Sabtu, 26 Desember 2009

Lembaga AS: Dukung Kami Untuk Memurtadkan Umat Islam

Sabtu, 26/12/2009 10:08 WIB

Hudson Institute, mendesak lembaga-lembaga donor untuk mendukung secara finansial atas usaha mereka dalam melakukan pemurtadan terhadap umat Islam dan mendukung perjuangan mereka untuk melawan sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai "intoleransi dan kekerasan," yang di lakukan oleh Arab Saudi dan agama Islam di seluruh dunia.

Hudson Institute, yang merupakan organisasi sayap kanan di Amerika Serikat yang dikenal sebagai perpanjangan tangan entitas Zionis adalah salah satu pusat intelektual dari kelompok neo-konservatif dan gerakan Zionisme modern.

Kenneth Isenthain - Direktur Eksekutif Hudson Institute mengatakan di sebuah surat yang dikirimkan ke milis dari Institut: "Kami menyerukan kepada lembaga donor dan donatur untuk mendukung kegiatan Institut, terutama dukungan untuk memurtadkan umat Islam, dan mendeteksi adanya ekstremisme Islam dan untuk mengkampanyekan alternatif yang moderat."

Isenthain menambahkan: "Institut digunakan untuk menyoroti ekstremisme Islam, dan mengawasi Arab Saudi dalam penggunaan buku teks pelajaran yang mempromosikan intoleransi agama dan kekerasan," menurut klaim institut.

Direktur Eksekutif Institut menyatakan: "Kita berada di Hudson pada 2009 ini, kami mengungkapkan kekerasan yang dialami oleh orang yang murtad dari agama Islam yang dilakukan para ekstremis keagamaan, dan untuk di Mesir institut berada di gereja St Thomas, sebuah Sinode Kudus dari Gereja Koptik Ortodoks yang telah menyampaikan khotbah tentang situasi ini. "

Hudson Institute, menurut Pusat Hubungan Internasional, merupakan pergerakan dari lembaga sayap kanan Amerika berbasis di New Mexico: "Hudson Institute adalah anggota jaringan link kebijakan lembaga dari kelompok neo-konservatif, di mana kebijakan luar negeri AS yang agresif berpusat pada kepentingan Israel."

Pusat Hubungan Internasional menyatakan juga bahwa aktivis Hudson Institute memiliki sejumlah kewarganegaraan ganda yaitu Israel dan Amerika Serikat, termasuk bekerja sama dengan aktivis dan penentang orang-orang Arab.

Di antara mereka yang menduduki jabatan Sekretaris Institut adalah Richard Perle, yang dikenal sebagai "Pangeran Kegelapan", melakukan kegiatan-kegiatan dalam mengkampanyekan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Timur Tengah dalam rangka untuk mengamankan perbatasan Israel.(fq/imo)

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy adalah pemimpin negara yang terbaik bagi Israel di benua Eropa

Sabtu, 26/12/2009 12:32 WIB Cetak | Kirim

Sumber Zionis menegaskan bahwa Presiden Perancis Nicolas Sarkozy adalah pemimpin negara yang terbaik bagi Israel di benua Eropa, dan merupakan pendukung terbesar Israel sepanjang sejarah presiden Perancis.

Situs "Gan Naim", mengutip pernyataan Hymer yang merupakan pakar urusan internasional Israel, menyatakan bahwa kebijakan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy untuk Israel adalah yang terbaik dibandingkan dengan mantan-mantan kepala negara Perancis sebelumnya.

Menandai 40 tahun imigrasi Yahudi yang tinggal di Perancis menuju Israel, semenjak Sarkozy terpilih menjadi presiden Perancis pada tahun 2007, hubungan antara Paris dan Tel Aviv mengalami perbaikan berbeda dengan para pendahulunya (presiden Perancis sebelum Sarkozy), yang dicirikan oleh situs Gan Naim sebagai kebijakan-kebijakan Perancis yang "dingin" terhadap Israel.

Yang terbaik di Eropa

Hymer menjelaskan bahwa posisi Sarkozy untuk Israel saat ini adalah yang terbaik di benua Eropa, pada setiap hal Sarkozy menjadi pendukung Israel bahkan membela Israel dari ancaman serangan Iran terhadap Israel.

Dalam kesimpulannya Hymer menjelaskan bahwa dukungan yang diberikan oleh orang-orang Yahudi Perancis terhadap Sarkozy dalam pemilihan presiden, karena janji Sarkozy yang berjanji untuk berdiri bersama Israel.

Pada konferensi internasional yang akan berlangsung Senin depan di Tel Aviv yang menandai 40 tahun imigrasi Yahudi yang tinggal di Perancis untuk Israel akan dibahas masa depan hubungan antara Paris dan Tel Aviv, dan cara untuk mendukung mereka.(fq/imo)

Imaji Panorama Ekonomi 2010

[ Sabtu, 26 Desember 2009 ]
Oleh: Agus Suman

BERGANTI tahun tidak berarti semua masalah langsung sirna. Justru harus semakin waspada hingga berbagai pekerjaan rumah khususnya di bidang ekonomi di 2009 ini menjadi "saham" untuk melangkah pada tahun depan.

Di pengujung tahun ini, semua pengamat bersuara nyaris seragam bahwa ekonomi Indonesia pada 2009 belum menghidangkan pencapaian yang mengagumkan. Pekerjaan ekonomi yang ada tersisih bahkan terinjak gunjangan politik.

Salah satu alibi bahwa paras ekonomi 2009 belum memuaskan adalah masa kuratif dari badai krisis global sehingga laju ekonomi belum terpacu pada tingkat yang wajar.

Meski begitu, mengerek tinggi-tinggi optimisme terhadap prospek ekonomi untuk kondisi yang lebih bagus pada 2010 mutlak dilakukan. Meski tentu saja, kibaran optimisme tersebut bergantung pada beberapa syarat.

Pertama, bila pemerintah sanggup mengatasi persoalan laten, yakni sandera energi, terutama listrik. Krisis setrum itu melanda hampir semua kawasan, zona-zona bisnis cukup babak belur dihantam persoalan energi itu. Tidak saja harga listrik untuk industri yang masih tinggi, tersendatnya pasokan juga menjadi mimpi buruk bagi pelaku ekonomi.

Kedua, bila layunya kredit perbankan juga segera bisa diatasi. Bunga kredit yang masih cukup tinggi perlu dicermati. Masih jangkungnya bunga pinjaman turut mempersulit para pelaku ekonomi yang berhasrat ekspansi ataupun memberpesar kapasitas produksi. Jika bunga kredit bisa diturunkan cukup signifikan, pertumbuhan beberapa sektor seperti industri akan kelihatan.

Ketiga, bila ekspor dapat terus dipacu sehingga memberikan ruang yang besar bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan. Tiga syarat itu akan menuntun apakah nanti optimisme ekonomi tersebut bisa terealisasi atau tidak pada 2010.

Karakteristik Persoalan

Tiga persoalan ekonomi di atas, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk belenggu energi, terasa betapa negara ini seolah berdiri pada panggung keironian. Sebagai negara yang kaya sumber daya energi, sungguh aneh bila Indonesia malah mengalami krisis energi.

Berdasar data yang dihidangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tidak dapat dimungkiri bahwa sumber energi yang kita miliki cukup kolosal. Catatan terakhir tentang cadangan potensial minyak bumi kita adalah 4.414,57 million metrik stock tank barel (MMSTB). Untuk gas bumi, cadangannya sebesar 106,01 trillion standard cubic feet (TSCF).

Tapi kenyataannya, memenuhi kebutuhan energi rakyatnya sendiri masih kedodoran. Bahkan untuk listrik, pemadaman aliran listrik menjadi menu utama yang dipersembahkan untuk rakyat.

Warta terbaru mungkin cukup mengembuskan harapan, yakni pergantian pucuk pimpinan pada perusahaan setrum itu. Bahkan, sepak terjang Dirut yang baru dalam menghadapi karut-marutnya perusahaan negara ini layak dinanti.

Selanjutnya, ekspansi kredit pada tahun ini yang berada pada titik terendah. Sampai akhir bulan lalu, statistik perbankan Indonesia mencatat pertumbuhan kredit hanya Rp 69 triliun atau menjadi Rp 1.377 triliun. Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu yang mencapai Rp 1.308 triliun, kedudukan saat ini hanya tumbuh 5,3 persen.

Tentu itu menjadi sketsa getir bagi perbankan. Sebab, angka tersebut anjlok dari target yang ingin dicapai. Nahasnya lagi, pertumbuhan saat ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan 2006. Situasi pada 2006 cukup mencekam dengan kenaikan harga BBM yang mencapai 100 persen, tetapi pada saat yang sama kredit perbankan tumbuh 13,9 persen.

Coba kita lacak, membiaknya kredit perbankan ini, pada 2002 naik 17,3 persen dari total kredit tahun sebelumnya. Kemudian berturut-turut pada 2003, 2004, dan 2005. Uluran perbankan lewat kredit membiak, masing-masing 18,7 persen, 27,0 persen, dan 24,3 persen. Pada 2006 serta 2007 pun, bersemi 13,9 persen serta 26,5 persen hingga pada tahun kemarin kredit perbankan begitu mekar hingga mencapai 30,5 persen.

Sementara itu, masalah ekspor merupakan gabungan dari faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, selama ini Indonesia cukup diuntungkan oleh kenaikan harga internasional untuk komoditas primer, seperti minyak sawit (CPO) dan karet.

Namun, secara internal, pemerintah juga harus berupaya untuk meningkatkan produksi. Sekaligus menyelesaikan kendala yang kerap muncul dalam upaya ini. Perluasan kebun kelapa sawit acap menimbulkan masalah sosial, antara pengusaha sawit dan warga menemui jalan buntu soal ganti rugi lahan.

Karena itu, perbaikan peraturan untuk kepastian hukum mutlak diperlukan agar jika terjadi persoalan pada upaya pembukaan lahan untuk meningkatkan produksi dapat diselesaikan dengan baik serta tidak ada pihak yang dirugikan. Memang sampai saat ini komoditas minyak sawit (CPO) kita cukup gemilang.

Strategi pengembangan yang jelas, khususnya untuk CPO dari pemerintah serta pemberian stimulus bagi pengembangan industri hilir CPO, akan semakin meningkatkan daya saing komoditas tersebut. Sebab, fakta di lapangan, untuk pasar Tiongkok yang mengonsumsi CPO hingga lebih dari 7 juta ton per tahun, CPO Indonesia hanya mampu menyuplai 2 juta ton. Kita kalah bersaing dengan Malaysia yang mampu mengedrop CPO hingga 5,5 juta ton atau menguasai 79 persen pasar Tiongkok.

Semoga berderet optimisme pemerintah untuk kondisi perekonomian yang lebih baik pada 2010, seperti pertumbuhan ekonomi yang diikrarkan Menko Perekonomian mampu tumbuh 5,5 persen, bisa dipegang erat sehingga cerahnya ekonomi tahun depan bisa kita sambut bersama.

*) Agus Suman, guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang

Kantor Syafii Maarif Institute Dibobol Maling

Minggu, 27/12/2009 02:05 WIB
Rachmadin Ismail - detikNews
Jakarta - Kantor Syafii Maarif Institute yang terletak di Jl Muria, Setiabudi, Jakarta Selatan, dibobol maling. Uang Rp 2 juta dan US$ 5.000 raib dari kantor tersebut.

Berdasarkan keterangan penjaga kantor, Budi, pelaku membobol pintu sekitar pukul 23.00 WIB. Saat itu, kondisi kantor memang sedang sepi karena penjaga dan Office Boy sedang tidak masuk.

"Memang ditinggal OB pulang ke Bogor," ujarnya di lokasi, Sabtu (26/12/2009) malam.

Selain uang, pelaku juga mengambil 2 unit komputer dari kantor. Jumlah pelaku berdasarkan kesaksian hansip berjumlah 3 orang menggunakan mobil Honda Jazz.

"Brankasnya dibuang nggak jauh dari lokasi," ujar hansip yang enggan disebutkan namanya tersebut.

Kasus ini ditangani oleh petugas dari Polsek Setiabudi. Sementara pelaku masih terus dikejar. Belum ada keterangan dari kepolisian. (mad/mad)

Puluhan Pulau di Kaltim Rawan Dicaplok Malaysia Tidak Berpenghuni dan Tak Bernama

[ Jum'at, 25 Desember 2009 ]
SAMARINDA - Peringatan bagi pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Berdasar data yang dirilis Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kaltim, sedikitnya 23 pulau di Kaltim rawan dicaplok negara tetangga, Malaysia.

Kepala Balitbang Kaltim Syachrumsya Asri menjelaskan, sangat memungkinkan pulau-pulau tersebut dicaplok negara lain. Selain karena sebagian besar tidak berpenghuni, secara geografis pulau tersebut memang berada di wilayah perbatasan dengan Malaysia. ''Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis untuk mengamankan pulau-pulau tersebut,'' tegasnya.

Kalau tidak, peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan bukan tidak mungkin terulang. ''Apalagi, tidak sedikit pulau itu yang tidak bernama,'' terang Syachrumsyah.

Dia menuturkan, semua pulau yang dimaksud merupakan wilayah Kabupaten Nunukan. Dia menjelaskan, Kabupaten Nunukan terdiri atas 25 pulau. Dua di antaranya adalah pulau besar, yakni Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan. Sebanyak 23 pulau lainnya adalah pulau-pulau kecil yang masuk wilayah Kabupaten Nunukan.

''Nah, 23 pulau itulah yang sedang kami awasi. Semoga data yang kami miliki bisa menjadi acuan bagi pemerintah agar senantiasa memperhatikan wilayahnya, terutama di kawasan perbatasan.''

Karena itu, dia juga berharap seluruh bupati dan wali kota segera menginventarisasi pulau-pulau di wilayah masing-masing. Menurut dia, hal itu harus segera dilakukan, mengingat masih banyak pulau di Kaltim yang belum bernama. (ara/jpnn/ruk)

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

26/08/2008
Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.

Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.

Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.

Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!

Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.

Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya. Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.

Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.

Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran saksi pertama dipanggil, Anick, lalu menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang, atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB, atau berapa banyak massa FPI, para saksi tidak memberi jawaban yang pasti.

Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslim, kan?; Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas, pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.
Lalu, sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: ”Astagfirullah, ini orang kafir!”; ”Dasar kafir, lho!”; ”Beraninya ngaku Islam!”; ”Giliran di sumpah justru pake Qur’an!”; ”Kamu pantas di neraka!”

Bagi saya, paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.

Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila.

Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.

* Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), Jakarta.