Selasa, 07 September 2010

Lebaran dan Perilaku Konsumtif Kita

Yahya
Lebaran di Indonesia seringkali membuat repot pemerintah karena melonjak permintaan barang kebutuhan pokok dan non pokok dalam skala yang luas dan sangat besar. Ia juga seringkali membuat pusing para pengusaha karena harus membayar sejumlah uang kepada para karyawannya tanpa mendapatkan balas jasa si karyawan yang populer disebut tunjangan hari raya dan disingkat THR.
Tulisan ini akan banyak bersinggungan dengan masalah yang kedua, THR. Bila kita menggunakan paradigma ilmu ekonomi modern yang dielaborasi dengan tanggung jawab sosial ala ilmu-ilmu modern, maka kita akan melihat THR sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh para bos, tak bisa ditawar. Gaji yang diberikan kepada karyawan selayaknya mepertimbangkan kebutuhan hidup layak si karyawan. Apa lagi menjelang hari raya selalu terjadi peningkatan kebutuhan yang sangat signifikan dan berimbas pada naiknya harga-harga. Di samping itu, THR juga berfungsi sebagai kompensasi perusahaan kepada karyawannya atas prestasi yang disumbangkannya kepada perusahaan selama setahun. Dengan demikian, THR sangat layak dan wajar bahkan sebuah keharusan untuk diberikan kepada karyawan.
Pandangan Islam
Bagaimana agama Islam sendiri melihat masalah ini? Bukankah hari raya ada karena adanya Islam itu sendiri. Islam yang dikenal membawa rahmat bagi semesta alam ini, sebenarnya, tak seapresiatif pemeluknya terhadap hari raya yang justru menjadi agenda wajibnya. Ia hanya mewajibkan zakat fithri kepada orang-orang yang mampu untuk disalurkan kepada orang-orang yang tidak mampu. Alasannya, secara ekonomis, semua orang harus makan pada hari raya tersebut dengan suka cita dan haram untuk berpuasa pada hari tersebut.
Kita memang tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa Islam memang menjadikan momen hari raya sebagai hari bersuka cita. Akan tetapi, jelas tidak boleh melanggar norma-norma dasar yang telah digariskannya, misalnya, dilarang berlebih-lebihan dan boros. Pola konsumsi yang ditunjukkan oleh masyarakat muslim Indonesia pada saat hari raya justru mengarah pada pola konsumsi yang berlebih-lebihan dan boros yang jelas-jelas terlarang.
Bagaimana Seharusnya?
Kebiasaan buruk yang merugikan diri sendiri ini memang seharusnya diakhiri. Dengan interpretasi terbalik terhadap pernyataan Imam Al-Ghazali berikut ini “memakan apa yang tak dimakan pada bulan selain puasa, dan mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari non puasa sungguh telah jauh melenceng dari tujuan puasa” dapat kita temukan cara mudah untuk mengakhiri perilaku tak islami tersebut, yaitu anggaplah lebaran itu adalah hari yang tidak istimewa. Ia hanya perlu diistimewakan dengan dua rakaat shalat ‘ied, tidak lebih.
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah puasa 6 hari di bulan Syawal. Ibadah anjuran ini justru mempertegas kepada kita bahwa Islam memang tak menghendaki perayaan hari lebaran dengan pola konsumsi yang luar biasa sebagaimana telah dibicarakan di atas.
Lalu apakah dengan demikian kita sudah kembali ke fitrah Islam dalam merayakan lebaran? Mungkin itu saja belum cukup tapi setidaknya kita telah bisa mengendalikan hawa nafsu kita sebagai pesan moral yang terdapat dalam bulan ramadhan. “Makan dan minumlah kamu sekalian tetapi janganlah berlebih-lebihan!”

Lanjutkan Korupsi!

Selasa, 7 September 2010 | 03:30 WIB
Febri Diansyah
Jika Anda koruptor sejati, datanglah ke Indonesia. Anda pasti untung. Masih banyak sumber daya alam, dana bantuan sosial, pembangunan infrastruktur sekolah dan rumah sakit, alat kesehatan, atau bahkan pengadaan sapi yang bisa Anda korupsi.

Jakarta 2020

Jakarta 2020
Selasa, 7 September 2010 | 03:29 WIB
SARATRI WILONOYUDHO
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, pada tahun 2020 penduduk Jakarta akan mencapai angka 11 juta jiwa. Saat ini saja penduduk Jakarta sudah mencapai 9,5 juta jiwa. Jumlah ini belum termasuk para pelaju yang tiap hari memadati Jakarta untuk mencari rezeki.
Penduduk Jakarta tumbuh sekitar 1,4 persen atau 135.000 jiwa per tahun. Prediksi BPS tersebut tampaknya dapat diamini, bahkan dalam prediksi saya, justru lebih dari 11 juta jiwa jika strategi pembangunan masih urban bias seperti sekarang ini.
Di tengah kesibukan persiapan mudik, berbincang soal jumlah penduduk Jakarta beserta kompleksitasnya sangat menarik. Dalam posisi seperti sekarang ini saja Jakarta sudah menderita ”stroke”, apalagi jika angka 11 juta jiwa itu menjadi kenyataan. Sudah pasti aneka masalah akan menghadang Ibu Kota tercinta ini, mulai dari degradasi lingkungan, kriminalitas, hingga aneka konflik sosial-politis lainnya.
Karena itu, Jakarta diibaratkan kapal yang sudah akan tenggelam jika tidak ada tindakan darurat yang strategis. Menurut beberapa ahli, persoalan yang menyertai pertumbuhan kota- kota di negara-negara berkembang adalah kegagalan kebijakan industrialisasi modern di satu sisi dan kegagalan pembangunan pertanian di sisi lain (urban bias) sehingga urbanisasi semakin tidak terkendali.
Kota-kota besar di Indonesia demikian mudah menyerap tenaga kerja dari perdesaan karena umumnya mereka rela bekerja apa saja. Para pencari kerja sanggup menciptakan ”kreativitas” dengan wujud berbagai jenis pekerjaan, yang barangkali di negara-negara maju tidak lazim, seperti menjadi pemulung, tukang ojek, calo, dan berbagai sektor informal lain yang terus berkembang jumlah dan jenis pekerjaannya.
Ciri yang mencolok dari sektor informal di kota-kota besar di Indonesia adalah bentuknya semakin ”rumit” atau mengalami semacam ”involusi”, tetapi dengan tingkat pendapatan yang umumnya rendah. Dari fenomena ini muncul realitas ”pembagian kemiskinan” (shared poverty) di kota-kota besar seperti Jakarta.
Pada sisi lain, ibu kota Indonesia ini dibangun sebagai imagined community bagi bangsa, dengan berbagai simbol virtual. Kata Laquian (2008), kota merupakan big ticket items bagi pemburu keuntungan (rent seeking), terutama bagi pengusaha dan pemerintah kota. Disebutkan dengan sangat kritis oleh Laquian bahwa 1) pejabat/politisi harus mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk memenangi pemilu dan mereka harus menarik kembali ”investasi” tadi begitu mereka terpilih; 2) administrator dan pegawai pemerintah digaji rendah dan mereka mengatasi hal ini dengan menerima suap; 3) kehidupan ekonomi dan politik di kebanyakan kota didominasi oleh keluarga-keluarga yang amat berkuasa dan ”dinasti-dinasti politik” yang tetap mempertahankan kekuasaan dengan membagi peluang mencari rente dengan politisi oportunis di dalam mesin politik mereka; 4) kelompok militer yang memiliki kontrol atas penggunaan kekerasan secara resmi memperoleh kekuatan politik dan menggunakan keunggulan ekonomi; dan 5) sistem peradilan umumnya sering lemah dan korup, karenanya tidak efektif untuk menuntut akuntabilitas.


Kondisi paradoksal
Jika Jakarta tidak mampu memanajemen pembangunan kotanya, diperkirakan akan membawa masalah, seperti kelebihan jumlah penduduk. Juga akan membawa dampak yang lain, yakni perusakan lingkungan, rasa tidak aman, dan pada tahap selanjutnya akan mengancam keberlanjutan pembangunan. Kelebihan penduduk merupakan kondisi yang paradoksal karena di satu sisi ada pihak yang merasa diuntungkan, seperti para pengembang perumahan dengan harapan rumahnya laku terjual. Pihak perbankan juga mengharapkan pertumbuhan sektor perumahan maju pesat agar timbul perputaran uang yang besar pula, para pengacara kaum migran juga berkepentingan terhadap usaha bisnis jasa yang mereka lakukan. Bahkan, ada pandangan sebagian para agamawan yang mengharamkan pembatasan kelahiran. Padahal, dampak kelebihan penduduk sudah terbukti menyebabkan berbagai masalah. WHO (2002) melaporkan, lebih dari 3 miliar penduduk dunia kekurangan kalori, kekurangan nutrien dan vitamin, malnutrisi, dan sebagainya sehingga rawan terkena penyakit (Cassils, 2004).
Pertumbuhan mega-urban yang tidak terkontrol akan memunculkan berbagai masalah, seperti kerentanan risiko kematian anak, karena pada umumnya kaum urban dari desa masih memegang teguh adat tradisi untuk mengobati anaknya misalnya. Di samping itu, kaum urban biasanya tinggal di daerah kumuh yang jauh dari sarana air bersih, sanitasi yang sehat, tidak tersentuh tenaga medik yang terampil, dan pelayanan sosial lainnya (Adair, 2005; Yulinawati, 2005).
Kepadatan penduduk Jakarta juga akan memicu konflik. Bayangkan di Jakarta Pusat penduduk berjubel 18.675 jiwa per kilometer persegi! Dari penjelasan ini, dapat dipahami pula jika pemanfaatan ruang perkotaan juga akan terpolarisasi dan tersegmentasi. Hal ini terjadi karena di satu sisi ”ruang formal” mengakomodasikan kelompok kelas atas dan pada sisi yang lain ”ruang informal” diisi oleh masyarakat bawah, permukiman padat dan kumuh, serta jauh dari pelayanan sosial. Kondisi seperti ini dapat memunculkan konflik dan krisis legitimasi antara pemerintah melawan rakyat dan krisis manajemen antara pemerintah dan mitra dalam kompetisi global ekonomi dunia.
Menurut Laquian (2008), masalah lain yang menonjol dalam memanajemen kawasan mega- urban adalah 1) tidak terselesaikannya masalah-masalah fisik, seperti pembangunan jalan, saluran, perumahan, pembuangan sampah, drainase; 2) sedikitnya perencana dan perancang kota yang memiliki visi komprehensif yang dapat memadukan berbagai kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan, untuk diformulasikan menjadi satu kesatuan dalam merancang dan merencana kota; 3) perencanaan dan perancangan wilayah dan kota dipengaruhi oleh konsep yang masih mendikotomikan antara daerah perdesaan dan perkotaan; 4) masih belum terkoordinasinya antarhierarki dan tingkatan institusi dan pemerintahan dalam membangun kota dan daerah serta fragmentasi sektoral. Berbagai peraturan perundang-undangan dan produk perencanaan tidak lintas sektoral dan lintas batas administratif.
Kapasitas dan kemampuan aparat dalam menangani kesehatan masyarakat miskin juga masih kurang, demikian pula kapasitas penentu kebijakan dalam memanajemen tata ruang kota.
Menurut penelitian Andrizar (2007), peraturan yang ada tidak pernah jelas. Di samping itu, peraturan utama untuk mengatur tata guna lahan hanyalah berupa perangkat perizinan dan, masalahnya, perizinan juga sering saling bertentangan antara tujuan dan substansinya. Kerumitan semakin terasa karena aparat pemerintah kota sering kali tidak paham tata ruang wilayah kota.
Belajar dari China
Pengalaman China cukup menarik dicermati. Mereka memiliki kebijaksanaan kependudukan untuk membatasi aliran migrasi antarprovinsi atau dalam provinsi. Kebijaksanaan itu di antaranya adalah mengontrol pertumbuhan penduduk kota besar secara ketat dan di sisi lain mempromosikan kota-kota kecil. Di daerah perdesaan, efisiensi dan produktivitas pertanian juga ditingkatkan dan mengumandangkan slogan leaving the land, but not rural areas.
Cara yang ditempuh Pemerintah China ialah lapangan pekerjaan diciptakan di desa atau kota kecil serta menumbuhkan wirausaha dengan mengaitkan industri besar dan industri rumah tangga sehingga penduduk desa tidak terangsang berpindah ke kota besar. Di samping itu, ada kebijakan sistem registrasi rumah tangga. Tanpa registrasi ini, kaum migran akan mengalami kesulitan jika, misalnya, ingin menikah atau menyekolahkan anaknya. Dengan registrasi penduduk, pembatasan masuk ke kota berjalan pasti untuk mencegah pertumbuhan penduduk kota yang cepat (Liang, 2001).
Selain itu, masalah perumahan dan kualitas lingkungan juga hal lain yang harus diberi perhatian yang lebih karena studi kasus tersebut juga menunjukkan bahwa kaum pendatang baru di pusat kota umumnya tidak memiliki banyak waktu untuk proses penyesuaian diri dengan situasi baru sehingga mereka memutuskan untuk tinggal di daerah yang padat tempat kelompok etniknya berkumpul. Kohesivitas sosial yang tercipta sangat baik, demikian pula upaya pengorganisasian diri ke dalam kelompoknya, dan dari upaya ini diharapkan akan timbul kerja sama yang erat dalam mencari pekerjaan.
Selamat mudik. Syukur bersedia Bali ndeso, mbangun Deso, tidak kembali lagi ke Jakarta, apalagi membawa sanak saudara dan kenalan.
Saratri Wilonoyudho Peneliti dan Dosen Planologi Universitas Negeri Semarang
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/07/03294019/jakarta.2020

Persekongkolan RI-Malaysia



Selasa, 7 September 2010 | 03:28 WIB
Sri Palupi
Menanggapi konflik dengan Malaysia, Ketua DPR Marzuki Alie mendukung sikap lunak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, dengan bersikap tegas terhadap Malaysia, Indonesia cuma akan mendapatkan harga diri. Sementara ada 2 juta TKI yang harus dilindungi.
Padahal, ketidaktegasan itulah yang membuat penganiayaan TKI terus berulang. Ketidaktegasan itu sendiri bisa menjadi isyarat adanya persekongkolan antara Indonesia dan Malaysia yang menghendaki bisnis jual beli TKI tetap aman terkendali.