Selasa, 13 Oktober 2009

PEMBERDAYAAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

PEMBERDAYAAN PEMIKIRAN

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

(Sebuah Upaya Reformulasi Dalam Konteks Reformasi)

H. Ahmad Imam Mawardi

Pendahuluan

Bagi pengikut aliran hukum Roscoe Pound (1870-1964), dekan Harvard Law School, yang menekankan peran faktor sosial dalam perjalanan hukum, atau pengikut madzhab hukum kontemporer bernama Legal Incentives School, yang menggunakan model pilihan rasional untuk memperoleh efek hukum yang diharapkan dan untuk kemudian mengunakan kenyataan masyarakat sebagai alat pengukur kelayakan sebuah hukum untuk diterapkan, reformulasi hukum merupakan sebuah kewajaran dan, bahkan, keharusan sejarah. Karena sesungguhnya, fenomena sosial kemasyarakat tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah, dan yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri.

Berbeda dengan aliran di atas adalah madzhab hukum yang menyatakan bahwa hukum bersifat permanen. Yang harus berubah bukanlah hukum, melainkan pola perilaku masyarakat itu sendiri agar sesuai dengan kehendak hukum. Jadi, hukum bukanlah dibuat, melainkan ditemukan. Dalam tataran teoritis, kedua aliran berpikir ini bisa jadi berdiri sendiri-sendiri, namun dalam tataran aplikasi empirik tidak ada satu negara pun yang hanya berpegang pada satu diantara dua aliran hukum di atas, melainkan mengkombinasikannya, meskipun kecenderungan umumnya masih bisa dipetakan seperti tersebut di atas. Kenyataan ini diungkapkan oleh Steven Vago: "Laws maintain the status quo but also provide for necessary changes."

Perdebatan tentang elastisitas dan adaptabilitas hukum dengan tuntutan kondisi sosial juga menjadi perdebatan serius dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Secara umum, jurist Muslim juga terpilah menjadi dua kelompok: kelompok pro perubahan dan anti perubahan, alias pro status quo. Pemilahan seperti ini akan tampak dengan jelas ketika kita melihat pemikiran mereka tentang konsep maslahah dan peluang yang mereka berikan kepada peranan adat. Al-Ghazzali, al-Shatibi dan Abdul Wahhab Khallaf, misalnya, bisa dikatagorikan kepada aliran pro perubahan, sementara para pemegang kebijakan kolonial, seperti van Den Berg, cenderung kepada kelompok sebaliknya. Kelompok anti perubahan ini mendasarkan argumennya pada kesakralan dan keabsolutan konsep hukum Islam, terisolirnya asal-usul dan perkembangan hukum dari lembaga perubahan hukum dan masyarakat dalam sejarah Islam serta kurang cukupnya metodologi perubahan hukum Islam.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.

Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.

Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me"mapan"kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara. Lalu, sebesar apakah peluang yang ada? Dalam bentuk apakah reformulasi hukum Islam diwujudkan? Dan apa hambatan fundamental terhadap reformulasi hukum itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi bahasan utama makalah ini.

Reformulasi Hukum Islam, Sebuah Keharusan?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah "ya". Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam [note: bukan perubahan substansi materi]. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim.

Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya secara berurutan teori receptio in complexu, teori receptie dan teori receptio a contrario; teori-teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Sudah pasti bahwa penerapan teori-teori tersebut di atas mempunyai pengaruh terhadap format hukum Islam yang selalu direformulasi sesuai dengan kehendak kekuasaan.

Usaha reformulasi hukum Islam pada masa ini sangat mempunyai peluang, sedikitnya karena empat alasan. Pertama, nuansa perpolitikan yang kerap kali menjadi hambatan manifestasi ide-ide baru pembaharuan hukum tampak mulai melunak dan membuka pintu perubahan. Terjadinya krisis legitimasi di kalangan elite politik, menurut Daniel S. Lev, seringkali menjadi peluang nyata bagi munculnya reformasi atau reformulasi hukum. Kedua, menguatnya kelas menengah (middle class) yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa dan profesional. Kelas yang disebut sebagai linchpin oleh Lev dalam menjelaskan gerakan hukum ini menjadi the determining factor dalam perubahan-perubahan hukum di Eropa dan juga di Asia dan Afrika paska kolonial. Indonesia sendiri tentu bukan sebuah pengecualian. Munculnya pemikiran hukum yang cukup baru dan berani di kalangan yang kerap kali dicap sebagai tradisional serta maraknya kajian-kajian ilmiah di kalangan mahasiswa, plus demonstrasinya, merupakan salah satu qarinah bangkitnya kelas menengah ini. Ketiga, adanya semangat yang utuh untuk bergerak menuju terciptanya masyarakat madany (civil society) yang berarti pula pemberdayaan masyarakat sipil. Maka, mau tidak mau, perubahan-perubahan menuju keberpihakan terhadap masyarakat sipil menjadi suatu keniscayaan. Dan yang terakhir, munculnya sejarah baru perkembangan teori hukum yang mendukung perubahan hukum untuk kepentingan sosial di Indonesia, seperti teori sociological jurisprudence dalam hukum umum dan teori ‘urf dan maslahah dalam hukum Islam.

Terbuka lebarnya peluang untuk melakukan reformasi dan reformulasi hukum ini tentunya harus dimanfaatkan dengan melakukan sebuah pilihan bentuk reformulasi hukum yang diharapkan untuk terwujud. Tentunya, reformulasi hukum Islam yang diharapkan harus tetap mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri, yang bersifat elastis, adaptable dan applicable, yang bermuara pada terciptanya maqasid al-shari’ah, yakni kemaslahatan umum.

Untuk itu, maka reformulasi hukum Islam hendaknya lebih terfokus kepada kajian konteks, ketimbang kajian text. "Gugatan" terhadap dominasi teks fikih klasik yang banyak dianut secara buta sangat layak untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Yang pertama, teks fikih klasik tidak memiliki klasifikasi yang cukup rapi dan ditulis dalam style abad pertengahan, sehingga kurang mendukung efektifitas dan efisiensi administratif. Kedua, concern kajiannya lebih banyak tentang hal-hal dan isu yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat Muslim kontemporer. Dan ketiga, adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran-pemikiran kelompok lain.

Tentu saja, gugatan terhadap teks itu bukan berarti meninggalkan teks itu tidak tersentuh, melainkan membacanya secara komprehensif dengan melepaskannya dari konteksnya untuk kemudian ditata kembali secara progresif berdasarkan tuntutan konteks yang baru. Reinhart Kosselleck menyatakan: "Without the ability to read the past events and texts at several levels, that is to separate them from their original context and proggressively reorder them, an advanced interpretation of confusing historical reality would not have been possible."

Ketika kita berbicara tentang teks dan konteks, pelepasan konteks lama dan pengaplikasian dalam konteks yang baru, kerangka kerja interpretatif yang meliputi penggunaan teori dan pendekatan multidisipliner mutlak diperlukan, baik pendekatan dari disiplin ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan seperti ini sangat jarang digunakan dalam pembuatan hukum di Indonesia, baik dalam praktek formal di Pengadilan Agama ataupun dalam praktek kemasyarakatan. Konsekuensinya adalah terciptanya gap yang begitu lebar antara what ought to be (apa yang seharusnya) dan what is (apa yang terjadi), atau antara law on the books dengan law in action yang terwujud dalam adat/ tradisi (the living law).

Dalam perkembangan terakhir, yakni munculnya KHI (kompilasi Hukum Islam), pendekatan sosiologis sudah tampak dengan jelas penggunaanya melalui pasal-pasalnya yang banyak melakukan kompromi dengan adat kebiasaan yang berlaku. Meskipun demikian, sebuah bentuk metodologi yang baku dan konsisten masih belum terlihat dalam KHI, sehingga ketidak ajegan istinbath hukum Islam kerap kali terjadi. Kerancuan metodologi hanya akan lebih banyak mewariskan kebingungan dari pada merangsang kreatifitas untuk berijtihad dan menciptakan kepastian hukum (legal necessity).

Ketidak pastian metodologi pengambilan hukum dalam KHI ini bisa jadi juga disebabkan oleh munculnya tekanan kepentingan politik yang begitu kuat, sehingga mengharuskan suatu pilihan hukum yang berbeda dengan pilihan hukum yang wajar yang akan didapat dari metodologi yang diambil secara normal.

Untuk itu, reformulasi hukum Islam mendatang mestinya membebaskan diri dari suatu keterpaksaan politik atau kekuasaan, walaupun kepentingan politik tetap menjadi suatu pertimbangan sebagaimana kepentingan sosial dan lainnya yang berada dalam konteks, dan mengarah kepada, kemaslahatan umum. Lebih dari itu, reformulasi tersebut harus berangkat dari suatu kepastian metodologi yang disepakati untuk dipakai dalam penetapan aturan-aturan formal. Metodologi istinbath hukum yang memberikan keluwesan pilihan hukum yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan tentu harus menjadi pilihan. Sedangkan dalam penetapan putusan hukum di lembaga fatwa, seperti MUI, atau organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, PERSIS dan NU, dipersilahkan saja untuk menggunakan preference-nya masing-masing dalam hal penggunaan metodologi.

Tantangan dan Hambatan

Banyak pengamat hukum yang menyatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi hukum dalam satu sisi memang menguntungkan karena ia menawarkan kepastian hukum, namun di sisi lain ia telah menjadikan hukum lamban untuk berubah, karena perubahan atau reformulasi hukum yang sudah dikodifikasikan akan memakan waktu yang sangat panjang. Pergeseran rujukan dari 13 kitab pilihan kepada KHI sebagai rujukan standard putusan PA saja telah membutuhkan waktu yang tidak kurang dari 32 tahun, termasuk pula upaya perubahan KHUP yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

Dalam tataran pemikiran teoritisnya pun, ide-ide baru yang cukup bagus juga membutuhkan waktu yang lama untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat. Ide Indonesiasi fikih yang dilontarkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie pada tahun 1960-an baru mendapatkan tanggapan positif secara umum pada awal tahun 1990-an. Berikut pula ide-ide Hazairin dan Munawir Sadzali yang sempat ditanggapai secara sinis dan negatif. Kenyatan ini harus dianggap sebagai sebuah tantangan dan hambatan bagi mereka yang akan melakukan reformulasi hukum Islam.

Tantangan dan hambatan berikutnya adalah kenyataan bahwa Undang-undang dan peraturan yang ada tidak sepenuhnya efektif pemberlakuannya dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mac Cammack tentang hukum perkawinan di Indonesia. Ketidak efektifan ini bisa dilihat dari dua sisi. Bisa jadi hal tersebut disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat akan Undang-Undang dan peraturan tersebut atau juga karena Undang-Undang dan peraturannya yang kurang bisa diterima secara sosial. Kalau kemungkinan pertama yang menjadi sebab, maka solusinya adalah pelaksanaan sosialisasi UU dan peraturan yang ada serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hukum. Jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka perlu diadakan perombakan metodologis dalam reformulasi hukum itu sendiri.

Kekentalan penganutan terhadap teks fikih klasik di kalangan masyarakat kebanyakan bisa merupakan obstacle bagi tersosialisasinya unifikasi hukum seperti KHI, yang tidak hanya mencampur adukkan penggunaan empat madzhab yang populer, melainkan pula menggunaan pendapat di luar madzhab tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertemukan dua kutub ini, maka sebuah reformulasi hukum sangat baik jika dimulai dengan pemasaran ide-ide dasar metodologisnya.

Hambatan dan tantangan tersebut di atas sesungguhnya hanya bersifat normatif-sosiologis yang masih bisa secara bertahap diminimalisir, sedangkan secara psikologis, selama pilihan hukumnya benar-benar berpihak kepada kemaslahatan umum, reformulasi hukum Islam tidak akan mengalami hambatan internal yang cukup berarti.

Kesimpulan

Secara singkat uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
  2. Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
  3. Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-22.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar