Rabu, 19 Mei 2010

Peradaban Islam I (Telaah atas Perkembangan Pemikiran dan Tradisi Keilmuan)

 Para ahli umumnya berpendapat bahwa pemikiran Islam yang kemudian terkait erat dengan fungsi kesarjanaan atau keulamaan, telah dirintis dan dikembangkan sejak saat yang sangat dini dalam sejarah Islam. Di antara tokoh-tokoj Islam yang terlibat dalam usaha perintisan dan pengembangan itu, dua nama patut disebutkan di sini, yaitu Abdullah bin 'Umar (Ibnu Umar) dan Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas). kemunculan dua Abdullah ini sangat menarik dicermati berkaitan dengan fenomena--atau mungkin lebih tepat, perasaan traumatis--akibat perpecahan (politik) di kalangan umat Islam dengan sikap saling mengkafirkan pada masa-masa awal setelah Rasulullah saw wafat.

Abdullah bin Umar yang bermukim di Madinah menyatakan diri netral dari pertikaian (politik) segitiga antara para pengikut Ali bin Abi Thalib di Kufah (Irak), Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Damaskus (Syam atau Syiria), dan Ahl al-Syura (para pembela prinsip musyawarah, kaum "Demokrat") yang berpangkal di al-Harura dekat Kufah (karena itu semula mereka disebut al-Haruriyyun, tapi kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij, kaum "Penyebal" atau "Protestan", karena protes-protes mereka). Sebagai ganti dari pelibatan diri dalam politik--meskipun akhirnya menataati Mu'awiyah namun tetap bersikap kritis--Abdullah bin Umar mencurahkan perhatian kepada praktek-praktek baku di kalangan kaum beriman, khususnya di kalangan penduduk MAdinah yang dipandang sebagai secara langsung melanjutkan praktek-praktek Rasulullah saw. KArena itu, Abdullah bin Umar dipandang sebagai perintis kajian tentang sunnah (tradisi), khususnya yang berkaitan dengan Nabi saw.
Sementara itu, Abdullah bin Abbas banyak mencurahkan perhatian pada bidang tafsir Alquran. Meskipun tanpa kepribadian yang amat mengesankan seperti Abdullah yang pertama, Abdullah yang kedua ini juga dianggap pelopor tumbuhnya institusi keulamaan dalam Islam, sekaligus berarti pelopor kajian mendalam dan sistematis tentang agama ISlam. Bersamaan dengan itu, mereka juga sering disebut sebagai moyang golongan sunni atau ahluss sunnah waljamaah.

Besaram Konnflik dan Upaya Rekonsiliasi

Seperti telah umum diketahui, isu keagamaan yang pertama muncul setelah malapetaka besar, yakni pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ke- II, ialah persoalan nasib atau hukum orang yang berdosa besar: apakah masih beriman atau sudah menjadi kafir. Bani Umayyah di Damaskus mengatakan orang itu masih beriman, meskipun fasiq, sedngkan lawan-lawan mereka mengatakan, khususnya kaum Khawarij, menagatakan ia telah menjadi kafir dan halal darahnya, serta harus diperangi. Isu itu membawa serta persoalan sampai di mana manusia bebas atau tidak bebas menentukan perbuatannya sendiri dan menimbulkan pertentangan antara kaum Jabbari melawan kaum Qadari. Bani Umayyah menganut faham Jabbariyah yang memandang manusia tak berdaya di hadapana taqdir Tuhan, dan lawan-lawan mereka, khususnya Khawarij, menganut faham Qadariyah yang memandang manusia mampu memilih dan menentukan sendiri perbuatannya, karena itu sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Tahap amat penting berikutnya dalam perkembangan dan tradisi keilmuan Islam ialah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroastrianisme--khususnya Mazdaisme, serta Yahudi dan Kristen) dan Hellenisme. Yang terakhir ini berpengaruh kepada pemikiran Islam ibaratkan pisau bermata dua: ia mendukung Jabbariyah (antara lain oleh Jahm bin Shafwah), dan juga mendukung Qadariyah (antara lain oleh kaum Washil bin Atha', pendiri paham Mu'tazilah yang sering disebut sebagai penjelmaan kembali paham Khawarij). Usaha menengahi kedua pandangan yang berlawanan itu pun dilakukan dengan banyak menggunakan argumen-argumen Hellenis, khususnya filsafat Aristoteles. Penengahan itu antara lain, dan yang paling utama, dilakukan oleh Abul Hasan Al-'Asy'ari, dan al-Maturidi yang juga menggunakan unsur Hellenisme.
Sudah sejak masa yang amat dini kaum Muslimin berusaha mengasimilasi bahan-bahan budaya dari bangsa-bangsa yang mereka perintah. Penerjemahan karya-karya Yunani kuno sudah dirintis oleh seorang anggota bani Umayyah, Khalid bin Yazid di Syiria, dan mencapai puncaknya pada zaman BAi Abbas di masa kekhalifahan Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Ma'mun. Sebagai peserta aktif dan produktif dalam kebudayaan Arya, orang-orang Persi (yang Aryan itu) memainkan peranan amat menonjol dalam penyebaran dan pengembangan filsafat. KEcenderungan mereka untuk menerapkan interpretasi metaforis dan alegoris kepada ajaran-ajaran agama mendapatkan penalaran intelektualna dalam filsafat Yunani, khususnya unsur-unsur Neoplatonisme dalam karya-karya Porphyry, Plotinus, dan Yahya al-Nahwi. Aristoteles sendiri mengambil bagian amat besar dalam mempengaruhi keilmuan ISlam melalui silogisme atau ilmu manthiq-nya.
Tetapi ternyata untuk kebanyakan ulana bahwa Hellenisme dapat membahayakan agama. Interpretasi metaforis, seperti yang dilakukan oleh, misalnya, Ibn Sina dapat berakhir dengan interpretation away ajaran-ajaran pokok Islam. Mereka ini tidak menerima makna-makna luar firman Tuhan atau sabda Nabi, dan melakukan i'tibar, atau menyeberang ke balik makna-makna luar untuk menemukan makna-makna dalam. Maka mereka disebut al-Bathiniyyah, kaum kebatinan. KArena itu filsafat juga memberi bahan yang subur bagi berbagai interpretasi esoteris ISlam seperti yang ditunjukkan oleh perkumpulan Ikhwan Ashshfa, suatu perkumpulan Neoplatonis Islam. KArena pendekatan serupa itu dapat berakibat kepada semacam relativisme yang bisa mengendorkan pesan mral ajaran-ajaran agama. maka banyak dari kalangan para ulama yang bangkit menghadapi mereka. Salah seorang yang paling terkemuka ialah Ghazali. Ia berusaha menghancurkan filsafat, khususnya dengan bukunya yang amat terkenal Tahafut al-falasifah, di samping berusaha menangkis argumen-argumen kaum kebatinan, khususnya seperti yang diwakili oleh Syi;ah Sab'iyah. Kendati begitu, al-Ghazali memainkan peranan rekonsiliasi antara eksoterisme dan esoterisme dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar