Rabu, 22 September 2010

Pergeseran Pola Terorisme

Kamis, 23 September 2010 | 03:28 WIB
Oleh Noor Huda Ismail
Siapa dan apa motif di balik penyerangan yang membabi buta di Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga kemarin malam masih diselidiki pihak kepolisian.

Namun, imajinasi publik cenderung menghakimi kelompok tertentu, terutama jaringan teror yang menurut polisi sekarang ini dikontrol oleh anak pensiunan kolonel TNI, Abu Tholut (49).
Fakta di lapangan juga menunjukkan adanya friksi dalam tubuh internal kepolisian dan kecemburan yang tinggi dari pihak militer—yang notabene juga punya akses senjata—terhadap peran polisi yang berlebihan. Polisi menempati pos-pos strategis di pemerintahan yang berimbas pada perebutan ”proyek” keamanan di berbagai sektor bisnis di masyarakat.
Dengan mudah pihak kepolisian memang akan merujuk rekam jejak kelompok teror seperti kelompok Abu Tholut. Bagi kelompok ini, menjadikan polisi target serangan bukanlah pola baru.
Misalnya, pada tahun 2005, sempalan anggota Kompak di bawah komando Asep Djaja menyerang pos brimob di Loki, Seram. Dalam wawancara, Asep menjelaskan bahwa aksi mereka didasari oleh keinginan untuk qishos (membalas) aparat kepolisian yang menurut dia lebih berpihak kepada kelompok lawan mereka ketika konflik komunal di Ambon terjadi.
Yuli Darsono, mantan desertir militer yang diyakini sebagai aktor utama di balik penyerangan pos polisi di daerah Purworejo tahun ini, adalah rekrutan Aman Abdurrahman di Penjara Sukamiskin.
Aman terlibat dalam insiden bom Cimanggis tahun 2004. Setelah bebas, ia kembali ditangkap oleh Densus 88 karena diduga terlibat dalam pelatihan militer di Aceh. Doktrin Aman tentang takfir (mengafirkan) para aparat negara menjadi pemicu Yuli beraksi.
Tiga aspek
Dengan demikian, paling tidak ada tiga aspek yang dapat dibaca dari peristiwa yang terjadi di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang. Pertama, ada pergeseran masalah target sasaran serang dari far enemy (musuh jauh), yaitu simbol-simbol kepentingan Amerika dan sekutunya seperti kedutaan asing, hotel, bar, kafe, dan mal, ke near enemy (musuh dekat) yang lebih tertuju kepada aparat kepolisian, terutama anggota Densus 88.
Kenapa kemudian polisi dijadikan musuh, ada tiga alasan. Pertama, mereka perlu dihukum karena menjadi thoghut (penguasa yang lalim) karena termasuk aparat pemerintahan yang dianggap sekuler.
Kedua, Densus 88 dituding sebagai antek-antek asing, terutama Amerika dan Australia, yang telah melatih dan mendanai kepolisian. Bagi kelompok ini, kedua negara asing itu dianggap hanya mau membantu jika kepentingan usaha mereka terlindungi di Indonesia.
Ketiga, Densus 88 diyakini telah melanggar HAM karena melakukan extra-judicial killing dan penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada tersangka tindak pidana terorisme terhadap Qotadah alias Abu Muhlisun yang ditangkap bersama Bejo (terlibat dalam bom Australia 2004) di Kartosuro. Mereka sampai hari ini tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Ketiga alasan itu jika tidak dimitigasi dengan baik oleh aparat akan menjadi bom waktu yang setiap waktu bisa meledak.
Kembali ke aspek yang dapat dibaca pada kejadian di Deli Serdang, aspek kedua adalah perubahan dalam cara penyerangan—dari bom bunuh diri ke penggunaan senjata api yang dibarengi dengan kemampuan urban guerilla warfare.
Berdasarkan diskusi internal kelompok ini, penggunaan senjata api lebih efisien karena target dapat disasar dengan jitu. Sebaliknya, penggunaan bom mempunyai efek serangan yang tidak diinginkan, seperti matinya wanita dan warga sipil yang tidak berdosa, yang mengakibatkan hilangnya simpati bagi kelompok ini.
Aspek ketiga adalah saat donatur dari luar ataupun internal kelompok mulai seret, perampokan dianggap sebagai cara yang paling efisien untuk mendapatkan dana segar dan ini bukan pola baru. Tahun 2002, jaringan Imam Samudra merampok toko emas di Serang untuk mendanai aksi bom Bali pertama. Pada tahun yang sama, Abu Tholut sudah berencana merampok mobil Pemerintah Daerah Poso yang membawa uang. Namun, rencana ditolak oleh salah satu anggota senior kelompok Abu Tholut. Pada Juli 2003, Abu Tholut ditangkap dan tampaknya rencana perampokan diteruskan oleh anak buahnya.
Kerja intelijen polisi memang mengarah kepada jaringan Abu Tholut yang dipercaya melakukan pelatihan militer di Deli Serdang dan merekrut para eks preman karena sebagian dari mereka bertato dan gemar merokok. Mereka telah didoktrin dengan ideologi bahwa mengambil harta musuh, termasuk dengan merampok, adalah bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, yang melakukan akan mendapat imbalan surga.
Ketika kesadaran di alam bawah sadar mereka sudah terbangun konsep berjuang yang demikian, mereka menjadi sosok individu yang sangat percaya diri saat beraksi, termasuk melakukan perampokan pada siang hari dan di tengah keramaian. Aparat harus sadar bahwa fakta intelijen di atas tidaklah akan berarti apa- apa jika tidak ditopang dengan fakta yuridis dan hal itu hanya dapat dibuktikan di pengadilan.
Noor Huda Ismail Alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki; Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03281441/pergeseran.pola.terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar