Rabu, 22 September 2010

Sebelas Tahun Perjalanan UU Pers

Kamis, 23 September 2010 | 03:29 WIB
OLEH ATMAKUSUMAH
Hari ini, 11 tahun yang lalu, Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang ditandatangani dan disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, pas 10 hari setelah disetujui dalam Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat.

Pergeseran Pola Terorisme

Kamis, 23 September 2010 | 03:28 WIB
Oleh Noor Huda Ismail
Siapa dan apa motif di balik penyerangan yang membabi buta di Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga kemarin malam masih diselidiki pihak kepolisian.

Pertumbuhan dan Kemiskinan

Kamis, 23 September 2010 | 03:25 WIB
Oleh Robert B Zoellick
Diadopsinya upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) secara global satu dekade lalu didasari semangat untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi

Kamis, 23 September 2010 | 03:22 WIB
Oleh Idham Arsyad

Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.

Simalakama Inpres Beras

Rabu, 22 September 2010 | 03:34 WIB
Oleh Mochammad Maksum Machfoedz
Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman.
Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.
Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.
Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.
Inpres No 7/2009
Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.
Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.
Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.
Besaran HPP
Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.
Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.
Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.
Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.
Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.
Proporsionalitas
Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.
Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.
Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.
Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.
HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan.
Mochammad Maksum Machfoedz Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP-UGM
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/22/03344820/simalakama.inpres.beras

Kemiskinan Turun, Kelaparan Naik

Rabu, 22 September 2010 | 03:46 WIB
OLEH IVAN A HADAR
Pada 8 September 2000, lewat MDGs, PBB mencetuskan sebuah janji ambisius untuk mengurangi kemiskinan global menjadi separuh dibandingkan dengan kondisi pada 1990.

Kemanjaan Politisi Kita

Rabu, 22 September 2010 | 03:46 WIB
Oleh Djohan Effendi
Belum lama ini media massa memberitakan polah politisi muda bangsa kita yang bisa membuat kita geleng- geleng kepala.

Cerita dari Blora

Rabu, 22 September 2010 | 03:35 WIB
Oleh Frenky Simanjuntak
Dalam kumpulan cerita pendeknya, Pramoedya Ananta Toer bertutur tentang kesengsaraan yang dihadapi oleh rakyat Blora pada masa penjajahan dan sesudah kemerdekaan.

Memudarnya "Virtue"

Rabu, 15 September 2010 | 04:44 WIB
Airlangga Pribadi
Komitmen setiap warga maupun elite dalam aktivitas politik untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan personal adalah hal esensial untuk merawat keadaban republik dan memberi makna terhadap demokrasi. 

AS dan Kebebasan Beragama

Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB
Muhamad Ali
Kontroversi pembangunan pusat Islam di dekat Ground Zero—tempat serangan teroris 11 September 2001— membuat Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang beragama Protestan harus angkat bicara. Wali Kota New York Michael Bloomberg, yang beragama Yahudi, sebelumnya mendukung.

"Ukhuwwah Islamiyyah" dalam berhukum

Rabu, 15 September 2010 | 04:43 WIB
Moh Mahfud MD
Beberapa waktu yang lalu seorang kawan lama yang saat mahasiswa aktif bersama saya di Himpunan Mahasiswa Islam datang kepada saya untuk meminta tolong agar, atas nama ukhuwwah islamiyyah, saya membantu memenangkan seorang calon kepala daerah yang sedang beperkara di Mahkamah Konstitusi.

Negara dan Nasib Peneliti

Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB
Asvi Warman Adam
Ketika hubungan antara Indonesia dan Malaysia agak memanas belakangan ini, terbetik pula berita bahwa negara jiran itu mencari para peneliti Indonesia dalam bidang ilmu dasar. Gaji yang ditawarkan sekitar 40 juta rupiah per bulan, sepuluh kali lipat gaji di Indonesia.