Sabtu, 25 September 2010

Ekologi Politik Pesisir

Sabtu, 25 September 2010 | 03:08 WIB
Oleh Arif Satria

Tanggal 24 September 2010 adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Namun, ada hal yang sering terlupakan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengatur hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 16 dan 47). Air yang dimaksud adalah perairan pedalaman ataupun laut wilayah Indonesia. Salah satu spirit penting dalam UUPA adalah adanya pengakuan negara atas hak ulayat yang dimiliki masyarakat, baik hak pemanfaatan maupun hak pengelolaan. Di wilayah pesisir kedua jenis hak penting sebagai prasyarat menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
Masalahnya adalah kedua jenis hak di atas sering kali diabaikan. Kerusakan sumber daya pesisir ataupun konservasi yang sentralistik akan berdampak pada tak berfungsinya hak-hak mereka. Bagaimana memperkuat hak-hak masyarakat pesisir tersebut sesuai spirit UUPA?
Akses terbuka
Hardin mengeluarkan istilah tragedy of the commons untuk menggambarkan ketidakjelasan hak-hak penguasaan sumber daya karena sumber daya bersifat akses terbuka (open access) yang berdampak kerusakan sumber daya. Namun, kini, ketika hak-hak penguasaan semakin jelas, ternyata kerusakan sumber daya tetap terjadi.
Dalam ekologi-politik, ekologi bukanlah masalah teknis, tetapi lebih merupakan akibat dari tatanan politik dan ekonomi yang ada serta proses politik dari aktor-aktor yang berkepentingan. Inilah yang disebut Bryant dan kawan-kawan (2001) sebagai bentuk politicised environment.
Aktor yang dominan umumnya adalah negara dan swasta besar. Ternyata dominasi ini justru menyebabkan apa yang oleh Bryant disebut tragedy of enclosure, yakni tragedi akibat dominasi negara dan swasta yang menyebabkan akses masyarakat pada pemanfaatan dan pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses ini membuat masyarakat makin marjinal.
Dari sinilah Bryant membuat tesis baru bahwa: (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi ini mengubah relasi kekuasaan antaraktor. Apakah tragedy of enclosure juga terjadi di wilayah pesisir? Bagaimana mengatasinya?
Politik pesisir
Tentu wilayah pesisir tak bisa lepas dari tragedi ini. Praktik kegiatan pertambangan oleh swasta di wilayah pesisir terbukti memperlemah akses nelayan untuk melaut karena lautnya tercemar. Juga rencana adanya kluster perikanan berupa konsesi khusus bagi segelintir pengusaha perikanan bisa berdampak pada melemahnya hak-hak nelayan.
Begitu pula praktik konservasi laut yang sentralistik bisa membatasi akses nelayan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sangat sentralistik dan minim pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat pesisir.
Tragedi ini mestinya bisa diakhiri dengan legislasi pesisir yang populis. Kini pemerintah sudah punya UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang dalam proses revisi. Diharapkan revisi tersebut bisa menggunakan spirit UUPA dengan memerhatikan beberapa hal berikut.
Pertama, bagaimana revisi UU No 27/2007 bisa memperkuat posisi masyarakat dalam berbagai proses perencanaan pesisir, yaitu (a) rencana strategis, (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan, dan (d) rencana aksi untuk pengelolaan pesisir.
Rencana zonasi—yang harus ditetapkan dengan peraturan daerah—merupakan titik paling kritis karena memuat peruntukan wilayah pesisir. Perencanaan pesisir itu bukan merupakan arena yang netral, tetapi merupakan arena kontestasi kepentingan antarpelaku. Oleh karena itu, persoalan kritis berikutnya adalah bagaimana memperkuat akses masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan zonasi sehingga menjamin akses mereka pada pemanfaatan sumber daya.
Nelayan dalam posisinya seperti sekarang sering merupakan aktor terlemah sehingga diduga sulit untuk bisa dominan dalam pengambilan keputusan zonasi. Bila posisinya lemah, nelayan berpotensi menjadi korban.
Kedua, meninjau kembali pasal tentang Hak Pemanfaatan Perairan Pesisir (HP-3) yang saat ini bisa berlaku untuk masyarakat dan swasta selama 20 tahun, bisa dialihkan, serta diagunkan. Ada kekhawatiran dengan berlakunya pasal ini akan terjadi ”komoditisasi” perairan pesisir, dan tidak mempertimbangkan hak asal-usul masyarakat adat. Padahal, ada sejumlah hak yang melekat pada masyarakat adat. Begitu pula menurut UUPA, sumber-sumber agraria seperti tanah dan air memiliki fungsi sosial sehingga mestinya tidak bisa diprivatisasi secara monopolistik oleh swasta.
Ketiga, memperkuat Pasal 61 yang menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, serta kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau kecil yang dimanfaatkan secara turun-temurun. Pasal ini bagus sekali sehingga perlu diperkuat dan dielaborasi pada peraturan turunannya untuk implementasi.
Oleh karena itulah, pemberdayaan masyarakat pesisir tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingannya. Bila masih yakin bahwa kita adalah bangsa bahari, jaminan terhadap hak-hak masyarakat pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.
Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03082957/ekologi.politik.pesisir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar