Jumat, 19 Februari 2010

Macam-Macam Sujud

BAB X
MACAM-MACAM SUJUD DI LUAR SHALAT

Ada beberapa bentuk sujud yang disyariatkan untuk dilakukan yang terdapat di luar shalat. Di dalam HPT terdapat dua pembahasan sujud di luar shalat yaitu:

1. Sujud Tilawah

a. Ayat-ayat sajdah

Apabila engkau membaca al-Qur’an di dalam atau di luar shalat, atau engkau mendengar bacaan al-Qur’an (di luar shalat), dan terbaca ayat sajadah, maka bertakbirlah dan sujudlah seperti sujud di dalam shalat satu kali dengan membaca (pada waktu sujud) : “sajda wajhi-lilladzi-khalaqahu- wa shawwarahu- wasyaqqa sam’ahu- wa basharahu- bihaulihi wa quwwatihi-“ (wajahku tunduk kepada Tuhan yang menjadikannya, yang melukisnya, yang memberi penglihatan dan pendengaran dapat dengan kekuatan dan kekuasaannya).
Adapun ayat-ayat sajdah, terdapat pada lima belas tempat:

1. QS. al-A’raf: 206
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (206)

2. QS. ar-Ra’d: 15.
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ (15)
3. QS. an-Nahl: 49.
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (49)
4. QS. al-Isra’: 107.
قُلْ آَمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107)
5. QS. Maryam: 58.
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (58)
6. QS. al-Hajj: 18.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (18)
7. QS. al-Hajj: 77.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (77)
8. QS. al-Furqon: 60
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (60)
9. QS. an-Naml: 25.
أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ (25)
10. QS. as-Sajdah: 15.
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآَيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (15)
11. QS. Shad: 24.
        •              •      •       

وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (24)
12. QS. Fushshilat: 37
وَمِنْ آَيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (37)
13. QS. an-Najm: 62.
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا (62)
14. QS. Insyiqaq: 21.
وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآَنُ لَا يَسْجُدُونَ (21)
15. QS. al-Alaq: 19.
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)


Ada beberapa dalil yang menjadi landasanya, yaitu:

Firman Allah dalam QS. Maryam : 58
”Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”

Hadis ’Amar bin ’Ash yang menerangkan bahwa Rasulullah saw mengajarkan kepadanya lima belas ayat sajdah di dalam al-Qur’an, tiga diantaranya di dalam surat yang pendek dan dua di dalam surat al-Hajj”. (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah). (HPT: 361)

b. Sujud tilawah ketika mendengar atau membaca ayat sajdah

Sebagaimana yang terdapat dalam hadis Muslim

لحديث ابن عمر أنه قال : ربما قرأ رسول الله صلعم القرأن فيمر باسجدة فيسجدبنا حتى ازدحمنا عنده حتى ما يجد احدنا مكانا ليسجد فيه فى غير صلاة ( رواه مسلم )
Artinya : Dar Ibnu ’Umar berkata : Pernah Nabi Saw. membaca alquran lalu bertemu dengan ayat sajdah, lalu kami bersama-sama beliau sujud, sehingga kami berdesak-desakan di sekitarnya, sehingga di antara kami tidak mendapat tempat sujud. Hal ini bukan di dalam shalat. ( H.R. Muslim ).

لحيث عمرى ب العاص أن رسول الله صلعم أقرأه خمس عشرة سجدة فى القرأن منها ثلاث فى المفصل وفى الحج سجدتان ( ابو داود وبن ماجه )
Artinya : Dari Amr bin ’Ash yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. mengajarkan kepadanya ( ’Amr bin’Ash ) lima belas ayat sajdah di dalam al-Quran, tiga di antaranya di dalam surat yang pendek dan dua dalam surat al-Hajj. ( H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majjah ).

c. Sujud tilawah seperti sujud biasa
Sebagaimana yang terdapat dalam hadis Bukhari Muslis dengan lafadz:

لخبر ابن عباس ر.ض قال قال رسول الله صلعم ( أمرت ان اسجد على سبعة اعظم على الجهة واشار بيده على انفه واليدين والركبتين وطرف القدمين )( متفق عليه )
Artinya : Dari Ibnu’Abbas berkata : Rasulullah Saw. bersabda : Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang, di atas dahi (dan beliau memberi isyarat dengan tangannya kepada hidungnya, kedua telapak tangannya, kedua lutut dan ujung-ujung kedua telapak kaki). (H.R. Bukhari Muslim).


d. Doa sujud tilawah

Tentang doa sujud tilawah di luar shalat terdapat beberapa perbedaan pendapat dari kalangan para imam tentang masalah ini. Namun perbedaan ini hanya berupa tambahan dari masing-masing imam. Menurut imam Hanafi di dalam sujud tilawah terdapat takbir namun tanpa mengangkat tangan ketika hendak sujud dan bangun. Dan hal ini hukumnya sunah. Adapun bacaannya sebagaimana bacaan dalam shalat :

سُبحان ربّي اللأعلي – ثلاثا
Sedangakan imam Maliki tidak jauh berbeda dengan imam Hanafi, hanya ada tambahan doa, yaitu:

اللّهم اكتب لي بها أجرا، وضع عنّي بها وزرا، واجعلها لي عندك ذخرا، تقبّلها مني كماقبلتها من عبادك داود

Sedangkan menurut Syafi’i sujud di luar shalat diawali dengan takbiratul ihram, sujud, duduk, dan diakhiri dengan salam. Adapun bacaannya yaitu :

( سُبحان ربّي اللأعلي – ثلاثا)سجد وجهي للذي خلقه وصوره وشق سمعه وبصره بحوله وقوته فتبارك الله احسن الخالقين

Tentang penggunaan salam, Imam Syafi’i merujuk pada sebuah dalil yang diriwayatkan oleh Baihaqi :

عن ابي عبد الرحن السلمي وابن الاخواص انهما سلما فىالسجدة تسليمة عن اليمين ( اخرجه الثلاثة البيهقي)
“Dari Abi Abdirrahn dan Ibnu Ahwash : Sesungguhnya keduanya salam ketika sujud tilawah dengan sekali salam kekanan. (H.R. Baihaqi)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْبَارِحَةَ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ كَأَنِّي أُصَلِّي إِلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ فَقَرَأْتُ السَّجْدَةَ فَسَجَدْتُ فَسَجَدَتْ الشَّجَرَةُ لِسُجُودِي فَسَمِعْتُهَا تَقُولُ اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ مِثْلَ الَّذِي أَخْبَرَهُ الرَّجُلُ عَنْ قَوْلِ الشَّجَرَةِ(اخرجه ابن ماجه والترمذي وابوحاتم)وزاد : وتقبلها مني كما تقبلها من عبدك داود

Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Ketika aku bersama Nabi seoang laki-laki datang kepadanya kemudian berkata : sesungguhnya aku bermimpi kemudian seolah-olah aku shalat di bawah pohon lalu aku membaca ayat sajdah kemudian aku sujud dan bersujudlah pohon itu dengan sujudku kemudian aku mendengarnya berdoa :

اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا

Kemudian Ibnu Abbas berkata : Aku melihat Rasulullah Saw. membaca ayat sajdah lalu sujud kemudian aku mendengarnya berdoa dalam sujudnya seperti apa yang dikabarkan oleh laki-laki tadi dari berdoanya pohon itu. (H.R. Ibnu Majjah dan Attirmizi dan Abu Hatim). Abu Hatim menambahkan dengan lapadz :

وتقبلها مني كما تقبلها من عبدك داود.

Adapun sujud tilawah di dalam shalat, diawali dengan takbir. Akan tetapi takbir di sini yang diperdebatkan adalah antara takbir iftitah atu takbir intiqal. Sebagaimana sabda Nabi saw :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : كان النبي ص.م يقرأ علينا القرءان خاذا مرّ بالسجدة كبر وسجد وسجدنا معه (اخرجه ابوداود)
Dari Ibnu ‘Umar ra berkata : Adalah Nabi saw membacakan al-Quran kepada kami… ( H.R. Abu dawud )

Lafaz kabbara di sini yang menimbulkan perdebatan. Shun’ani lebih memilih iftitah, sedang yang berpendapat takbir intiqal, disebabkan karena dalam shalat tidak ada takbir lain kecuali Intiqal. Tetapi hadis ini dianggap dhoif karena dalam isnadnya terdapat Amr Abdullah al-Mukiri.
Imam Hambali berpendapat, apabila surat sajdah diakhir surat, maka boleh langsung rukuk atau sujud kemudian berdiri dan kemudian rukuk.


2. Sujud sahwi

a. Takbir tiap kali sujud sahwi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيْهِ طُولٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتْ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ فَقَالَ أَكَمَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالُوا نَعَمْ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَا تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ سَلَّمَ
Artinya: Telah berkata Abu Hurairah : Rasulullah Saw. pernah shalat bersama kami salah satu dari shalat tengah hari dua raka’at lalu ia salam. Diantara makmum-makmum itu ada seorang yang bernama Dzulyadain. Ia bertanya: Ya Rasulullah! Apakah Rasulullah Saw lupa atau shalat ini diqashar? Jawabnya: Aku tidak lupa dan ini tidak diqashar. Lalu Rasulullah Saw bertanya: Betulkah apa yang dikatakan oleh Dzulyadain? Mereka menjawab: Betul. Maka Rasulullah saw pun maju dan mencukupkan (raka’at) yang ditinggalkan, lalu ia salam, kemudian ia takbir dan sujud seperti sujudnya (di shalat) atau lebih lama, kemudian ia angkat kepalanya sambil takbir, kemudian ia takbir dan sujud seperti sujud (di shalat) atau lebih lama, kemudian ia angkat kepalanya sambil takbir , kemudian ia salam. ( HR. Bukhari Muslim ).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ
Artinya: Telah berkata Abdullah Bin Buhainah: Rasulullah saw pernah bangkit berdiri di satu shalat Dhuhur, padahal mestinya ia duduk (Attahiyatul Awal), maka sesudah selesai shalat sebelum memberi salam, di waktu duduk, ia sujud dua kali dengan bertakbir pada tiap-tiap kali sujud, dan makmumpun ikut mengerjakan dua sujud itu bersama Nabi untuk mengganti duduk (Attahiyat) yang ia lupa itu. ( HR. Muslim ).

Dua riwayat itu dapat kita fahami bahwa Rasulullah bertakbir pada tiap-tiap kali sujud dan tiap-tiap kali bangkit padanya. Dari dua riwayat itu juga kita dapat tahu bahwa sujud sahwi itu boleh dikerjakan sesudah salam, lalu salam lagi dan boleh juga sebelum salam, lalu salam. Masalah sujud sahwi ini tersebut di buku pengajaran shalat dan di kitab Nailul Author 3 : 130:150.

b. Doa sujud sahwi

Sepanjang pemeriksaan sementara, tidak ada satupun hadis atau riwayat shahih yang menentukan doa yang mesti dibaca dalam sujud sahwi.
Oleh sebab sujud sahwi itu sama dengan sujud yang lain, sedang perkataan yang diriwayatkan Muslim dibawah ini menunjukkan Rasulullah pernah membaca beberapa doa di sujud, padahal tidak diterangkan sujud itu dan ini. Maka hendaklah kita menggunakan perkataan itu menurut umumnya. Yakni dengan keteragan-keterangan yang tersebut, hendaklah kita disujud sahwi itu dengan doa-doa sujud biasa.
Diriwayatkan :

قال خذيفة : صليت مع النبي ص.م فكان يقول فى ركوعه : سبحان ربي العظيم، وفى سجده : سبحان ربي الأعلي ( رواه مسلم )
Artinya : ”Telah berkata Huzaifah : Saya pernah shalat bersama Nabi saw maka di dalam rukuknya Nabi mengucap: (Subhaanabbial’azhim), dari dalam sujudnya Ia mengucap: (Subhaanarabbial a’laa)”. ( H.R. Muslim ).
قالت عاءشة : أن رسول الله ص. م كان يقول فى ركوعه وسجده سبوح القدوس رب الملآكة والروح ( رواه مسلم )
Artinya : Telah berkata Aisyah : Sesungguhnya Rasulullah saw berkata di dalam rukuknya dan sujudnya: (Subbuuhulqudduus Rabbulmalaaikati Warruuh ). ( HR. Muslim ).

قالت عا ءشة : أن رسول الله ص.م كان يقول في ركوعه وسجده : سبحا نك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي ( وا مسلم )
Artinya: Telah berkata Aisyah: Adalah Rasulullah saw membanyakkan di dalam rukuknya dan sujudnya ucapan: Subhaanallaahumma Rabbanaa Wabihamdika Allaahummagfirli. ( HR. Muslim ).

قال ابوهرة : كن رسول الله ص.م يقول فى سجده : اللهم اغفرلي ذنبي كله دقه وجله اوله واخره ره وعلانيته ( رواه مسلم )
Artinya : Telah berkata Abu Hurairah : Adalah Rasulullah saw berkata di dalam sujudnya: (Allaahummagfirli zambi kullahu Diqqaha wasilahu Awwalahu Wa Akhirahu). ( HR. Muslim ).

Begitulah bacaan-bacaan pujian-pujian dan doa-doa sujud yang diriwayatkan dari Nabi saw dan ada lagi beberapa macam doa yang Rasulullah ucapkan dalam sujudnya dan Rasulullah memerintahkan supaya kita berdoa meminta keperluan kita kepada Allah di dalam sujud.
Di antara riwayat-riwayat itu, tidak satupun yang membedakan antara doa sujud shalat dengan doa sujud sahwi, bahkan diumumkanya dengan ucapan Rasulullah saw di dalamnya begini dan begitu. Siapa saja yang mau menjadikan umum maksud riwayat-riwayat itu, boleh ia gunakan semua doa dan pujian itu di sujud sahwi. Dan orang yang mentakhshishkan riwayat-riwayat itu untuk sujud shalat biasa (bukan sujud sahw ) tentu ia tidak ucapkan doa apapun, hanya ia tinggal diam saja di dalam sujud sahwi.
Orang yang tidak membaca apa-apa dalam sujud sahwi itu tidak salah karena bacaan-bacaan dalam sujud itu tidak wajib.
Masalah ini ada di Nailul Author 2 : 252, 2 : 271-176, 2 : 353 dan di Taisirul Usul 2 : 68.

c. Attahiyat atau shalawat untuk dua sujud sahwi

Belum ditemukan ada satu pun riwayat shahih yang menunjukkan adanya attahiyat atau shalawat untuk dua sujud sahwi itu.
Ada beberapa hadis dan riwayat yang menunjukkan ada attahiyat sesudah sujud sahwi, tetapi karena semuanya itu lemah riwayatnya, maka tidak boleh kita pakai. Masalah ini tersebut di Nailul Author 3 : 149.


3. Sujud syukur

Apabila engkau mendapatkan atau diberi tahu sesuatu yang menggembirakan maka sujudlah karena bersyukur kepada Allah, dan perbanyaklah doa.
1. Karena hadis Barra’ bin Azib yang menerangkan bahwa Nabi saw mengutus Ali ke Yaman, lalu menyebutkan bunyi hadis/ berkata Barra’: “ lalu Ali mengirim surat tentang masuk islamnya penduduk Yaman. Tatkala Rasulullah saw membaca surat itu, bersujudlah beliau karena syukur kepada Allah atas masuk islamnya mereka” (riwayat al-Baihaqi dan asalnya di dalam Bukhari)
2. Karena Hadis Abu Hurairah ra yang menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “ Paling dekatnya seorang hamba kepada tuhanNya ialah pada waktu ia sedang sujud. Oleh karena itu perbanyaklah doa”


a. Anjuran untuk sujud syukur ketika memperoleh kebahagiaan

Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan lafadz.

لحديث البراء بن عازب ر.ض ان البي صلعم بعث عليا الى اليمن- فذكر الحديث- قال : فكتب علي باسلامهم، فلما قرأ رسول الله صلعم اكتاب خر ساجدا شكرا لله تعالى على ذلك ( رواه البيهقيواصله فىالبخاري )

Karena Hadis Barra’ bin ’Azib yang menerangkan bahwa Nabi Saw. Mengutus ’Ali ke Yaman- lalu menyebutkan bunyi Hadis- berkata Barra’ : ”Lalu ’Ali mengirim surat tentang masuk islamnya penduduk Yaman. Tatkala Rasulullah Saw. Membaca surat itu, bersujudlah beliau karena syukur kepada Allah atas masuk islamnya mereka.” ( Riwayat al-Baihaqi. Dan asalnya kepada Bukhari ).

Masalah ini terdapat di dalam Himpunan Putusan Majlis Tarjih. Hal. 360-361 (Dalil Keempat).
وعن عبدالرحمن بن عوف قال : خرج النبي صلعم فتوجه نحو صدفته، فدخل فاستقبل القبلة فخر ساجدا فأطال السجود، ثم رفع رأسه وقال : إن جبريل أتاني فبشرني، فقال : إن الله عزوجل يقول لك : من صلى عليك صليت عليه، ن سلم عليك سلمت عليه، فسجدت لله شكرا ( رواه احمد )
Artinya : Dari Abdurrahman Bin Auf berkata : Nabi Saw. Keluar kemudian menghadap seperti rumah kerang, lalu masuklah Ia, lalu mengahadap kiblat kemudian menyungkur dengan bersujud, lalu memperlama sujudnya, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata : sesungguhnya Jibril mendatangiku menyampaikan berita gembira lalu berkatalah Jibril : Sesungguhnya Allah ‚’Azza Wa jalla berkata kepadamu : Barang siapa bershalawat kepadamu maka Aku memberi shalawat kepadanya dan barang siapa memberikan salam kepadamu maka memberi salamlah aku kepadanya, lalu bersujudlah aku kepada Allah dengan sujud syukur. (H.R. Ahmad). Masalah ini ada di Kitab Nailul Author hal. 3 jilid 2.

b. Nabi sujud syukur sebanyak tiga kali dengan mengangkat tangannya tiap kali bangun dari sujud

وعن سعد بن أبي وقاص قال : خرجنا مع النبي صلعم من مكة نريد المدينة، فلما كنا قريبا ن عزوراء، نزل ثم رفع يديهفدعا الله ساعة، ثم خر ساجدا فمكث طويلا، ثم قام فرع يديه ساعة م خر ساجدا، فعله ثلاثا وقال : إي سألت ربي وشت لامتي، فأعطاني ثلث أمي، فخرر ساجدا شكرا لربي، م رفعت رأسي فسألت ربي لامتي، فأعطاني ثلث أمتي، فخررت ساجدا لربي ثم رفعت رأسي فسألت ربي لامي فأعطاني الثلث الاخر فخررت ساجدا لربي ( ر واه ابود اود )
Dari Sa’ad Bin Abi Waqhas berkata : Kami keluar bersama Nabi dari makkah menuju madinah, lalu ketika kami sudah dekat dari ’Azwarai, lalu turunlah Ia kemudian Dia mengangkat kedua tangannya lalu Ia berdoa kepada Allah sebentar, kemudian Ia tersungkur bersujud, lalu Ia memperlama sujudnya, lalu berdiri mengangkat tangannya sebentar, kemudian Ia tersungkur sujud lagi, Ia mengerjakannya sebanyak tiga kali. Lalu Nabi bersabda : Sesungguhnya aku meminta memohon kepada tuhanku agar aku dapat memberi syafa’at kepada umatku, lalu Allah memberiku sepertiga dari umatku, lalu aku bersujud sebagai tanda syukur kepada tuhanku, kemudian aku mengangkat kepalaku dan memohon kepada tuhanku untuk umatku, lalu Ia memberiku sepertiga dari umatku, lalu aku sujud lagi kepada tuhanku, kemudian aku mengangkat kepalaku, lalu aku mohon kepada tuhankan untuk umatku, lalu Ia memberiku sepertiga yang lain, lalu aku sujud kepada tuhanku. ( HR. Abu Dawud ).
Imam Yahya dan Abu Thalib bermazhab bahwa tidak ada syarat sujud syukur sebagaimana syarat shalat. Sedangkan menurut Abu Abbas dan Al Muayyad billah dan Nakha’i dan sebagian sahabat Syafi’i berpendapat sebaliknya.
Tidak ada takbir dalam sujud sahwi tetapi dalam kitab Bahr ada. Masalah ini terdapat di dalam Nailul Author Hal. 112 jilid 2

Tuesday, January 12, 2010 Memahami Islam Dalam Muhammadiyah (Bagian 1) [Kamis, 01 Maret 200]

Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Sejak kelahirannya Muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri sebagai gerakan Islam, yakni gerakan untuk menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwal agama Islam di Indonesia. Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya bahkan sering dikategorikan sebagai bagian dari matarantai gerakan Islam pembaruan di dunia Islam seperti dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme Islam abad ke-20. Maka tak diragukan lagi eksistensi dan esensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah bagian atau fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari gerakan Islam.

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjungtinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia.

Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (HM Djindar Tamimy, 1978: 3).

Rujukan paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusan-keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku ”Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu. Pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut sebenarnya perlu dditelusuri dan diformulasikan ulang, karena merupakan tonggak dari berdiri dan keberadaan Muhammadiyah generasi awal, yang membedakan dan menjadi ciri khas Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya.

Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang. Sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.

Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-‘alamin. Itulah agama Langit untuk kehidupan manusia.

Dalam pandangan Muhammadiyah bahwa ”Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah ”apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dîn). Hal yang menraik dari paham agama menurut Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (aseli) karena berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (al-awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-petunjuk (al-irsyâdat).

Mengenai konsep ”irsyadat”, KH. Ahmad Azhar Basyir, memberi keterangan sebagai berikut: ”Tentang apa yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi al-Din tersebut, selain al-awamir dan al-nawahi, dapat dikaitkan kepada apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih putranya itu, di situ terdapat terdapat irsyadat bagaimana orangtua harus dekat dengan anak dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang menyangkut pribadi anak. Juga dialog antara Nabi Musa dengan ”abdu min ibadina” sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, yang umumnya disebut dialog Musa dengan Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga kecuali al-awamir (perintah-perintah) dan al-nawahi (larangan-larangan), dalam kisah para Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat. Dalam mengungkap hukum alam dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan irsyadat Jadi banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan hidup itu terdapat irsyadat. ” (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir, ed., 1992: 97).

Pandangan tentang ”irsyadat” sebagaimana disebutkan KH Azhar Basyir tersebut, selain yang tersirat juga yang tersurat dalam Al-Quran, termasuk dalam kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi ajaran dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi di samping atau selain yang mengandung aspek perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Quran dinyatakan Allah juga sebagai ”tibyan li-kulli syai” (penjelas segaka sesuatu), sebagai ”al-dzikr”, ”al-furqan”, ”al-huda”, dan sebagainya, yang menunjukkan keluasan dimensi ajaran Islam. Dengan demikian tampak sekali Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-mata sebagai ”syariat” dalam makna hukum perintah dan larangan belaka, sebagaimana logika ”al-ahkam al-khamsah” mengenai wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. Memasukkan dimensi ”irsyarat” tersebut menjadi sangat penting, karena masuk ke dimensi-dimensi makna dan arah bagi kehidupan, selain perintah dan larangan, sehingga ajaran Islam itu tidak sempit dan hanya menonjolkan satu aspek saja. Dimensi ilmu pengetahuan, pemikiran, intelektual, alam semesta, dan berbagai aspek kehidupan memperoleh rujukan dan petunjuk dalam ajaran Islam, sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekadar syari’at hukum perintah dan larangan semata. Pandangan Islam yang komprehensif atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.
Posted by Najib Burhani at 5:14 PM
0 comments:

Post a Comment

PAHAM AGAMA MENURUT MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah didalam memahami Islam dilakukan secara komprehensif. Aspek Aqidah, Ibadah, Akhlak, dan Mu’amalah Duniawiyah tidak dipisahkan satu dengan yang lain, meskipun dapat dibedakan. Dalam memahami Islam akal dapat digunakan sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang dirasakan di luar jangkauan akal, diambil sikap tawaqquf dan tatwidh. Memaksa ta’wil terhadap hal-hal yang dirasakan diluar jangkauan akal, dipandang sebagai menundukkan nash terhadap akal.
Aspek aqidah lebih banyak didasarkan atas nash, ta’wil dipergunakan sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima.
Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, sedangkan akhlak situasional dan kondisional tidak dapat diterima.
Ibadah Mahdah berdasarkan nash sedangkan untuk aspek muamalah, jika diperoleh dalil-dalil qoth’y, dilaksanakan sesuai ajaran nash. Tetapi jika diperoleh dari dalil-dalil dhonny, maka dilakukan penafsiran. Dalam hal ini asas maslahah dapat dijadikan landasan penafsiran.
Sifat hati-hati terhadap hal-hal yang belum diperoleh penjelasan, diperlukan guna menjaga keselamatan beragama.
Muhammadiyah dalam mamahami dam mengamalkan Islam berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasul dengan menggunakan akal pikiran sesuai ajaran Islam . Pengertian Al- Quran sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sedangkan sunnah rosul adalah sumber ajaran Islam berupa penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al Quran yang diberikan oleh nabi Muhammad (matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah butir ke 3).
Bagi Muhammadiyah memahami Islam secara benar sangatlah menentukan beragama secara benar pula. Apabila faham tentang Islam itu tidak benar maka tidak akan benar menangkap hakekat dan citra ajaran Islam secara benar. Sehingga akan berpengaruh terhadap pengamalannya dalam kehidupan secara benar pula. Oleh karena itu untuk memahami Islam perlu dasar yang kokoh dan benar.
Beberapa prinsip yang menjadi dasar paham agama Islam dalam Muhammadiyah, disebutkan dalam penjelasan matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah adalah sebagai berikut :
a. Agama Islam ialah agama Allah yang diturunkan kepada para Rosulnya sejak nabi Adam sampai nabi terakhir, ialah nabi Muhammad SAW Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir diutus dengan membawa syariat agama yang sempurna untuk seluruh umat manusia sepanjang masa maka dari itu agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad itulah yang tetap berlaku sampai sekarang dan untuk masa-masa selanjutnya.
Agama yakni agama Islam yang di bawa nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al Quran yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia dunia dan akhirat (putusan Majelis Tarjih)

b. Dasar Agama Islam.
1. Al Quran : Kitab Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.
2. Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al Quran yang diberikan nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (Nukilan MKCH)

c. Al-Quran dan Sunnah rosul sebagai penjelasannya adalah pokok dasar hukum ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar akal pikiran atau Ar ra’yu adalah alat untuk :
1 menagngkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
2 Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al Quran dan Sunnah Rasul.
Untuk melaksanakan ajaran Al Quran dan sunnah Rasul dalam mengatur dunia guna memakmurkannya, atau pikiran yang dinamis dan progresif mempunyai peranan yang penting dan lapangan yang luas. Begitu pula akal pikiran bisa untuk mempertimbangkan seberapa jauh pengaruh keadan dan waktu terhadap penerapan suatu ketentuan hukum dalam batas maksud-maksud pokok ajaran agama.
3. Hubungan Sunnah dengan Al Quran. :
a. Bayan Tafsir : yaitu sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dam musytaraq. Seperti hadis – Shallu kama ra aitu munni usholli – adalah tafsir dari ayat-ayat : Aqimusholah.
b. Bayan taqriri. Yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Quran seperti hadis : Sumun liru’ yatihii....adalah memperkokoh surat Al Baqoroh ayat 185.
c. Bayan Tadhlihi : yaitu sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat seperti pernyataan nabi : Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah di zakati adalah tadhlihi terhadap surat Attaubah ayat 34.
Muhammadiyah berpendapat bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka.
d. Kedudukan ijtihad : tidak semua ayat Al Quran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia sudah di atur secara terinci. Ada yang diatus secara global (garis besar atau prinsip-prinsipnya.) dan ada yang diatur secara detail. Untuk penjabaran dan pengembangan hal-hal yang diatur secara detail Al-Quran dan As Sunnah memberikan kesempatan kepada para ulama mujtahidin untuk melakukan ijtihad dan hadist muk’adzbinjabbal dan hadist-hadist yang lain. Yaitu menggunakan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an dan As Sunnah, dalam ber-ijtihad para mujtahidin bisa menggunakan metode ijma (sahabi), qiyas, ikhtisan dan maslahir mursalah. Keputusan ijtihad tidak bersifat absolut, karena merupakan produk akal pikiran, tidak berlaku bagi semua orang dan semua masa, dan tentu saja tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

METOLOGI IJTIHAD :
1. Ijma : Kesepakatan para imam mujtahid dikalangan umat islam tentang suatu hukum islam pada suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan para ulama rasul, hasil ijma’ dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam sesudah Al-Qur’an dan Hadist. Pemikiran tentang ijma’ berkembang sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam mujtahid.
2. Qiyas : Menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya didalam nash, dengan hal yang disebutkan hukumnya didalam nash, karena adanya persamaan illat (sebab) hukum pada dua macam hal tersebut, contoh : hukum wajib zakat atas padi yang dikenakan pada gandum.
Rukun qiyas :
a. Al- Ashlu, yaitu hal yang telah disebutkan dalam nash yang menjadi pangkal qiyas, atau pokok dalam hal ini gandum.
b. Cabang, dalam hal ini padi
c. Wajib zakat gandum adalah hukum asal.
d. Bahan makanan pokok adalah illat hukum Al-Ashlu
Karena antara padi dengan gandum mempunyai illat yang sama yaitu sebagai makanan pokok, maka padi dikenakan wajib di zakakti seperti wajibnya gandum untuk di zakati. Untuk Qiyas digunakan dalam bidang muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah. La qiyasa fil ibadah.

3. Maslakhah, mursalah atau Istislah
Yaitu, menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan manfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh, mengharuskan pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan oleh negara. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa pencatatan negara tidak mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.

4. Istihsan : yaitu memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh : Harta zakat tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah tangankan, atau dijual, diwariskan atau dihibahkan.
Contoh : Mewakafkan tanah untuk tujuan pendidikan islam. Tanah tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan islam yang menjadi tujuan syariah diatas.
Secara khusus, pemahaman islam dalam Muhammadiyah, dapat dikaji dalam pokok-pokok Manhaj Trjih yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan sebagai berikut :
1) Dalam beristiddlah, dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shahihah, Ijtihad dan istibath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abuddi, dan memang merupakan hal yang dihajatkan hidup manusia.
Dengan perkataan lain Majlis Tarjih menerima ijtihad termasuk Qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
2) Dalam memutuskan suatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihadiyah digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang sebagai pendapat majelis.
3) Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tetapi pendapat imam imam madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan sepanjang sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4) Berpikir terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika putusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah ditetapkan.
5) Didalam masalah aqidah (tauhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutaasatir.
6) Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan.
7) Terhadap dali-dalil yang nampak suatu ta’arudl digunakan cara : Al-jam’u wa Taufiq, dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.
8) Menggunakan asas Saddudz dzarai’ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
9) Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami dalil-dalil Al-Qura’an dan As Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syariah. Adapun qaidah ”Al Hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu dapat berlak.
10) Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum dilakukan dengan cara koprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
11) Dalil-dalil umum Al-Qur’an dapat ditaksir dengan Hadist Ahad, kecuali dalam bidang ’aqidah.
12) Dalam mengamalkan agama islam menggunakan prinsip ’ At-Tasyir.
13) Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan As Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan Al-Qur’an akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsipnya mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
14) Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.
15) Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari takwil dalam bidang ’aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
16) Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat bisa diterima.
17) Jalan Ijtihad yang telah ditempuh meliputi :
a. Ijtihad Bayam : yaitu ijtihad terhadap ayat yang majmal baik karerna belum jelas maksud lafadz yang dimaksud maupun karena lafadz itu, mengndung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunayai arti yang jumbuh (mutasyabih) ataupun danya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl) dalam hal terakhir digunakan cara jama’ dan tanfiq.
b. Ijtihad Qiyasi : yaitu menyenerangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesaman ’illah.
c. Ijtihad Istishlahy : yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukum dilakukan berdasarkan ’illah untuk kemaslahatan.


18) Dalam menggunakan hadits, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih sebagai berikut :
a. Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud dengan hadits mauquf ialah apa yang disandarkan kepada sahabat baik ucapan maupun perbuatan semacamnya, baik bersambung maupun tidak.
b. Hadits mauquf yang dihukum mafu’ dapat menjadi hujjah, hadits mauquf yang dihukum marfu’ apabila ada qarinah yang dapat dipahami dari padanya bahwa Hadits itu marfu’.
c. Hadits Mursal Sahabi dapat dijadikan hujjah, hadits dapat dijadikan hujjah, jika ada qarinah yang menunjukkan persanbungan sanadnya.
d. Hadits Mursal Tabi’i Semata, tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits dapat dijadikan hujjah jika ada qorinah yang menunjukkan persambungan sanad sampai kepada Nabi.
e. Hadits-hadits dla’if yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan meriwayatkannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Shahih.
f. Dalam menilai perawi hadits, jarh didahulukan daripada ta’dil, setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.
g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada penunjuk bahwa hadits itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.


B. MEMANDANG ISLAM SECARA MENYELURUH.
1. Seorang Islam harus memahami Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak secara parsial, karena pemahaman yang parsial menyebabkan Islam tidak fungsional secara kaffah dalam kehidupan.
2. Islam adalah suatu sustem yang menyeluruh (nidhan samil) mencakup selurh aspek kehidupan, rohaniah dan jasmaniah, duniawiyah dan ukhrowiyah.
3. Secara garis besar ajaran Islam mencakup aspek :
a. Aqidah : Aspek keyakinan tantang Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir dan taqdir.

Makna Kalimat laa ilaaha Illallah
Ikrar kalimat thayibah ini memiliki artii koperhensif, mencakup :
- La Khaliqa Illallah
- La Raziqa Illallah
- La Hafidza Illallah
- La Mudabbira Illallah
- La Malika Illallah
- La Waliya Illallah
- La Hakimu Illallah
- La Ghiyata Illallah
- La Ma'badu Illallah
-
Hakekat dan Dampak Dua Kalimat Syahadat.
Iqrar La Ilaha Illallah tidak dapat diwujudkan secara benar tanpa mengiguti petunjuk yang disampaikan yang disampaikan oleh Rasulallah SAW. Oleh sebab itu iqrar Lailaha Illallah harus diikuti oleh iqrar Muhammad Rasulallah. Dua iqrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat (syahadatain) yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah SWT.
Kalau syahadat yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT semata, maka inti dari syahadat Rasulallah SAW sebagai titik pusat ketauladanan (Uswatun Khasanah) baik dalam jhubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) secara vertikal, maupun dalam hubungan dua kalimat syahadat itu adalah memberikan cinta yang pertama dan utama kepada Allah SWT, kemudian kepada Rosulullah SAW dan jihad fi sabilillah (Q.S.Al-Baqarah (2): 165, Q.S. At-Taubah (9) 24).
Berdasarkan ayat diatas Ab Dullah Nasih Ulwan membagi cinta (Al Mahabah), kepada tiga tingkatan :
1. Al Mahabatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rosulnya dan Jihad Fisabilillah.
2. Al Mahabutul Wushta yaitu mencintai segala sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah dan Rosulnya dengan cara yang diijinkannya, seperti cinta kepada anak, ibu bapak, suami-istri, karib kerabat, harta benda, dan lain sebagainya.
3. Al Mahabatul Adna, yaitu mencintai anak-anak, ibu bapak, suami atau istri, karib kerabat, harta benda dan lain sebagainya melebihi cintanya kepada Allah dan Rosulnya, dan jihad fii sabi lillah (Q.S.At-Taubah/9 : 24)

Yang membatalkan dua kalimat syahadat.
Menurut Syait hawwa dalam bukunya Al Islam, hal-hal yang membatalkan dua kalimat syahadat :
1. Bertawakal bukan kepada Allah (Q.S. Al Maidah 5 / : 23)
2. Tidak mengakui bahwa semua nikmat lahir maupun batin adalah karunia Allah SWT (Q.S. Luqman / 31 :20, (Q.S.Al-Qashas / 28 : 78)
3. Beramal dengan tujuan selain Allah (Q.S.Al-An’am / 6 :162, 163)
4. Memberikan hak mengharamkan dan menghalalkan, hak memerinah dan melarang, atau hak menentukan syariat atau hukum pada umumnya kepada selain Allah SWT (Q.S. Al-An’am / 6 : 57,(Q.S. At-Taubah (9) 31)
5. Taat secara mutlak kepada selain Allah dan Rosulnya (Hadits, dan Q.S. Asy Syu’ara’ / 26 : 151, 152)
6. Tidak menegakkan hukum Allah SWT (Q.S.Al-Maidah /5 : 44 dan (Q.S. An- Nisa : / 4 : 65)
7. Membenci Islam seluruh atau sebagiannya (Q.S.Muhammad : / 47 : 8-9)
8. Mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat atau menjadikan dunia segela-galanya (Q.S.Ibrahim / 14 : 2-3)
9. Menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang di halalkannya. (Q.S.An-Nahl / 16:105)
10. Tidak beriman dengan seluruh nash-nash Al Quran atau sebagiannya dan sunah (Q.S.Al- Baqarah/ 2 : 85) dan hadits riwayat Turmudzi).
11. Mengangkat orang-orang kafir dan munafik menjadi pemimpin dan tidak mencintai orang-orang yang berakidah Islam ( Q.S.Al-Maidah (5) :5, dan(Q.S. An Nisa / 4 : 138 – 189)
12. Tidak beradab dalam bergaul dengan Rosulullah SAW (Q.S. Al- Hujurat / 49 : 2)
13. Memperolok-olok Al Quran dan Sunnah atau orang-orang yang menegakkan keduanya, atau memperolok-olok hukum Allah atau syiar islam. (Q.S. At Taubah / 9 : 64 – 65).
14. Tidak menyenangi Tauhid malah menyenangi Kemusrikan ( Q.S.Az- Zumar (39): 45).
15. Menyatakan bahwa makna yang tersirat (batin) dari suatu ayat bertentangan dengan makna yang tersurat (Sesuai dengan pengertian bahasa (Q.S. Ar -Ra’du / 13 : 37)
16. Memungkiri salah satu asma, sifat dan af’al Allah SWT ( Q.S.Al-A’raf / 7 : 180)
17. Memungkiri salah satu sifat Rosulullh SAW yang telah di tetapkan oleh Allah atau memberinya sifat yang tidak baik atau tidak meyakininya, sebagai contoh teladan yang utama bagi umat manusia (Q.S.Al-Ahzab / 33 : 21)
18. Mengkafirkan orang Islam atau menghalalkan darahnya, atau tidak mengkafirkan orang kafir ( HR Bukhari Muslim) dan (HR Bukhari)
19. Beribadah bukan kepada Allah (Q.S.Ar-Ra’du /13 : 14.)
20. Melakukan sirik kecil (HR ahmad).
Ibadah : Segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasul, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.

Akhlak : Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tentram dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja'ah dan sebagaimana (Al-Akhlakul mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya', 'uququl walidain dan sebagainya Al-Akhlaqul Madzmuham).
Ciri – ciri akhlak Islam :
1. Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An'am / 6 : 153).
2. Akhlak Manusiawi
Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak Universal
Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yanng berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An'nam : 151-152).
4. Akhlak Keseimbangan
Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hiduo didunia maupun diakhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang , begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, simbang pula. (H.R. Buhkori).
5. Akhlaq Realistik
Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyaakan sebagai makhluq yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu dia sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173).
Mua'malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lains ebagainya.
http://luqm.multiply.com/journal/item/74

Kompas.com

Menanamkan Kembali Paham Agama Dalam Muhammadiyah Senin, 18 Desember 06 - by : pdmbontang

oleh: Dr.H. Haedar Nashir

Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam (da’wah ila al-Khair), menyuruh pada yang ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah dari yang munkar (al-nahy ‘an al-munkar) {QS. Ali Imran/3: 104}, sehingga hidup manusia selamat, bahagia, dan sejahtera di dunia dan akhirat. Karena itu seluruh warga, pimpinan, hingga berbagai komponen yang terdapat dalam Muhammadiyah, termasuk amal usaha dan orang-orang yang berada di dalamnya, haruslah memahami Muhammadiyah serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata.

Dalam memahami hakikat Muhammadiyah, karena Persyarikatan ini merupakan gerakan Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka merupakan kewajiban bagi seluruh warga dan pimpinan serta segenap pengelola dan pelaksana di lingkungan struktur Persyarikatan termasuk di amal usahanya, untuk memahami Islam sebagaimana paham agama dalam Muhammadiyah. Tuntutan seperti ini bukan bermazhab dan taklid, tetapi sebagai bentuk ‘ittiba sekaligus keniscayaan menyetujui asas dan tujuan Muhammadiyah, sebagaimana lazimnya siapapun yang berada dalam rumah Muhammadiyah. Dan dalam beragama sebagaimana paham Muhammadiyah, haruslah benar dan lurus, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Quran, yang artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum: 30)”.

Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:

1. Agama, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al-Quran dan yang disebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang al-Din).
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2).
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan (a) Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W.; (b) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W.; dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (MKCH butir ke-3).
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) ‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-4).
5. Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
6. Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Al-Quran dan Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas). Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang. Sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.
7. Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih di Malang). Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (AD Muhammadiyah, 2005). Salah satu dari enam prioritas program Muhammadiyah periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005).

Mengingat kecenderungan atau gejala melemahnya dan dangkalnya pemahaman mengenai Islam dalam Muhammadiyah, pada saat yang terdapat fenomena orang Muhammadiyah mengembangkan paham sendiri-sendiri atau malah mengikuti paham lain, maka diperlukan ikhtiar sistematis untuk menanamkan atau memantapkan kembali paham Agama (Islam) dalam Muhammadiyah. Di antara langkah-langkah untuk menanamkan (memantapkan) kembali paham Islam dalam Muhammadiyah ialah sebagai berikut:

1. Majelis Tarjih memproduksi/menghasilkan berbagai pedoman/tuntunan tentang ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, maupun mu’amalat duniawiyah secara lengkap, mudah dipahami, dan bervariasi untuk dijadikan pedoman dan dimasyarakatkan/dipublikasikan sesuai dengan keputusan-keputusan Muktamar/Munas Tarjih. Ini diperlukan agar pedoman/tuntunan yang dikembangkan bukan karya pribadi-pribadi di lingkungan Muhammadiyah, kendati merujuk pada Hasil Keputusan Tarjih. Karya pribadi dapat dijadikan bahan pelengkap atau bacaan untuk memperkaya, sedangkan rujukan utama tetaplah hasil Tarjih Muhammadiyah. Hasil Tarjih bahkan dapat diberi cover khusus untuk kalangan umum, sehingga paham Islam yang dikembangkan Muhammadiyah juga menyebar di lingkungan umat Islam/masyarakat luas.
2. Pimpinan Persyarikatan diikuti oleh Organisasi Otonom, amal usaha, dan berbagai institusi dalam Muhammadiyah di berbagai tingkatan dari Pusat hingga Ranting menggiatkan kembali Kajian Intensif Islam dalam Muhammadiyah, serta menyelenggarakan Pengajian Pimpinan dan Pengajian Anggota, yang di dalamnya dipaketkan materi khusus secara mendalam dan leluasa tentang Paham Agama (Islam) dalam Muhammadiyah. Khusus di lingkungan amal usaha Muhammadiyah (sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lain-lain) pengajian Al-Islam dan Kemuhammadiyahan harus menjadi kegiatan penting dan pokok, selain lainnya, sehingga seluruh karyawan, dosen/guru/dokter, pimpinan, pengelola, dan segenap personil amal usaha Muhammadiyah benar-benar memahami dan dapat mengamalkan Islam serta misi Muhammadiyah secara tepat, benar, mendalam, dan lengkap. Kegiatan seperti ini jangan dianggap sebagai membebani, tetapi justeru dipandang penting sebagai landasan yang kokoh bagaimana beragama sesuai paham Muhammadiyah. Di sini Majelis Tarjih dan Majelis Pendidikan Kader dapat berkiprah sebagai penyelenggara.
3. Menggiatkan pengajian-pengajian umum yang membahas tentang Islam multiaspek dalam Muhammadiyah baik secara rutin maupun dengan memanfaatkn momentum-momentum tertentu. Kegiatan ini diselenggarakan dalam berbagai model kegiatan yang spesifik, termauk di masjid-masjid/mushala-mushala dan berbagai lingkungan/media lainnya. Majelis Tabligh dapat menjalankan fungsi ini berdasarkan tuntutnan-tuntunan yang dibuat Majelis Tarjih.
4. Menyebarluaskan paham agama (Islam) dalam Muhammadiyah ke berbagai lingkungan serta media publik, termasuk melalui website, internet, dakwah seluler, dan sebagainya sehingga paham Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh umat Islam dan masyarakat luas.
5. Menghidupkan kembali kultum/pengajian singkat di berbagai kegiatan, yang antara lain menjelaskan tentang berbagai aspek ajaran Islam yang dipahami dan dipraktikan Muhammadiyah, sehingga bukan sekadar membahas masalah-masalah organisasi belaka, kendati tetap penting.

Hal yang penting yang perlu menjadi pemahaman bersama bahwa paham Islam dalam Muhammadiyah bersifat komprehensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agama dalam pandangan atau paham Muhammadiyah tidaklah sepotong-sepotong, serpihan-serpihan, dan hanya hukum/fikih belaka. Paham agama yang ditamankan bukan ajaran yang terbatas, tetapi luas dan mulsiaspek. Karena Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, maka paham tentang Islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang fundamental, yang initinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham Islam bagi seluruh warga Muhammadiyah, kemudian menyebarkan/mensosialisasikan dan mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga Islam yang didakwahkan Muhammadiyah membawa/menjadi rahmatan lil-‘alamin.