Rabu, 19 Mei 2010

Apakah Ulama mengenal Dikotomi Ilmu?

Membangun Keilmuan Integratif Berbasis Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi


Wednesday, January 13, 2010

M. Hasyim Mustamin


Abstrak

Materi Pendidikan Agama Islam merupakan mata kuliah dasar umum (MKDU) yang diajarkan di PTN/PTS pada setiap sesi tahun ajaran baru dimana setiap mahasiswa yang beragama Islam wajib mengikuti dan lulus mata kuliah ini. Kandungan materi pengajarannya memuat tentang aspek-aspek yang bersifat normatif dan doktrinal tentang ajaran dan nilai-nilai islam yang bertujuan untuk diinternalisasikan dan dipraktekkan sehingga betul-betul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri setiap mahasiswa. Adanya mata kuliah ini ternyata memiliki urgensi yang bukan hanya akan memberikan atmosfir religiusitas dalam penguasaan materi perkuliahan ini bagi peserta didik kelak, tapi mata kuliah ini juga bisa hadir menjadi basis awal dalam membangun paradigma keilmuan yang integratif bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi kemungkinan untuk membangun keilmuan integratif berbasis mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi.


Pendahuluan


Situasi perkembangan keilmuan dan teknologi yang begitu pesat nampaknya semakin dirasakan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia modern hari ini. Terjadinya pemilahan dan pemisahan yang begitu kentara diantara disiplin ilmu agama dan umum menjadi fenomena yang jelas terlihat terutama di perguruan tinggi umum. Disiplin ilmu agama tak jarang hanya sebagai pelengkap yang disampaikan secara verbal dengan rote-memorizing sebagai subjek mata kuliah yang harus diikuti oleh mahasiswa. Akibatnya bisa diduga, mata kuliah agama cenderung indoktrinatif hanya untuk diketahui dan dihafalkan agar lulus ujian. Begitu pula dengan disiplin ilmu umum yang cenderung lebih dieksplorasi secara meluas dengan berbagai spesialisasi pengembangannya bisa dikatakan tidak menyentuh sama sekali aspek yang memiliki keterkaitan ataupun hubungan dengan ilmu agama ini. Baik ilmu agama maupun ilmu umum, kedua-duanya berjalan secara terpisah sebagai subjek mata pelajaran yang berdiri sendiri, bahkan proses pengembangan ilmu umum tersebut lebih cenderung pada pola pencapaian prestasi kegunaan dan keilmuan saja atau bisa disebut sebagai ”ilmu untuk ilmu”.

Jika ditelusuri tujuan awal manusia menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya adalah untuk mengetahui, mengawal dan menguasai alam sekelilingnya demi kemaslahatan dan kegunaan dirinya. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern disatu sisi memang diakui telah banyak memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan manusia saat ini. Namun di sisi yang lain ibarat senjata makan tuan, perkembangan ilmu pengetahuan modern justru mengalami degradasi yang mengarah pada terjadinya disharmonisasi diantara sesama manusia dan lingkungannya. Eksploitasi sumber energi alam yang berlebihan, bukan hanya mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dan kerusakan dalam ekosistem kehidupan, tapi juga menjadi sumber bencana alam, konflik, dan terjadinya ketimpangan sosial. Berbagai prestasi penemuan teknologi dan kemampuan untuk melakukan rekayasa ilmiah terhadap sumber nabati dan satwa alam justeru semakin menimbulkan banyak penyakit dan memunculkan berbagai bentuk virus yang mengakibatkan rasa tidak aman dan ketakutan dalam diri manusia. Spesialisasi keilmuan dan penumpukan dalam satu titik ekstrim keahlian yang lebih berorientasi pada lapangan kerja, menimbulkan kurangnya kreatifitas output lembaga pendidikan terhadap tuntutan dan tantangan perubahan. Kesemua fenomena tersebut merupakan pengaruh dari pola dan sistem keilmuan barat yang berlandaskan pada rasio dan empiris serta metode ilmiah yang menafikan peranan wahyu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Meskipun wujud keterkaitan antara disiplin keilmuan yang satu dengan yang lainnya, namun berbagai disiplin keilmuan itu cenderung berjalan secara sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, mata kuliah pendidikan agama islam pada hakikatnya tidak bisa dilihat hanya sebagai subjek mata pelajaran semata, tapi lebih pada bagaimana subjek tersebut berfungsi sebagai induk dari berbagai mata kuliah yang ada agar mahasiswa memiliki kerangka berfikir yang sistemik berdasarkan paradigma dan pandangan hidup islami (islamic world view). Mata kuliah ini bisa menjadi katalisator bagi menjembatani dan menghubungkan setiap aspek dalam disiplin ilmu agama dan ilmu umum sehingga puncaknya adalah mahasiswa mampu memiliki bangunan konsep dan cakrawala ilmu yang integratif.


Kedudukan Pendidikan MK. Agama di Perg. Tinggi


Mata kuliah pendidikan agama (Islam) di Perguruan Tinggi pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk manusia indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan luas dan luwes serta berakhlak mulia, menjadikan ajaran agamanya sebagai landasan berpikir dan berperilaku dalam pengembangan kepribadian dan profesinya . Sebagaimana dalam Keputusan menteri pendidikan nasional nomor 232 tahun 2000, tentang pedoman penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi, pasal 10 ayat 1, mengkategorikan dan memasukkan mata kuliah Pendidikan agama sebagai kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dan merupakan kurikulum inti yang wajib diikuti oleh mahasiswa. Materi ini diberikan 2 jam perminggu atau 2 SKS sebagai salah satu mata kuliah dasar umum (MKDU).

Sebagai mata kuliah dasar umum, keberadaannya secara tidak langsung memiliki kedudukan yang sama dengan mata kuliah dasar umum lainnya sebagai dasar/ basis bagi membangun dan membentuk karakter manusia indonesia yang beriman, berbudaya dan berkepribadian. Mata kuliah pendidikan agama diarahkan kepada proses penghayatan dan internalisasi nilai agama sehingga mahasiswa memiliki komitmen terhadap ajaran agama serta mampu melaksanakan ajarannya secara integral dalam kehidupannya sehari-hari. Mata kuliah ini juga diharapkan dapat menjadi panduan bagi mahasiswa untuk mengembangkan substansi kajian yang lebih kontekstual, kontemporer, diminati dan mendorong mahasiswa untuk mengeksplorasi sumber kajian lebih lanjut melalui kegiatan mandiri atau kerjasama dengan pihak lainnya sehingga dapat menjadikan nilai-nilai Religius sebagai pedoman hidup yang mengantarkan mahasiswa dalam pengembangan profesi dan berkepribadian yang baik (insan kamil).

Beberapa hasil tinjauan di lapangan memperlihatkan bahwa pendidikan agama masih kurang mendapat tempat yang sewajarnya dalam menemukan relevansinya ketika berhadapan dengan mata kuliah umum sehingga tujuan asal pembelajaran dan pengajarannya cenderung terabaikan. Mahasiswa juga kurang menaruh minat terhadap mata kuliah ini karena materinya cenderung dianggap mengulangi pelajaran yang pernah didapatkan di peringkat pendidikan sebelumnya. Begitu pula sistem pengajaran dan pembelajarannya terpusat pada pembahasan yang lebih bersifat idealistik, legalistik dan normatif dengan menggunakan pendekatan yang bersifat indoktrinatif, monologis dan tidak partisipatif.

Oleh yang demikian, ada tiga fenomena yang dapat dicermati dalam melihat pola hubungan atau relasi mata kuliah pendidikan agama dan pendidikan umum di perguruan tinggi. Pertama, relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), yaitu mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran atau mata kuliah yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak harus saling berkonsultasi. Kedua, relasi yang bersifat lateral-sekuensial yang berarti bahwa diantara masing-masing mata pelajaran atau mata kuliah tersebut mempunyai hubungan sederajat yang saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal–linier berarti memadukan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata kuliah yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikal linier dengan agama .

Konsepsi Integrasi Ilmu

Konsep integrasi atau kesatuan secara etimologis membawa maksud bersatu, saling bercantum dan bersama; bukan terpisah, terasing atau terpencil. Integrasi ilmu sangat erat kaitannya dengan konsep pendidikan integratif yang boleh terjadi dalam berbagai bentuk dan dimensi. Konsep integrasi ilmu tersebut akan berkaitan secara langsung dengan kesatuan intra (dalam satu mata pelajaran atau disiplin ilmu) ataupun kesatuan inter (kesatuan multidisiplin). Untuk membangun keilmuan integratif berbasis mata kuliah agama islam tentunya memerlukan satu desain pemikiran yang sesuai dengan corak dan paradigma keilmuan islam. Dan sebelum integrasi keilmuan tersebut dapat dibuat, keragaman konsep integrasi ilmu seharusnya ditelusuri secara teliti dan kritis supaya keilmuan integratif yang dibangun benar-benar berlandaskan di atas dasar kefahaman yang jelas terhadap konsep integrasi ilmu.
Menurut Fogarty (1995) integrasi ilmu boleh didefinisikan sebagai satu proses untuk menyatukan ilmu baik secara intra atau inter atau gabungan antara keduanya. Konsep integrasi antara berbagai disiplin ilmu turut digunakan oleh Piaget (1972), Jacobs (1989), Clark dan Agne (1997), Drake (1998) dan Kellough dan Roberts (2000). Ingram (1979) menyatakan bahwa integrasi ilmu mempunyai tiga fungsi dasar yaitu fungsi epistemologis, psikologis dan sosial. Menurutnya lagi integrasi ilmu pada hakekatnya berkaitan dengan proses pengembalian asas-asas ilmu dalam pengalaman manusia dan menjadikan bangunan ilmu tersebut bermakna dalam kehidupan dengan melibatkan empat permasalahan utama iaitu struktur ilmu, artikulasi subjek, keluasan ilmu dan penyusunan progresif terhadap kandungan ilmu.

Menurut Shoemaker (1989), integrasi ilmu dapat menimbulkan minat dan kegembiraan kepada mahsiswa khususnya apabila mereka dapat membuat perkaitan antara berbagai kandungan ilmu dalam satu jaringan yang bermakna. Keperluan kepada integrasi ilmu menjadi semakin mendesak pada saat ini untuk menghadapi era ledakan informasi (Ingram, 1979). Hasil dari perkembangan tersebut, manusia pada hari ini mengetahui banyak hal dan informasi. Namun kebanyakan yang diketahuinya itu hanyalah tumpukan informasi yang saling terpisah dan tidak begitu membantu untuk memahami hakekat kehidupan mereka. ini terjadi karena informasi atau ilmu yang diperolehi tidak dapat disusun secara sistematik dalam satu kerangka yang jelas dan holistik dan seterusnya gagal memberikan makna kepada pemiliknya.

Kesadaran mulai muncul di kalangan tokoh-tokoh pendidikan Barat seperti Titus (1995) yang menyatakan bahwa konsep ilmu yang terpisah-pisah dan hanya bersandarkan kepada rasio (akal), empiris serta kaedah saintifik telah menghasilkan manusia yang tidak berakhlak. Masyarakat modern kita lebih banyak yang menderita akibat nilai negatif yang diakibatkan oleh konsep ilmu yang ada sekarang. Pemikir-pemikir Barat sebenarnya tidak senang dengan aspek peradaban mereka yang nampak mulai ganas, tamak, angkuh, terlalu bersifat kebendaan, terlalu bergantung kepada kemampuan akal dengan mengenepikan agama dan nilai-nilai kerohanian. Sebahagian daripada mereka menginginkan pembentukan satu epistemologi dan paradigma baru. Mereka berpendapat teori ilmu pengetahuan atau 'epistemologi' yang ketandusan elemen rohani dan konsep Maha Pencipta perlu dilihat semula.

Dalam pandangan alam Islam, ilmu boleh dibagi kepada beberapa pembahagian dan boleh dilihat dari berbagai sudut dimensi yang akhirnya membentuk sistem klasifikasi dan hierarki ilmu. Beberapa pemikir Islam dulu dan kontemporer telah menformulasikan beberapa bentuk klasifikasi ilmu. Osman Bakar (1992) menyatakan bahwa klasifikasi ilmu yang terkenal ialah yang dibuat oleh Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ikhwan Al-Safa, Ibn Sina (980 – 1037 M), Al-Ghazali (1058 – 1111M) dan Ibn Khaldun (1332 – 1406 M). Konfrensi Pendidikan Islam Sedunia yang Ke-2 (1980) telah menyetujui untuk mengklasifikasikan ilmu kepada dua kategori utama yaitu ilmu abadi dan ilmu dicari. Ilmu abadi ialah ilmu yang bersumber dari wahyu dan menjadi asas bagi perkembangan roh manusia. Manakala ilmu dicari ialah ilmu yang diperoleh melalui hasil usaha dan kemampuan akal manusia dan menjadi asas bagi pembangunan hidup di dunia. Klasifikasi ini menggabungkan tiga sumber realitas iaitu realitas al-Quran, realitas akal dan realitas alam semesta ke dalam satu bentuk kesatuan yang harmoni dan integral. Ini dibuat untuk menjaga peradaban Islam dari kehilangan identitasnya di bawah pengaruh ilmu yang sudah disekulerkan.

Usaha integrasi ilmu sebelumnya telah digagas oleh beberapa orang tokoh terkemudian seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849–1905), Rashid Ridha (1849–1905) dan lain-lain. Walau bagaimanapun, Konferensi Pendidikan Islam Sedunia yang Pertama di Mekah pada tahun 1977 merupakan titik tolak yang penting dalam usaha memperbaharui usaha integrasi ilmu yang berlandaskan tauhid dan membedakannya dengan konsep integrasi ilmu menurut perspektif Barat. Dalam konferensi tersebut, para cendikiawan Islam sepakat bahwa integrasi ilmu yang dituntut dan perlu segera dilakukan adalah untuk menghadapi faham dualisme dan sekularisme ialah integrasi ilmu naqli atau ilmu warisan Islam dengan ilmu aqli atau ilmu sains kontemporer. Antara mereka yang terlibat secara aktif dalam usaha tersebut ialah Ismail Raji al-Faruqi, Syed Hussain Nasr, Syed Ali Ashraf, Taha Jabir al-Alwani, Abu Hamid Sulayman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar, Wan Mohd Noor Wan Daud, Luaiy Safi dan lain-lain.

Walaupun mereka pada prinsipnya menyetujui bahwa integrasi ilmu yang perlu diusahakan ialah integrasi antara ilmu naqli dan aqli, namun mereka berbeda pandangan dari sudut pendekatan dan cara perlaksanaannya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh pandangan terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan epistemologi ilmu dan implikasinya kepada sistem pendidikan.

Konstruksi Dasar Keilmuan Integratif

Membangun keilmuan integratif berbasis pendidikan agama (islam) pada hakikatnya merupakan suatu upaya agar dapat menemukan pondasi kokoh bagi mempertemukan ilmu agama dan umum di perguruan tinggi. Jika ditinjau dari perspektif islam, baik ilmu agama maupun ilmu umum adalah berasal dari satu sumber sang pemilik kebenaran sejati (al-haq) yaitu Allah SWT. Sebagai kebenaran sejati, tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya termasuk realitas ilmu. Pengakuan dan Penyaksian terhadap kebenaran wujud-Nya merupakan syarat /modal utama dalam menemukan kebenaran ilmu yang hakiki.

Terjadinya pemilahan ke dalam kedua kelompok ilmu agama dan umum sebenarnya lebih disebabkan pada proses pemerolehan ilmu yang mendasarinya. Ilmu agama didasarkan pada otoritas wahyu yaitu al-Qur’an dan hadis. Sedangkan ilmu umum didasarkan pada alam semesta yang terhampar luas pada adanya sistem makrokosmos maupun mikrokosmos. Dengan demikian, cara atau metode yang digunakan untuk menyelidiki kedua ilmu-ilmu tersebut tentu juga berbeda. Ilmu agama dikembangkan berdasarkan pada al-Qur’an dan hadist, sedangkan ilmu umum dikembangkan berdasarkan hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Baik al-Qur’an maupun alam semesta keduanya adalah sebagai tanda-tanda (ayat) Tuhan yang berfungsi sebagai sumber ilmu. Justeru sangat jelas bahwa ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sebenarnya memiliki objek kajian yang sama baik yang bersifat naqliyah yang bersumber dari wahyu maupun yang berasal dari hasil penalaran akal dan pengamatan empiris. Hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat yang bersifat qauliyah (al-Qur’an) yang difirmankan oleh Allah melalui Nabi-Nya, yang kedua adalah ayat-ayat yang bersifat kauniyah yang dapat diserap dan dicerna secara langsung oleh panca indera.

Disinilah kedua macam kelompok ilmu tersebut menemukan basis integrasinya sebagai sama-sama ayat Allah yang wujud berupa kitab suci dan alam semesta yang tidak boleh dilihat secara terpisah apalagi bertentangan. Al-Qur’an dan alam semesta ini memiliki hubungan yang sama dengan sumber-Nya yang sudah barang tentu keduanya memiliki sakralitas, sifat dan karakter berbeda dimana harus ditempatkan sesuai dengan proporsi tujuan penciptaannya masing-masing. Al-Qur’an bersifat verbal dalam bentuk tertulis dan bersifat universal, sedangkan alam semesta wujud dalam bentuk realitas-realitas fisik dan nonfisik merupakan sumber pengetahuan yang bersifat teknis. Oleh itu, kandungan ilmu didalam al-Qur’an yang bersifat universal itu bisa didapati secara lebih terperinci hakikat maknanya secara teknis dengan membuat observasi, eksperimen dan penalaran logis terhadap alam semesta. Pada tataran ini sangat penting adanya hierarki dan klasifikasi dari kedua bentuk kelompok ilmu tersebut agar bisa diposisikan sesuai dengan kedudukannya terhadap kepentingan dan prioritasnya yang tidak bisa diberi penekanan yang sama. Ini berarti bahwa al-Qur’an dan hadist harus ditempatkan sebagai sumber segala ilmu pengetahuan dimana kedudukannya tidak boleh disejajarkan secara sama rata dengan sumber ilmu pengetahuan lainnya.

Berdasarkan pada kerangka ini bermakna mata kuliah pendidikan agama tidak boleh hanya dilihat sebagai materi kuliah yang memiliki kesejajaran dan kedudukan yang sama dengan mata kuliah ilmu umum yang lain. Mata kuliah pendidikan agama harus berfungsi sebagai pembuka wawasan mahasiswa bagi terbentuknya sistem berfikir yang menggunakan paradigma islam (islamic world view) yang berbeda dengan corak dan sistem berfikir barat. Dengan terbentuknya konsep pandangan hidup islam dengan pandangan metafisika yang sistematis, para mahasiswa akan dengan mudah mengidentifikasi isu-isu sebagai konsep metafisika dan epistemologi yang bukan berasal dari pandanga hidup dari tradisi pemikiran islam. Justeru itulah kepentingannya menghadirkan kurikulum yang berisi elemen-elemen yang dapat membentuk pandangan hidup islam, didalamnya metafisika dan epistemologi islam dikonseptualisasikan dan dituangkan dalam mata kuliah wajib bagi semua fakultas sehingga pendidikan ilmu agama benar-benar bisa menjadi konstruksi dasar bagi semua disiplin ilmu.

bersambung......

Peradaban Islam I (Telaah atas Perkembangan Pemikiran dan Tradisi Keilmuan)

 Para ahli umumnya berpendapat bahwa pemikiran Islam yang kemudian terkait erat dengan fungsi kesarjanaan atau keulamaan, telah dirintis dan dikembangkan sejak saat yang sangat dini dalam sejarah Islam. Di antara tokoh-tokoj Islam yang terlibat dalam usaha perintisan dan pengembangan itu, dua nama patut disebutkan di sini, yaitu Abdullah bin 'Umar (Ibnu Umar) dan Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas). kemunculan dua Abdullah ini sangat menarik dicermati berkaitan dengan fenomena--atau mungkin lebih tepat, perasaan traumatis--akibat perpecahan (politik) di kalangan umat Islam dengan sikap saling mengkafirkan pada masa-masa awal setelah Rasulullah saw wafat.