Rabu, 22 September 2010

Negara dan Nasib Peneliti

Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB
Asvi Warman Adam
Ketika hubungan antara Indonesia dan Malaysia agak memanas belakangan ini, terbetik pula berita bahwa negara jiran itu mencari para peneliti Indonesia dalam bidang ilmu dasar. Gaji yang ditawarkan sekitar 40 juta rupiah per bulan, sepuluh kali lipat gaji di Indonesia.

Saat ini, seorang peneliti senior bergelar profesor riset golongan IV E dan telah berdinas selama lebih dari 25 tahun pada lembaga penelitian nasional di Indonesia hanya memperoleh penghasilan 4 jutaan rupiah sebulan. Itu sudah termasuk tunjangan fungsional profesor riset Rp 1,4 juta per bulan. Sementara itu, seorang profesor di perguruan tinggi memperoleh gaji dan tunjangan di atas Rp 10 juta.
Kementerian Keuangan yang mencetak uang dan menghasilkan uang (antara lain dari pajak) memperoleh gaji sekian kali lipat daripada kementerian lain. Demikian pula pegawai negeri di sekeliling Presiden, yakni lingkungan Sekretariat Negara memiliki tunjangan sampai Rp 36,77 juta sejak 1 Januari 2009. Walaupun atas nama reformasi birokrasi, ketidakadilan dan ketimpangan di kalangan pegawai negeri sipil itu bisa menjadi bom waktu di kemudian hari.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat peduli terhadap pendapatan Ketua Mahkamah Agung dan anggotanya. Beberapa tahun silam, dinilai gaji Ketua MA paling rendah dibandingkan dengan gaji pejabat tinggi negara lain sehingga perlu dinaikkan. Perhatian yang besar juga diberikan dalam upaya menaikkan gaji pejabat pemerintah, terutama yang bertugas dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Gaji anggota Komisi Pemberantasan Korupsi jauh lebih tinggi daripada pegawai negeri sipil. Gaji Dewan Gubernur Bank Indonesia jangan ditanya lagi, mungkin bisa dibandingkan dengan gaji Dewan Direktur VOC tempo dulu.
Dalam hal penetapan gaji, kriterianya menurut Presiden adalah ”bobot tugas, tanggung jawab, dan nilai aset yang dikelola”. Namun, kriteria itu sendiri masih perlu dipertanyakan. Terkesan bahwa kenaikan gaji lebih dikaitkan pada ihwal penyogokan. Pejabat yang memiliki potensi disogok semakin besar, semakin besar pula gajinya (agar ia tidak mempan disogok). Jika kriteria itu ditafsirkan demikian, pegawai negeri yang bergerak dalam bidang yang tidak kalah pentingnya bagi negara dan bangsa, seperti penelitian, cukuplah diberi gaji atau tunjangan yang kecil saja.
Apakah seorang peneliti yang menciptakan mobil listrik untuk menghemat energi (meski sampai sekarang belum bisa dipasarkan secara besar-besaran) memiliki jasa yang rendah dibandingkan dengan seorang hakim yang memutuskan perkara di pengadilan? Apakah seorang peneliti tentang daur ulang sampah tidak dianggap berjasa dibandingkan dengan seorang jaksa? Apakah hasil pekerjaan peneliti sosial tentang konflik di Tanah Air tidak dipandang berharga ketimbang studi banding anggota DPR?

Nyaris tidak naik
Kenaikan tunjangan fungsional peneliti yang signifikan terjadi tahun 1983 ketika BJ Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Habibie adalah satu-satunya menteri yang peduli dengan kesejahteraan peneliti dan memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto sehingga kebijakan tersebut bisa terwujud. Pada tahun 1983 tunjangan fungsional ahli peneliti utama (APU) sebesar Rp 900.000, dua kali lipat lebih besar daripada tunjangan pejabat tinggi eselon I. Namun, dalam tempo 27 tahun kemudian sampai hari ini, tunjangan itu hanya mengalami kenaikan Rp 500.000 menjadi Rp 1,4 juta per bulan.
Pada Hari Teknologi Nasional tahun 2008 telah diusulkan agar tunjangan peneliti itu dinaikkan 10 kali lipat (tunjangan peneliti yang paling rendah adalah peneliti pertama sebanyak Rp 350.000 per bulan naik menjadi Rp 5 juta). Saat itu Presiden langsung memerintahkan Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Riset dan Teknologi, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk merealisasikannya. Dalam pidato di depan Sidang Paripurna DPR tanggal 15 Agustus 2008, Presiden Yudhoyono juga menyinggung tentang kesejahteraan peneliti.
Tulisan ini bukan bertujuan mengemis-ngemis. Dengan gaji yang ada sekarang, sesungguhnya peneliti di seluruh Indonesia masih bisa bertahan hidup walaupun dengan melakukan pekerjaan sampingan, menulis atau berbicara di seminar dan mengajar di sejumlah universitas. Namun, rasa keadilan itu perlu diketengahkan juga. Di sisi lain, hal ini akan memperburuk citra Presiden Yudhoyono apabila tidak menunaikan janjinya. Sekaligus bisa memberikan indikasi bahwa Presiden ternyata tidak peduli kepada profesi peneliti.

Asvi Warman Adam  Peneliti LIPI selama 27 tahun
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/15/0442498/negara.dan.nasib.peneliti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar