al-Kindi. Ia mengumpulkan pula berbagai karya filsafat secara ensiklopedis. Seabad kemudian, diselesaikan oleh Ibnu Sina. Sedikitnya, Al-Kindi menulis 250 buku.

Sebagian besar bukunya adalah ilmu geometri, sebanyak 32 buku. Geometri dan fisika yang dikuasai Al-Kindi, sangat penting dan bermanfaat untuk mendirikan sebuah bangunan, seperti bangunan, irigasi, jembatan, maupun rumah.

Selain itu, Al-Kindi juga menulis tentang filsafat sebanyak 22 buku, logika sembilan buku, dan fisika sebanyak 12 buku. Sementara itu, Abu Raihan Al-Biruni, yang sering disebut Al-Biruni, merupakan seorang ahli matematika dari Persia.

Selain itu, Al-Biruni juga mahir dalam bidang astronomi, fisika, ensiklopedia, filsafat, sejarah, serta farmasi. Sumbangan terbesar dari pemikirannya adalah di bidang matematika, filsafat, dan obat-obatan.

Al-Biruni dilahirkan di Khawarazmi, Turkmenistan atau Khiva di kawasan Danau Aral di Asia Tengah. Pada masa itu, wilayah tersebut terletak di wilayah kekaisaran Persia. Dia belajar matematika dan pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur.

Al-Biruni juga merupakan teman filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina atau Ibnu Sina. Selain itu, ia juga pernah mengembara ke India dengan Mahmud dari Ghazni untuk mempelajari bahasa, falsafah, dan agama mereka serta menulis buku mengenainya.

Al-Biruni juga menguasai beberapa bahasa di antaranya bahasa Yunani, Suriah, Berber, dan Sansekerta. Beberapa pemikirannya yang penting bagi pembangunan baik bendungan maupun irigasi adalah geometri, sudut segitiga, dan teorema Archimedes. dya