Rabu, 08 September 2010

Momentum Perbarui Negara

Kamis, 9 September 2010 | 04:43 WIB
Eko Prasojo
Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan momentum untuk memperbarui hidup. Bukan saja bagi hamba-hamba Allah secara individual, melainkan secara kolektif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika setiap Muslim menyadari betapa pentingnya stasiun Ramadhan yang telah berlalu bagi pengembangan keimanan, ibadah, dan akhlak, niscaya sebagian dari persoalan berbangsa dan bernegara dapat terselesaikan.
Memperbarui hidup merupakan kewajiban setiap Muslim. Kewajiban ini terletak pada dua aras. Pertama, secara alami manusia adalah makhluk yang membutuhkan pembaruan-pembaruan dalam hidupnya. Keinginan untuk membuka lembaran baru pada setiap fajar tiba adalah sesuatu yang lahir karena fitrah manusia.
Kedua, kewajiban untuk memperbarui hidup merupakan perintah Allah SWT dan sunah Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan harapan yang diberikan Allah kepada manusia untuk tidak berputus asa atas pengampunan Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Ampunan Allah kepada hamba-Nya sangatlah luas.
Pada sisi lainnya, kewajiban untuk memperbarui hidup ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Seorang Muslim bahkan tidak boleh pesimis apalagi putus asa atas rahmat Allah dalam setiap langkah kehidupannya. Ampunan dan rahmat Allah sangat luas, dan menanti manusia untuk memohon kepada-Nya.
Memperbarui negara
Negara adalah cerminan pemimpin dan masyarakatnya. Keberhasilan suatu negara, tidak saja ditentukan oleh kemampuan akal untuk melakukan perubahan sistem ekonomi, politik, hukum, sosial, administrasi, dan pemerintahan, tetapi juga sangat ditentukan oleh jiwa dan akhlak para pemimpin dan rakyatnya. Karena itulah, kebangkitan Indonesia dari segala persoalan yang saat ini dihadapi tidak boleh hanya didasarkan pada kekuatan akal pikiran manusia, tetapi harus diiringi oleh rahmat Allah SWT.
Tidak heran jika Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga juga mencantumkan pernyataan para pendiri negara tentang dukungan Allah atas kemerdekaan Indonesia: ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Adalah suatu kemustahilan bahwa perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan hanya semata-mata didukung oleh kekuatan fisik tanpa pertolongan dan rahmat Allah.
Idul Fitri adalah momentum untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia akan makna penting kemerdekaan yang telah berumur 65 tahun. Kemerdekaan Indonesia harus memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya, dan bukan hanya kekayaan kepada segelintir orang. Sulitnya Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan negara serta bangkit menjadi negara besar bisa jadi karena telah hilangnya rahmat Allah, bukan saja kepada para pemimpinnya, melainkan juga rakyatnya.
Rahmat Allah yang hilang karena kehidupan para pemimpin dan rakyat Indonesia tidak lagi memiliki keimanan kepada Allah. Islam hanya dipahami secara ritual budaya, tetapi nilai-nilainya tidak terefleksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kembalinya tiap-tiap diri Muslim menjadi fitrah pada tanggal 1 Syawal tahun ini hendaklah menjadi fondasi bagi pembaruan negara Indonesia. Negara pada dasarnya kumpulan dari jiwa-jiwa manusia. Jika tiap-tiap jiwa Muslim tunduk pada nilai-nilai Islam, hal ini akan menjadi modal dasar bagi kebangkitan Indonesia. Dilakukannya berbagai ibadah wajib ataupun sunah pada bulan Ramadhan yang akan segera berlalu harus dapat mengembalikan jiwa Muslim pada fitrahnya. Fitrah untuk menjadikan hidupnya sebagai bekal kehidupan akhirat kelak, fitrah untuk memberikan kebaikan kepada sesama manusia, fitrah untuk senantiasa memperbarui hidupnya, serta bagi kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Idul Fitri harus memberi makna bukan saja secara individual bagi umat Islam, melainkan juga secara kolektif bagi kebangkitan negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan kaidah dasar Islam yang memberikan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, keberadaan Islam hanya bisa dirasakan jika terdapatnya rahmat sumber-sumber kekayaan negara bagi seluruh rakyat Indonesia. Seorang pemimpin yang berkarakter Islam, tidak akan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tidak akan membiarkan korupsi merajalela, dan seorang pemimpin berkarakter Islam tidak akan membiarkan rakyatnya hidup berkesusahan. Seorang pemimpin Muslim akan menjunjung tinggi keadilan, memajukan kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Akhirnya, momentum Idul Fitri tahun ini harus dapat memberikan kesadaran kepada umat Islam untuk segera menghindarkan diri dari dicabutnya rahmat Allah kepada negeri tercinta ini.
Kebinasaan kaum-kaum terdahulu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat yang telah Allah syariatkan. Dalam bahasa ilmiah populer, mari kita jadikan momentum Idul Fitri untuk mencegahnya terjadinya kebinasaan Indonesia sebagai negara yang gagal (failed state). Semoga.
Eko Prasojo Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04435856/momentum.perbarui.negara

Lebaran dan Hak PRT

Kamis, 9 September 2010 | 04:45 WIB
Yulianti Muthmainnah
Lebaran sebentar lagi tiba. Takbir kemenangan segera akan dikumandangkan. Lebaran biasanya identik dengan silaturahim, mudik, dan yang tak kalah pentingnya adalah tunjangan hari raya.
Tunjangan hari raya (THR) senantiasa dinantikan banyak pekerja dari berbagai sektor, baik formal maupun nonformal, termasuk pekerja dalam rumah tangga (PRT) kita. Pertanyaannya adalah sudahkah kita memberikan kemenangan kepada PRT kita dengan cara menunaikan kewajiban memberikan hak THR bagi mereka?
PRT adalah seseorang yang sangat integral dalam kehidupan keluarga hampir mayoritas masyarakat perkotaan di Indonesia. Meski peranannya sangat penting, keberadaan dan jasa mereka sering kali diabaikan. Profesi PRT acap kali disepelekan dan dipandang sebelah mata. Kemiskinan dan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan telah memaksa banyak perempuan desa menjadi PRT.
Jumlah PRT di Indonesia sangat tinggi dan ia merupakan sumber utama ekonomi keluarga miskin. Estimasi ILO tahun 2009 menunjukkan bahwa PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global dan terdapat sekitar 100 juta PRT di dunia, lebih kurang 6 juta di antaranya merupakan PRT migran dari Indonesia. Di Indonesia sendiri, ada sekitar 2,5 juta orang yang berprofesi sebagai PRT. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya perempuan.
Sekalipun jasa PRT sangat besar karena ia mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dalam hal pengupahan, PRT merupakan kelompok pekerja yang dibayar paling rendah daripada sopir, tukang kebun, serta pengasuh orang tua jompo.
Frederick Engles dalam The Origin of the Family, Private Property, and State menyebutkan bahwa kerja perempuan menjadi tidak terlihat secara ekonomi karena berakar dari adanya pembagian kerja secara seksual di dalam rumah tangga dan masyarakat. Perempuan dianggap bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi, seperti melahirkan anak, mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga. Sementara laki-laki diberi hak untuk kegiatan produksi di luar rumah.
Kerja domestik
Perempuan yang sudah terpinggirkan dari kerja bernilai ekonomi karena pembagian kerja di rumah tangga akan semakin kesulitan mendapatkan kerja berupah secara layak jika pemerintah dan kita semua tidak memberikan penghargaan dan penghormatan pada kerja-kerja domestik.
Menurut Mubyarto, sesungguhnya perempuan tidak ada yang menganggur jika memasukkan kerja domestik sebagai pekerjaan. Bahkan, sejak tahun 1969, Margaret Benston dalam bukunya The Political Economy for Women tegas mengingatkan, sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara lebih serius dalam setiap analisis pekerjaan ekonomi sehingga akhirnya tidak disepelekan menjadi status yang marjinal dan tidak eksis.
Sebagai sebuah pekerjaan, PRT sesungguhnya berhak atas THR. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tidak ada pembedaan perlakuan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak dalam hal pengupahan, termasuk THR.
Tanpa THR dan transpor pergi pulang yang diberikan kepada PRT, dapat dipastikan PRT enggan kembali bekerja kepada kita. Karena itu, alasan anak tidak bisa ditinggal, hendak menikah, atau mengurus orangtua adalah alasan klasik untuk tak mengatakan secara jujur bahwa ”saya enggan kembali karena tuan/nyonya tidak memberikan hak dan jaminan kepada saya”. Mari menghitung kontribusi besar yang telah diberikan PRT bagi aktivitas dan aktualisasi kita di publik. Sebab, tanpa ada yang mengerjakan pekerjaan domestik, sangat sulit bagi kita bekerja di ruang publik atau berkarier dengan sempurna.
Jika PRT pulang kampung saja, barulah dirasakan repotnya mengurus pekerjaan domestik itu. Atau, kita harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya laundry, katering makanan, dan cleaning service rumah. Padahal, jika ada PRT, semua hal di atas akan dikerjakan oleh satu orang, yakni PRT.
Untuk itu, Lebaran ini seharusnya menjadikan kita agar lebih menghargai serta memanusiakan profesi PRT yang luar biasa besar jasanya bagi kita. Juga, seharusnya kita tidak perlu berhitung panjang dalam memberikan THR kepada mereka. Sebab, THR bukan hanya hak seorang pekerja, tetapi sekaligus penghargaan atas dedikasi mereka.
Ada baiknya jika kita kembali merenungkan pesan Tuhan bahwa termasuk orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak mau memberi makan fakir miskin, dan enggan menolong sesama. Memberikan apa yang semestinya menjadi hak PRT adalah bagian dari menjalankan pesan Tuhan itu. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir batin.
Yulianti Muthmainnah Peneliti di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04450471/lebaran.dan.hak.prt

Kohesivitas Sosial Idul Fitri

Kamis, 9 September 2010 | 04:44 WIB
ASEP SALAHuDIN
Tentu ada banyak makna yang dapat kita petik di hari kemenangan Idul Fitri. Salah satu dari sekian makna itu adalah desakan akan keinsafan membangun kohesivitas dan solidaritas sosial.
Di momen yang penuh kegembiraan itu, hasrat bersatu dipancangkan. Masyarakat yang lama tinggal di kota-kota secara bersamaan bergerak ke tempat kelahirannya, berbaur bukan hanya dengan memori silam yang mengendap dalam layar bawah sadarnya, melainkan juga dengan handai tolan dan sanak saudara. Mereka melakukan arus balik untuk segera melaksanakan ritus silaturahim di tempatnya masing-masing. Ucapan selamat terucap. Permohonan permaafan yang datang dari lubuk nurani tersampaikan. Munajat agar segenap kebaktian di bulan suci diterima diujarkan.
Dalam suasana seperti itu, umat benar-benar terasa menjadi sebuah keluarga besar. Berbinar merasakan kebahagiaan yang sama. Diikat dengan ingatan dan penghayatan keberagamaan yang tidak jauh berbeda: keinginan untuk kembali suci. Idul Fitri. Kembali bening dan berada dalam kafilah para pemenang sebagaimana tampak dalam jargon yang nyaris menjadi klasik: minal aidin wal faizin.
Melampaui eksklusivisme
Tentu saja kekerabatan yang terbangun yang dijangkarkan pada spirit permaafan pada gilirannya harus dijadikan tonggak persaudaraan yang lebih luas lagi. Persaudaraan yang tidak hanya disekat persamaan pilihan keagamaan, tetapi juga melintasi batas persaudaraan kemanusiaan yang berlainan opsi keyakinan, berlainan haluan imannya.
Keragaman, apalagi dalam konteks negara kebangsaan kita, sudah semestinya disikapi sebagai fakta sosial yang tidak mungkin kita hindari. Keragaman justru menjadi pintu masuk membangun kebersamaan. Hidup sedunia, perbedaan adalah suatu keniscayaan. Kebersamaan ini hanya mungkin terwujud manakala kita menjadi sebuah ”keluarga besar” yang selalu mengembangkan sikap toleran, terbuka, dialog, dan tidak terlintas sedikit pun untuk mengembangkan sikap-sikap eksklusif yang selalu memonopoli kebenaran seraya menganggap orang lain keliru.
Persaudaraan yang melampaui batas-batas formalisme agama sebagai substansi Idul Fitri mengingatkan kita akan keteladanan profetis yang diperagakan Muhammad SAW di Madinah. Keragaman Madinah di tangan Nabi justru menjadi jembatan untuk membangun masyarakat berkeadaban. Piagam Madinah menjadi dokumen penting yang merekam jejak-jejak sikap inklusif Sang Nabi. Dalam piagam yang disebut Haikal sebagai ’watsiqah siyasiyyah’ atau dokumen politik itu diteguhkan, di antaranya (1) menjamin kebebasan beragama, (2) larangan saling mengganggu satu sama lain, (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, 4) larangan orang melakukan kejahatan. Sebuah piagam yang hakikatnya, sebagaimana dikatakan A Syafii Maarif (1986), merupakan cermin utuh upaya penerjemahan secara fungsional nilai-nilai universal dengan tujuan utama membangun bumi ideal yang berkeadilan di atas jangkar nilai moral dan multikulturalisme.
Robert N Bellah menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi. Komunitas itu disebut ”modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin menerima penilaian berdasarkan kemampuan dan menanggalkan eksklusivisme.
Lebih jauh Bellah, seperti dikutip Yudi Latif, juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk sikap egaliter partisipatif.
Haluan persaudaraan
Persaudaraan bukan sekadar basa-basi dan atau hanya sekadar rekayasa kekuasaan, melainkan juga benar-benar menjadi modus cara kita ”berada”. Orang lain relasinya dengan kita bukan sebagai pelengkap, melainkan yang menyebabkan eksistensi kita wujud di dunia. Tanpa mengakui positif kehadiran ”orang lain”, eksistensi kita dipertaruhkan.
Inilah yang disebut Gabriel Marcel persekutuan tuntas dan sempurna yang dibangun di atas landasan ”Aku bertemu engkau secara pribadi sehingga aku-engkau menjadi kita. Pertemuan dengan orang lain adalah keniscayaan untuk menunjukkan eksistensi kita. Bukan persoalan ada dan tidak ada, tapi satu kemestian yang tidak dapat ditawar lagi”.
Orang lain yang berbeda dengan kita bukanlah neraka seperti dituduhkan filsuf ateis-eksistensialis murni Jean Paul Sartre (L’enfer c’est les autres: neraka adalah orang lain), melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita yang mempunyai tanggung jawab sama dalam ikhtiar membentuk bumi manusia yang santun.
Bahkan, lebih dari itu, Idul Fitri juga mengingatkan bahwa persaudaraan itu harus dibangun di atas panggilan suci ketuhanan, menjangkarkan setiap hubungan antarmanusia kepada akar yang bersifat ilahiah yang diistilahkan Marcel sebagai Engkau Absolut. Toi Absolu: Allah menjadi dasar metafisis terdalam bagi setiap relasi antarmanusia sebagaimana kondisi kesucian kita adalah fitrah yang kita bawa jauh sebelum kita lahir, seperti ikrar yang kita ucapkan di hadapan Tuhan dalam sebuah perjanjian ajali. Persekutuan berada dalam tatapan terang Ilahi.
Jika persaudaraan itu tidak menjadi persekutuan kemanusiaan yang utuh (ummah wahidah), yang dipertaruhkan tidak hanya masa depan kemanusiaan, tetapi juga kehadiran kita. Seandainya satu makna ini absen dari momen Idul Fitri, Lebaran itu hanya menyisakan hal yang artifisial: kenduri ketupat. Selamat berlebaran 1431 H.
ASEP SALAHUDIN Wakil Rektor IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/0444333/kohesivitas.sosial.idul.fitri.

Idul Fitri sebagai Elan Toleransi

Kamis, 9 September 2010 | 04:45 WIB
Zuhairi Misrawi
Min al-’Aidin wa al-Faizin. Ungkapan ini menggema di setiap momen Idul Fitri sebagai doa dan harapan untuk kembali pada kesucian serta dalam rangka meraih kemenangan, setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Sebab itu, momen tersebut senantiasa dirayakan dengan sukacita, gembira, dan penuh kebahagiaan.
Kebahagiaan yang tersimpan di dalam perayaan hari besar tersebut sejatinya dapat menjadi modal sosial sekaligus modal spiritual untuk mewujudkan kehidupan yang lebih toleran, damai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut mutlak dilakukan agar setiap momentum keagamaan tidak hanya menjadi sekadar perayaan belaka, tetapi juga mempunyai makna transformatif dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap perhelatan Idul Fitri pasti mempunyai keistimewaan. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim, Idul Fitri di Tanah Air mempunyai nilai plus karena dijadikan sebagai momentum untuk mempertemukan keluarga yang lama tidak bersua akibat kesibukan mereka.
Idul Fitri telah menjadi medium untuk membangun solidaritas dan persaudaraan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Istimewanya, masyarakat melakukan mudik ke kampung halaman mereka secara sukarela. Meskipun tidak jarang dari mereka yang harus mengeluarkan biaya cukup besar dalam rangka mempererat tali silaturahmi di antara mereka.
Dalam hal ini, persaudaraan yang terdapat di dalam Idul Fitri telah menjadi modal penting dalam membangun persaudaraan dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan. Kehendak untuk membangun harmoni bagi masyarakat sebenarnya tidak pernah surut karena faktanya selalu ada momen yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya membangun tali persaudaraan.
Thahir bin Asyur dalam Maqashid al-Syariah (2005) menyatakan, momen kembali ke fitrah amatlah penting karena hal itu dapat menjadi fondasi yang kuat bagi pemahaman yang lebih tinggi lagi, utamanya terhadap nilai-nilai universal yang terdapat di dalam agama, seperti toleransi, kemaslahatan, dan keadilan. Fitrah merupakan tuntunan yang diciptakan Tuhan kepada setiap manusia, yang mana mereka sebisa mungkin dapat menggunakan akal budinya untuk mencapai kemuliaan dalam hidup. Sebab itu, beruntunglah mereka yang betul-betul memahami dan memaknai fitrah karena fitrah akan menjadi starting point untuk menyemai kebajikan sembari menjauhi kemungkaran.
Tantangan
Dalam konteks kekinian, kembali ke fitrah mutlak diperlukan karena ruang publik masih dihantui oleh kekerasan dan intoleransi. Pelaku terorisme ditangkap, ditembak, bahkan dihukum mati. Namun, ideologi terorisme masih terus berkeliaran. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan cenderung meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri membenarkan bahwa kekerasan yang dilakukan beberapa ormas cenderung meningkat. Jika pada tahun 2007 terjadi sekitar 10 kasus, tahun 2008 sekitar 8 kasus. Pada tahun 2009, aksi kekerasan melonjak menjadi 40 kasus. Bahkan hingga pertengahan tahun 2010 sudah terdapat 49 kasus (Kompas, 6/9).
Data-data tersebut telah menciptakan keresahan dan kegelisahan di mata publik, bahkan mengganggu ketertiban umum. Jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas membuktikan, rata-rata di atas 80 persen responden menyatakan keresahan mereka terhadap eskalasi kekerasan yang makin telanjang. Semua itu terjadi karena muncul pemahaman di sebagian kelompok bahwa perbedaan agama dan keyakinan merupakan sebuah ancaman, bukan kekuatan untuk membangun harmoni. Dalam hal ini, kebhinekaan yang merupakan pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lambat laun diabaikan, bahkan dicederai.
Tantangan tersebut harus menjadi agenda bersama yang mesti dipecahkan sehingga tidak menjadi energi negatif yang dapat mengganggu integrasi sosial yang sudah mendarah daging di republik ini. Tujuannya agar kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain tidak semakin meluas, dan kehendak untuk membangun harmoni selalu menyala, sebagaimana tercermin dalam momentum Idul Fitri.
Toleransi
Idul Fitri dapat dijadikan sebagai jalan untuk mengatasi problem intoleransi di atas. Ketika setiap umat mampu kembali ke fitrah, yang mana akal budi mereka siap untuk melakukan kebajikan, maka kehendak untuk membangun toleransi akan senantiasa bergelora. Yaitu sebuah sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya dan karakter manusia.
Salah satu tradisi yang biasa dilakukan dalam Idul Fitri adalah bermaaf-maafan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, tradisi bermaaf-maafan itu tidak hanya terjadi di antara umat Islam, tetapi juga melibatkan umat non-Muslim lainnya. Hal ini semakin membentangkan jalan bagi toleransi karena setiap orang mempunyai keterbukaan dan kelapangdadaan terhadap orang lain, bahkan komitmen untuk memaafkan kesalahan di masa lalu serta membuka lembaran hidup masa kini dan masa mendatang untuk kehidupan yang lebih baik.
Sementara perbedaan harus dipahami sebagai sunatullah yang harus disyukuri. Sebab, perbedaan merupakan titah Tuhan yang harus dijadikan sebagai keniscayaan hidup di dunia sehingga setiap kelompok dapat membangun dialog dan pengertian di antara mereka. Tindakan kekerasan atas nama agama sama sekali tidak dibenarkan.
Dalam hal ini, ada baiknya bila meneladani para ulama fikih, seperti Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Di tengah perbedaan pandangan di antara mereka tidak menjadikan mereka bertentangan satu dengan yang lain. Imam Syafii mengeluarkan sebuah pandangan yang penting sekali dalam rangka memaklumi perbedaan dan membangun toleransi, ”Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi mungkin saja benar.”
Toleransi merupakan laku para ulama terdahulu. Sebab itu, dalam suasana Idul Fitri ada baiknya toleransi dijadikan sebagai pesan utama yang dapat memperkokoh tali kebangsaan dan tali kemanusiaan. Harapannya, toleransi akan menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan karena tidak ada lagi kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh warganya.
Zuhairi Misrawi Ketua Baitul Muslimin Indonesia Bidang Hubungan Antar-agama dan Penulis buku ”Al-Quran Kitab Toleransi”
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/09/04455312/idul.fitri.sebagai.elan.toleransi

Terima Kasih Islam!

Rabu, 8 September 2010 | 04:41 WIB
Al Andang L Binawan
Kalau orang Indonesia mengucapkan terima kasih, secara eksplisit memang mengatakan bahwa dia telah menerima kasih, entah besar entah kecil, dari rekan bicaranya. Demikian pun kalau saya ucapkan terima kasih kepada Islam, secara sadar saya sampaikan bahwa saya, sebagai non-Muslim, telah menerima kasih dari Islam, di tengah bangsa Indonesia ini.
Kasih itu lebih dari sekadar pemberian. Kasih itu menghidupkan karena ada tiga unsur penting di dalamnya, yaitu penghargaan, penerimaan, dan pengakuan. Penghargaan terkait dengan apresiasi terhadap kelebihan seseorang. Penerimaan lebih terkait pada kekurangan yang ada.
Sementara itu, pengakuan bukan sekadar recognition, melainkan sebuah peng-aku-an, kesempatan untuk sungguh menjadi ”aku”, menjadi pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bisa dikatakan bahwa kalau dua unsur pertama berada dalam dimensi ruang, unsur ketiga itu menempatkan dua unsur pertama dalam dimensi waktu. Ada proses di dalamnya.
Kasih Islam
Warga Indonesia sudah sepantasnya berterima kasih kepada Islam. Dalam pengalaman hidup di Indonesia ini, harus diakui bahwa kasih Islam itu pulalah yang telah berperan besar membentuk bangsa ini. Ada banyak alasan, tetapi dalam tulisan singkat ini, hanya beberapa hal yang bisa disebutkan.
Alasan berterima kasih kepada Islam yang pertama tentu saja karena dalam sejarah bangsa ini, Islam tampak menghargai atau mengapresiasi peran elemen masyarakat lain dalam membangun negeri. Islam menghargai kebhinekaan. Karya-karya sosial dari agama lain, setidaknya yang dialami gereja Katolik, diberi tempat yang layak. Pun, warga non-Muslim yang berpotensi, sangat diapresiasi.
Kedua, Islam pun telah menunjukkan toleransi yang besar pada keberagaman. Perlu diingat, toleransi bermakna menanggung kekurangan orang lain. Ini sejajar dengan pengalaman diterimanya agama-agama lain hidup berdampingan dengan Islam. Meski dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Islam, keberadaan agama-agama lain diterima di Indonesia, negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Bahkan, Islam di Indonesia mau mengorbankan cita-cita menjadikan negeri ini negeri Islam dengan menerima Pancasila. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit yang masih mau memberi ucapan pada hari raya kami.
Pengalaman panjang hidup di tengah umat Islam di Indonesia, dengan penghargaan dan penerimaan itu, membuat kami yang bukan pemeluk Islam sungguh merasa menjadi bagian dari Indonesia. Sebagai umat Katolik, saya merasa tidak didiskriminasi dan mampu mengaktualisasikan semboyan kami: seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia. Kami sungguh menjadi Katolik dan sekaligus sungguh menjadi warga Indonesia. (Tidak ada niat tersembunyi di balik semboyan itu untuk seratus persen meng-katolik-kan Indonesia.) Itulah pengalaman kami di-aku-i. Itu pulalah alasan ketiga kami berterima kasih kepada Islam di Indonesia.
Memang, dalam proses berinteraksi selama ini, kadang terjadi salah paham atau gesekan. Pengalaman itu terasa menyakitkan meski tetap bisa dipandang sebagai sebuah risiko dari suatu proses pendewasaan bersama. Kami, atau setidaknya saya, tetap berusaha mensyukurinya. Bagaimana pun, kasih tidak selalu berasa manis.
Kasih yang fitri
Pengalaman nyata hidup di tengah umat Islam di bumi Indonesia tadi, setidaknya sampai hari ini, menjadi bukti bahwa pada dasarnya Islam, seperti yang sering saya dengar, adalah rahmatan lil’alamin, rahmat untuk semesta alam. Kalau kami merasa di-aku-i, itu karena kami merasa sungguh hidup. Islam telah menjadi rahmat, menjadi rohima, sebagai kasih yang menghidupkan.
Untuk perjalanan bangsa ke depan, tentu saja kami tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai rahmatan lil’alamin tetap dapat diwujudkan supaya bangsa yang sangat beragam ini tetap dapat hidup damai berdampingan. Memang, harus diakui, harapan ini disampaikan di tengah sedikit kekhawatiran bahwa rahmat yang selama ini kami rasakan menjadi pudar.
Pernyataan Din Syamsuddin, ketua presidium Inter Religious Council yang adalah juga Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, bahwa kerukunan beragama sekarang ini cenderung menurun terkait dengan penghalangan oleh sebagian umat pada umat beragama lain dalam beribadat (Kompas, 28/8) mencerminkan juga kekhawatiran kami. Memang, pernyataan itu juga didasari oleh kekerasan yang dialami oleh sebagian jemaat non-Muslim, yang sebagian terjadi atas nama Islam.
Karena itu, pada hari yang sangat istimewa bagi Islam ini, kami—selain mengucapkan selamat Idul Fitri dan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih kepada Islam dan umatnya—tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai agama yang memberi kehidupan tetap dapat terus diwujudkan, bukan hanya untuk umatnya, melainkan juga untuk seluruh isi semesta alam.
Konkretnya, untuk Indonesia, wujud Islam sebagai rahmatan lil’alamin yang kami harapkan adalah Islam seperti yang pernah kami alami, Islam yang ramah. Dalam Islam yang penuh toleransi dan mau duduk bersama untuk berunding, kami merasa dihargai, diterima, dan diakui. Di situlah kami merasa hidup. Di situlah kami mengalami Islam sebagai rahim kasih sayang. Semoga, selepas Idul Fitri, kasih Islam di tengah bangsa ini bisa makin mewujud dan menghidupkan. Selamat Idul Fitri! Berkah Allah selalu melimpah.
Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/08/04414217/terima.kasih.islam

Lebaran: Danau Pencerahan

Rabu, 8 September 2010 | 04:40 WIB
INDRA TRANGGONO
Lebaran selalu jadi momentum sosiologis-kultural yang mengaduk-aduk perasaan: bahagia dan cemas.
Bahagia karena orang menemukan makna eksistensial kemanusiaannya di dalam sarang kehangatan sanak saudara dan handai tolan. Cemas karena untuk mewujudkan niat pulang ke ”sarang”, orang harus mengeluarkan banyak ongkos tinggi, baik material maupun nonmaterial.
Kultur Lebaran, yang terasa sangat mahal itu, dengan dinginnya menyodorkan berbagai ”kuitansi” yang harus dibayar tunai; dari kebutuhan dan jasa yang berharga mahal hingga seluruh pengorbanan lahir batin selama orang menempuh perjalanan pulang. Budayawan Umar Kayam menyebut, pada momentum Lebaran, orang-orang menjelma menjadi burung-burung urban yang terbang dari kota-kota besar dan kecil menuju ”sarang” sosial dan kulturalnya, dengan penuh risiko.
Konsep pulang
Meskipun Lebaran terasa sangat mahal, tidak sedikit orang tetap punya tekat untuk merayakannya di kampung halaman. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki konsep untuk pulang ke asal- usul, ke lubuk sejarah, tradisi, budaya, dan akar sosialnya. Bagi banyak orang dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan agama, Lebaran menjadi momentum ”sakral” untuk merebut kemanusiaannya dari pusaran rutinitas kehidupan yang selama ini cenderung menjadikan dirinya sebagai ”mesin” yang dihargai karena fungsinya. ”Mesin-mesin” itu kini untuk sementara off dan sedang merebut hati nuraninya yang selama ini ”tersingsal” di balik timbunan kesibukan.
Di dalam momentum kelahiran kembali sebagai ”manusia” itu, banyak orang melakukan peziarahan dan penyerapan nilai- nilai yang terkait dengan asal- usul, sekaligus melakukan pengukuhan diri bahwa dirinya tetap menjadi bagian penting dan bermakna dari komunitas sosial- kulturalnya. Setiap orang pun menemukan oase atau danau-danau pencerahan sekaligus kehangatan persaudaraan. Nilai-nilai budaya lokal atau juga agama itu menjadi modal penting untuk memasuki rutinitas kehidupan urban yang kering, serba fungsional dan pragmatis.
Beban kesuksesan
Di sisi lain, banyak orang memaknai Lebaran sebagai momentum untuk ”pembuktian” atas peran sosial yang dimilikinya berikut narasi-narasi kesuksesannya. Kultur Jawa menyebut orang sukses dalam karier dengan uwis dadi uwong (sudah menjadi orang/priayi). Predikat uwis dadi uwong, selain membanggakan, juga memunculkan horizon harapan bagi sanak keluarga dan handai tolan.
Dalam sistem persaudaraan dan kekerabatan pada masyarakat kita, biasanya pribadi yang sudah sukses selalu diharapkan menjadi cantelan untuk menolong sanak keluarga lainnya, misalnya dengan mencangking (merekrut/mencarikan pekerjaan) atau menjadi alamat untuk minta bantuan. Ini menunjukkan bahwa penguatan sistem kekerabatan/kekeluargaan bukan sekadar bermakna primordial, melainkan juga fungsional, produktif, sekaligus juga nepotis.
Pemaknaan itu, dalam perkembangannya, berpotensi menjadi beban sosial-ekonomis dan etik bagi mereka yang dianggap sudah menjadi orang. Beban untuk ”memuliakan” keluarga, dapat berpotensi mendorong orang untuk melakukan berbagai penyimpangan, misalnya korupsi. Tuntutan ini meniscayakan priayi mempunyai modal ekonomi yang besar dan sering kali menjerumuskan mereka ke dalam tindakan korupsi (Heather Sutherland: 1983).
Tentu saja, Lebaran tidak selalu menghadirkan narasi-narasi kesuksesan kaum urban. Bagi mereka yang tidak sukses secara sosial-ekonomis, Lebaran bisa menjadi momentum traumatik. Mereka merasa tersiksa ”ditagih” sanak keluarga soal kesuksesannya. Karena tidak kuat menanggung malu, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak pulang ke ”sarang” keluarga.
Namun, tidak sedikit orang yang memaksakan diri untuk pulang meskipun mereka sejatinya tidak cukup sanggup memamerkan kesuksesannya karena berbagai keterbatasan. Ada yang jujur dan terus terang, ada pula yang ”memanipulasi” dengan kisah-kisah sukses yang direka-reka. Lebaran pun menjadi momentum artifisial.
Dalam sistem kehidupan yang ditentukan kuasa modal, Lebaran memang telah tersandera materialisme: uang menjadi ”paspor” kebudayaan. Akibatnya, (seolah-olah) hanya mereka yang punya uang yang ”berhak” merayakan Lebaran. Di luar ketentuan itu, puluhan juta orang harus tersaruk-saruk dan pontang-panting merayakan Lebaran.
Asketisme atau pengendalian nafsu/godaan dapat menjadi salah satu jawaban untuk mengembalikan kultur Lebaran pada esensinya: danau pencerahan yang memuliakan kemanusiaan. Ini berarti, ”paspor” kebudayaan Lebaran bukan uang, melainkan kepribadian yang selalu eling pada nilai-nilai ideal, baik secara vertikal maupun horizontal. Uang hanyalah alat. Bukan penentu. Dengan sikap itu, semoga kita dapat merayakan Lebaran dengan khusyuk dan hangat tanpa rasa ketakutan diteror berbagai kebutuhan dan jasa yang berongkos mahal.
INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya; Bermukim di Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/08/04401695/lebaran.danau.pencerahan

Hilangnya Momentum

Rabu, 8 September 2010 | 04:41 WIB
Hikmahanto Juwana
Insiden 13 Agustus yang memengaruhi hubungan antara Indonesia dan Malaysia berakhir secara antiklimaks dengan pertemuan kedua negara di Kinabalu, Malaysia, pada 6 September lalu.
Hasil pertemuan di Kinabalu masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Presiden dalam pidatonya di Cilangkap yang dianggap banyak pihak lunak. Apa lagi, bila harapan publik yang kerap disuarakan oleh anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dijadikan patokan.
Presiden dalam pidatonya mengharapkan dipercepatnya penuntasan terhadap batas wilayah di antara kedua negara. Dalam kata-kata Presiden, ”Indonesia berpendapat bahwa perundingan menyangkut batas wilayah ini dapat kita percepat dan kita efektifkan pelaksanaannya.” Sementara, hasil pertemuan hanya mengintensifkan (membuat sering) pertemuan di antara kedua negara tanpa ada target kapan kesepakatan bisa dicapai.
Memang harus diakui kesepakatan batas wilayah akan berlangsung lama, tidak saja dalam hitungan tahun, tapi juga hitungan generasi. Janji Presiden dalam pidatonya kepada publik Indonesia harus diakui terlalu tinggi. Tidak heran bila Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo mengatakan kepada pers, Kamis (2/9), bahwa itu sebagai upaya damage control agar jangan terlalu berharap pada pertemuan 6 September.
Isu lain yang jauh dari harapan adalah tidak adanya janji dari Pemerintah Malaysia untuk melakukan investigasi terhadap petugasnya yang memperlakukan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pelaku kejahatan dengan pengenaan pakaian tahanan dan pemborgolan.
Padahal, dalam pidato Presiden, secara jelas Presiden menjanjikan hal ini. Dalam kata-kata Presiden, ”Melalui jalur diplomasi bahwa Pemerintah Malaysia saat ini sedang melakukan investigasi atas masalah perlakuan terhadap tiga petugas KKP.”
Terakhir, hasil pertemuan sangat jauh dari harapan karena Pemerintah Malaysia tidak menyampaikan permohonan maaf. Dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam pertemuan dengan Menlu, Komisi I menghendaki pemerintah agar mendesak Pemerintah Malaysia menyampaikan permohonan maaf. Maaf karena Marine Police Malaysia ketika melakukan penangkapan terhadap tiga petugas KKP berada di wilayah laut teritorial Indonesia.
Memperbaiki
Delegasi Indonesia dalam pertemuan di Kinabalu sepertinya masuk dalam genderang yang ditabuh oleh delegasi Malaysia untuk sekadar membahas insiden 13 Agustus.
Padahal, delegasi Indonesia—mengingat perkembangan hubungan kedua negara pascainsiden—dapat meminta Malaysia untuk bersama-sama memperbaiki hubungan kedua negara ke arah yang lebih baik.
Hubungan kedua negara yang lebih proper, saling menghormati, dan didasarkan pada kesetaraan paling tidak dilandaskan pada tujuh poin.
Pertama, kedua pemerintahan akan mengembangkan hubungan yang correct dengan tidak saling melecehkan satu sama lain ataupun mengeksploitasi ketergantungan satu negara kepada negara lain. Dalam kaitan ini, surat Presiden kepada PM Najib Tun Razak sudah sewajarnya mendapat balasan.
Kedua, otoritas dan para pejabat dari kedua pemerintahan wajib menahan diri untuk tidak melecehkan atau merendahkan martabat warga negara atau pejabat dari masing-masing negara. Indonesia dapat meminta agar tidak lagi digunakan istilah ”Indon” untuk warga negara Indonesia atau perlakuan sebagai pelaku kejahatan terhadap pejabat Indonesia yang ”dimintai keterangan” oleh otoritas Malaysia.
Ketiga, kedua pemerintahan perlu mengupayakan forum bagi saluran komunikasi antarkedua bangsa. Bila ada ketersinggungan atas suatu hal, forum ini yang akan dimanfaatkan untuk meredam ketersinggungan atau kemarahan. Rakyat masing-masing negara jangan dibiarkan untuk menyalurkan amarahnya dengan melakukan tindakannya sendiri-sendiri.
Keempat, pemerintahan kedua negara harus diberi akses yang seluas-luasnya dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi masing-masing warga negaranya. Setiap perkara hukum harus ditindaklanjuti oleh aparat dan tidak dipetieskan karena ingin melindungi warga negaranya sendiri.
Kelima, kedua pemerintahan berkomitmen untuk secara serius merundingkan batas wilayah kedua negara, meskipun hal ini bukan suatu hal yang mudah. Masing-masing negara tentu tidak akan mau mundur sejengkal pun dari klaim kedaulatannya.
Keenam, kedua pemerintahan perlu mencari mekanisme yang tepat agar insiden di perbatasan bisa ditekankan kemunculannya. Bila muncul, insiden tersebut harus dapat dilokalisasi sehingga tidak akan berkembang luas dan liar ke publik masing-masing negara.
Terakhir, adanya pernyataan dari kedua negara bahwa masing-masing negara akan menahan diri untuk menggunakan kekerasan (use of force) dalam mengatasi berbagai isu bilateral. Namun, penggunaan kekerasan akan dilakukan hanya dalam rangka membela diri dari serangan bersenjata sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB.
Momentum
Bila menilik insiden di perbatasan pada tahun 2005 dan kemudian tahun 2009, keduanya terkait dengan Blok Ambalat, dan insiden 13 Agustus, sebenarnya pemerintah banyak memiliki momentum untuk memperbaiki hubungan kedua negara. Pemerintah tidak seharusnya sekadar menjadi pemadam kebakaran setiap kali insiden terjadi.
Sayang, sejumlah momentum yang ada tidak dimanfaatkan secara baik. Pemerintah lebih menenggang rasa pada hubungan persahabatan dan kekhawatiran memburuknya hubungan daripada memperbaiki secara fundamental hubungan persahabatan kedua negara.
Kita yakin momentum untuk memperbaiki hubungan kedua negara akan muncul kembali, tapi kita tidak tahu kapan momentum itu hadir. Apakah pada saat pemerintahan sekarang atau pemerintahan berikutnya? Mudah-mudahan ke depan momentum dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional FHUI
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/08/0441075/hilangnya.momentum

Ganyang Malaysia?

Rabu, 8 September 2010 | 04:39 WIB

Susanto Pudjomartono
Unjuk rasa menentang Malaysia mengenai masalah perbatasan masih terus saja bermunculan di banyak tempat. Para pengunjuk rasa umumnya terdiri dari generasi muda. Pola unjuk rasa mereka umumnya membakar bendera Malaysia sembari menuntut agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih ”tegas” karena menganggap bahwa harga diri dan kedaulatan bangsa telah diinjak oleh negeri jiran tersebut.
Cukup banyak yang bahkan menuntut agar kita kembali ”mengganyang” Malaysia seperti pada 1960-an, malah kalau perlu berperang.
Apa yang sebenarnya kita ketahui tentang zaman konfrontasi itu?
Istilah ”konfrontasi” dipopulerkan oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963. Isinya, selain perintah untuk memperkuat ketahanan revolusi Indonesia, seluruh rakyat juga diperintahkan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang didalangi Inggris sebagai upaya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) membentuk sebuah negara boneka.
Adapun istilah ”Ganyang Malaysia” dilahirkan oleh Bung Karno. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Insiden itu membuat Bung Karno murka. Ia pun berpidato:
”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.”
”Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.”
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.”
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Rencana nekolim
Dibakar oleh pidato Bung Karno melalui radio itu (waktu itu radio merupakan media utama informasi), gerakan Ganyang Malaysia pun meledak ke seluruh negeri. Pendaftaran sukarelawan terjadi di mana- mana. Semangat bangsa saat itu memang sedang melambung setelah keberhasilan kita membebaskan Irian Barat pada 1962.
Waktu itu, secara militer Indonesia merupakan negara terkuat di Asia Tenggara, terutama berkat persenjataan yang dibeli dari Uni Soviet. Semangat antinekolim juga sangat tinggi. Inggris pada 1960-an itu masih merupakan kekuatan global.
Sebenarnya, Indonesia (dan Filipina) secara resmi setuju menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas rakyat di daerah yang akan dilakukan dekolonisasi menyetujui lewat referendum yang diorganisasi PBB. Namun, sebelum hasil referendum diumumkan, pembentukan Malaysia sudah diresmikan pada 16 September 1963, sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai bukti rencana nekolim untuk terus mengangkangi Asia Tenggara.
Dari segi militer konfrontasi Indonesia-Malaysia, umum disebut sebagai undeclared war karena perang terjadi tanpa pernah didahului pernyataan perang. Inggris dan sekutunya (Malaysia, Australia, dan Selandia Baru) waktu itu memiliki sekitar 17.000 anggota pasukan di Kalimantan serta 10.000 anggota pasukan yang ada di Semenanjung Melayu.
Pertempuran kecil-kecilan (skirmishes) tentara Indonesia dengan Inggris terutama terjadi di perbatasan Kalimantan. Ada juga penyusupan tentara Indonesia di Semenanjung Malaysia.
Konfrontasi berakhir setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto. Jumlah korban tewas di kedua belah pihak lebih besar berada di pihak Indonesia (sekitar 590 orang dibandingkan dengan Inggris/Australia/Selandia Baru yang hanya 114 jiwa).
Dalam rangkaian konfrontasi ini, sebuah insiden pernah terjadi antara Indonesia dan Singapura tatkala Singapura tetap menggantung dua prajurit marinir Indonesia yang tertangkap waktu menyusup ke Singapura meski Presiden Soeharto sudah mengirim utusan khusus agar hukuman itu diperingan. Insiden itu lama terekam dalam ingatan kolektif bangsa, antara lain lewat syair yang dinyanyikan dalam permainan kim (main tebak angka berhadiah ala Minang yang kemudian dilarang karena dianggap judi). Bunyinya ”Lee Kuan Yew sangat kejam, membunuh dua pahlawan, nama Harun dan Usman”. Semua peserta tebak-tebakan pun langsung mafhum, angka yang keluar adalah 68, yakni tahun terjadinya penggantungan itu.
Kini kedua pemerintah, Indonesia dan Malaysia, sepakat menyelesaikan insiden perbatasan melalui jalur diplomasi (soft power). Pemakaian kekerasan atau hard power dianggap tidak akan dapat memecahkan masalah. Namun, perlu diingat, dalam penyelesaian suatu sengketa perbatasan, hard power sering diperlukan sebagai back-up dari diplomasi. Sengketa Irian Barat (Papua) dengan Belanda juga bisa dimenangkan dengan perpaduan kedua hal itu.
Publik mestinya masih ingat, sewaktu penyelesaian kasus sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia pada 2002, melalui Mahkamah Internasional pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kans kita menang fifty-fifty karena kita mempunyai bukti-bukti yang sahih tentang kepemilikan dua pulau tersebut. Ternyata hasilnya jeblok. Kita kalah karena hanya satu hakim yang memenangkan dalih-dalih kita dan 16 lainnya menolak.
Susanto Pudjomartono Wartawan Senior
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/08/04394869/ganyang.malaysia