Kamis, 23 September 2010

Insiden HKBP Bekasi: Benarkah Negara Absen?

Kamis, 16 September 2010 | 04:28 WIB
 Bambang Darmono
Begitu cepat pernyataan Polri menyatakan bahwa kasus penusukan Asia Lumban Toruan dan penganiayaan Pendeta Laspida, jemaat HKBP Pondok Timur Indah, adalah kasus kriminal murni. Pernyataan ini tentu menarik untuk dicermati.

Pertama, Polri belum melakukan investigasi, sementara para saksi belum dikonfirmasi. Kedua, persoalan HKBP ini sudah lama mencuat ke permukaan sejak kasus yang melibatkan FPI pada 8 Agustus 2010 yang memicu protes masyarakat gereja menggelar kebaktian di depan Istana.
Sampai malam tanggal 13 September 2010, Polri baru mampu membuat sketsa wajah penusuk Asia Lumban Toruan dan karena itu wajar apabila kemudian pihak PGI menyesalkan pernyataan Kepala Polda Metro Jaya bahwa pernyataan tersebut dinilai prematur dan justru meneguhkan adanya ketidakseriusan aparat keamanan dalam menangani persoalan. Benarkah?
Barangkali maksud yang terkandung dari keberanian membuat pernyataan itu adalah mencegah berkembangnya masalah menjadi kasus benturan antarumat beragama yang dalam banyak pengalaman amat sulit penanganannya. Tidakkah lebih arif apabila para pejabat terkait membuat pernyataan sementara yang akan ditindaklanjuti dengan investigasi komprehensif? Akankah hal ini menjadi penanda bahwa negara selalu hadir dalam persoalan warga negara seperti ini dan sekaligus menyelesaikannya?
Jika kita mencermati kasus ini sejak semula, akan terlihat dengan jelas, kasus ini berawal dari proses izin mendirikan rumah ibadah untuk warga HKBP. Proses semacam ini secara subyektif sering dirasakan sulit oleh warga minoritas di tengah mayoritas tak peduli apa pun agamanya dan tidak terkecuali yang terjadi di Bekasi. Kondisi inilah yang mendorong warga jemaat HKBP menjalankan kebaktian seperti keadaannya ketika penusukan terjadi.
Sebulan sebelumnya, kejadian yang diyakini memiliki latar belakang terkait dengan proses perizinan gereja HKBP ini adalah kejadian 8 Agustus 2010, ketika 700 warga Kecamatan Mustika Jaya yang diklaim sebagai FPI dan FUI membuat pagar betis di lahan kosong yang biasa digunakan sebagai tempat kebaktian jemaat HKBP Pondok Timur Indah, dengan tujuan mencegah kebaktian walau di tempat tersebut juga datang 500 anggota kepolisian yang siap mengamankan. Toh kejadian tetap terjadi dan korban banyak berjatuhan di pihak jemaat yang datang hendak melaksanakan kebaktian.
Maka, menjadi logis pandangan jemaat kala itu bahwa ada semacam skenario bersama antara warga Mustika Jaya dan kepolisian untuk melarang jemaat melakukan ibadah di lahan tersebut walaupun lahan tersebut sah milik jemaat HKBP. Maka, ketika penusukan terhadap jemaat HKBP pada 12 September terjadi, menjadi wajar apabila kemudian muncul pertanyaan terkait, apakah kejadian terhadap jemaat HKBP Bekasi ini tidak dapat dihindari, dicegah, atau bahkan ditiadakan?
Lalai dan pembiaran
Setiap warga negara yang dapat berpikir logis pasti akan memberikan jawaban bahwa kejadian ini tidak perlu terjadi karena trennya dapat dengan mudah dibaca dan indikasi yang mengarah pada kejadian ini sangat jelas. Kemampuan berpikir seperti ini tentu juga dimiliki dan bahkan menjadi standar kemampuan para petugas keamanan kita di lapangan. Dari analisis berpikir semacam ini, tentu dengan mudah disimpulkan bahwa apa pun alasan yang dikemukakan, petugas di lapangan lalai menjalankan kewajibannya.
Melihat proses dan kejadiannya, peristiwa 12 September 2010 pada dasarnya sulit untuk dikatakan sebagai kejadian yang berdiri sendiri. Kejadian ini diyakini banyak pihak sangat berhubungan dengan kejadian 8 Agustus 2010, ketika 700 orang yang diklaim dari FPI atau FUI dan warga Kecamatan Mustika Jaya menyerang 30 anggota jemaat HKBP yang akan melaksanakan kebaktian di tanah kosong milik jemaat HKBP Desa Ketiting Asem, Kecamatan Mustika Jaya.
Menurut berbagai pemberitaan yang terkait dengan kejadian 8 Agustus 2010, terdapat 500 polisi yang mengamankan. Apabila benar jumlah anggota kepolisian yang mengamankan tempat tersebut sebanyak 500 orang, akan sangat sulit untuk dapat diterima akal sehat kegagalan tindakan pengamanan yang dilakukan pihak kepolisian. Maka, menjadi masuk akal pula apabila kemudian banyak pihak menuding pihak kepolisian melakukan pembiaran atas kasus tersebut. Lebih tidak masuk akal apabila kejadian serupa terjadi kemudian hari di tempat yang sama, seperti kejadian 12 September 2010. Kejadian ini memberikan petunjuk nyata ketidakmampuan aparat kepolisian melindungi warga negara.
Proses pendirian rumah ibadah memang telah diatur dalam SKB 3 menteri dan menjadi kewajiban semua warga negara untuk menaatinya. Bahwa terkadang secara subyektif ditafsir oleh kelompok minoritas sebagai ketiadaan political will pemerintah untuk melindungi kelompok minoritas, pandangan tersebut sah-sah saja karena SKB ini memang produk politik yang terkait dengan pendirian rumah ibadah. Apabila dilihat dari ketaatan, tampak jelas bahwa warga jemaat HKBP tidak taat dengan SKB tersebut, dengan alasan yang subyektif pula karena faktanya izin pendirian gereja di lahan tersebut belum keluar dari pemerintah walaupun tanah tersebut dimiliki jemaat HKBP.
Apabila kemudian ditafsir subyektif oleh pihak lain bahwa ketidaktaatan tersebut dapat mengganggu ketenteraman karena peribadatan terbuka itu, tafsir tersebut masuk akal juga. Oleh karena itu, persoalan yang muncul dari situasi dilematis ini adalah, apakah pemerintah tidak berwenang untuk sementara dengan tegas melarang peribadatan di tempat terbuka yang berpotensi menimbulkan persoalan dengan argumentasi dan pendekatan yang dapat diterima oleh jemaat dan pihak gereja? Tentu kewenangan ini dimiliki oleh pemerintah.
Tak boleh menggantung
Permohonan izin pendirian gereja yang tidak kunjung berkeputusan mengakibatkan kasus ini terbiarkan menjadi abu-abu dan pemerintah telah menempatkan masyarakat (jemaat HKBP) dalam situasi penuh ketidakpastian. Padahal, salah satu peran utama pemimpin (baca: pemerintah) adalah menghindarkan anak buah (baca: masyarakat) dari situasi ketidakpastian. Sangat boleh jadi, sensitivitas persoalan rumah ibadah menjadi alasan tidak adanya ketegasan pemerintah. Justru karena sensitif itulah persoalannya tidak boleh dibiarkan menggantung.
Oleh karena itu, kambing hitam yang namanya ”sensitif” ini yang patut dikaji kembali dalam mengelola harmoni kehidupan beragama. Semakin sensitif persoalan yang ada, semakin diperlukan kehadiran pemerintah dalam bentuk keputusan yang tegas agar persoalannya tidak bagaikan api dalam sekam. Dari perspektif ini dapat dilihat bahwa negara tidak cukup memberikan perlindungan terhadap warga negaranya karena telah membiarkan warga negara dalam situasi ketidaktegasan dan ketidakpastian.
Di samping ketidakmampuan aparat kepolisian dan persoalan ketidaktaatan, hal yang perlu didalami adalah kemampuan pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Secara matematis, ketegasan pemerintah dalam proses perizinan pembangunan gereja ini akan memberikan kepastian terhadap masa depan gereja yang akan dibangun di Desa Ketiting Asem ini. Melihat kejadian 8 Agustus 2010, pemerintah seharusnya dapat menggunakan segala kewenangan yang dimiliki untuk mempercepat proses perizinan pembangunan gereja HKBP ini, apakah diizinkan atau tidak diizinkan.
Apabila diizinkan, pemerintah harus menerima konsekuensi memberikan perlindungan dan pengamanan secara penuh selama proses pembangunan. Apabila tidak diizinkan, pemerintah harus dapat memberikan argumentasi yang dapat diterima jemaat dan PGI. Ketegasan ini penting untuk menutup peluang masyarakat agar tidak bertindak semaunya di tengah ketidakpastian dan memberikan batasan kepada aparat keamanan yang harus menegakkan aturan dan hukum. Di sinilah peran pemimpin untuk tidak membiarkan masyarakat terus-menerus berinteraksi dengan ketidakpastian.
Dari keempat hal di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian ini seharusnya dapat dihindari apabila sense of protection to the people dimiliki semua pihak, khususnya negara. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan dikatakan apabila dalam konteks ini negara tidak menggunakan semua kewenangan yang dimilikinya untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, yang menjadikan negara dilihat absen melindungi warga negara dalam kasus jemaat HKBP Desa Ketiting Asem, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi.
Bambang Darmono Mantan Sekjen Wantannas 
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/16/04282651/benarkah.negara.absen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar