A. Pendahuluan[1]
Di sepanjang sejarah telah bermunculan para nabi benar dan para nabi palsu, yakni orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi secara dusta. Oleh karena itu, kita di sini akan membahas konsep kenabian dengan harapan menjadi jelas mana nabi benar dan mana nabi palsu.
Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang dapat dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan kenabian, di mana empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan fenomena berikut ini; para nabi dalam ucapannya benar atau bohong, dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan dari sisi pelaku dan juga dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain para pengklaim kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi’li) dan pelaku perbuatan (fâ’ili), 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau pertama dimiliki dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan kedua dimiliki. Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi’li dan tidak mempunyai kebaikan fâ’ili tidak terjadi dalam sejarah. Kondisi pertama, berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para nabi berdatangan di sepanjang sejarah di mana mereka memiliki kebaikan fâ’ili (pelaku perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi’li (perbuatan). Para nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kondisi kedua juga tanpa diragukan mempunyai sampel dan contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini juga masih terjadi. Para nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah jelas, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Mirza Ghulam Ahmad dan pembid’ah-pembd’ah lainnya. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka bahwa dirinya benar-benar mendapat tugas dari Tuhan dan pesan Tuhan harus ia sampaikan pada seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi dalam kenyataannya sama sekali tidak ada pesan dan tidak ada tugas dari Tuhan, hanya ia sendiri yang jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan serta berada dalam persangkaan. Kondisi ini mungkin terdapat contoh dalam sejarah. Mungkin saja Budha dapat dihitung dalam kelompok ini.
B. Pembahasan
a. Pengertian Nabi
Menurut bahasa, nabi berasal dari kata نبّأ وأنبأ yang berarti mengabarkan. Atau juga berasal dari kata نبا yang berarti tinggi dan naik. Adapun rasul secara bahasa ialah orang yang mengikuti berita-berita orang yang mengutusnya.[2] Mungkin pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang dinukil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; bahwasanya nabi itu adalah; manusia yang menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya, namun ia tidak diutus Allah kepada kaum kafir tertentu, untuk mengeluarkan mereka dari kekufuran. Adapun rasul, yaitu orang laki-laki merdeka yang diberikan wahyu oleh Allah dan diutus kepada satu kaum kafir tertentu untuk mengajak mereka kepada tauhid. Namun bukanlah merupakan syarat kerasulan harus membawa syari’at baru. Nabi Yusuf juga seorang rasul, namun beliau mengikuti millah Ibrahim.[3]
Adapun perbedaan antara keduanya adalah:[4]
1. Kenabian adalah syarat kerasulan maka tidak bisa menjadi rasul orang yang bukan nabi. Kenabian lebih umum dari kerasulan. Setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.
2. Rasul membawa risalah kepada orang yang tidak mengerti tentang agama dan syari’at Allah; atau kepada kaum yang telah mengubah syari’at dan agama, untuk mengajari mereka atau mengembalikan mereka ke dalam syari’at Allah. Dia adalah hakim bagi mereka. Sedangkan nabi diutus dengan dakwah kepada syari’at nabi/rasul sebelumnya.
Adapun ciri-ciri kenabian dan kerasulan di dalam Al-Qur’an antara lain:
1. Para nabi dan rasul adalah manusia biasa (14:11)
2. Para nabi dan rasul adalah kaum pria yang diberi wahyu (21: 7). Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk menyatakan bahwa tidak seorang wanita pun yang diutus Allah sebagai rasul, walaupun mereka juga mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan tidak ada seorang wanita yang menjadi nabi. Hal tersebut demikian karena ayat ini menggunakan kata arsalnaa yang seakar dengan kata rasuul. Pendapat banyak ulama itu, tentu saja dapat dibenarkan jika yang dimaksud dengan kata rijaal pada ayat ini adalah jenis kelamin laki-laki. Tetapi perlu dicatat bahwa Al-Qur’an tidak selalu menggunakan kata rijaal dalam arti jenis kelamin lelaki. Kata itu bisa juga digunakan untuk menunjuk kepada manusia—baik laki-laki maupun perempuan—selama mereka memiliki keistimewaan, atau ketokohan, atau ciri tertentu yang membedakan mereka dari yang lain.[5] Maka berhati-hatilah dengan pendapat ini.
3. Para nabi dan rasul adalah orang-orang pilihan dan orang-orang sholeh (6:85). Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menyatakan bahwa nabi adalah orang sholeh masih banyak ayat yang lainnya. Islam menegaskan bahwa semua nabi-nabi memiliki sifat kesalehan.[6] Sementara Perjanjian Lama dan Baru secara terang-terangan menuduh mereka melakukan perbuatan yang sama sekali tidak pantas bagi para nabi.
4. Kenabian dan kerasulan yang diperoleh oleh para nabi dan rasul adalah anugerah (nikmat) dari Allah, sehingga kenabian dan kerasulan sungguh tidak akan pernah dicapai dengan cita-cita dan hasil usaha (19:58).
5. Para nabi dan rasul dikokohkan dengan mukjizat. Mukjizat adalah segala sesuatu yang luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk sesuatu yang membuat manusia tidak bisa mendatangkan semisalnya.[7] Di antara kemukjizatan para nabi dan rasul adalah selalu menjadi reformis dalam masyarakatnya. Banyak sekali mukjizat-mukjizat tersebut. Contoh pukulan tongkat nabi Musa kepada sebuah batu lalu memancar darinya 12 mata air (2:60), menghidupkan burung yang terbuat dari tanah dengan izin Allah yang dilakukan oleh nabi Isa as (3:49) dan lain-lain.
6. Dakwah para nabi dan rasul mempunyai beberapa karakteristik antara lain: (1) dakwah mereka sama dalam bidang ‘aqidah (21:25), dan mereka mengakui kenabian Muhammad (3:81), (2) mereka tidak meminta upah atas dakwah mereka (11:51), (3) dakwah mereka sederhana, tidak mengada-ada (38:86).
7. Para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad diutus kepada umat tertentu sedangkan nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh manusia. (QS 10:47 dan QS 4:79). Bahkan nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh alam (QS 21:107). Jadi, tidaklah sah orang yang masih mengamalkan syari’at nabi-nabi terdahulu setelah diutusnya nabi Muhammad saw, karena rasul sebagaimana dinyatakan dalam QS 4:64 diutus untuk ditaati dengan seizin Allah.
8. Masa kenabian dimulai dari Adam as, sedangkan Rasul yang pertama adalah Nuh as[8] dan tidak ada nabi dan rasul lagi setelah nabi Muhammad saw (QS 33:40) kecuali nabi ‘Isa as yang akan diturunkan Allah di akhir zaman dan diperintahkan untuk mengikuti syari’at nabi Muhammad saw.
Dan sebagaimana sabda Nabi saw:
عن ابن المسيب أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (والذي نفسي بيده ليوشكن أن ينزل فيكم ابن مريم حكما مقسطا فيكسر الصليب ويقتل الخنزير ويضع الجزية ويفيض المال حتى لا يقبله أحد )
2109. Dari Ibnul Musayyab bahwa dia mendengar Abu Hurairah ra berkata: Nabi saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya sungguh (‘Isa) Ibnu Maryam hampir turun di tengah-tengah kalian. Dia menegakkan hukum dengan adil dan dia menghancurkan salib, membunuh babi, membebaskan pajak dan harta akan melimpah sehingga tak seorang pun mau menerimanya.” (Shahih, HR Bukhari no. 2109) [9]
Perlu diketahui bahwa hadits yang menerangkan tentang turunnya Isa as telah sampai kepada derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilaly. Tidak seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Syaltut bahwa seluruh hadits yang menetapkan tanda-tanda kiamat adalah hadits ahad.[10] Sebagian ulama Salaf berpendapat, nabi Isa dijuluki al-Masih dari kata saaha, yaitu karena sering berpindah tempat atau banyak berjalan kaki. Pendapat lain mengatakan karena telapak kakinya datar. Dan ada juga yang memberi alasan kata al-Masih dari akar kata masaha, karena setiap kali ia mengusap orang yang berpenyakit pasti sembuh dengan izin Allah. Lihat: Syarh Kitab al-Imam Muslim li an-Nawawi, (Bab tentang al-Masih bin Maryam dan Masih Dajjal), (1/510). Dan lihat Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-'Atsqalaani, Kitab Hadits-hadits kisah para nabi. (6/544)[11] Wallahu'alam.
9. Mimpi nabi adalah wahyu: 17:60, 37:102, 37:105, 48:27
10. Para nabi dan rasul memiliki sifat-sifat antara lain: (1) shidiq (benar) (69:44-48), (2) amanah (jujur) (33:39), (3) tabligh (menyampaikan) (5:67), (4) fathonah (cerdas) (21:58-67), (5) terhindar dari sakit yang menjijikkan, (6) tejaga dari dosa (‘ishmah) (33:21).[12]
11. Setiap nabi dan rasul mempunyai hawari (penolong) dan musuh (6:112). Sebagaimana tersebut dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw. pernah bersabda pada peperangan Ahzab, "Sesungguhnya setiap nabi mempunyai Hawariy (penolong), dan Hawariy-ku adalah az-Zubeir bin ‘Awwam." HR. Bukhari, dengan nomor hadits 2846, Kitab: Jihad dan perjalanan, Bab: Fadhlu at-Tali'ah dan Muslim, dengan nomor hadits 2415, Kitab: Keutamaan Sahabat, Bab: Keutamaan Thalhah dan az-Zubeir.[13]
b. Proses Penerimaan Wahyu[14]
Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan dua cara; Ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan. Sebagaimana Dinyatakan dalam Al-Qur’an 42:51:
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·‹ômur ÷rr& `ÏB Ç›!#u‘ur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Å™öムZwqß™u‘ zÓÇrqã‹sù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o„ 4 ¼çm¯RÎ) ;’Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[15] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
1. Proses penerimaan Wahyu secara Langsung
a. Mimpi yang benar dalam tidur, ‘Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah bermimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.........” (Shahih, HR Bukhari no. 3)
Di dalam Al-Qur’an, banyak wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa surat Al-Kautsar melalui mimpi, seperti disinyalir oleh satu hadits. Di dalam Shahih Muslim, dari Anas dia berkata, “Ketika Rasulullah saw berada di antara kami di dalam mesjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tadi telah turun kepadaku sebuah surat. Lalu ia membaca; Bismillahirrahmanirrahiim, Inna a’thainakal kautsar, fa........abtar.” (Shahih, HR Muslim, no. 607)
Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.[16] (QS Ash-Shaffat: 101-102)
b. Berbicara dengan Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa as (4:164)
Cara ini termasuk cara kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas, “aw min wara’i al-hijab.” Dan di dalam Al-Qur’an wahyu macam ini tidak ada.
2. Penyampaian Wahyu oleh Malaikat kepada Rasul[17]
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:
Pertama; Datang seperti suara lonceng. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah saw dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya.
Keduanya itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, bagaimana datangnya wahyu kepada engkau?" Rasulullah saw. menjawab, "Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku bagaikan gemerincingnya lonceng, dan itulah yang paling berat atasku. Lalu, terputus padaku dan saya telah hafal darinya tentang apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat berubah rupa sebagai seorang laki-laki datang kepadaku, lalu ia berbicara kepadaku, maka saya hafal apa yang dikatakannya." Aisyah r.a. berkata, "Sungguh saya melihat beliau ketika turun wahyu kepada beliau pada hari yang sangat dingin dan wahyu itu terputus dari beliau sedang dahi beliau mengalirkan keringat" (Shahih, HR Bukhari no. 2)
c. Sunnah adalah Wahyu
Al-Qur’an dan Sunnah keluar dari satu cahaya wahyu ilahi. Akan tetapi, Al-Qur’an adalah wahyu yang matluw dan sunnah adalah wahyu yang tidak matluw.[18] Pada abad kedua hijri telah terdapat sejumlah orang yang mengingkari kehujjahan sunnah Nabi dan kedudukannya sebagai sumber hukum. Pengingkaran ini hanyalah berangkat dari ketidaktahuan belaka. Dalam pada itu ada juga kelompok yang hanya menolak hadits yang tidak mutawatir saja. Namun ingkarussunnah ini tidak muncul ke permukaan lagi sesudah abad kedua hijri. Baru kemudian muncul lagi pikiran ingkarussunnah, barangkali akibat pengaruh kolonialis Barat, di mana sekelompok orang hanya menolak hadits-hadits tentang jihad saja, dan sekelompok lain menolak hadits secara keseluruhan. Dan tampaknya alur pemikiran ingkarussunnah yang baru ini tidak berbeda dengan pemikiran ingkarussunnah pada abad kedua. Bahkan argumen-argumen ingkarussunnah yang baru ini juga tidak berbeda dengan argumen-argumen ingkarussunnah tempo dulu.[19]
Adapun argumen-argumen mereka antara lain:[20]
1. Agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti (qath’i). Apabila kita mengambil dan memakai sunnah, maka berarti landasan agama itu tidak pasti (zhanni).
2. Dalam syari’at tidak ada dalil lain kecuali Al-Qur’an. Allah berfirman:
ما فرطنا في الكتاب من شيء (الانعام: 38)
“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab”.
3. Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qur’an merupakan penjelasan terhadap segala hal. Sebagaimana firman Allah:
ونزلنا عليك الكتاب تنيانا لكل شيء (النحل:89)
“Dan tidaklah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelasan terhadap segala hal.”
4. Allah menghendaki agar Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber hukum Islam. Karenanya Allah menjamin keutuhan dan kelestarian Al-Qur’an. Oleh karena itu, Rasulullah saw sangat memperhatikan penulisan Al-Qur’an sedangkan hadits beliau melarang menulisnya. Dan inilah yang diamalkan oleh para Khulafaur Rasyidin yang empat. Pendapat ini dipakai oleh Rasyid Ridha, Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan penginkar sunnah di Pakistan. Sedangkan kelompok “Ahlul Qur’an” yang diketuai oleh Ghulam Ahmad Parwez memberikan argumen tambahan tidak mungkin hadits disebut wahyu, sebab apabila demikian niscaya Allah juga akan memeliharanya sebagaimana Allah memelihara Al-Qur’an. Bahkan mereka menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hadits itu merupakan wahyu adalah pemikiran Yahudi yang menyusup ke dalam tubuh kaum Muslimin.
Beberapa bantahan terhadap argumen mereka:[21]
1. Perbuatan yang dikecam Allah adalah mengikuti zhann, padahal ada yang pasti. Zhann yang tidak boleh diikuti di sini adalah zhann yang berlawanan dengan haq. Bahkan di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang pengertiannya bersifat zhann.
2. Kelompok ingkarussunnah umumnya kekurangan waktu dalam mempelajari Al-Qur’an. Hal itu karena mereka kebanyakan hanya memakai dalil ayat 89 surat An-Nahl atau ayat 38 surat Al-An’am. Padahal dalam ayat 44 surah An-Nahl Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[22] dan supaya mereka memikirkan.” Maka, dalam hal ini mereka telah beriman terhadap sebagian ayat Al-Qur’an dan kufur terhadap sebagian yang lain.
3. Adapun tuduhan mereka bahwa pendapat yang mengatakan bahwa sunnah adalah wahyu merupakan pemikiran Yahudi adalah tidak benar. Karena wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya tidak hanya yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh: bahwa sebelum Nabi Muhammad shalat menghadap ke Ka’bah beliau menghadap ke Masjidil Aqsha. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak memerintahkan hal tersebut. Apakah Nabi menghadap ke Masjidil Aqsha karena hawa nafsu atau karena wahyu? Yang benar Nabi menghadap ke Masjidil Aqsha karena tuntunan wahyu. Sebagaimana dinyatakan di dalam surat An-Najm: 3 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”
d. Fungsi Nabi Bagi Manusia[23]
1. Allah mengutus para rasul-Nya untuk mengenalkan manusia tentang sesembahan yang haq, juga untuk menyeru mereka agar hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya. (Al-Anbiya’ 21:25)
2. Allah mengutus para rasul untuk menegakkan agama, serta melarang mereka berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)
3. Allah mengutus para rasul juga untuk memberi kabar gembira dan peringatan. (Al-Kahfi 18: 56)
4. Allah mengutus para rasul juga untuk memberikan teladan yang baik bagi manusia dalam perilaku yang lurus, akhlak yang mulia dan ibadah yang benar (Al-Ahzab 33: 21)
C. Kesimpulan
1. Nabi dan rasul adalah manusia biasa yang dipilih dan diberi wahyu oleh Allah. Fungsi utamanya adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah. Dan mereka semua mengakui kenabian Muhammad saw.
2. Silsilah kenabian telah berakhir. Artinya tidak ada nabi lagi setelah nabi Muhammad saw wafat.
3. Wahyu diterima nabi melalui 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.
4. Wahyu secara langsung melalui dua cara yaitu: melalui mimpi dan berbicara dibelakang tabir. Sedangkan wahyu tidak langsung yaitu melalui perantaraan malaikat.
5. Wahyu ada dua jenis: Wahyu Matluw dan Ghairu Matluw. Sunnah adalah wahyu Ghairu Matluw sehingga wajib diterima bila shahih baik dalam ‘aqidah maupun hukum.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Digital Versi 2.0
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin. e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama
Al-A’zami, M.M. 2005. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani
------------------ 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodofikasinya. Jakarta:Pustaka Firdaus
‘Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 2001. Kenabian dan Riwayat Para Nabi, Jakarta: PT Lentera Basritama
Aziz, Abdul bin Muhammad Abd Lathif. 1998. Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan. Jakrata: Yayasan Al-Shofwa
CD Mausu’ah al-Hadits al-Syariif
Hammad Al-Ghunaimi, Abdul Akhir. 2001. Tahdzib Syarah Ath-Thahawiyah Dasar-Dasar ‘Aqidah Menurut ‘Ulama Salaf 1. Solo: Pustaka At-Tibyan
http://isyraq.wordpress.com/2008/01/05/menganalisa-konsep-kenabian-1-2/
Manna’ Al-Qaththan, Syaikh . 2008. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Salim, Syaikh bin ’Ied Al-Hilaly. 2007. Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum. Bogor: Pustaka Ulil Albab
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 8. Jakarta: Lentera Hati
Tim Ahli Tauhid. 2008. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq
[1] http://isyraq.wordpress.com/2008/01/05/menganalisa-konsep-kenabian-1-2/
[2] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm:84
[3] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarah Ath-Thahawiyah Dasar-Dasar ‘Aqidah Menurut ‘Ulama Salaf 1, hlm: 255
[4] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm:84
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 8, hlm: 420
[6] Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, hlm:42 dengan sedikit perubahan
[7] Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, hlm: 91
[8] Lihat Hadits Bukhari no. 3092, Muslim no. 287, dan Tirmidzi 2358
[9] CD Mausu’ah al-Hadits al-Syariif
[10] Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilaly, Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum, hlm: 137
[11] Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama, pertanyaan no. 1
[12] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, Kenabian dan Riwayat Para Nabi, hlm: 54 2001. Jakarta: PT Lentera Basritama
[13] Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, e-book Sosok Isa dalam Sorotan Ulama, pertanyaan no. 12
[14] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm:40-42
[15] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s.
[16] Inilah pendapat yang benar, bukan Ishaq yang disembelih. Kabar gembira itu pertama-tama tentang lahirnya Ismail sebelum Ishaq. Karena Ismail-lah yang dibesarkan di Jazirah Arab di mana kisah penyembelihan terjadi, dan dialah yang disifati penyabar.
[17] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm: 42-43
[18] Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilali, Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum, hlm: 36
[19] Prof. Dr. M.M. Al-A’zami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodofikasinya, hlm: 50
[20] Ibid, hlm:50-55
[21] Ibid, hlm:59-60
[22] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[23] DR. Abdul Aziz bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan, hlm: 56-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar