Sabtu, 06 Februari 2010

DVD laskar pelangi

DVD laskar pelangi

Hakekat pengetahuan edisi revisi

MAKALAH
HAKEKAT PENGETAHUAN
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. MA Fattah Santoso M.Ag













Oleh:
Muhammad Hailan : G 000 080 062
Muchlis : G 000 080 067
Prabowo Hari Muttaqin : G 000 0


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2009

PENDAHULUAN

Ada dua semangat kembar yang dibawa Islam lewat Al-Quran surat Al-Alaq: 1-5, sebagai wahyu yang pertama turun kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu semangat tauhid dan semangat keilmuan. Semangat tauhid ditunjukkan oleh penampakkan asma Allah yang harus menjadi titik tolak semua perbuatan manusia serta ditunjukkan oleh penyadaran bahwa manusia adalah makhluk Tuhan- yang diciptakan dari al-‘alaq. Sementara itu, semangat keilmuan ditampakkan pada penyadaran etis bahwa Allah, selain sebagai pencipta, juga Maha Pemurah dan Pengasih yang memberikan ilmu lewat goresan al-qalam (hamparan alam semesta) dan lewat firman (wahyu).
Bagi Al-Attas, Ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spiritual. Konsekuensinya, kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia. (Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Terj. Hamid Fahmy dkk. 2003. Bandung: Mizan. Hal. 114) Penekanan yang diberikan Al-Attas terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dalam usaha memenuhi kebutuhan spiritual dan meraih kebahagiaan, dan bukan sekedar sebagai komoditi sosial-ekonomi, diilhami secara langsung oleh ajaran Islam dan tradisi keagamaan dan intelektual Islam. Dia menjelaskan bahwa kebahagiaan menurut Islam bukanlah sekedar konsep, tujuan sementara, Kesenangan fisik yang temporer ataupun dalam keadaan mental dan pikiran. Lebih dari itu kebahagiaan menurut Islam adalah kualitas spiritual yang permanen, yang secara sadar bisa dialami dalam kehidupan sekarang dan akan datang. (Ibid. Hal. 120)



A. HAKEKAT PENGETAHUAN
Secara linguistik, perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alaamah¸yaitu “tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda”.(Ibid. Hal.144)
Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu (al-Quran dan Al-Hadits) yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran dan realitas –bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. (Ziaudian Sardar, Dimensi Ilmiah al-‘ilm”, dalam Ziauddin Sardar (ed.) Merombak Pola Pikir Ilmuan Muslim. Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto. 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 25) Dua komponen ini menunjukkan, bahwa al-‘ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains dalam versi Barat. Akar sandaran al-‘ilm justeru berasal langsung dari yang Maha Berilmu, Tuhan. Yang secara ideologis diyakini sebagai Sang Penguasa segala-galanya. (Prof. Dr. Mujamil Qomar M.Ag. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Ktirik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 105)
Adanya kemungkinan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diwajibkannya setiap individu Muslim untuk mencari ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam. Meskipun berbeda dari keutamaan amal, ilmu pengetahuan itu sendiri adalah dasar bagi semua keutamaan amal. (Ibid. Hal. 121)
B. KARAKTERISIK PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Prof. Dr. Mujamil Qomar M.Ag….. Hal. 124-163)
1. Bersandar Pada Kekuatan Spiritual
Dalam keimanan seseorang itu tersimpan kekuatan-kekuatan spiritual yang luar biasa besarnya. Seseorang bisa memiliki kesadaran yang tinggi dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat, bahkan penuh resiko, karena dorongan imannya. Keimanan ini tidak bisa dinilai dan diukur besar kecilnya, dan ia merupakan milik seseorang yang paling istimewa, sehingga diatas segala yang dimiliki manusia.
2. Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal
Hubungan antara wahyu dan akal tidak dapat dipertentangkan, karena terdapat titik temu. Oleh kerena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedangkan wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal.
3. Interpendensi Akal dan Intuisi
Dalam tradisi pemikiran Islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya dibangun atas kerja sama pendekatan akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatsan penalaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian atau bantuan, sedangkan pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan bantuan nalar untuk mensistematisasikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal membutuhkan intuisi, dan begitu pula sebaliknya intuisi membutuhkan akal. Keduanya saling membutuhkan bantuan dari pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing.
4. Memiliki Orientasi Teosentris
Bertolak dari suatu pandangan, bahwa ilmu berasal dari Allah- dan ini adalah salah satu perbedaan yang mendasar antara ilmu dalam Islam dengan sains Barat- maka implikasinya berbeda sekali dengan sains, ilmu dalam Islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah. Artinya, ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai nilai yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk. Sebaliknya, ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hakiki.
5. Terikat Nilai
Ciri ini sangat membedakan dengan sains Barat, karena semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan, bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai, tidak boleh terikat nilai tertentu. Bahkan menurut pandangan Barat, salah satu syarat keilmiahan adalah bersifat objektif. Sifat objektif ini berarti menyatakan fakta apa adanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh fakta apapun. Dalam pandangan Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dam agaknya tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini.
Dalam seminar di Stockholm pada tahun 1981 tentang “Pengetahuan dan Nilai”, diidentifikasi 10 konsep yang menggeneralisasikan nilai-nilai dasar kultur Islam: tauhid, khilafah, ibadah, ‘ilm, halal dan haram, ‘adl, zhulm, istishlah dan dhiya’.

C. HAKEKAT ILMU PENGETAHUAN (http://omarkasule.tripod.com. )
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay, dhann, yaqiin, tadzkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, syakk, dhann, dan ghalabat al-dhann. Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqiin, ‘ayn al yaqiin, dan haqq al yaqiin. Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwa. Al Qur’an menegaskan dasar pengetahuan yang nyata (hujjiyat al burhan). Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan qalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relative (nisbiyat al haqiqat). Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.

D. SUMBER ILMU (Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran. Oleh Dr. Syamsul Hidayat M.Ag. )
Allah sebagai pemilik khazanah pengetahuan dan ilmu dalam menganugerahkan kepada manusia, sebagai makhluk yang diamati, sebagai khalifah fi al-ardh melalui sarana dan sumber yang telah ditetapkannya. Manusia dituntut dan diberi kemampuan untuk memburu rahasia khazanah ilmu lewat sarana dan sumber tersebut.
Sarana yang diberikan Allah kepada manusia adalah: instink, indera, dan akal. Adapun sumber ilmu pengetahuan yang disediakan oleh Allah bagi manusia berupa tanda-tanda atau fenomena-fenomena atau yang dalam al-quran disebut dengan ayat. Apabila diklasifikasi ayat, fenomena atau tanda itu ada dua macam: (1) al-ayat al-qawliyyah, berupa wahyu Allah yang tersirat dalam Al-quran dan Sunnah: QS Ali ‘Imran : 164
                         
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dan (2) al-ayat al-kawniyyah, berupa hamparan alam semesta dan diri manusia itu sendiri. QS Fushilat: 53
       •             
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Kedua fenomena tersebut telah Allah berikan sejak penciptaan nabi Adam As.
Adapun cara memperoleh ilmu itu sendiri, Al-quran menyebutkan ada tiga macam. (1) melalui pengamatan, dan tingkat kebenarannya pada tingkat ‘ain al-yaqin (QS At-Takatsur: 7). (2) melalui nalar, dan tingkat kebenarannya pada taraf ‘ilm al-yaqin (QS At-Takatsur: 5). (3) melalui pengalaman batin (iman) dan tingkat kebenarannya pada tingkat haqq al-yaqin (QS Al-Haaqqah: 51). Cara pertama tergantung pada pengalaman aktual (observasi dan eksperimen), cara yang kedua bergantung pada kebenaran-kebenaran asumsi, adapun cara yang ketiga bersifat transendental, yang dalam literatur klasik disebut wijdan yang sangat bergantung kepada bimbingan Ilahiyah, dalam bentuk instink, intuisi, inspirasi dan wahyu., sehingga kebenarannya bersifat mutlak, dan karena itu ia berada pada taraf yang tertinggi haqq al-yaqin.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam aksiologi ilmu dalam Islam adalah nilai-nilai Ilahiyah, yang bersumber dari fenomena qawliyyah. Disinilah posisi sentral wahyu (ayat qawliyyah) dalam konsep ilmu dalam Islam. Bahwa disamping ia sebagai satu dari sumber pengetahuan juga sekaligus merupakan sumber landasan nilai etik bagi penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kalau dikaji secara mendalam ayat-ayat qawliyyah baik yang tersurat dalam al-Quran maupun as-Sunnah, nilai utama bagi penerapan dan pengembangan ilmu dalam Islam adalah tauhid. Bahkan penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan harus berlandaskan tauhid dan memperkokoh aqidah tauhid seseorang.

E. SALURAN-SALURAN PENGETAHUAN
Dengan mengikuti dan menggabungkan posisi para filosof dan para teolog Muslim serta para sufi, seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri, Al-Attas membuktikan bahwasanya ilmu pengetahuan datang dengan berbagai saluran, yaitu melalui: (a) panca indera (al-hawass al-khamsah) terdiri dari sentuhan, penciuman, rasa, penglihatan dan pendengaran. (b) akal sehat (al-‘aql al-salim), (c) berita yang benar (al-khabar al-shadiq) yang berdimensi (1) otoritas mutlak, yakni otoritas Tuhan (Al-Quran) dan otoriras kenabian (As-Sunnah) dan (2) otoritas relatif seperti ijma’ para ulama, dan riwayat orang-orang yang amanat secara umum (at-tawatur), dan (d) intuisi (ilham). (Ibid. Hal 158)

KESIMPULAN

Dalam Islam umatnya diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan sehingga dengan ilmu itu membuat manusia lebih bisa untuk mengenal Allah. Dengan ilmu itu pula manusia akan lebih bisa meraih kebahagiaan baik di dunia lebih-lebih kebahagiaan yang hakiki di akhirat nanti. Hal ini berbeda dengan orang-orang Barat yang memandang bahwa ilmu pengetahuan untuk meraih kebahagiaan di dunia saja. Dalam Islam ilmu pengetahuan itu tidak terbebas dari nilai-nilai, ini juga yang membedakan antara ilmu dalam Islam dengan sains Barat yang memandang bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai alias tidak terikat oleh nilai apapun. Dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan manusia di beri oleh Allah akal. Inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan malaikat dan antara manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Akan tetapi dalam Islam akal itu tidak bisa berjalan sendiri, karena akal manusia itu walau bagaimanapun hebatnya tentu memiliki kelemahan juga. Oleh karena itu akal manusia harus tunduk dibawah koridor sumber ilmu yang mutlak yaitu Allah yang tercantum dalam wahyu baik yang terdapat dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits.









DAFTAR PUSTAKA

Mohd Nor Wan Daud, Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Terj. Hamid Fahmy dkk.. Bandung: Mizan
Sardar, Ziaudian. Dimensi Ilmiah Al-‘Ilm”, 2000. dalam Ziauddin Sardar (ed.) Merombak Pola Pikir Ilmuan Muslim. Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Qomar,. Mujamil, Prof. Dr.,M.Ag. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Ktirik. Jakarta: Penerbit Erlangga
Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran. Oleh Dr. Syamsul Hidayat M.Ag.
http://omarkasule.tripod.com.

situs

Hakekat Pengetahuan umum

Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wayhu (al-Quran dan Al-Hadits) yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sesitematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran dan realitas –bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.(Ziaudian Sardar, Dimensi Ilmiah al-‘ilm”, dalam Ziauddin Sardar (ed.) Merombak Pola Pikir Ilmuan Muslim. Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto. 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 25) Dua komponen ini menunjukkan, bahwa al-‘ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat disbanding sains dalam versi Barat. Akar sandaran al-‘ilm justeru berasak kangsung dari yang Maha Berilmu, Tuhan. Yang secara ideologis diyakini sebagai Sang Penguasa segala-galanya. (Prof. Dr. Mujamil Qomar M.Ag. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Ktirik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 105)

KARAKTERISIK PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Prof. Dr. Mujamil Qomar M.Ag. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Ktirik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 124-163)
1. Bersandar Pada Kekuatan Spiritual
Dalam keimanan seseorang itu tersimpan kekuatan-kekuatan spiritual yang luar biasa besarnya. Seseorang bisa memiliki kesadaran yang tinggi dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat, bahkan penuh resiko, karena dorongan imannya. Keimanan ini tedak bisa dinilai dan diukur besar kecilnya, dan ia merupakan milik seseorang yang paling istemewa, sehingga diatas segala yang dimiliki manusia.
2. Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal
Hubungan antara wahyu dan akal tidak dapat dipertentangkan, karena terdapat titik temu. Oleh kerena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedangkan wahyu dating memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal.
3. Interpendensi Akal dan Intuisi
Dalam tradisi pemikiran Islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya dibangun atas kerja sama pendekatan akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatsan penakaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian atau bantuan, sedangkan pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan bantuan nalar untuk mensistematisasikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal membutuhkan intuisi, dan begitu pula sebaliknya intuisi membutuhkan akal. Keduanya saling membutuhkan bantuan dari pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing.
4. Memiliki Orientasi Teosentris
Bertolak dari suatu pandangan, bahwa ilmu berasal dari Allah- dan ini adalah salah satu perbedaan yang mendasar antara ilmu dalam Islam dengan sains Barat- maka implikasinya berbeda sekali dengan sains, ilmu dalam Islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah. Artinya, ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai nilai yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk. Sebaliknya, ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hakiki.
5. Terikat Nilai
Ciri ini sangat membedakan dengan sains Barat, karena semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan, bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai, tidak boleh terikat nilai tertentu. Bahkan menurut pandangan Barat, salah satu syarat keilmiahan adalah bersifat objektif. Sifat objektif ini berarti menyatakan fakta apa adanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh fakta apapun.
Dalam pandangan Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dam agaknya tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini.
Dalam seminar di Stockholm pada tahun 1981 tentang “Pengetahuan dan Nilai”, diidentifikasi 10 konsep yang menggeneralisasikan nilai-nilai dasar kultur Islam: tauhid, khilafah, ibadah, ‘ilm, halal dan haram, ‘adl, zhulm, istishlah dan dhiya’.

Hakikat Ilmu Pengetahuan (EPISTEMOLOGI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN PADA UNIVERSITAS ISLAM: Epistemologi Islam dan Proyek Reformasi Kurikulum.Dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan hari Jum’at, tanggal 30 Januari 2009, di Kampus Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palembang oleh Professor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB ChB (MUK), (MPH) Harvard, DrPH(Harvard) Professor Epidemiologi dan Kedokteran Islam Universitas Brunei Darussalam dan Profesor Tamu Epidemiologi Universitas Malaya. EM omarkasule@yahoo.com WEB: http://omarkasule.tripod.com. (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang).)
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay, dhann, yaqeen, tadhkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann. Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen. Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. Al Qur’an menegaskan dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.

Tujuan Pendidikan

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai Islam yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Dan sejalan dengan tuntutan kemajuan atau modernisasi kehidupan masyarakat berpengaruh kebudayaan yang meningkat, pendidikan Islam memberikan kelenturan (fleksibilitas) perkembangan nilai-nilai dalam ruang lingkup konfigurasinya.
Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islami. Juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik agar memiliki “kedewasaan atau kematangan” dalam beriman, bertaqwa dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menciptakan para “mujtahid” baru dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu.

