Selasa, 13 Oktober 2009

DARI TAUHIDUL ILAH MENUJU TAUHIDUL BI’AH

DARI TAUHIDUL ILAH MENUJU TAUHIDUL BI’AH

Syafaat*[1]

Abstrak: Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan ibadah mahdlah (ritual) yang merupakan cerminan dari tauhidul ilah (meng-esakan Tuhan), juga harus diikuti dengan tauhidul bi’ah (mengkonsentrasikan perhatian untuk konsevasi lingkungan), karena keduanya merupakan bagian dari tugas manusia di bumi (khalifatullah fi al-ardl). Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mempertegas bahwa Islam sangat konsern terhadap pelestarian lingkungan hidup.

A. Pendahuluan

Lima tahun terakhir ini, bencana alam datang bertubi seolah tanpa henti mendera bangsa kita, mulai dari musibah tsunami, banjir bandang, tanah longsor, banjir, gempa bumi, sampai banjir lumpur panas. Masing-masing menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Dari bencana-bencana tersebut, ada bencana yang memang disebabkan oleh gejala alam itu sendiri (sunnatullah), dalam hal ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyiapkan sistem untuk bisa meminimalisir dampak bencana tersebut. Ada juga bencana yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Seperti musibah banjir dan tanah longsor yang diakibatkan oleh maraknya penggundulan hutan, serta pengalihfungsian lahan hijau menjadi pemukiman. Dalam “Global Forum: an Ecology Poverty” Daka, 22-24 Juli 1993, Direktur eksekutif program lingkungan PBB (UNEF) menyatakan: “Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas.” Disebut juga bahwa, pada setiap detik diperkirakan sekitar 200 ton CO2 dilepas ke atmosfir dan 750 ton topsoil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar tanah dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan diantara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari (Gazali, 2005:2).

Dalam jangka panjang, bencana yang muncul akibat ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan hidup jauh akan lebih besar dan meluas. Pencemaran lingkungan, eksploitasi tambang yang berlebihan, penjarahan hutan dan hewan, penggunaan bahan-bahan kimia yang dilakukan terus menerus, tidak mustahil akan mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilaksanakan ahli fisika di Amerika, ternyata ditemukan bahwa udara di bumi kita sekarang ini sudah mengalami kejenuhan karbon dioksida, akibat terlalu banyaknya limbah pembakaran bahan bakar yang berasal dari kendaraan bermotor, pabrik-pabrik dan lain sebagainya. Apabila hal ini terus berlangsung tanpa pengendalian, maka bencana (al-fasad) dunia akan terjadi.

Untuk itu, beberapa pihak telah berupaya untuk penyelamatan lingkungan baik melalui penyadaran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders), upaya pembuatan peraturan, kesepakatan nasional dan internasional, undang-undang maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui pemanfaatan sains dan teknologi serta program-program teknis lain juga telah banyak dilakukan. Banyak orang berpikir bahwa terminologi lingkungan hidup lebih dikenal sebagai kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Benarkah demikian?

B. Konsep Islam tentang lingkungan

Asas keseimbangan dan kesatuan ekosistem hingga saat ini masih banyak digunakan oleh para ilmuwan dan praktisi lingkungan dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai landasan moral untuk semua aktivitas manusia yang berkaitan dengan lingkungannya. Akan tetapi, asas keseimbangan dan kesatuan tersebut masih terbatas pada dimensi fisik dan duniawiah dan belum atau tidak dikaitkan dengan dimensi supranatural dan spiritual terutama dengan konsep (teologi) penciptaan alam. Jadi, terdapat keterputusan hubungan antara alam sebagai suatu realitas dan realitas yang lain yakni yang menciptakan alam. Dengan kata lain, nilai spiritualitas dari asas tersebut tidak terlihat.

Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid), syariah, dan akhlak. Setiap tindakan atau perilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain atau makhluk lain atau lingkungan hidupnya harus dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT. yang mutlak. Manusia juga harus bertanggung jawab kepada-Nya untuk semua tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa pengesaan Tuhan merupakan satu-satunya sumber nilai dalam etika. Bagi seorang Muslim, tauhid seharusnya masuk ke seluruh aspek kehidupan dan perilakunya. Dengan kata lain, tauhid merupakan sumber etika pribadi dan kelompok, etika sosial, ekonomi dan politik, termasuk etika dalam mengembangkan sains dan teknologi.

Di dalam ajaran Islam, dikenal juga dengan konsep yang berkaitan dengan penciptaan manusia dan alam semesta yakni konsep Khilafah dan Amanah. Konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.

Manusia mempunyai hak atau diperbolehkan untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) yang tidak melampaui batas atau berlebihan (QS. Al-An’am: 141-142). Lingkungan alam ini oleh Islam dikontrol oleh dua konsep (instrumen) yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, menguntungkan, menenteramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan adalah haram. Jika konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam.

Konsep etika lingkungan tersebut mengandung makna, penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk serta menunjukkan bahwa etika (akhlak) harus menjadi landasan setiap perilaku dan penalaran manusia. Kelima pilar etika lingkungan tersebut sebenarnya juga merupakan pilar syariah Islam. Syariah yang bermakna lain as-shirath adalah sebuah “jalan” yang merupakan konsekuensi dari persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan.

Islam mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam ini kemudian bisa digunakan sebagai dasar pijakan (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan lingkungan atau bisa disebut sebagai “teologi lingkungan”. Sains dan teknologi saja tidak cukup dalam upaya penyelamatan lingkungan yang sudah sangat parah dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. Permasalahan lingkungan bukan hanya masalah ekologi semata, tetapi menyangkut teologi.

Manusia hidup di tengah-tengah lingkungan alam dan sosial. Kedua macam lingkungan tersebut akan banyak mempengaruhi kualitas hidup manusia yang bersangkutan. Hidup manusia hampir selalu berhubungan langsung dan tergantung pada kondisi lingkungannya. Seperti kita maklumi, dalam tubuh manusia tersimpang unsur-unsur kimia, seperti oksigen (65 %), karbon (18 %), hidrogen (10 %), nitrogen (3,3 %), kalsium (1,5 %), fosfor (1 %), dan beberapa unsur kimia lainnya. Di lingkungan alam ini, terdapat bermacam-macam lingkaran (siklus) tanpa ujung pangkal sampai saat kiamat. Di udara terdapat bermacam-macam unsur kimia, seperti karbon dioksida (CO2) oksigen (O2), dan lain-lain yang mengalami perubahan dengan unsur-unsur kimia lainnya dalam bumi untuk menjadi makanan manusia dan hewan.

Bersama dengan kotoran dan bangkai/mayat manusia, semua itu dilepas kembali menjadi unsur-unsur semula kedalam udara. Begitulah seterusnya dalam siklus karbon, siklus oksigen, siklus kalsium dan seterusnya. Untuk kehidupan lingkungan alam, maka siklus air mempunyai peranan terpenting. Hujan dan salju membawa air ke bumi; daratan dan lautan menguap dan sampai ke atmosfir, kemudian kembali turun ke bumi lagi. Mengenai pentingnya unsur air ini dalam hubungannya dengan lingkungan alam, Allah berfirman: “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. 21: 30).

Apabila ditelusuri siklus tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut : cahaya matahari ditangkap tumbuhan hijau yang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Proses perubahan ini (sesuai dengan sunatullah) menggunakan air dan karbon dioksida serta diolah dalam zat hijau daun (klorofil). Tumbuh-tumbuhan yang memuat energi kimia dimakan hewan (pemakan tumbuh-tumbuhan), kambing, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Energi kimia pindah dari tumbuh-tumbuhan ke jasad hewan, kemudian pada gilirannya dimakan manusia. Dengan demikian, energi kimia pindah ke manusia dan menghasilkan kegiatan hidup manusia. Jika manusia meninggal, maka jasadnya kembali ke bumi dan energi kimianya kembali ke alam untuk bersiklus kembali. Allah berfirman: “Dari tanah Kami jadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan dari padanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kesempatan lain” (QS. 20: 55).

Kehidupan manusia dipengaruhi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Karena itu, dalam kehidupannya ia bergantung kepada Tuhan dan lingkungan sekitar. Hal ini sebagaimana dijelaskan sejak pertama al-Qur’an diperkenalkan Tuhan, sekaigus memperkenalkan manusia sebagai makhluk hidup yang berketergantungan: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (sesuatu yang bergantungan)” (QS. 96 : 1-2).

Semua ciptaan Tuhan adalah untuk suatu tujuan: “Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dengan sia-sia” (QS.38: 37). Kehidupan makhluk Tuhan adalah saling mengait dan saling berketergantungan satu sama lainnya. Oleh karena itu, maka makhluk yang berada di lingkungan hidup tersebut (termasuk manusia ) ikut terganggu pula bila terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup. Sebaliknya, bila lingkungan hidup terpelihara dengan baik, maka akan menyebabkan kesejahteraan hidup manusia.

Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan ibadah mahdlah (ritual) yang merupakan cerminan dari tauhidul ilah (meng-esakan Tuhan), juga harus diikuti dengan tauhidul bi’ah (mengkonsentrasikan perhatian untuk konsevasi lingkungan. Antara keduanya terdapat hubungan yang sinergis; semakin tinggi keimanan seseorang, semakin tinggi pula kepedulian orang terhadap lingkungannya. Wakil Presiden AS Algore (dalam Syihab, 1999:166) mengemukakan: “Lebih dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, lebih mantap pula keyakinan saya bahwa krisis lingkungan ini tidak lain adalah suatu manifestasi nyata dari krisis spiritual kita. Dalam sebuah ayat, Allah SWT menahbiskan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatulah) di muka bumi (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan” (Q.S. Arrahman: 6-9).

Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah (’abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan “perlawanan”.

Perlawanan yang terartikulasikan dalam wujud “kemarahan” itu bisa mengambil rupa tanah longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu, dan krisis ekologi yang mengerikan lainnya yang justru dampak destruktifnya akan kembali menimpa jagat manusia. Bukan hanya sekarang tapi bisa nanti menimpa anak cucu kita, generasi mendatang yang tidak berdosa.

Keterpaduan dialektis antara fungsi khalifatullah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abdullah (pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seseorang memiliki kesadaran syariat ekologis. Kesadaran semata sebagai panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan yang kokoh, kearifan Ilahiah.

Hanya manusia arif seperti itu yang akan mampu menangkap desah suara keinginan alam, bisa menjadi mitra autentik untuk berjalin berkelindan bersama-sama merintih menyucikan (tasbih) Sang Pencipta. “Langit yang tujuh, bumi dan semua isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44); bersama-sama khidmat, dan takzim bersjud kepada Sang Pemilik Alam (Q.S. Al-Haji: 18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadisumber rahmat tempat mendulang rezeki (Q.S. Annam: 64).

Meminjam pemaparan Nasr (sebagaimana dikutip oleh Abdullah, 2005:4) dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man, sehubungan dengan krisis lingkungan maka ada dua agenda “profetis” tradisionalisme Islam yang mendesak untuk dirumuskan. Pertama, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya, dalam bahasa kontemporer, hikmah perenial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religiusnya, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, mengembangkan kesadaran ajaran-ajaran syariah mengenai perlakuan secara etis terhadap lingkungan alam, dan jika dianggap perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip syariah itu sendiri.

Tragisnya, diakui atau tidak, kita yang mengaku manusia modern, rasional dan selalu berpikir logis-sistematis ternyata ketika berhadap dengan alam seringkali memosisikan diri tidak sebagai mitra. Namun sebagai sosok-sosok durhaka kerumunan promothean yang dengan pongah merasa absah berbuat apa saja. Kehendak nafsu degil ekonomi (serakah) dan politik, telah menjebat kita terjatuh dalam kubangan kutub ekstrem: mau menerima peran khalifatullah namun tidak mau berendah hati menjadi abdullah. Kita telah menjelma “Malin Kundang” yang dengan tidak tahu diri mencederai sang “ibu” (pertiwi) yang telah melahirkan dan menebarkan rezeki.

D. Sumbangan Teologi Islam terhadap pelestararian lingkungan

Dalam diskursus filsafat ilmu era postpositivism, selalu dipertanyakan apakah hukum alam atau hukum sosial dapat dimodifikasi dan direkayasa sedemikian rupa sehingga hukum alam atau hukum sosial tersebut diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif dan lebih manusiawi; apakah hukum alam yang mengarah pada proses dehumanisasi, merusak alam lingkungan dapat ditolerir hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu. Jika saja alternatif lain yang lebih favourable untuk kehidupan yang lebih manusiawi dapat ditemukan, mengapa tidak diupayakan shifting paradigm dalam wilayah tertentu. Meminjam istilah Kuhn (1970:12-13), tidakkah ada faktor historis yang juga ikut campur dalam mempengaruhi jalannya hukum alam tersebut.

Seyyed Hosein Nasr (seorang pemikir Muslim dari Iran dan tinggal di Amerika Serikat) (1988:6) mengkritik budaya materialisme-konsumerisme yang melekat dalam budaya negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini. Secara artikulatif, Nasr (1988:75) membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab terserabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran sang Pencipta.

Pengertian “teologi” dalam konteks ini adalah cara “menghadirkan” dalam setiap aspek kegiatan manusia. Dalam bahasa lain, teologi dapat dimaknai sebagai konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Gaib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam. Jadi, terdapat tiga pusat perhatian (komponen) bahasan yakni Tuhan, manusia, dan alam, yang ketiganya mempunyai kesatuan hubungan fungsi dan kedudukan. Jadi, teologi hubungan antara manusia dan alam dengan Tuhan adalah “konsep berpikir dan bertindak tentang lingkungan hidup yang mengintegrasikan aspek fisik (alam termasuk hewan dan tumbuhan), manusia dan Tuhan” (Abdullah, 2005:5).

Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, tetapi dengan rencana yang benar al-Haq (Q.S. Al-An’am: 73; Shaad: 27; Al-Dukhaan: 38-39). Oleh karena itu, menurut perspektif Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif, serta bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku tetap (qadar). Pandangan Islam tidak sebagaimana pandangan aliran idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya.

Ajaran Islam selalu mengaitkan keberagamaan dengan problem kemiskinan. Ibadah formal (seperti zakat dan puasa) mengandung makna yang amat mendasar, yakni pengambilan jarak dari proses berlakunya hukum alam (proses sakralisasi), yaitu pengambilan jarak dari jadual kehidupan sehari-hari yang monoton yang telah terpolakan sedemikian rupa oleh tradisi yang dibikin oleh sejarah manusia itu sendiri. Sebuah rutinitas jadual kehidupan manusia adalah bentuk kehidupan yang bersifat membelenggu dan tidak membebaskan.

Umat Islam telah dilatih ibadah formal untuk sekali waktu menjalani hidup yang tidak harus seirama dengan perjalanan hukum alam dan hukum pasar. Hal ini berarti bahwa secara transendental, manusia Muslim adalah otonom, mandiri, mengatasi ruang dan waktu, dan tidak begitu saja menyerah dan terbelenggu oleh budaya mondernitas yang bersifat materialis-konsumtif (Fakhry, 1950). Sudah barang tentu, sebagian kaum Muslim kurang begitu setuju dengan pola hidup kesederhanaan dan kesahajaan seperti itu yang dilakukan oleh para sufi, karena ajaran yang bermuatan nilai-nilai spiritualitas sufistik-tasawuf dianggap sebagai sikap yang menghambat dan kurang apresiatif terhadap etos keilmuan yang justru dibutuhkan untuk mencari dan menemukan hukum-hukum alam, ekonomi, dan sosial. Keberatan yang diajukan oleh Muslim modernis ini dapat dipahami, karena dalam perjalanan sejarah kebudayaan Islam, ajaran-ajaran spiritualitas tasawuf-sufisme yang mestinya bersifat open-ended (terbuka), pernah berubah menjadi kelembagaan tarekat yang tertutup. Suatu corak kelembagaan agama yang lebih diwarnai corak permahaman keagamaan yang bersifat eskapis-eksklusif (Rahman, 1979).

Dalam hubungan ini, menarik untuk mengkaji ulang dan membandingkan implikasi dan konsekuensi etika Protestan yang Pengertian Occasionalism dalam kaitannya nilai-nilai spiritualitas belum begitu banyak ditelaah secara sungguh-sungguh para peneliti dan pemerhati kajian-kajian keagamaan Islam, dilihat dari Max Weber (1990) sebagai cikal bakal pembentukan budaya kapitalisme, dan etika Islam yang cenderung mengerem atau memfilter laju budaya kapitalisme modern yang membabi buta. Agak sulit memang memahami ajaran Quran secara komprehensif-utuh (Ali, 1991:12). Jika tadi telah disebut-sebut bahwa dalam ibadah formal keseharian (salat) dan ibadah tahunan (puasa), ajaran Islam selalu melatih manusia untuk bersikap kritis mengambil jarak dari perjalanan rutinitas hidup yang membelenggu, namun di lain pihak, Quran juga dipenuhi dengan kosa kata dan berbagai ajaran yang menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam semesta menurut kaidahkaidah ilmu pengetahuan. Hasan Hanafi (13-40) pernah mencoba mengklarifikasikan kosa-kata Quran yang terkait dengan lingkungan hidup: langit (matahari, bulan, bintang, batu, debu, tanah liat, api, cahaya, awan, besi, emas, dan perak); air (sungai, musim semi, sumur, dan laut); tanaman-tanaman (tumbuh-tumbuhan, lebah, rumput, ladang, kebun, pepohonan, panen, buah-buahan, dan bunga); binatang (lembu, ternak, kambing, serangga, dan nyamuk); dan manusia (badan, kebutuhan material, kegiatan di atas bumi), namun kesemuanya itu masih terkait erat sebagai tanda-tanda kemahabesaran sang Pencipta. Jika Quran tidak dipahamai secara komprehensif-utuh (pemahaman yang memiliki dimensi normatif-transendental dan dimensi historis-empiris), besar kemungkinan akan terjadi proses reduksi dalam memahami Quran. ulama yang lebih menonjol pada dimensi tertentu saja di dalam memahami Quran.

Mengangkat dan menata kembali konsepsi tasawuf secara lebih artikulatif merupakan sumbangan yang cukup berharga untuk menanggulangi krisis lingkungan global dan proses dehumanisasi. Mengungkap kembali pandangan kosmologi keberagamaan yang menitikberatkan dimensi spiritualitas yang berwawasan ekososial dan sekaligus bersifat fungsional adalah upaya alternatif yang dapat disumbangkan oleh cendekiawan agama dan kaum agamawan pada umumnya untuk mengendalikan berlakunya hukum alam, hukum ekonomi, atau hukum sejarah yang bersifat represif dan membelenggu. Sustainable development, menurut sudut pandang ajaran Islam, perlu dibarengi dengan muatan ajaran agama yang besifat profetik. Tanpa dibarengi muatan spiritualitas keberagamaan seperti itu, sustainable development akan segera terdominasi dan terkooptasi oleh kekuatan hukum alam dan hukum ekonomi yang mempunyai logika kepentingannya sendiri. Semboyan sustainable development yang semata-mata bersifat historis-empiris, tanpa diisi oleh arus yang memiliki kekuatan transendental-profetik, akan hanya menjadi simbol atau jargon yang miskin motivasi untuk melangkah di luar kaidah hukum sosial yang biasa berlaku.

Al-Qur’an melukiskan alam sebagai makhluk yang intinya merupakan teofani yang menyelubungi dan sekaligus menyingkapkan Tuhan. Al-Qur’an yang sejak semula membawa ajaran rahmat dan penolakan manusia secara serasi dan seimbang dalam inti ajaran filsafatnya tercatat filsafat teosentris, antroposentris dan kosmosentris. Al-Qur’an pertama kali mengajarkan kepada manusia sebagai makhluk hidup yang sekaligus merupakan makhluk yang selalu bergantung. Hal ini tercermin dari ayat al-Qur’an yang kali pertama diwahyukan kepada umat Muhammad (QS. 96: 1-2), yang sekaligus dapat diperjelas dari pemahaman peran dan fungsi manusia menurut ajaran Qur’ani. Dalam surat al-Baqarah ayat 30, diajarkan bahwa manusia berkedudukan sebagai khalifah (wakil Tuhan di atas bumi). Kualitas kekhalifahan disempurnakan dengan kualitas kehambaan, yang karenanya harus mentaati Allah. Dengan tugas, fungsi dan peran tersebut, manusia yang menjadi pembawa rahmat terhadap alam semesta (rahmatan li al-alamin). Inilah ajaran Qur’ani yang menyumbangkan tiga serangkai ajaran filsafat tersebut.

Tugas kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling terkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun sangat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ketiga unsur tersebut adalah (1) manusia dalam hal ini dinamai “khalifah“, (2) alam raya yang ditunjuk oleh ayat ke-21 surat Al-Baqarah sebagai bumi, dan (3) hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya. Sedang unsur yang keempat yang berada di luar adalah yang memberi penugasan itu, yakni Allah SWT. Hal ini berarti bahwa yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasi.

Tugas kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi itu bersifat harmonis, sesuai dengan petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. Ini prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara sesama manusia, dan keharmonisan hubungan itu pula yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mengasuh dan memelihara atmosfir di mana ia memainkan peranannya yang sangat penting (QS. 33: 71; 2: 29). Dan orang yang tidak memainkan peranan tersebut (selalu membuat kerusakan di bumi) dinyatakan oleh Allah SWT. sebagai orang yang mendapat kerugian (QS. 2: 27). Kewajiban umat Islam untuk melestarikan lingkungan hidup ini, tercermin juga dalam ibadah haji yang diselenggarakan di tanah haram Makkah dan Madinah, suatu kawasan yang rawan tanaman dan binatang. Oleh syari’at Islam, ditetapkan bahwa setiap orang yang melaksanakan ibadah dilarang sama sekali merusak lingkungan biotik di sana. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dikatakan juga bahwa di tanah haram dilarang memotong kayu, berburu binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan. Di samping itu, menggunakan air yang berlebihan atau apapun di atas keperluan wajar dilarang agama.

Dalam kerangka itulah, membangun teologi berbasis kesadaran dan kearifan ekologis—yang oleh Nasr disebut eco-theology—merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa kita tawar-tawar lagi. Untuk keperluan itu, ada tiga hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, menempatkan persoalan lingkungan sebagai bagian dari agama. Dalam kitab al-Muwâfaqât, Abu Ishaq al-Syatibi membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: (1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), (2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), (4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan (5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl). Pertanyaan kita: di mana posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-bi’ah) dalam Islam?

Untuk menjawab itu, Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah (sebagaimana dikutip oleh Gazali, 2005:4) menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia. Sementara itu, Ali Yafie (dalam Mushtofa, 2005:1) juga mengusulkan dimasukkannya hifdz al-bi’ah ke dalam maqâshid al-syarîah sehingga menjadi al-dlaruriyyat al-sittu (enam kebutuhan dasar syariah), sekaligus masuk dalam rub’u al-fiqh (unsur keempat dari kajian fiqh; ibadah, muamalah, munakahah, dan hifdz al-bi’ah).

Terkait dengan hal itu, MUI merekomendasikan dalam fatwanya tentang lingkungan (2005), yaitu: (1) Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) pada hakikatnya milik absolut Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatannya dan pelestariannya kepada manusia, (2) SDA yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum, (3) dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan, (4) pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan; (5) penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan; dan (6) perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawasan rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisifatif melalui kemitraan masyarakat

D. Penutup

Sikap dan pandangan hidup kebergamaan yang otentik yang bersifat profetik-transformatif dibuktikan dalam bentuk tindakan praktis sebagai wujud pengendalian dan pengontrolan perjalanan dan hukum alam dan hukum ekonomi itu sendiri. Jika tidak demikian, manusialah yang akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh hukum alam. Manusia mestinya mengkooptasi hukum ekonomi untuk kepentingan sustainable development dan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil.

Umat Islam dengan tradisi keberagamaannya yang masih kokoh telah terlatih untuk selalu mengambil jarak dari belenggu rutinitas perjalanan kehidupan material sehari-hari. Hanya saja, para praktisi keagamaan sering kali tidak sadar akan adanya makna lebih mendalam di balik ibadah formal yang mereka lakukan, sehingga tindakan mereka sering tidak jauh berbeda dari orang yang tidak pernah dilatih seperti itu. Diperlukan pemahaman yang lebih mendasar dan yang lebih artikulatif-fungsional dari ibadah formal Islam, sehingga tidak terkesan hanya untuk kepentingan teosentrik, tetapi sekaligus juga berdimensi ekososial sentris. Dapatkah manusia beragama mengambil jarak dari proses berlakunya hukum ekonomi dan hukum pasar yang cenderung destruktif terhadap alam lingkungan dan kehidupan manusia. Jawabannya berpulang pada corak dan bentuk penghayatan keberagamaan manusia masing-masing. Jika kebergamaan Islam tidak mampu mengambil jarak dan mencari alternatif (hanya tunduk-menyerah kalah pada mekanisme hukum alam, hukum sejarah, atau hukum ekonomi), sulit diharapkan akan muncul sumbangan yang cukup berbobot yang dapat diberikan oleh para cendekiawan agama untuk mengatasi krisis ekologi dan kiris global.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. 1991. “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara Teori dan Praxis,” dalam Al-Jami’ah, No 46.

Abdullah, M. Amin. 2005. Pelestarian Lingkungan HidupPerspektif Islam. Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005

Ali, Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Asep Salahudin. 2005. Syariah Ekologi, Solusi Kerusakan Alam. Artikel diakses dari situs: //www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/08/0804.htm

Fakhry, Madjid. 1950. Islamic Occasionalism and its Critique by Averroes and Aquimas. London: George Allen & Unuwin LTD.

Fatwa MUI tentang Lingkungan Hidup. 2005. Diakses dari situs: http://dkmfahutan.wordpress.com/2007/02/19/fatwa-mui-tentang-pengelolaan-sumber-daya-alam/

Gazali, Hatim. 2005. Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. Artikel diakses dari situs ://islamlib.com/id/index.php?page=article&id= tanggal 30/01/2005

Khun, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Cichago: The University of Chicago Press.

Musthofa, Zainal Aliyy. 2005. Resensi Buku:Formulasi Islam untuk Konservasi Alam. Artikel diakses dari situs: ://www.conservation.or.id/tropika.php?catid

Nasr, Seyyed Hossein. 1988. Knowledge and The Second. Lahore: Suhail Academy Press.

Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.

Syihab, Alwi. 1998. Islam Inklusif. Bandung: penerbit Mizan

Thalabi, Tajuddin. 2005. Tanggung Jawab Umat Islam Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup. Diakses dari situs : http://www.geocities.com/HotSprings/

Weber, Max. 1990. The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism. London: Hyman.

* Syafaat, S.Ag., M.Ag, penulis adalah dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang

http://leppa.um.ac.id/?p=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar