Selasa, 13 Oktober 2009

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT DI BARAT

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT DI BARAT

(Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode)

Biyanto

Pendahuluan

Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.

Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Makalah ini akan mendiskripsikan hubungan filsafat dan agama di Barat sebagai sebuah survei sejarah lintas periode.

1. Pengertian Agama

Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.

Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci. Kedua, adanya ritualitas yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga, adanya doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.

Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.

2. Agama Universal di Barat

Sebelum dijelaskan tentang agama universal di Barat, perlu diketahui agama bangsa Yunani secara garis besar. Bangsa Yunani sebelum mengenal dewa-dewa, mereka memuja dan menyembah daya-daya alam, roh nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan. Kemudian, mereka melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia, sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hal ini terjadi berabad-abad lamanya hingga datangnya agama Yahudi dan Nashara.

Sementara itu, agama universal adalah agama yang kepercayaannya disajikan untuk semua umat manusia. Agama ini menganggap dirinya punya kebenaran penuh tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, sehingga pemeluknya merasa berkewajiban menyampaikan kepada semua umat manusia. Agama universal yang dimaksud di sini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Agama dan Filsafat Barat Klasik

1. Masa Pra-Sokrates

Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.

Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.

Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.

Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.

2. Periode Athena

Hampir bersamaan dengan filsafat atomis, muncul para filosof yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Mereka menggunakan retorika sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.

Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik dan kekekalan jiwa manusia. Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan.

Sebelum perjalanan survei tentang agama dan filsafat Barat klasik diakhiri, perlu dikemukakan pemikiran seorang filosof yang merumuskan kembali pemikiran Plato, terutama dalam menjawab persoalan agama. Aliran ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang dirintis oleh Plotinus (205-70 SM).

Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional. Filsafat Plotinus tumbuh bersamaan dengan munculnya agama Kristen, dan dijadikan dasar oleh para pemuka agama Kristen untuk mempertahankan ajaran-ajaran mereka.

Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan filsafat dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat di Athena.

Yang menarik dari pemikiran Plotinus dan Neo-Platonisme adalah pengalihan arah pemikiran dari alam (kosmo sentris) dan manusia (antroposentris) kepada pemikiran tentang Tuhan (theosentris), sehingga Tuhan dijadikan dasar segala sesuatu.

Agama dan Filsafat Barat Skolastik

Puncak terakhir filsafat Yunani adalah ajaran yang disebut Neo-Platonisme, yang ajarannya banyak bernuansa nilai-nilai spiritual yang transenden. Pemikiran Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat Kristen pada masa berikutnya.

Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang dikenal dengan "The Scholastics", sehingga periode ini disebut dengan masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional.

Diantara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus (354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.

Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.

Menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus (1079-1142). Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.

Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.

Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam (1285-1349). Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.

Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.

Agama dan Filsafat Barat Modern

Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.

Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.

Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.

Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.

Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains.

Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.

Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.

Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.

Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.

Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.

Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.

Agama dan Filsafat Barat Kontemporer

Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak.

William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup manusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang mereka anggap suci. Dengan demikian, keagamaan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya.

Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.

Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri.

Pada abad tersebut juga lahir aliran Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) yang berpandangan atheistik. Menurutnya, Tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia bebas menentukan semuanya untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.

Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh kemenangan, ternyata menyimpan beberapa keretakan yang pada gilirannya menimbulkan reaksi, seperti lahirnya anti rasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Periode kontemporer di Barat juga ditandai dengan adanya keinginan yang demikian kuat untuk kembali kepada ajaran agama. Filosof di Barat mulai menyadari bahwa era modern telah melahirkan kehidupan yang kering spiritual dan tidak bermakna.

Kesimpulan

Dari uraian terdahulu, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, hubungan filsafat dan agama di Barat telah terjadi sejak periode Yunani Klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer, meskipun harus diakui bahwa hubungan keduanya mengalami pasang surut.

Kedua, dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan yang demikian kuat terhadap peranan agama. Masyarakat modern yang rasionalistik, vitalistik, dan materialistik, ternyata hampa spiritual, sehingga mulai menengok dunia Timur yang kaya nilai-nilai spiritual. @

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html

KEBUDAYAAN BARAT, SEBUAH TINJAUAN KRITIS

KEBUDAYAAN BARAT, SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Saturday, April 21, 2007

Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk melihat secara jernih, tentang kebudayaan Barat, yang sedang naik-daun dan berkelindan dengan problematika kehidupan manusia.

Kebudayaan Barat adalah sebuah kebudayaan yang dipromosikan lewat globalisasi. Sebuah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Itu adalah tesis dari tulisan ini, yang akan dapat lebih jelas dilihat dari uraian-uraian selanjutnya.

Kebudayaan Barat dikatakan kontradiktif, karena beberapa hal yaitu:

Adanya usaha pengeliminiran antar unsur kebudayaan.

Kondisi ini dapat dilihat dari peperangan yang terjadi antara keyakinan dengan sains, keyakinan dengan filsafat, keyakinan dengan seni, keyakinan dengan ekonomi, politik dengan moralitas, moralitas dengan ekonomi, dan lain-lain.

Dapat dilihat, bahwa merupakan suatu hal yang umum diketahui bahwa kondisi tersebut wajar terjadi. Dan bahkan kerap digeneralisir kepada seluruh kebudayaan yang ada di seluruh pelosok bumi. Sehingga muncul anggapan yang naif akibat pencitraan dan kegelapan mata, bahwa sangat sulit untuk menyatukan atau menghentikan peperangan tersebut.

Inilah penyebab yang mungkin membuat Barat membuat sebuah mekanisme pelumpuhan kemampuan mendominasi atau menyerang kepada unsur kebudayaan lain. Lewat pencitraan bahwa di balik segala sesuatu ada kekuasaan, relativitas kebenaran, teologi global, pluralisme agama, anarkis metodologis, Hak Asasi Manusia, dan masih banyak lainnya. Dan usaha tersebut sudah menampakkan pengaruhnya dalam kehidupan seluruh manusia yang terjangkau oleh globalisasi.

Hal lain yang terjadi adalah munculnya sebuah kondisi inferior tentang dua hal dalam kebudayaan yaitu, keyakinan dan moralitas. Dua sisi ini, menjadi sedemikian inferior, sehingga mereka melakukan “bunuh-diri” dengan mereduksi dirinya sendiri menjadi hanya tinggal nilai-nilai universal. Sehingga jalan keselamatan tidak hanya lewat keyakinan yang mereka pegang. Kebudayaan Barat menjadi kebudayaan yang lahir sebagai sintesa bagi kebudayaan Kristen-Romawi – meskipun masih mengambil beberapa peringatan dari kebudayaan Kristen-Romawi seperti Valentine, Natal, Paskah, Halloween, dan lain-lain. Kebudayaan barat dibangun dengan semangat Yunani dengan Filsafat sebagai “teologi”, demokrasi sebagai sistem politik, protestan sebagai keyakinan tanpa ibadah (deisme), sekulerisme sebagai alat potong dan pelumpuhan intervensi dari pihak manapun, homoseks dan banalitas-seksual sebagai antitesa pengakuan dosa dan represi seksual Katolik.

Proses pengambilan unsur-unsur tersebut oleh kebudayaan Barat, dilakukan secara asimilatif. Unsur-unsur tersebut diambil secara mentah-mentah dan kemudian dicampur dalam sebuah kondisi yang saling bertolak belakang. Kebudayaan Barat lahir bukan dari prinsip yang utuh dan meliputi, akan tetapi bersifat parsial dan karena tidak dapat dihubungkan atau bertentangan, maka terjadi isolasi (yang akan lebih lanjut diuraikan) atau peperangan (seperti sudah diuraikan di atas).

Sungguh malang, namun hal itu benar-benar terjadi dan ternyata menular kepada kebudayaan lain. Penyakit tersebut diderita pula oleh kebudayaan lain dan akhirnya berusaha mengadaptasi cara Barat dalam menjalani kebudayaannya. Terlihat dengan menggunakan periodisasi sejarah seperti Barat. Periodisasi dikenal dengan pembagian Klasik, Abad Pertengahan, Renaisans, Modern, dan Posmodern. Para peng-asimilasi kebudayaan Barat kemudian mencoba men-sekuler-kan dan me-liberal-kan kebudayaan mereka seperti yang dilakukan kebudayaan Barat untuk mencapai kejayaan dan kemajuan yang dicapai Barat. Akhirnya banyak kebudayaan yang menjadi “Barat” (westernisasi), mulai dari pandangan ontologis hingga etis, beserta prakteknya..

Sebenarnya, masyarakat Barat mulai sadar dengan kondisi yang demikian sakit – meski disayangkan para peng-asimilasi kebudayaan Barat nampaknya belum sadar. Namun, mereka tidak dapat melihat secara jelas akar permasalahannya. Masyarakat Barat banyak yang melarikan diri ke dalam spiritualitas, dunia mistis, kehidupan banal, menikmat seks yang memuakkan, menikmati musik yang mebuat histeris, dan lain-lain hingga akhirnya bunuh-diri, menjadi fenomena yang wajar dan tidak berusaha untuk diubah. Semua hal tersebut adalah wajar karena kebebasan adalah segalanya. Tradisi haruslah sesuatu yang rasional dan menjunjung kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Lewat argumentasi ini, individu-Barat menjadi pragmatis, eklektis, dan split-many-personality.

Meskipun muncul kesadaran tentang ke-akut-an penyakit mereka, pengeliminiran ini masih terus terjadi dan entah kapan akan berakhir.

Adanya usaha untuk mengisolasi unsur kebudayaan yang satu dari unsur kebudayaan yang lain.

Mengisolasi unsur kebudayaan yang satu dengan yang lain, sebenarnya merupakan konsekuensi dari eklektis-kontradiktifnya kebudayaan Barat – karena unsur-unsur kebudayaannya tidak berhubungan bahkan bertentangan satu sama lain. Usaha untuk mengisolasi ini adalah sebuah hal yang sudah kita ketahui, lewat ungkapan-ungkapan, seperti seni untuk seni (seni murni), sains untuk sains, politik untuk politik, ekonomi untuk ekonomi, dan hukum untuk hukum.

Jika ditelusuri, penyebab kondisi tersebut adalah sekularisme – selain yang sudah disebutkan di atas. Sekularisme, pada awalnya, menyerang agama Kristen yang berkelindan dengan negara. Sekularisme menghendaki agar gereja atau urusan keyakinan dipisahkan dari negara. Pemisahan ini, ternyata semakin meluas dan menjangkiti unsur-unsur kebudayaan Barat yang lain. Semua unsur tersebut, secara implisit mengatakan bahwa mereka memiliki wilayahnya masing-masing yang otonom dan terpisah dari yang lainnya. Keter-pisahan ini membuat diri individu-Barat juga menjadi split-many-personality­­. Mereka menjadi sedemikian banyak pribadi yang berbeda dalam dunia yang sebenarnya hanya satu. Pribadi-banyak yang dimaksud adalah pribadi yang menghidupi prinsip-prinsip yang bertentangan di dalam unsur-unsur kebudayaannya. Hal ini membuat seseorang yang hidup seperti demikian, akan memiliki dua prinsip yang berbeda-bertentangan dalam satu unsur kebudayaan, seperti menjadi teis (formal) sekaligus ateis (praktek, dalam sekularisme), dan ketika berpindah menghidupi unsur kebudayaan lain.

Namun, perlahan pula disadari bahwa isolasi seperti adalah sebuah tindakan yang naif dan banyak merusak. Seperti mulai disadari bahwa seni bukan untuk seni itu sendiri. Seni, yang nyatanya menjadi sebuah sarana untuk melakukan kritik sosial, juga merupakan seni, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Sains pun demikian. Sains menjadi sesuatu yang digunakan untuk kemanfaatan kehidupan manusia. Dan begitu juga dengan unsur kebudayaan Barat yang lain.

Kesadaran ini, sayangnya masih menemui kebuntuan. Oleh karena ada problem dalam agama yang mereka anut sebelumnya, yang sebenarnya mendasar dan belum diselesaikan. Problem tentang Tuhan yang satu, kitab yang diwahyukan, Nabi dan rasul, bunda Maria, Natal, dan masih banyak yang lainnya. Problem tersebut belum mereka selesaikan, padahal itu letak permasalahan yang penting untuk diselesaikan.

Adanya ideologisasi di dalam masing-masing unsur kebudayaan.

Adanya ideologisasi ini, dapat dilihat dari penggunaan akhiran “-isme”. Misalnya, materialisme, idealisme, relativisme, empirisme, rasionalisme, positivisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, feminisme, hedonisme, dan masih banyak yang lainnya.

Ideologisasi ini pada dasarnya terjadi karena melihat realitas secara sebelah mata dan akhirnya melakukan reduksi yang menyebabkan masing-masing di dalam masing-masing unsur kebudayaan terdapat banyak ideologi. Liberalisme adalah sebuah ideologi yang liberal mulai dari sisi ontologis hingga etis. Dan begitu pula yang lainnya. Masing-masing ideologi sudah mengatur pandangan mulai dari tataran ontologis hingga etis. Lalu bagaimana semua unsur tersebut dapat disatukan dalam sebuah kebudayaan, yang disebut Barat?

Pertanyaan tersebut akan membawa kita kepada tesis yang sedari awal saya ajukan, bahwa Barat adalah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat bersatu hanya karena Barat sudah lelah mencari arkhe, pengetahuan dan kebenaran yang universal dan absolut, hingga akhirnya hanya menerima kebenaran pragmatis, pengetahuan yang abritrer, dan nilai yang relatif. Sebuah kelelahan yang akhirnya memunculkan sikap mengabaikan persoalan yang tidak kunjung terjawab. Pengabaian terhadap persoalan realitas universal ada atau tidak (soft anti-realisme); dasar yang tak goyah bagi pengetahuan (anti-fondasionalis); nilai yang incommensurability (tak terbandingkan) satu sama lain (relativisme nilai).

Pengabaian yang disebutkan di atas bukan tanpa problem. Sebab, mereka kemudian menghadapi problem atas munculnya ruang universalitas di dunia. Ketika akhirnya, multikulturalisme pun nampak menjadi suatu institusi yang “objektif” yang mengevaluasi aktivitas kebudayaan-kebudayaan yang ada, meskipun dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut relatif. Berbicara tentang wujud dan pengetahuan yang relatif pula, namun seolah-olah apa yang dibicarakan bersifat universal.

Dapat dikatakan bahwa Barat sebagai sebuah kebudayaan adalah sebuah budaya yang sakit dan kini sedang mempopulerkan dirinya lewat globalisasi, sehingga manusia dalam kebudayaan lain menjadi ikut sakit. Kebudayaan lain, sebenarnya adalah kebudayaan yang lebih baik daripada kebudayaan Barat. Kebudayaan lain itu memiliki sebuah kesatuan hubungan antar unsur kebudayaannya. Tidak ada isolasi, ideologisasi, dan pengeliminiran dalam kebudayaan mereka. Meskipun masih terdapat permasalahan dari segi ke-Tuhan-an, yang merupakan pusat hubungan antar-unsur kebudayaan. Pusat tersebut bermasalah karena tidak ada keterangan yang nyata tentang siapa yang pantas menjadi Tuhan, bagaimana menyembahnya, apa saja yang menjadi perintah dan larangannya, dan seterusnya.

Di akhir tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa Barat memang sebuah kebudayaan kontradiktif dan menuntut seluruh manusia untuk kritis dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang melanda dunia manusia.

Wallahu’alam Bishshowab.

[Oleh: Khayrurrijal]

http://komunitas-nuun.blogspot.com/2007/04/kebudayaan-barat-sebuah-tinjauan-kritis.html

PEMBERDAYAAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

PEMBERDAYAAN PEMIKIRAN

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

(Sebuah Upaya Reformulasi Dalam Konteks Reformasi)

H. Ahmad Imam Mawardi

Pendahuluan

Bagi pengikut aliran hukum Roscoe Pound (1870-1964), dekan Harvard Law School, yang menekankan peran faktor sosial dalam perjalanan hukum, atau pengikut madzhab hukum kontemporer bernama Legal Incentives School, yang menggunakan model pilihan rasional untuk memperoleh efek hukum yang diharapkan dan untuk kemudian mengunakan kenyataan masyarakat sebagai alat pengukur kelayakan sebuah hukum untuk diterapkan, reformulasi hukum merupakan sebuah kewajaran dan, bahkan, keharusan sejarah. Karena sesungguhnya, fenomena sosial kemasyarakat tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah, dan yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri.

Berbeda dengan aliran di atas adalah madzhab hukum yang menyatakan bahwa hukum bersifat permanen. Yang harus berubah bukanlah hukum, melainkan pola perilaku masyarakat itu sendiri agar sesuai dengan kehendak hukum. Jadi, hukum bukanlah dibuat, melainkan ditemukan. Dalam tataran teoritis, kedua aliran berpikir ini bisa jadi berdiri sendiri-sendiri, namun dalam tataran aplikasi empirik tidak ada satu negara pun yang hanya berpegang pada satu diantara dua aliran hukum di atas, melainkan mengkombinasikannya, meskipun kecenderungan umumnya masih bisa dipetakan seperti tersebut di atas. Kenyataan ini diungkapkan oleh Steven Vago: "Laws maintain the status quo but also provide for necessary changes."

Perdebatan tentang elastisitas dan adaptabilitas hukum dengan tuntutan kondisi sosial juga menjadi perdebatan serius dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Secara umum, jurist Muslim juga terpilah menjadi dua kelompok: kelompok pro perubahan dan anti perubahan, alias pro status quo. Pemilahan seperti ini akan tampak dengan jelas ketika kita melihat pemikiran mereka tentang konsep maslahah dan peluang yang mereka berikan kepada peranan adat. Al-Ghazzali, al-Shatibi dan Abdul Wahhab Khallaf, misalnya, bisa dikatagorikan kepada aliran pro perubahan, sementara para pemegang kebijakan kolonial, seperti van Den Berg, cenderung kepada kelompok sebaliknya. Kelompok anti perubahan ini mendasarkan argumennya pada kesakralan dan keabsolutan konsep hukum Islam, terisolirnya asal-usul dan perkembangan hukum dari lembaga perubahan hukum dan masyarakat dalam sejarah Islam serta kurang cukupnya metodologi perubahan hukum Islam.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.

Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.

Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me"mapan"kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara. Lalu, sebesar apakah peluang yang ada? Dalam bentuk apakah reformulasi hukum Islam diwujudkan? Dan apa hambatan fundamental terhadap reformulasi hukum itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi bahasan utama makalah ini.

Reformulasi Hukum Islam, Sebuah Keharusan?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah "ya". Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam [note: bukan perubahan substansi materi]. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim.

Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya secara berurutan teori receptio in complexu, teori receptie dan teori receptio a contrario; teori-teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Sudah pasti bahwa penerapan teori-teori tersebut di atas mempunyai pengaruh terhadap format hukum Islam yang selalu direformulasi sesuai dengan kehendak kekuasaan.

Usaha reformulasi hukum Islam pada masa ini sangat mempunyai peluang, sedikitnya karena empat alasan. Pertama, nuansa perpolitikan yang kerap kali menjadi hambatan manifestasi ide-ide baru pembaharuan hukum tampak mulai melunak dan membuka pintu perubahan. Terjadinya krisis legitimasi di kalangan elite politik, menurut Daniel S. Lev, seringkali menjadi peluang nyata bagi munculnya reformasi atau reformulasi hukum. Kedua, menguatnya kelas menengah (middle class) yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa dan profesional. Kelas yang disebut sebagai linchpin oleh Lev dalam menjelaskan gerakan hukum ini menjadi the determining factor dalam perubahan-perubahan hukum di Eropa dan juga di Asia dan Afrika paska kolonial. Indonesia sendiri tentu bukan sebuah pengecualian. Munculnya pemikiran hukum yang cukup baru dan berani di kalangan yang kerap kali dicap sebagai tradisional serta maraknya kajian-kajian ilmiah di kalangan mahasiswa, plus demonstrasinya, merupakan salah satu qarinah bangkitnya kelas menengah ini. Ketiga, adanya semangat yang utuh untuk bergerak menuju terciptanya masyarakat madany (civil society) yang berarti pula pemberdayaan masyarakat sipil. Maka, mau tidak mau, perubahan-perubahan menuju keberpihakan terhadap masyarakat sipil menjadi suatu keniscayaan. Dan yang terakhir, munculnya sejarah baru perkembangan teori hukum yang mendukung perubahan hukum untuk kepentingan sosial di Indonesia, seperti teori sociological jurisprudence dalam hukum umum dan teori ‘urf dan maslahah dalam hukum Islam.

Terbuka lebarnya peluang untuk melakukan reformasi dan reformulasi hukum ini tentunya harus dimanfaatkan dengan melakukan sebuah pilihan bentuk reformulasi hukum yang diharapkan untuk terwujud. Tentunya, reformulasi hukum Islam yang diharapkan harus tetap mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri, yang bersifat elastis, adaptable dan applicable, yang bermuara pada terciptanya maqasid al-shari’ah, yakni kemaslahatan umum.

Untuk itu, maka reformulasi hukum Islam hendaknya lebih terfokus kepada kajian konteks, ketimbang kajian text. "Gugatan" terhadap dominasi teks fikih klasik yang banyak dianut secara buta sangat layak untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Yang pertama, teks fikih klasik tidak memiliki klasifikasi yang cukup rapi dan ditulis dalam style abad pertengahan, sehingga kurang mendukung efektifitas dan efisiensi administratif. Kedua, concern kajiannya lebih banyak tentang hal-hal dan isu yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat Muslim kontemporer. Dan ketiga, adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran-pemikiran kelompok lain.

Tentu saja, gugatan terhadap teks itu bukan berarti meninggalkan teks itu tidak tersentuh, melainkan membacanya secara komprehensif dengan melepaskannya dari konteksnya untuk kemudian ditata kembali secara progresif berdasarkan tuntutan konteks yang baru. Reinhart Kosselleck menyatakan: "Without the ability to read the past events and texts at several levels, that is to separate them from their original context and proggressively reorder them, an advanced interpretation of confusing historical reality would not have been possible."

Ketika kita berbicara tentang teks dan konteks, pelepasan konteks lama dan pengaplikasian dalam konteks yang baru, kerangka kerja interpretatif yang meliputi penggunaan teori dan pendekatan multidisipliner mutlak diperlukan, baik pendekatan dari disiplin ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan seperti ini sangat jarang digunakan dalam pembuatan hukum di Indonesia, baik dalam praktek formal di Pengadilan Agama ataupun dalam praktek kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah terciptanya gap yang begitu lebar antara what ought to be (apa yang seharusnya) dan what is (apa yang terjadi), atau antara law on the books dengan law in action yang terwujud dalam adat/ tradisi (the living law).

Dalam perkembangan terakhir, yakni munculnya KHI (kompilasi Hukum Islam), pendekatan sosiologis sudah tampak dengan jelas penggunaanya melalui pasal-pasalnya yang banyak melakukan kompromi dengan adat kebiasaan yang berlaku. Meskipun demikian, sebuah bentuk metodologi yang baku dan konsisten masih belum terlihat dalam KHI, sehingga ketidak ajegan istinbath hukum Islam kerap kali terjadi. Kerancuan metodologi hanya akan lebih banyak mewariskan kebingungan dari pada merangsang kreatifitas untuk berijtihad dan menciptakan kepastian hukum (legal necessity).

Ketidak pastian metodologi pengambilan hukum dalam KHI ini bisa jadi juga disebabkan oleh munculnya tekanan kepentingan politik yang begitu kuat, sehingga mengharuskan suatu pilihan hukum yang berbeda dengan pilihan hukum yang wajar yang akan didapat dari metodologi yang diambil secara normal.

Untuk itu, reformulasi hukum Islam mendatang mestinya membebaskan diri dari suatu keterpaksaan politik atau kekuasaan, walaupun kepentingan politik tetap menjadi suatu pertimbangan sebagaimana kepentingan sosial dan lainnya yang berada dalam konteks, dan mengarah kepada, kemaslahatan umum. Lebih dari itu, reformulasi tersebut harus berangkat dari suatu kepastian metodologi yang disepakati untuk dipakai dalam penetapan aturan-aturan formal. Metodologi istinbath hukum yang memberikan keluwesan pilihan hukum yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan tentu harus menjadi pilihan. Sedangkan dalam penetapan putusan hukum di lembaga fatwa, seperti MUI, atau organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, PERSIS dan NU, dipersilahkan saja untuk menggunakan preference-nya masing-masing dalam hal penggunaan metodologi.

Tantangan dan Hambatan

Banyak pengamat hukum yang menyatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi hukum dalam satu sisi memang menguntungkan karena ia menawarkan kepastian hukum, namun di sisi lain ia telah menjadikan hukum lamban untuk berubah, karena perubahan atau reformulasi hukum yang sudah dikodifikasikan akan memakan waktu yang sangat panjang. Pergeseran rujukan dari 13 kitab pilihan kepada KHI sebagai rujukan standard putusan PA saja telah membutuhkan waktu yang tidak kurang dari 32 tahun, termasuk pula upaya perubahan KHUP yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

Dalam tataran pemikiran teoritisnya pun, ide-ide baru yang cukup bagus juga membutuhkan waktu yang lama untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat. Ide Indonesiasi fikih yang dilontarkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie pada tahun 1960-an baru mendapatkan tanggapan positif secara umum pada awal tahun 1990-an. Berikut pula ide-ide Hazairin dan Munawir Sadzali yang sempat ditanggapai secara sinis dan negatif. Kenyatan ini harus dianggap sebagai sebuah tantangan dan hambatan bagi mereka yang akan melakukan reformulasi hukum Islam.

Tantangan dan hambatan berikutnya adalah kenyataan bahwa Undang-undang dan peraturan yang ada tidak sepenuhnya efektif pemberlakuannya dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mac Cammack tentang hukum perkawinan di Indonesia. Ketidak efektifan ini bisa dilihat dari dua sisi. Bisa jadi hal tersebut disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat akan Undang-Undang dan peraturan tersebut atau juga karena Undang-Undang dan peraturannya yang kurang bisa diterima secara sosial. Kalau kemungkinan pertama yang menjadi sebab, maka solusinya adalah pelaksanaan sosialisasi UU dan peraturan yang ada serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hukum. Jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka perlu diadakan perombakan metodologis dalam reformulasi hukum itu sendiri.

Kekentalan penganutan terhadap teks fikih klasik di kalangan masyarakat kebanyakan bisa merupakan obstacle bagi tersosialisasinya unifikasi hukum seperti KHI, yang tidak hanya mencampur adukkan penggunaan empat madzhab yang populer, melainkan pula menggunaan pendapat di luar madzhab tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertemukan dua kutub ini, maka sebuah reformulasi hukum sangat baik jika dimulai dengan pemasaran ide-ide dasar metodologisnya.

Hambatan dan tantangan tersebut di atas sesungguhnya hanya bersifat normatif-sosiologis yang masih bisa secara bertahap diminimalisir, sedangkan secara psikologis, selama pilihan hukumnya benar-benar berpihak kepada kemaslahatan umum, reformulasi hukum Islam tidak akan mengalami hambatan internal yang cukup berarti.

Kesimpulan

Secara singkat uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
  2. Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
  3. Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-22.html

DARI TAUHIDUL ILAH MENUJU TAUHIDUL BI’AH

DARI TAUHIDUL ILAH MENUJU TAUHIDUL BI’AH

Syafaat*[1]

Abstrak: Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan ibadah mahdlah (ritual) yang merupakan cerminan dari tauhidul ilah (meng-esakan Tuhan), juga harus diikuti dengan tauhidul bi’ah (mengkonsentrasikan perhatian untuk konsevasi lingkungan), karena keduanya merupakan bagian dari tugas manusia di bumi (khalifatullah fi al-ardl). Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mempertegas bahwa Islam sangat konsern terhadap pelestarian lingkungan hidup.

A. Pendahuluan

Lima tahun terakhir ini, bencana alam datang bertubi seolah tanpa henti mendera bangsa kita, mulai dari musibah tsunami, banjir bandang, tanah longsor, banjir, gempa bumi, sampai banjir lumpur panas. Masing-masing menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Dari bencana-bencana tersebut, ada bencana yang memang disebabkan oleh gejala alam itu sendiri (sunnatullah), dalam hal ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyiapkan sistem untuk bisa meminimalisir dampak bencana tersebut. Ada juga bencana yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Seperti musibah banjir dan tanah longsor yang diakibatkan oleh maraknya penggundulan hutan, serta pengalihfungsian lahan hijau menjadi pemukiman. Dalam “Global Forum: an Ecology Poverty” Daka, 22-24 Juli 1993, Direktur eksekutif program lingkungan PBB (UNEF) menyatakan: “Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas.” Disebut juga bahwa, pada setiap detik diperkirakan sekitar 200 ton CO2 dilepas ke atmosfir dan 750 ton topsoil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar tanah dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan diantara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari (Gazali, 2005:2).

Dalam jangka panjang, bencana yang muncul akibat ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan hidup jauh akan lebih besar dan meluas. Pencemaran lingkungan, eksploitasi tambang yang berlebihan, penjarahan hutan dan hewan, penggunaan bahan-bahan kimia yang dilakukan terus menerus, tidak mustahil akan mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilaksanakan ahli fisika di Amerika, ternyata ditemukan bahwa udara di bumi kita sekarang ini sudah mengalami kejenuhan karbon dioksida, akibat terlalu banyaknya limbah pembakaran bahan bakar yang berasal dari kendaraan bermotor, pabrik-pabrik dan lain sebagainya. Apabila hal ini terus berlangsung tanpa pengendalian, maka bencana (al-fasad) dunia akan terjadi.

Untuk itu, beberapa pihak telah berupaya untuk penyelamatan lingkungan baik melalui penyadaran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders), upaya pembuatan peraturan, kesepakatan nasional dan internasional, undang-undang maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui pemanfaatan sains dan teknologi serta program-program teknis lain juga telah banyak dilakukan. Banyak orang berpikir bahwa terminologi lingkungan hidup lebih dikenal sebagai kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Benarkah demikian?

B. Konsep Islam tentang lingkungan

Asas keseimbangan dan kesatuan ekosistem hingga saat ini masih banyak digunakan oleh para ilmuwan dan praktisi lingkungan dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai landasan moral untuk semua aktivitas manusia yang berkaitan dengan lingkungannya. Akan tetapi, asas keseimbangan dan kesatuan tersebut masih terbatas pada dimensi fisik dan duniawiah dan belum atau tidak dikaitkan dengan dimensi supranatural dan spiritual terutama dengan konsep (teologi) penciptaan alam. Jadi, terdapat keterputusan hubungan antara alam sebagai suatu realitas dan realitas yang lain yakni yang menciptakan alam. Dengan kata lain, nilai spiritualitas dari asas tersebut tidak terlihat.

Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid), syariah, dan akhlak. Setiap tindakan atau perilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain atau makhluk lain atau lingkungan hidupnya harus dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT. yang mutlak. Manusia juga harus bertanggung jawab kepada-Nya untuk semua tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa pengesaan Tuhan merupakan satu-satunya sumber nilai dalam etika. Bagi seorang Muslim, tauhid seharusnya masuk ke seluruh aspek kehidupan dan perilakunya. Dengan kata lain, tauhid merupakan sumber etika pribadi dan kelompok, etika sosial, ekonomi dan politik, termasuk etika dalam mengembangkan sains dan teknologi.

Di dalam ajaran Islam, dikenal juga dengan konsep yang berkaitan dengan penciptaan manusia dan alam semesta yakni konsep Khilafah dan Amanah. Konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.

Manusia mempunyai hak atau diperbolehkan untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) yang tidak melampaui batas atau berlebihan (QS. Al-An’am: 141-142). Lingkungan alam ini oleh Islam dikontrol oleh dua konsep (instrumen) yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, menguntungkan, menenteramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan adalah haram. Jika konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam.

Konsep etika lingkungan tersebut mengandung makna, penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk serta menunjukkan bahwa etika (akhlak) harus menjadi landasan setiap perilaku dan penalaran manusia. Kelima pilar etika lingkungan tersebut sebenarnya juga merupakan pilar syariah Islam. Syariah yang bermakna lain as-shirath adalah sebuah “jalan” yang merupakan konsekuensi dari persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan.

Islam mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam ini kemudian bisa digunakan sebagai dasar pijakan (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan lingkungan atau bisa disebut sebagai “teologi lingkungan”. Sains dan teknologi saja tidak cukup dalam upaya penyelamatan lingkungan yang sudah sangat parah dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. Permasalahan lingkungan bukan hanya masalah ekologi semata, tetapi menyangkut teologi.

Manusia hidup di tengah-tengah lingkungan alam dan sosial. Kedua macam lingkungan tersebut akan banyak mempengaruhi kualitas hidup manusia yang bersangkutan. Hidup manusia hampir selalu berhubungan langsung dan tergantung pada kondisi lingkungannya. Seperti kita maklumi, dalam tubuh manusia tersimpang unsur-unsur kimia, seperti oksigen (65 %), karbon (18 %), hidrogen (10 %), nitrogen (3,3 %), kalsium (1,5 %), fosfor (1 %), dan beberapa unsur kimia lainnya. Di lingkungan alam ini, terdapat bermacam-macam lingkaran (siklus) tanpa ujung pangkal sampai saat kiamat. Di udara terdapat bermacam-macam unsur kimia, seperti karbon dioksida (CO2) oksigen (O2), dan lain-lain yang mengalami perubahan dengan unsur-unsur kimia lainnya dalam bumi untuk menjadi makanan manusia dan hewan.

Bersama dengan kotoran dan bangkai/mayat manusia, semua itu dilepas kembali menjadi unsur-unsur semula kedalam udara. Begitulah seterusnya dalam siklus karbon, siklus oksigen, siklus kalsium dan seterusnya. Untuk kehidupan lingkungan alam, maka siklus air mempunyai peranan terpenting. Hujan dan salju membawa air ke bumi; daratan dan lautan menguap dan sampai ke atmosfir, kemudian kembali turun ke bumi lagi. Mengenai pentingnya unsur air ini dalam hubungannya dengan lingkungan alam, Allah berfirman: “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. 21: 30).

Apabila ditelusuri siklus tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut : cahaya matahari ditangkap tumbuhan hijau yang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Proses perubahan ini (sesuai dengan sunatullah) menggunakan air dan karbon dioksida serta diolah dalam zat hijau daun (klorofil). Tumbuh-tumbuhan yang memuat energi kimia dimakan hewan (pemakan tumbuh-tumbuhan), kambing, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Energi kimia pindah dari tumbuh-tumbuhan ke jasad hewan, kemudian pada gilirannya dimakan manusia. Dengan demikian, energi kimia pindah ke manusia dan menghasilkan kegiatan hidup manusia. Jika manusia meninggal, maka jasadnya kembali ke bumi dan energi kimianya kembali ke alam untuk bersiklus kembali. Allah berfirman: “Dari tanah Kami jadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan dari padanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kesempatan lain” (QS. 20: 55).

Kehidupan manusia dipengaruhi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Karena itu, dalam kehidupannya ia bergantung kepada Tuhan dan lingkungan sekitar. Hal ini sebagaimana dijelaskan sejak pertama al-Qur’an diperkenalkan Tuhan, sekaigus memperkenalkan manusia sebagai makhluk hidup yang berketergantungan: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (sesuatu yang bergantungan)” (QS. 96 : 1-2).

Semua ciptaan Tuhan adalah untuk suatu tujuan: “Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dengan sia-sia” (QS.38: 37). Kehidupan makhluk Tuhan adalah saling mengait dan saling berketergantungan satu sama lainnya. Oleh karena itu, maka makhluk yang berada di lingkungan hidup tersebut (termasuk manusia ) ikut terganggu pula bila terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup. Sebaliknya, bila lingkungan hidup terpelihara dengan baik, maka akan menyebabkan kesejahteraan hidup manusia.

Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan ibadah mahdlah (ritual) yang merupakan cerminan dari tauhidul ilah (meng-esakan Tuhan), juga harus diikuti dengan tauhidul bi’ah (mengkonsentrasikan perhatian untuk konsevasi lingkungan. Antara keduanya terdapat hubungan yang sinergis; semakin tinggi keimanan seseorang, semakin tinggi pula kepedulian orang terhadap lingkungannya. Wakil Presiden AS Algore (dalam Syihab, 1999:166) mengemukakan: “Lebih dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, lebih mantap pula keyakinan saya bahwa krisis lingkungan ini tidak lain adalah suatu manifestasi nyata dari krisis spiritual kita. Dalam sebuah ayat, Allah SWT menahbiskan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatulah) di muka bumi (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan” (Q.S. Arrahman: 6-9).

Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah (’abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan “perlawanan”.

Perlawanan yang terartikulasikan dalam wujud “kemarahan” itu bisa mengambil rupa tanah longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu, dan krisis ekologi yang mengerikan lainnya yang justru dampak destruktifnya akan kembali menimpa jagat manusia. Bukan hanya sekarang tapi bisa nanti menimpa anak cucu kita, generasi mendatang yang tidak berdosa.

Keterpaduan dialektis antara fungsi khalifatullah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abdullah (pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seseorang memiliki kesadaran syariat ekologis. Kesadaran semata sebagai panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan yang kokoh, kearifan Ilahiah.

Hanya manusia arif seperti itu yang akan mampu menangkap desah suara keinginan alam, bisa menjadi mitra autentik untuk berjalin berkelindan bersama-sama merintih menyucikan (tasbih) Sang Pencipta. “Langit yang tujuh, bumi dan semua isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44); bersama-sama khidmat, dan takzim bersjud kepada Sang Pemilik Alam (Q.S. Al-Haji: 18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadisumber rahmat tempat mendulang rezeki (Q.S. Annam: 64).

Meminjam pemaparan Nasr (sebagaimana dikutip oleh Abdullah, 2005:4) dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man, sehubungan dengan krisis lingkungan maka ada dua agenda “profetis” tradisionalisme Islam yang mendesak untuk dirumuskan. Pertama, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya, dalam bahasa kontemporer, hikmah perenial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religiusnya, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, mengembangkan kesadaran ajaran-ajaran syariah mengenai perlakuan secara etis terhadap lingkungan alam, dan jika dianggap perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip syariah itu sendiri.

Tragisnya, diakui atau tidak, kita yang mengaku manusia modern, rasional dan selalu berpikir logis-sistematis ternyata ketika berhadap dengan alam seringkali memosisikan diri tidak sebagai mitra. Namun sebagai sosok-sosok durhaka kerumunan promothean yang dengan pongah merasa absah berbuat apa saja. Kehendak nafsu degil ekonomi (serakah) dan politik, telah menjebat kita terjatuh dalam kubangan kutub ekstrem: mau menerima peran khalifatullah namun tidak mau berendah hati menjadi abdullah. Kita telah menjelma “Malin Kundang” yang dengan tidak tahu diri mencederai sang “ibu” (pertiwi) yang telah melahirkan dan menebarkan rezeki.

D. Sumbangan Teologi Islam terhadap pelestararian lingkungan

Dalam diskursus filsafat ilmu era postpositivism, selalu dipertanyakan apakah hukum alam atau hukum sosial dapat dimodifikasi dan direkayasa sedemikian rupa sehingga hukum alam atau hukum sosial tersebut diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif dan lebih manusiawi; apakah hukum alam yang mengarah pada proses dehumanisasi, merusak alam lingkungan dapat ditolerir hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu. Jika saja alternatif lain yang lebih favourable untuk kehidupan yang lebih manusiawi dapat ditemukan, mengapa tidak diupayakan shifting paradigm dalam wilayah tertentu. Meminjam istilah Kuhn (1970:12-13), tidakkah ada faktor historis yang juga ikut campur dalam mempengaruhi jalannya hukum alam tersebut.

Seyyed Hosein Nasr (seorang pemikir Muslim dari Iran dan tinggal di Amerika Serikat) (1988:6) mengkritik budaya materialisme-konsumerisme yang melekat dalam budaya negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini. Secara artikulatif, Nasr (1988:75) membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab terserabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran sang Pencipta.

Pengertian “teologi” dalam konteks ini adalah cara “menghadirkan” dalam setiap aspek kegiatan manusia. Dalam bahasa lain, teologi dapat dimaknai sebagai konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Gaib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam. Jadi, terdapat tiga pusat perhatian (komponen) bahasan yakni Tuhan, manusia, dan alam, yang ketiganya mempunyai kesatuan hubungan fungsi dan kedudukan. Jadi, teologi hubungan antara manusia dan alam dengan Tuhan adalah “konsep berpikir dan bertindak tentang lingkungan hidup yang mengintegrasikan aspek fisik (alam termasuk hewan dan tumbuhan), manusia dan Tuhan” (Abdullah, 2005:5).

Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, tetapi dengan rencana yang benar al-Haq (Q.S. Al-An’am: 73; Shaad: 27; Al-Dukhaan: 38-39). Oleh karena itu, menurut perspektif Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif, serta bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku tetap (qadar). Pandangan Islam tidak sebagaimana pandangan aliran idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya.

Ajaran Islam selalu mengaitkan keberagamaan dengan problem kemiskinan. Ibadah formal (seperti zakat dan puasa) mengandung makna yang amat mendasar, yakni pengambilan jarak dari proses berlakunya hukum alam (proses sakralisasi), yaitu pengambilan jarak dari jadual kehidupan sehari-hari yang monoton yang telah terpolakan sedemikian rupa oleh tradisi yang dibikin oleh sejarah manusia itu sendiri. Sebuah rutinitas jadual kehidupan manusia adalah bentuk kehidupan yang bersifat membelenggu dan tidak membebaskan.

Umat Islam telah dilatih ibadah formal untuk sekali waktu menjalani hidup yang tidak harus seirama dengan perjalanan hukum alam dan hukum pasar. Hal ini berarti bahwa secara transendental, manusia Muslim adalah otonom, mandiri, mengatasi ruang dan waktu, dan tidak begitu saja menyerah dan terbelenggu oleh budaya mondernitas yang bersifat materialis-konsumtif (Fakhry, 1950). Sudah barang tentu, sebagian kaum Muslim kurang begitu setuju dengan pola hidup kesederhanaan dan kesahajaan seperti itu yang dilakukan oleh para sufi, karena ajaran yang bermuatan nilai-nilai spiritualitas sufistik-tasawuf dianggap sebagai sikap yang menghambat dan kurang apresiatif terhadap etos keilmuan yang justru dibutuhkan untuk mencari dan menemukan hukum-hukum alam, ekonomi, dan sosial. Keberatan yang diajukan oleh Muslim modernis ini dapat dipahami, karena dalam perjalanan sejarah kebudayaan Islam, ajaran-ajaran spiritualitas tasawuf-sufisme yang mestinya bersifat open-ended (terbuka), pernah berubah menjadi kelembagaan tarekat yang tertutup. Suatu corak kelembagaan agama yang lebih diwarnai corak permahaman keagamaan yang bersifat eskapis-eksklusif (Rahman, 1979).

Dalam hubungan ini, menarik untuk mengkaji ulang dan membandingkan implikasi dan konsekuensi etika Protestan yang Pengertian Occasionalism dalam kaitannya nilai-nilai spiritualitas belum begitu banyak ditelaah secara sungguh-sungguh para peneliti dan pemerhati kajian-kajian keagamaan Islam, dilihat dari Max Weber (1990) sebagai cikal bakal pembentukan budaya kapitalisme, dan etika Islam yang cenderung mengerem atau memfilter laju budaya kapitalisme modern yang membabi buta. Agak sulit memang memahami ajaran Quran secara komprehensif-utuh (Ali, 1991:12). Jika tadi telah disebut-sebut bahwa dalam ibadah formal keseharian (salat) dan ibadah tahunan (puasa), ajaran Islam selalu melatih manusia untuk bersikap kritis mengambil jarak dari perjalanan rutinitas hidup yang membelenggu, namun di lain pihak, Quran juga dipenuhi dengan kosa kata dan berbagai ajaran yang menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam semesta menurut kaidahkaidah ilmu pengetahuan. Hasan Hanafi (13-40) pernah mencoba mengklarifikasikan kosa-kata Quran yang terkait dengan lingkungan hidup: langit (matahari, bulan, bintang, batu, debu, tanah liat, api, cahaya, awan, besi, emas, dan perak); air (sungai, musim semi, sumur, dan laut); tanaman-tanaman (tumbuh-tumbuhan, lebah, rumput, ladang, kebun, pepohonan, panen, buah-buahan, dan bunga); binatang (lembu, ternak, kambing, serangga, dan nyamuk); dan manusia (badan, kebutuhan material, kegiatan di atas bumi), namun kesemuanya itu masih terkait erat sebagai tanda-tanda kemahabesaran sang Pencipta. Jika Quran tidak dipahamai secara komprehensif-utuh (pemahaman yang memiliki dimensi normatif-transendental dan dimensi historis-empiris), besar kemungkinan akan terjadi proses reduksi dalam memahami Quran. ulama yang lebih menonjol pada dimensi tertentu saja di dalam memahami Quran.

Mengangkat dan menata kembali konsepsi tasawuf secara lebih artikulatif merupakan sumbangan yang cukup berharga untuk menanggulangi krisis lingkungan global dan proses dehumanisasi. Mengungkap kembali pandangan kosmologi keberagamaan yang menitikberatkan dimensi spiritualitas yang berwawasan ekososial dan sekaligus bersifat fungsional adalah upaya alternatif yang dapat disumbangkan oleh cendekiawan agama dan kaum agamawan pada umumnya untuk mengendalikan berlakunya hukum alam, hukum ekonomi, atau hukum sejarah yang bersifat represif dan membelenggu. Sustainable development, menurut sudut pandang ajaran Islam, perlu dibarengi dengan muatan ajaran agama yang besifat profetik. Tanpa dibarengi muatan spiritualitas keberagamaan seperti itu, sustainable development akan segera terdominasi dan terkooptasi oleh kekuatan hukum alam dan hukum ekonomi yang mempunyai logika kepentingannya sendiri. Semboyan sustainable development yang semata-mata bersifat historis-empiris, tanpa diisi oleh arus yang memiliki kekuatan transendental-profetik, akan hanya menjadi simbol atau jargon yang miskin motivasi untuk melangkah di luar kaidah hukum sosial yang biasa berlaku.

Al-Qur’an melukiskan alam sebagai makhluk yang intinya merupakan teofani yang menyelubungi dan sekaligus menyingkapkan Tuhan. Al-Qur’an yang sejak semula membawa ajaran rahmat dan penolakan manusia secara serasi dan seimbang dalam inti ajaran filsafatnya tercatat filsafat teosentris, antroposentris dan kosmosentris. Al-Qur’an pertama kali mengajarkan kepada manusia sebagai makhluk hidup yang sekaligus merupakan makhluk yang selalu bergantung. Hal ini tercermin dari ayat al-Qur’an yang kali pertama diwahyukan kepada umat Muhammad (QS. 96: 1-2), yang sekaligus dapat diperjelas dari pemahaman peran dan fungsi manusia menurut ajaran Qur’ani. Dalam surat al-Baqarah ayat 30, diajarkan bahwa manusia berkedudukan sebagai khalifah (wakil Tuhan di atas bumi). Kualitas kekhalifahan disempurnakan dengan kualitas kehambaan, yang karenanya harus mentaati Allah. Dengan tugas, fungsi dan peran tersebut, manusia yang menjadi pembawa rahmat terhadap alam semesta (rahmatan li al-alamin). Inilah ajaran Qur’ani yang menyumbangkan tiga serangkai ajaran filsafat tersebut.

Tugas kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling terkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun sangat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ketiga unsur tersebut adalah (1) manusia dalam hal ini dinamai “khalifah“, (2) alam raya yang ditunjuk oleh ayat ke-21 surat Al-Baqarah sebagai bumi, dan (3) hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya. Sedang unsur yang keempat yang berada di luar adalah yang memberi penugasan itu, yakni Allah SWT. Hal ini berarti bahwa yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasi.

Tugas kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi itu bersifat harmonis, sesuai dengan petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. Ini prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara sesama manusia, dan keharmonisan hubungan itu pula yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mengasuh dan memelihara atmosfir di mana ia memainkan peranannya yang sangat penting (QS. 33: 71; 2: 29). Dan orang yang tidak memainkan peranan tersebut (selalu membuat kerusakan di bumi) dinyatakan oleh Allah SWT. sebagai orang yang mendapat kerugian (QS. 2: 27). Kewajiban umat Islam untuk melestarikan lingkungan hidup ini, tercermin juga dalam ibadah haji yang diselenggarakan di tanah haram Makkah dan Madinah, suatu kawasan yang rawan tanaman dan binatang. Oleh syari’at Islam, ditetapkan bahwa setiap orang yang melaksanakan ibadah dilarang sama sekali merusak lingkungan biotik di sana. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dikatakan juga bahwa di tanah haram dilarang memotong kayu, berburu binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan. Di samping itu, menggunakan air yang berlebihan atau apapun di atas keperluan wajar dilarang agama.

Dalam kerangka itulah, membangun teologi berbasis kesadaran dan kearifan ekologis—yang oleh Nasr disebut eco-theology—merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa kita tawar-tawar lagi. Untuk keperluan itu, ada tiga hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, menempatkan persoalan lingkungan sebagai bagian dari agama. Dalam kitab al-Muwâfaqât, Abu Ishaq al-Syatibi membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: (1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), (2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), (4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan (5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl). Pertanyaan kita: di mana posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-bi’ah) dalam Islam?

Untuk menjawab itu, Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah (sebagaimana dikutip oleh Gazali, 2005:4) menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia. Sementara itu, Ali Yafie (dalam Mushtofa, 2005:1) juga mengusulkan dimasukkannya hifdz al-bi’ah ke dalam maqâshid al-syarîah sehingga menjadi al-dlaruriyyat al-sittu (enam kebutuhan dasar syariah), sekaligus masuk dalam rub’u al-fiqh (unsur keempat dari kajian fiqh; ibadah, muamalah, munakahah, dan hifdz al-bi’ah).

Terkait dengan hal itu, MUI merekomendasikan dalam fatwanya tentang lingkungan (2005), yaitu: (1) Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) pada hakikatnya milik absolut Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatannya dan pelestariannya kepada manusia, (2) SDA yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum, (3) dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan, (4) pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan; (5) penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan; dan (6) perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawasan rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisifatif melalui kemitraan masyarakat

D. Penutup

Sikap dan pandangan hidup kebergamaan yang otentik yang bersifat profetik-transformatif dibuktikan dalam bentuk tindakan praktis sebagai wujud pengendalian dan pengontrolan perjalanan dan hukum alam dan hukum ekonomi itu sendiri. Jika tidak demikian, manusialah yang akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh hukum alam. Manusia mestinya mengkooptasi hukum ekonomi untuk kepentingan sustainable development dan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil.

Umat Islam dengan tradisi keberagamaannya yang masih kokoh telah terlatih untuk selalu mengambil jarak dari belenggu rutinitas perjalanan kehidupan material sehari-hari. Hanya saja, para praktisi keagamaan sering kali tidak sadar akan adanya makna lebih mendalam di balik ibadah formal yang mereka lakukan, sehingga tindakan mereka sering tidak jauh berbeda dari orang yang tidak pernah dilatih seperti itu. Diperlukan pemahaman yang lebih mendasar dan yang lebih artikulatif-fungsional dari ibadah formal Islam, sehingga tidak terkesan hanya untuk kepentingan teosentrik, tetapi sekaligus juga berdimensi ekososial sentris. Dapatkah manusia beragama mengambil jarak dari proses berlakunya hukum ekonomi dan hukum pasar yang cenderung destruktif terhadap alam lingkungan dan kehidupan manusia. Jawabannya berpulang pada corak dan bentuk penghayatan keberagamaan manusia masing-masing. Jika kebergamaan Islam tidak mampu mengambil jarak dan mencari alternatif (hanya tunduk-menyerah kalah pada mekanisme hukum alam, hukum sejarah, atau hukum ekonomi), sulit diharapkan akan muncul sumbangan yang cukup berbobot yang dapat diberikan oleh para cendekiawan agama untuk mengatasi krisis ekologi dan kiris global.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. 1991. “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara Teori dan Praxis,” dalam Al-Jami’ah, No 46.

Abdullah, M. Amin. 2005. Pelestarian Lingkungan HidupPerspektif Islam. Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005

Ali, Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Asep Salahudin. 2005. Syariah Ekologi, Solusi Kerusakan Alam. Artikel diakses dari situs: //www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/08/0804.htm

Fakhry, Madjid. 1950. Islamic Occasionalism and its Critique by Averroes and Aquimas. London: George Allen & Unuwin LTD.

Fatwa MUI tentang Lingkungan Hidup. 2005. Diakses dari situs: http://dkmfahutan.wordpress.com/2007/02/19/fatwa-mui-tentang-pengelolaan-sumber-daya-alam/

Gazali, Hatim. 2005. Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. Artikel diakses dari situs ://islamlib.com/id/index.php?page=article&id= tanggal 30/01/2005

Khun, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Cichago: The University of Chicago Press.

Musthofa, Zainal Aliyy. 2005. Resensi Buku:Formulasi Islam untuk Konservasi Alam. Artikel diakses dari situs: ://www.conservation.or.id/tropika.php?catid

Nasr, Seyyed Hossein. 1988. Knowledge and The Second. Lahore: Suhail Academy Press.

Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.

Syihab, Alwi. 1998. Islam Inklusif. Bandung: penerbit Mizan

Thalabi, Tajuddin. 2005. Tanggung Jawab Umat Islam Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup. Diakses dari situs : http://www.geocities.com/HotSprings/

Weber, Max. 1990. The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism. London: Hyman.

* Syafaat, S.Ag., M.Ag, penulis adalah dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang

http://leppa.um.ac.id/?p=3