FORMULASI TUJUAN PNDIDIKAN ISLAM

Rumusan tujuan pendidikan merupakan pencerminan dari idealitas penyusunnya, baik institusional maupun individual. Oleh karena itu, nilai-nilai apakah yang dicita-citakan oleh penyusun dari tujuan itu akan mewarnai corak kepribadian manusia hasil proses kependidikan.
Dari berbagai Negara atau lembaga, kita dapat memperoleh tujuan yang berbeda-beda substansi nilainya. Sebagai contoh dapat kita ketengahkan sebagai berikut :
 Indonesia sebagai Negara yang berfalsafah Pancasila menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangun yamg dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Dalam rumusan tersebut nampak jelas bahwa nilai-nilai yang hendak dikembang-tumbuhkan dalam pribadi anak didik adalah nilai-nilai kultural bangsa Indonesia yang bercorak sosiolistis-religious, yaitu semangat kegotong-royongan yang dijiwai oleh nilai keagamaan. Dalam hal ini tidak mengkhususkan nilai agama tertentu. Sedangkan faktor-faktor kognitif, efektif dan psikomotorik yang dilandasi dengan moralitas yang tinggi menjadi potensi fundamental bagi perkembangannya dalam hidup bernegara dan berbangsa yang bertanggung jawab.

Hakekat Pengetahuan

MAKALAH
HAKEKAT PENGETAHUAN
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. MA Fattah Santoso M.Ag













Disusun Oleh:
Muhammad Hailan : G 000 080
Muchlis : G 000 080 067
Prabowo Hari Muttaqin :


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2009


PENDAHULUAN

Ada dua semangat kembar yang dibawa islam lewat Al-quran surat Al-Alaq: 1-5, sebagai wahyu yang pertama turun kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu semangat tauhid dan semangat keilmuan. Semangat tauhid ditunjukkan oleh penampakkan asma Allah yang harus menjadi titik tolak semua perbuatan manusia serta ditunjukkan oleh penyadaran bahwa manusia adalah makhluk tuhan- yang diciptakan dari al-‘alaq. Sementara itu, semangat keilmuan ditampakkan pada penyadaran etis bahwa Allah, selain sebagai pencipta, juga Maha Pemurah dan Pengasih yang memberikan ilmu lewat goresan al-qalam (hamparan alam semesta) dan lewat firman (wahyu).
































Bagi Al-Attas, Ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spiritual. Konsekuensinya, kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia. Penekanan yang diberikan Al-Attas terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dalam usaha memenuhi kebutuhan spiritual dan meraih kebahagiaan,dan bukan sekedar sebagai komoditi sosial-ekonomi, diilhami secara langsung oleh ajaran islam dan tradisi keagamaan dan intelektual Islam. Dia menjelaskan bahwa kebahagiaan menurut Islam bukanlah sekedar konsep, tujuan sementara, kesenangan fisik yang temporer ataupun dalam keadaan mental dan pikiran. Lebih dari itu kebahagiaan menurut Islam adalah kualitas spiritual yang permanen, yang secara sadar bisa dialami dalam kehidupan sekarang dan akan datang.
Adanya kemungkinan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diwajibkannya seiap individu Muslim untuk mencari ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam. Meskipun berbeda dari keutamaan amal, ilmu pengetahuan itu sendiri adalah dasar bagi semua keutamaan amal.
Secara linguistik, perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alaamah¸yaitu “tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda”.
SUMBER ILMU
Allah sebagai pemilik khazanah pengetahuan dan ilmu dalam menganugerahkan kepada manusia, sebagai makhluk yang diamati, sebagai khalifah fi al-ardh melalui sarana dan sumber yang telah ditetapkannya. Manusia dituntut dan diberi kemampuan untuk memburu rahasia khazanah ilmu lewat sarana dan sumber tersebut.
Sarana yang diberikan Allah kepada manusia adalah: Instink, indera, dan akal. Adapun sumber ilmu pengetahuan yang disediakan oleh Allah bagi manusia berupa tanda-tanda atau fenomena-fenomena atau yang dalam al-quran disebut dengan ayat. Apabila diklasifikasi ayat, fenomena atau tnda itu ada dua macam: (1) al-ayat al-qawliyyah, berupa wahyu Allah yang tersirat dalam Al-quran dan Sunnah: QS Ali ‘Imran : 164
                         
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dan (2) al-ayat alkawniyyah, berupa hamparan alam semesta dan diri manusia itu sendiri. QS Fushilat: 53
       •             
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Kedua fenomena tersebut telah Allah berikan sejak penciptaan nabi Adam As.
Adapun cara memperoleh ilmu itu sendiri, Al-quran menyebutkan ada tiga macam. (1) melalui pengamatan, dan tingkat kebenarannya pada tingkat ‘ain al-yaqin (QS At-Takatsur: 7). (2) melalui nalar, dan tingkat kebenarannya pada taraf ‘ilm al-yaqin (QS At-Takatsur: 5). (3) melalui pengalaman batin (iman) dan tingkat kebenarannya pada tingkat haqq al-yaqin (QS Al-Haaqqah: 51). Cara pertama tergantung pada pengalaman aktual (observasi dan eksperimen), cara yang kedua bergantung pada kebenaran-kebenaran asumsi, adapun cara yang ketiga bersifat transendental, yang dalam literatur klasik disebut wijdan yang sangat bergantung kepada bimbingan Ilahiyah, dalam bentuk instink, intuisi, inspirasi dan wahyu., sehingga kebenarannya bersifat mutlak, dan karena itu ia berada pada taraf yang tertinggi haqq al-yaqin.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam aksiologi ilmu dalam Islam adalah nilai-nilai Ilahiyah, yang bersumber dari fenomena qawliyyah. Disinilah posisi sentral wahyu (ayat qawliyyah) dalam konsep ilmu dalam Islam. Bhwa disamping ia sebagai satu dari sumber pengetahuan juga sekaligus merupakan sumber landasan nilai etik bagi penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kalau dikaji secara mendalam ayat-ayat qawliyyah baik yang tersurat dalam al-Quran maupun as-Sunnah, nilai utama bagi penerapan dan pengembangan ilmu dalam Islam adalah tauhid. Bahkan penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan harus berlandaskan tauhid dan memperkokoh aqidah tauhid seseorang. Kemudian, secara teknis nilai-nilai itu dapat di uraikan dalam lima nilai utama, yaitu:
Pertama, nilai rahmah (kerahmatan), yakni ilmu itu hendaknya ditujukan kepada kepentingan dan kemashlahatan seluruh umat manusia dan alam semesta. (Qs Al-Anbiya: 107).
Kedua, nilai amanah, yaitu ilmu itu adalah amanat Allah bagi manusia, karena pemilik hakiki khazanah ilmu adalah Allah. Untuk itu penerapan dan pengembangannya harus dilakukan dengan niat, cara dan tujuan sebagaiman yang dikehendaki oleh Allah. (QS Al-Ahzab: 72).
Ketiga, nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu merupakan wujud dialog dakwah dalam menyampaikan kebenaran. (QS Fushilat: 33)
Keempat, nilai tabsyir, yakni penerapan dan pengembangan ilmu harus memberikan harapan baik bagi umay manusia tentang masa depan merekatermasuk menjaga kelestarian alam dan keseimbangannya. (QS Al-Baqaah: 119).
Kelima, nilai ibadah, bagi manusia, penerapan dan pengembangan ilmu merupakan ibadah dan harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. (QS Adz-Dzariyat: 56, dan Ali ‘Imran 190-191).
SALURAN-SALURAN PENGETAHUAN
Dengan mengikuti dan menggabungkan posisi para filosof dan para teolog Muslim serta paa sufi, seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri, Al-Attas membuktikan bahwasanya ilmu pengetahuan datang dengan berbagai saluran, yaitu melalui: (a) panca indera (al-hawass al-khamsah) terdiri dari sentuhan, penciuman, rasa, penglihatan dan pendengaran. (b) akal sehat (al-‘aql al-salim), (c) berita yang benar (al-khabar al-shadiq) yang berdimensi (1) otoritas mutlak, yakni otoritas Tuhan (Al-Quran) dan otoriras kenabian (As-Sunnah) dan (2) otoritas relatif seperti ijma’ para ulama, dan riwayat orang-orang yang amanat secara umum (at-tawatur), dan (d) intuisi (ilham).