Rabu, 22 September 2010

Cerita dari Blora

Rabu, 22 September 2010 | 03:35 WIB
Oleh Frenky Simanjuntak
Dalam kumpulan cerita pendeknya, Pramoedya Ananta Toer bertutur tentang kesengsaraan yang dihadapi oleh rakyat Blora pada masa penjajahan dan sesudah kemerdekaan.

Pram menunjukkan betapa perubahan yang terjadi di Blora tidak membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik. Kemerdekaan hanya menciptakan perubahan bentuk kesengsaraan yang dihadapi masyarakat Blora.
Menilik situasi yang terjadi di Blora saat ini, terutama pada persoalan pengelolaan kekayaan sumber daya alam minyak bumi, tidak terhindar pikiran saya terbawa ke cerita-cerita dalam karya Pram itu. Apakah potensi minyak dan gas bumi yang disebut-sebut sampai 250 juta barrel itu akan memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya ataukah hanya akan menciptakan persoalan yang justru bisa membawa kesengsaraan?
Baru-baru ini, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW), sebuah organisasi masyarakat sipil, untuk pertama kalinya setelah UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, membawa PT Blora Patragas Hulu (PT BPH) dalam sidang ajudikasi di kantor Komisi Informasi Pusat (KIP).
LPAW membawa kasus ini karena PT BPH menolak membuka informasi isi kontrak pengelolaan Blok Cepu antara Pemerintah Kabupaten Blora dan pihak ketiga. Argumen yang dipakai kelompok masyarakat sipil adalah masyarakat memiliki hak mengetahui isi perjanjian kontrak karena merekalah yang akan menerima dampak langsung dari pengeboran minyak di Blora.
Argumen ini didukung antara lain oleh saksi ahli seperti ekonom senior Indonesia, Faisal Basri, dalam kesaksiannya pada Kamis, 26 Agustus 2010. Pihak perusahaan menolak memberikan akses informasi kepada kelompok masyarakat sipil dengan alasan kontrak bersifat rahasia dan tak bisa dibuka kepada umum. Manakah pihak yang benar?
Keterbukaan informasi tentang pengelolaan sumber daya alam yang ditarik dari bumi, atau yang dikenal juga dengan istilah sumber daya ekstraktif, di dunia internasional saat ini makin dipercaya sebagai salah satu cara alternatif pencegahan fenomena kutukan sumber daya (resource curse). Fenomena ini terjadi di banyak negara yang kaya akan sumber daya ekstraktif, tetapi gagal memanfaatkan kekayaan tersebut dan justru terjebak dalam kemiskinan, korupsi, kehancuran lingkungan, dan konflik perebutan sumber daya.
Kasus berlian konflik di Sierra Leone, yang akhir-akhir ini marak pemberitaannya di berbagai media, adalah salah satu contoh dari negara yang terjebak dalam kutukan sumber daya. Nigeria, Kongo, dan Myanmar adalah contoh lain negara di dunia yang tidak berhasil membuat tata kelola yang baik dalam industri ekstraktif sehingga terjebak dalam fenomena yang sama.
Transparansi tata kelola
Persoalan yang terjadi di negara-negara tersebut mendorong timbulnya berbagai inisiatif transparansi di dunia internasional, seperti Kimberley Process untuk tata kelola berlian, atau Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI). EITI adalah sebuah inisiatif multipihak yang melibatkan kelompok pengusaha ekstraktif, pemerintah, dan perwakilan masyarakat sipil untuk mendorong proses pelaporan pembayaran perusahaan kepada negara (revenue).
Atas dorongan kelompok masyarakat sipil, Pemerintah RI saat ini sedang dalam proses untuk bergabung dalam EITI. Landasan regulasi penerapan EITI di Indonesia sudah disahkan oleh presiden, melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010, tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah dari sektor Industri Ekstraktif.
Indonesia memang belum terjebak dalam fenomena kutukan sumber daya. Namun, lain ceritanya bila memerhatikan provinsi atau kabupaten di Indonesia yang kaya sumber daya ekstraktif. Papua, provinsi dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, saat ini masih sangat tertinggal dari provinsi-provinsi lain di Indonesia di segi pembangunan, pendidikan, dan kesehatan masyarakatnya.
Aceh juga sama. Provinsi yang pernah menjadi penghasil minyak dan gas yang signifikan di negara ini belum sampai 10 tahun terlepas dari situasi konflik. Riau yang kaya akan minyak adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan Indeks Pembangunan Manusia terendah.
Bagaimana dengan Blora? Sampai saat ini Blora masih tercatat sebagai Kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Tentunya potensi pendapatan daerah dari ekstraksi minyak bumi dapat membuat masyarakat Blora keluar dari kemiskinan. Namun, seperti yang sudah terjadi di banyak tempat, baik di luar negeri maupun di daerah-daerah dalam negeri yang saya contohkan di atas, tanpa adanya suatu sistem tata kelola yang baik, kekayaan sumber daya alam tersebut bisa berubah menjadi kutukan yang menyengsarakan masyarakat.
Dalam buku The Bottom Billion, Paul Collier menjelaskan, banyak negara termiskin di dunia sampai pada situasi tersebut karena gagal keluar dari empat jebakan, yaitu konflik, landlocked, sumber daya alam, dan tata kelola pemerintahan buruk di negara yang kecil. Empat jebakan ini, menurut Collier, yang menyebabkan satu miliar manusia di dunia ini sangat sulit keluar dari situasi sangat miskin.
Dua jebakan Collier yang relevan dalam kasus Blora adalah sumber daya alam dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Timika, Aceh, dan Kalimantan Timur adalah contoh-contoh buruk tata kelola sumber daya alam di republik ini. Apakah kita akan membiarkan Blora menjadi contoh berikutnya?
Kesadaran organisasi seperti LPAW tentang pentingnya transparansi pendapatan negara dari industri ekstraktif dapat dijadikan contoh untuk penerapan tata kelola yang lebih baik. Inisiatif yang sudah dimulai oleh pemerintah, dengan adanya UU No 14/2008 tentang KIP dan Perpres No 26/2010, harus terus dikawal dan dijaga momentumnya agar tidak kendur.
Cerita dari Blora seharusnya menginspirasi kita untuk menjaga agar kekayaan sumber daya alam bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan bukan justru jadi kutukan yang menyengsarakan.
Frenky Simanjuntak Manajer Tata Kelola Ekonomi, Transparency International Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/22/03353137/.cerita.dari.blora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar