Jumat, 01 Oktober 2010

Damailah Tarakan

Jumat, 1 Oktober 2010 | 03:15 WIB
Ikrar Nusa Bhakti

Kota Tarakan yang bersemboyan Bersih, Aman, Indah, Sehat, dan Sejahtera (BAIS) hampir selama sepekan ini dilanda kerusuhan. Pemicunya amatlah sepele, perselisihan di antara anak-anak muda dari dua keluarga yang berasal dari etnis Bugis dan Tidung (penduduk asli Tarakan).

Konflik yang asalnya hanya terjadi di antara anak-anak dua keluarga itu kemudian membesar saat para orangtua tidak dapat mendinginkan emosi anak-anak muda yang bertikai, apalagi sejak tewasnya Abdullah bin Haji Salim (58), orangtua Abdul Rahman yang berkonflik dengan enam pemuda setempat.
Hingga Rabu (29/9), sudah lima orang meninggal dunia akibat konflik yang kemudian menjadi konflik komunal tersebut. Namun, Rabu malam lalu, sudah terjadi kesepakatan di antara dua kelompok masyarakat yang bertikai untuk bersama-sama menurunkan derajat pertikaian dan kemudian bersama-sama menciptakan perdamaian dan rasa aman di Bumi Paguntaka itu.
Upaya aparat keamanan, Polri, dan TNI untuk menahan masuknya orang-orang dari luar Tarakan yang ingin ”membantu” sesama saudaranya yang berkonflik menjadi unsur positif peredaan konflik. Kita juga melihat betapa para pemangku kepentingan, dari pihak pemerintah daerah tingkat Provinsi Kalimantan Timur dan Kota Tarakan, Polri, TNI, Majelis Ulama Indonesia Tarakan, para tetua adat Tidung, tokoh masyarakat Bugis, dan masyarakat pada umumnya, berupaya keras agar apa yang pernah terjadi di Sanggau (Kalimantan Barat) dan Sampit (Kalimantan Tengah) pada awal reformasi sepuluh tahun lalu tidak terulang lagi di Tarakan.
Miniatur Indonesia
Tarakan, kota di utara Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas 657,33 kilometer persegi dan jumlah penduduk sekitar 178.000 jiwa sebenarnya adalah kota yang nyaman dan damai. Penduduk aslinya, Tidung, seperti juga penduduk asli di Kalimantan pada umumnya, adalah orang-orang yang membuka tangan selebar-lebarnya untuk menerima kaum pendatang.
Di pulau Tarakan tempat Kota Tarakan berada, dulu pernah ada kerajaan dengan nama Kerajaan Tarakan atau Tidung. Kehidupan masyarakatnya amatlah tenteram dan damai. Geliat masyarakat mulai nyata terlihat ketika sebuah perusahaan perminyakan Belanda Bataavische Petroleum Maatschapij pada 1896 menemukan adanya sumber minyak di pulau ini.
Tidaklah mengherankan pula jika Tarakan adalah kota pertama di Indonesia yang diserbu oleh Jepang pada 1942 untuk mengambil alih ladang-ladang minyak yang dikelola Belanda dan Australia di wilayah itu.
Ibarat pepatah ”ada gula, ada semut”, kekayaan sumber daya alam itu pula yang menjadikan Tarakan sebagai wilayah yang menarik orang-orang Indonesia dari etnik lain untuk datang ke kota itu. Kini Tarakan bagaikan miniatur Indonesia. Penduduknya bukan hanya orang Tidung, melainkan juga berasal dari suku-suku lain, seperti Bugis, Buton, Makassar, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Banjar, dan sebagainya.
Persoalan muncul bukan saja para pendatang kini telah menjadi penduduk mayoritas di kota itu dengan jumlah 70 persen, sementara penduduk aslinya, Tidung, hanya 10-15 persen dari total 178.000 jiwa penduduk Tarakan, melainkan para pendatang juga menguasai perekonomian di Tarakan. Hotel, gedung-gedung pertokoan (mal), pasar swalayan, toko-toko di pusat kota atau di pasar, dan berbagai kegiatan sektor perdagangan dan jasa lain dikuasai oleh para pendatang.
Ini yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial antara penduduk asli dan pendatang di kota Tarakan.
Di era reformasi, khususnya dengan diperkenalkannya otonomi daerah dan desentralisasi sejak 1999, terjadi kebangkitan para penduduk asli di Kalimantan, tak terkecuali di Tarakan. Anak-anak muda Tidung yang terdidik mulai meningkatkan kapasitas mereka dan berupaya untuk menjadi ”tuan di tanahnya” sendiri.
Mobilitas vertikal pun terjadi di Tarakan. Cara yang mereka lakukan sangatlah damai, bukan merebutnya dengan cara-cara kasar dari tangan pendatang, melainkan melalui kerja sama dengan para pendatang untuk meraih impian bersama di tanah yang menjanjikan itu. Koalisi politik untuk meraih posisi puncak di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah fenomena nyata yang terjadi di Tarakan seperti juga terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur pada umumnya.
Di sini tampak bahwa upaya pemerintah daerah untuk menjadikan Tarakan sebagai ”The Little Singapore” bukanlah impian semusim, asalkan ada kerja sama yang baik di antara semua anak-anak bangsa dari berbagai suku di Indonesia yang tinggal di Tarakan. Ini tentunya membutuhkan kondisi keamanan yang amat kondusif bagi pembangunan ekonomi di wilayah itu.
Bukan konflik antaretnik
Hubungan antaretnik di Tarakan selama ini berjalan baik, dibalut dengan inklusivisme penduduknya. Seperti diutarakan Wali Kota Tarakan Udin Hianggio kepada Tempo Interaktif (29/9), konflik antaretnik belum pernah terjadi sebelumnya di Tarakan. Hianggio yakin bahwa apa yang terjadi di Tarakan bukanlah konflik etnik, melainkan perselisihan antarwarga yang meluas karena ada provokator.
Lepas dari ada tidaknya provokator, kondisi ekonomi di Tarakan dan beberapa kota di Tanah Air memang benar-benar menyedihkan. Harga-harga kebutuhan pokok sejak Lebaran bukannya menurun, sebaliknya malah terjadi peningkatan, sementara pendapatan penduduk tidak naik dan kesempatan kerja juga semakin terbatas. Tak heran jika kondisi ini ibarat ”sekam kering yang setiap saat mudah terbakar”, tanpa adanya bensin atau bara sekalipun. Embusan angin sedikit saja sudah menyebabkan api mudah menyala.
Bukan untuk menyalahkan, tetapi tampak jelas betapa kesigapan aparat keamanan, khususnya Polri, memang kurang untuk mencegah perselisihan antardua keluarga itu membesar dan meluas menjadi pertikaian komunal. Penanganan pengungsi juga terlambat dilakukan.
Satu sisi positif, Polri kini mau mengakui adanya kekurangcepatan dalam bertindak untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah, seperti yang dinyatakan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Iskandar Hassan dalam soal penanganan konflik di Jl Ampera, Jakarta, Rabu lalu. Sisi positif lainnya, Polri juga sudah mau bekerja sama secara positif dengan TNI, bukan saja dalam penanganan terorisme, melainkan juga dalam penanganan masalah keamanan pada umumnya, termasuk di Tarakan.
Polri, seperti juga TNI AD pada masa lalu, bukanlah ”pemadam kebakaran”. Tetapi, adalah tugas negara secara keseluruhan untuk memberi rasa aman kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang asal suku, agama, ras atau golongan, di mana pun mereka berada. Semoga Tarakan semakin damai dan impian menjadikan Tarakan sebagai ”The Little Singapore” terwujud. Damailah Tarakan, Damailah Negeriku!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/01/03155136/damailah.tarakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar