Minggu, 05 September 2010

Ketidakjelasan Pranata atau Inkapabilitas Analisis Hakim dalam Kepailitan BUMN

Oleh: Rio.T.Simanjuntak,SH*)

Kamis, 02 September 2010
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah unit usaha yang membawa nama besar bangsa. Nama besar bangsa dan pemerintahan suatu negara juga akan sangat terpengaruh oleh kemampuan BUMN untuk bersaing dalam kancah bisnis nasional maupun internasional
Selain itu, fakta bahwa korporasi-korporasi berbentuk BUMN tersebut sebahagian bergerak di bidang kepentingan publik dan menghimpun dana dari masyarakat. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, di dalam ketentuan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) dibuatlah pengecualian dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) yang mengecualikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik. Disebutkan bahwa terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, Permohonan Pernyataan Pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan merumuskan:
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”.

Selanjutnya apabila kita melihat penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan diperoleh rumusan berikut:
“…Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham…

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat diversifikasi antara BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik dengan BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik. Apabila dibaca secara a contrario jelas bahwa BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik adalah BUMN yang tidak seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham.   

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), jelas bahwa korporasi yang memiliki status BUMN apabila ditinjau dari kepemilikan modal dan dasar kepemilikan terdiri dari dua jenis yaitu BUMN yang berbentuk Perusahaan Perseroan dan BUMN yang berbentuk Perum.

Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN merumuskan:
“ 1.  …
   2. Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
   3. …
   4. Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”.

Ketentuan–ketentuan tersebut, apabila dikaitkan satu sama lain, jelas akan menimbulkan pertanyaan: BUMN manakah yang bisa dipailitkan secara langsung dan tidak terikat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan?

Apabila kita melihat rumusan di atas, khususnya ketentuan Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN serta dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan, jelas bahwa pengecualian yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tersebut merujuk pada BUMN yang berbentuk Perum dimana kepemilikannya tidak terbagi atas saham dan bergerak dibidang kepentingan publik. Apabila BUMN berbentuk Perum tersebut dapat secara langsung dipailitkan oleh krediturnya akan mengakibatkan keguncangan masyarakat akibat tidak tersedianya layanan publik. Layanan publik seharusnya dijalankan oleh perusahaan BUMN berbentuk Perum. Ini sejalan dengan filosofi pengecualian bentuk-bentuk usaha tertentu seperti perbankan, asuransi, dana pensiun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU Kepailitan.

Dalam perkara kepailitan PT Iglas (Persero) yang diputus oleh Putusan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No.111 PK/Pdt.Sus/2009 tertanggal 21 April 2010, muncul suatu ketidakpastian mengenai status BUMN berkaitan dengan pertanyaan BUMN yang manakah yang dapat dipailitkan secara langsung oleh krediturnya di Pengadilan Niaga? Mengingat dalam putusan tingkat kasasi berdasarkan Putusan No.397 K/Pdt.Sus/2010 Majelis Hakim Kasasi memutuslan PT Iglas (Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya atas dasar pertimbangan hukum bahwa PT Iglas (Persero) bukanlah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik dan kepemilikannya terbagi atas saham (lihat penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan).

Sedangkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam pertimbangannya mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT Iglas (Persero) adalah dikarenakan kepemilikan Negara dalam PT Iglas (Persero) adalah 100% dikarenakan saham PT Bank BNI sebesar 30% sudah habis masa berlakunya dan harus dikembalikan kepada Negara Republik Indonesia.

Dari pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali tersebut, penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim Peninjauan Kembali telah melupakan fakta bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan memberikan batasan bahwa BUMN yang tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya adalah BUMN yang  kepemilikannya seluruhnya dikuasai oleh Negara dan tidak terbagi atas saham.

Bahwa frase “dan” dalam ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tersebut berarti bahwa kedua syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tersebut haruslah bersifat akumulatif. Kedua syarat harus terpenuhi. Tidak hanya syarat seluruhnya dikuasai oleh Negara, tetapi juga di saat yang sama BUMN tersebut haruslah tidak terbagi atas saham. Apabila kita melihat ketentuan  Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN, dapat dilihat secara jelas bahwa BUMN yang kepemilikannya dikuasai oleh Negara seluruhnya dan tidak terbagi atas saham adalah BUMN berbentuk Perum.

Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan  yang memberikan batasan bahwa BUMN yang tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya adalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan dan diketahui oleh publik (fakta notoir)  sebagaimana kita pahami bersama bahwa hampir seluruh BUMN yang bidang usahanya melayani kepentingan publik adalah BUMN berbentuk Perum.

Kasus PT Iglas (Persero) jelaslah berbeda dengan kasus PT Dirgantara Indonesia. dalam kasus PT Dirgantara Indonesia, Majelis Hakim Kasasi yang mengabulkan permohonan kasasi PT Dirgantara Indonesia memberikan pertimbangan hukum bahwa PT Dirgantara Indonesia merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik dikarenakan merupakan satu-satunya industri pesawat terbang milik Negara. Pertimbangan ini tentunya cukup dapat diterima dengan akal sehat, karena melayani kepentingan publik tidak hanya dapat diartikan melayani masyarakat, tetapi juga melayani kepentingan bangsa dan negara.

Terlepas dari fakta tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam konteks meningkatkan profesionalitas sumber daya manusia yang bekerja di BUMN, seharusnya BUMN (khususnya yang berbentuk Persero) haruslah diperlakukan sama dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang pembentukannya tunduk pada UU N0. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU Perseroan Terbatas”), sehingga dapat pula membantu Pemerintah dalam menyehatkan BUMN-BUMN yang berada di bawah pengawasan Kementrian BUMN. Apabila ada BUMN berbentuk Persero yang dituntut pailit oleh krediturnya maka BUMN tersebut dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ataupun Rencana Perdamaian (jika sudah dinyatakan pailit). Ini akan membuat sumber daya manusia yang bekerja di BUMN tersebut menjadi lebih professional dan belajar lebih menghargai kontrak-kontrak yang dibuat dan ditandatangani. Dalam hal BUMN tersebut harus insolven, ini akan membantu Pemerintah secara tidak langsung merampingkan profil BUMN-BUMN yang sehat dan secara tidak langsung pula melaksanakan perampingan tanpa harus merugikan kreditur dari BUMN. Sudah menjadi program Kementerian Negara BUMN untuk melaksakanakan perampingan BUMN-BUMN yang berada di bawah kewenangannya.

Dengan memperlakukan BUMN berbentuk Persero sama dengan badan hukum lain yang pembentukannya tunduk pada UU Perseroan Terbatas, kita mengharapkan bahwa BUMN-BUMN di negara ini justru menjadi perusahaan yang professional dan memiliki daya saing baik, sekaligus menjadi perusahaan yang dapat dipercaya oleh kreditur–krediturnya. Dengan memberlakukan BUMN-BUMN berbentuk Persero tersebut sama dengan badan hukum lain, kita akan mendapatkan BUMN yang sehat, yang diisi oleh sumber daya manusia yang profesional, yang sangat memahami dan menghormati kontrak–kontrak yang dibuatnya dengan pihak ketiga, konsekuen dalam menepati janji (utang) dan yang memahami betul konsekuensi hukum atas tindakan cidera janji (wanprestasi) terhadap mitra kontraknya. Apabila semua itu terpenuhi secara otomatis akan meningkatkan kinerja dan daya saing BUMN-BUMN berbentuk Persero di negara kita. 

-----
*) Penulis adalah seorang Advokat dan Kurator  di Jakarta. Tulisan ini pandangan pribadi penulis.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c7f49533f1c3/ketidakjelasan-pranata-atau-inkapabilitas-analisis-hakim-dalam-kepailitan-bumn--br-oleh-riotsimanjuntaksh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar