Senin, 12 April 2010

Belajar dari Hakim Plana

Jum'at, 09 April 2010 
Oleh Hermanto Rohman


PADA 1982, Presiden Nigeria Shehu Shagari, sebelum digulingkan oleh kudeta militer, pernah menyampaikan keluhannya, ''Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apa pun adalah kemerosotan akhlak negeri kami, yaitu masalah suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu".

Apa yang disampaikan presiden Nigeria itu, tampaknya, menjadi fenomena yang telah terjadi di negeri ini. Meskipun sang presiden kita belum pernah mengeluhkan itu, publik sudah pasti akan mengeluhkan.

Belum tuntas satu persoalan drama Century, publik sudah dihadapkan lagi dengan persoalan korupsi yang dimulai dari unek-unek Susno Duadji. Kesaksian Susno itu kemudian mengagetkan publik dengan menyeret nama pegawai Direktorat Jenderal Pajak PNS Golongan IIIA bernama Gayus Tambunan. Tidak tanggung-tanggung, pengembangan kasus itu menyeret tiga institusi sekaligus yang menjadi objek sasaran kemarahan publik, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan tentunya Direktorat Jenderal Pajak.

***

Berbicara tentang kasus korupsi dalam sistem perpajakan, mungkin kita perlu belajar bagaimana kasus tersebut pernah terjadi juga di negara lain seperti di Filipina pada 1975. Meskipun saat itu Filipina dipimpin oleh rezim yang korup (rezim Marcos), Marcos mampu menarik simpati publik dengan melakukan pembenahan atas kasus korupsi di Beureu Internal Revenue (BIR) atau Departemen Keuangannya Filipina. Salah satu gebrakan yang muncul adalah pengangkatan Hakim Efren Plana untuk memimpin sekaligus memerangi korupsi di tubuh BIR.

Perang terhadap korupsi di BIR yang pertama-tama dilakukan Plana adalah mengidentifikasi atau mengurai bentuk praktik-praktik korupsi yang ada. Plana kemudian menyimpulkan bahwa korupsi di BIR dibagi dua kelompok besar.

Pertama, korupsi eksternal. Dalam kelompok itu, dikenal bentuk korupsi seperti praktik lagay (uang pelicin), yakni pembayaran oleh wajib pajak karena merasa diberi kemudahan. Padahal, seharusnya kemudahan itu diberikan secara gratis. Praktik pemerasan, yakni si penilai (petugas pajak) mengancam wajib pajak dengan angka yang lebih tinggi. Di sini terjadi praktik arreglo, yakni petugas pajak dan wajib pajak berkolusi untuk menurunkan kewajiban pajaknya.

Kedua, korupsi internal. Dalam kelompok ini, bentuk korupsinya seperti penggelapan, penipuan, menunda setoran, dan korupsi penyidikan-penyidikan internal. Dalam hal itu, pegawai pajak melakukan praktik dengan mengambangkan jumlah pajak WP (wajib pajak) yang seharusnya dibayar. Ini dilakukan demi kepentingan si petugas pajak dan juga untuk WP.

Setelah mengidentifikasi bentuk praktik korupsi di BIR, Plana menerapkan strategi kebijakan untuk perbaikan. Yaitu, pertama, memprofesionalkan kinerja BIR. Salah satu di antaranya, hanya mengangkat lulusan terbaik untuk akuntan publik atau sarjana hukum yang layak untuk menjadi juru taksir pajak. Selain itu, merasionalisasi kenaikan pangkat dan mutasi pegawai.

Kedua, mengidentifikasi pembayar pajak yang diduga korup. Dalam hal ini, dirancang dan dilembagakan ''program audit mutu terpilih'' di dalam BIR. Plana juga menerapkan kebijakan bahwa Komisi Filipina (semacam BPK) diperbolehkan mengaudit atau mengawasi penyetoran hasil pajak.

Ketiga, memperketat sistem kontrol berkenaan dengan segala prosedur administrasi perpajakan. Untuk mendukung hal ini, salah satu di antaranya adalah membenahi undang-undang perpajakan, terutama antisipasi terhadap celah untuk melakukan praktik arreglos dan penghindaran pajak. Selain itu, Plana menerapkan penggiliran kepada pegawai pajak di lapangan dengan maksud untuk menghindari praktik hubungan pribadi yang tidak terpuji dengan wajib pajak.

Itulah bentuk gebarakan kebijakan yang dilakukan Plana. Selain itu, Plana mencontohkan kepribadiannya sebagai figur yang jujur. Dia menolak hadiah-hadiah yang sekecil apa pun dari pihak luar. Gebrakan Plana itu mampu mengurangi praktik lagay dan areglo serta menjadikan pegawai BIR yang profesional.

Keberhasilan gebrakan Plana tersebut bisa menyeret oknum-oknum perpajakan, seperti Cruz, pegawai pajak kaya raya yang dikenal dengan gaya hidupnya yang mewah. Dari data yang didapat, Cruz ternyata sering melakukan praktik perampingan kepada para wajib pajak. Dari pajak 12 peso, dia hanya menyerahkan 9 peso kepada pemerintah.

Kemudian, Louro yang seorang pemuda petugas pajak di Provinsi Luzon menyerahkan bukti-bukti penerimaan pajak palsu kepada BIR. Demikian juga, Reyes dan Santos, pengawas pajak pada BIR, melakukan penelitian yang kemudian menemukan bukti kurang bayar pajak atas wajib pajak, tapi kedua pemuda itu tidak melaporkan kepada BIR dengan imbalan tutup mulut 1 juta peso.

***

Belajar dari perang terhadap korupsi pajak di negeri Filipina yang dilakukan seorang hakim Plana tentunya diharapkan bisa diterapkan di Indonesia. Namun, yang berbeda dari Phlipina adalah oknum-oknum pajak bisa disingkap setelah gebrakan Plana. ****** Sedangkan di Indonesia, justru dari pihak lain di luar institusi pajak itu sendiri.

Pertanyaannya kemudian, apakah Sri Mulyani yang diharapkan sebagai ''sosok Plana'' di Indonesia memang sudah menerapakan sebagian apa yang sudah dilakukan Plana di Philipina? Apakah gebrakan Sri Mulyani yang dulu dikenal dengan program reformasi birokrasi perpajakannya bisa membersihkan Direktorat Jenderal Pajak dari oknum-oknum pajak atau ''Gayus-Gayus'' lain yang tidak mustahil masih ada? Tentunya publik saat ini berharap besar dan masih menunggu hasilnya. (*)

*). Hermanto Rohman, dosen FISIP Universitas Jember