Rabu, 22 September 2010

Memudarnya "Virtue"

Rabu, 15 September 2010 | 04:44 WIB
Airlangga Pribadi
Komitmen setiap warga maupun elite dalam aktivitas politik untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan personal adalah hal esensial untuk merawat keadaban republik dan memberi makna terhadap demokrasi. 

Saat kembali ke titik fitri adalah saat yang tepat untuk merenungkan bahwa kebebasan kita sebagai warga dan ikrar untuk hidup bersama sebagai bangsa dalam memperjuangkan yang baik dan adil untuk semua membutuhkan rangkaian tindakan virtue (keadaban publik) setiap orang untuk merawatnya.
Virtue sebagai keadaban publik untuk kebaikan bersama menjadi penting di tengah kerisauan, saat kita menyaksikan ruang politik jadi sekadar ajang transaksi kepentingan personal. Menekankan pentingnya virtue dalam perjalanan demokrasi menjadi penting dalam dialektika republik ketika politik untuk merajut kebaikan bagi setiap warga negara makin tidak terdengar.
Maka, jawaban akan pertanyaan apa yang salah dalam perjalanan republik kita saat ini, apa yang terlihat kurang elok di mata publik sekarang adalah hilangnya virtue. Dalam tradisi politik civic republicanism yang dibangun para filsuf politik dari Aristoteles, Cicero, sampai Hannah Arendt, virtue adalah aktivitas dan nalar praktis yang bagi elite pemimpin dimaknai sebagai prinsip kepemimpinan dan bagi warga negara dimaknai sebagai komitmen publik meletakkan kebaikan warga sebagai keutamaan berdasarkan prinsip keseimbangan dan kesetaraan, kebebasan, dan kebaikan bersama.
Seperti diuraikan Iseult Honohan (2002) dalam Civic Republicanism ketika menyarikan prinsip-prinsip keutamaan virtue menekankan pentingnya lima prinsip. Pertama, prudentia (bijak), yaitu nalar praktis yang membawa pemimpin maupun warga negara meletakkan kebaikan bersama di atas kepentingan personal. Kedua, fortitudo (berani), yaitu keberanian pemimpin mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan nasional di atas kepentingan lainnya. Ketiga, decorum (moderasi) kemampuan bersikap seimbang berdasarkan situasi yang berubah. Keempat, justisia (adil) kemampuan bertindak imparsial, jujur, dan menekankan pada prinsip kesetaraan sebagai nakhoda bagi setiap kebijakan politik. Kelima, conscienza (peduli) bahwa kebaikan setiap orang akan terangkai menjadi kebaikan bersama dalam semangat kepedulian.
Membicarakan pentingnya virtue akan membawa kita pada keinsafan bahwa kebebasan tanpa keadaban publik akan memicu munculnya hasrat predatoris dari mereka yang kuat secara ekonomi dan politik untuk menghantam yang lemah. Hadirnya tatanan bebas tanpa keinsafan terhadap kepentingan publik hanya akan menjadikan arena demokrasi sebagai ajang perkulakan mereka yang kuat secara finansial maupun politik.
Keadaban publik
Gagasan civic-republicanism yang meletakkan keutamaan virtue dalam perbincangan publik banyak mengundang kontroversi dan perdebatan. Bagi kalangan yang menolak pentingnya civic-virtue, mereka memandang bahwa tanggung jawab warga (civic duty) dan komitmen membangun keadaban berbenturan dengan kebebasan setiap warga negara yang memiliki hak untuk memilih aktivitasnya. Gagasan civic republicanism tentang pentingnya virtue dianggap menuju tatanan tirani dan autarki.
Penolakan terhadap jalan republikan ini dapat dijawab dengan argumentasi bahwa konstruksi politik bernegara bukanlah tatanan politik yang dapat kita bangun dan kita abaikan begitu saja. Apabila kita tidak menginginkan demoralisasi politik, kehidupan politik bernegara tidak dapat kita serahkan begitu saja kepada para politisi atau elite politik dan bersikap pasif sebagai penonton.
Relevansi komitmen aktif warga negara dalam aktivitas virtue justru menjadi penting untuk menjamin dan merawat kebebasan yang telah kita perjuangkan dan keadilan yang kita cita-citakan. Saat virtue dan komitmen aktif warga hilang dari diskursus politik, kita sama-sama menyaksikan warga negara yang tidak memperoleh hak untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya (sebagai manifestasi dari hak konstitusional) saat rumah-rumah ibadah dibakar dan dihancurkan tanpa adanya tindakan tegas oleh negara.
Kita juga masih melihat bagaimana kelompok bersenjata yang mengatasnamakan agama dapat beraktivitas dengan bebas di republik ini.
Simbol pengingkaran
Saat gairah politik warga dan hasrat untuk menegakkan kebaikan bersama dalam ruang politik lemah terdengar, kita menyaksikan bagaimana para elite politik (wakil rakyat) merencanakan pembangunan gedung DPR baru yang mewah. Bangunan itu akan menjadi simbol pengingkaran para wakil rakyat terhadap konstituennya, monumen yang secara jelas menandai hilangnya kepedulian (conscienza) legislator terhadap nasib rakyat.
Kita menyaksikan bagaimana prinsip justisia sebagai prinsip dasar virtue tidak tegak dalam kepemimpinan republik ini. Eksploitasi sumber daya alam dilegalkan tanpa mempertimbangkan keadilan dan kepentingan warga di Papua, Aceh, Buyat, dan tempat-tempat lain. Kesengsaraan warga Sidoarjo akibat lumpur Lapindo tidak kunjung selesai akibat hilangnya kemampuan menahan diri dan keberadaan kepentingan personal di atas kebaikan publik.
Segenap pengabaian terhadap apa yang penting bagi kebaikan bersama dalam kehidupan republik ini agaknya menjadi catatan penting untuk berefleksi, bahwa kemerdekaan dan kebebasan yang telah kita capai dalam aktivitas bernegara hanya bisa dipertahankan dengan hadirnya komitmen aktif (virtue) setiap warga negara untuk merawatnya. Demokrasi sebagai arena politik yang menghadirkan kebebasan warga negara membutuhkan jalan republiken untuk memberi makna bagi kebaikan bersama setiap warga Indonesia.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator Serikat Dosen Progresif
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/15/04441016/memudarnya.virtue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar