Sabtu, 06 Februari 2010

Hakekat Pengetahuan

MAKALAH
HAKEKAT PENGETAHUAN
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. MA Fattah Santoso M.Ag













Disusun Oleh:
Muhammad Hailan : G 000 080
Muchlis : G 000 080 067
Prabowo Hari Muttaqin :


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2009


PENDAHULUAN

Ada dua semangat kembar yang dibawa islam lewat Al-quran surat Al-Alaq: 1-5, sebagai wahyu yang pertama turun kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu semangat tauhid dan semangat keilmuan. Semangat tauhid ditunjukkan oleh penampakkan asma Allah yang harus menjadi titik tolak semua perbuatan manusia serta ditunjukkan oleh penyadaran bahwa manusia adalah makhluk tuhan- yang diciptakan dari al-‘alaq. Sementara itu, semangat keilmuan ditampakkan pada penyadaran etis bahwa Allah, selain sebagai pencipta, juga Maha Pemurah dan Pengasih yang memberikan ilmu lewat goresan al-qalam (hamparan alam semesta) dan lewat firman (wahyu).
































Bagi Al-Attas, Ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spiritual. Konsekuensinya, kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia. Penekanan yang diberikan Al-Attas terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dalam usaha memenuhi kebutuhan spiritual dan meraih kebahagiaan,dan bukan sekedar sebagai komoditi sosial-ekonomi, diilhami secara langsung oleh ajaran islam dan tradisi keagamaan dan intelektual Islam. Dia menjelaskan bahwa kebahagiaan menurut Islam bukanlah sekedar konsep, tujuan sementara, kesenangan fisik yang temporer ataupun dalam keadaan mental dan pikiran. Lebih dari itu kebahagiaan menurut Islam adalah kualitas spiritual yang permanen, yang secara sadar bisa dialami dalam kehidupan sekarang dan akan datang.
Adanya kemungkinan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diwajibkannya seiap individu Muslim untuk mencari ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam. Meskipun berbeda dari keutamaan amal, ilmu pengetahuan itu sendiri adalah dasar bagi semua keutamaan amal.
Secara linguistik, perkataan ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alaamah¸yaitu “tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda”.
SUMBER ILMU
Allah sebagai pemilik khazanah pengetahuan dan ilmu dalam menganugerahkan kepada manusia, sebagai makhluk yang diamati, sebagai khalifah fi al-ardh melalui sarana dan sumber yang telah ditetapkannya. Manusia dituntut dan diberi kemampuan untuk memburu rahasia khazanah ilmu lewat sarana dan sumber tersebut.
Sarana yang diberikan Allah kepada manusia adalah: Instink, indera, dan akal. Adapun sumber ilmu pengetahuan yang disediakan oleh Allah bagi manusia berupa tanda-tanda atau fenomena-fenomena atau yang dalam al-quran disebut dengan ayat. Apabila diklasifikasi ayat, fenomena atau tnda itu ada dua macam: (1) al-ayat al-qawliyyah, berupa wahyu Allah yang tersirat dalam Al-quran dan Sunnah: QS Ali ‘Imran : 164
                         
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dan (2) al-ayat alkawniyyah, berupa hamparan alam semesta dan diri manusia itu sendiri. QS Fushilat: 53
       •             
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Kedua fenomena tersebut telah Allah berikan sejak penciptaan nabi Adam As.
Adapun cara memperoleh ilmu itu sendiri, Al-quran menyebutkan ada tiga macam. (1) melalui pengamatan, dan tingkat kebenarannya pada tingkat ‘ain al-yaqin (QS At-Takatsur: 7). (2) melalui nalar, dan tingkat kebenarannya pada taraf ‘ilm al-yaqin (QS At-Takatsur: 5). (3) melalui pengalaman batin (iman) dan tingkat kebenarannya pada tingkat haqq al-yaqin (QS Al-Haaqqah: 51). Cara pertama tergantung pada pengalaman aktual (observasi dan eksperimen), cara yang kedua bergantung pada kebenaran-kebenaran asumsi, adapun cara yang ketiga bersifat transendental, yang dalam literatur klasik disebut wijdan yang sangat bergantung kepada bimbingan Ilahiyah, dalam bentuk instink, intuisi, inspirasi dan wahyu., sehingga kebenarannya bersifat mutlak, dan karena itu ia berada pada taraf yang tertinggi haqq al-yaqin.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam aksiologi ilmu dalam Islam adalah nilai-nilai Ilahiyah, yang bersumber dari fenomena qawliyyah. Disinilah posisi sentral wahyu (ayat qawliyyah) dalam konsep ilmu dalam Islam. Bhwa disamping ia sebagai satu dari sumber pengetahuan juga sekaligus merupakan sumber landasan nilai etik bagi penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kalau dikaji secara mendalam ayat-ayat qawliyyah baik yang tersurat dalam al-Quran maupun as-Sunnah, nilai utama bagi penerapan dan pengembangan ilmu dalam Islam adalah tauhid. Bahkan penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan harus berlandaskan tauhid dan memperkokoh aqidah tauhid seseorang. Kemudian, secara teknis nilai-nilai itu dapat di uraikan dalam lima nilai utama, yaitu:
Pertama, nilai rahmah (kerahmatan), yakni ilmu itu hendaknya ditujukan kepada kepentingan dan kemashlahatan seluruh umat manusia dan alam semesta. (Qs Al-Anbiya: 107).
Kedua, nilai amanah, yaitu ilmu itu adalah amanat Allah bagi manusia, karena pemilik hakiki khazanah ilmu adalah Allah. Untuk itu penerapan dan pengembangannya harus dilakukan dengan niat, cara dan tujuan sebagaiman yang dikehendaki oleh Allah. (QS Al-Ahzab: 72).
Ketiga, nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu merupakan wujud dialog dakwah dalam menyampaikan kebenaran. (QS Fushilat: 33)
Keempat, nilai tabsyir, yakni penerapan dan pengembangan ilmu harus memberikan harapan baik bagi umay manusia tentang masa depan merekatermasuk menjaga kelestarian alam dan keseimbangannya. (QS Al-Baqaah: 119).
Kelima, nilai ibadah, bagi manusia, penerapan dan pengembangan ilmu merupakan ibadah dan harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. (QS Adz-Dzariyat: 56, dan Ali ‘Imran 190-191).
SALURAN-SALURAN PENGETAHUAN
Dengan mengikuti dan menggabungkan posisi para filosof dan para teolog Muslim serta paa sufi, seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri, Al-Attas membuktikan bahwasanya ilmu pengetahuan datang dengan berbagai saluran, yaitu melalui: (a) panca indera (al-hawass al-khamsah) terdiri dari sentuhan, penciuman, rasa, penglihatan dan pendengaran. (b) akal sehat (al-‘aql al-salim), (c) berita yang benar (al-khabar al-shadiq) yang berdimensi (1) otoritas mutlak, yakni otoritas Tuhan (Al-Quran) dan otoriras kenabian (As-Sunnah) dan (2) otoritas relatif seperti ijma’ para ulama, dan riwayat orang-orang yang amanat secara umum (at-tawatur), dan (d) intuisi (ilham).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar