Selasa, 11 Agustus 2009

Hadits Mursal

1. Mursal

Hadist dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana hadist shahih maupun hadist hasan. Hal tersebut karena kemungkinan kekurangan persyaratan shahih dan hasan juga sangat beragam. Oleh karena itu, ada ulama ahli hadist yang membagi hadist dhaif menjadi 42 macam, 63, 81 bahkan ada yang sampai 129 macam[2].

Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih.

ü Dari segi keterputusan sanad, hadist dhaif terbagi menjadi:

ø Hadist mursal : yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Tabi’in langsung dari Nabi SAW, dengan tanpa menyebutkan Sahabat. Disebut mursal karena perawinya melepas hadist begitu saja tanpa mengikatnya dengan Sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah.

Hadits Maudlu’ : adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan Sabda nabi SAW ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.

Definisi

5. Hadis Mursal
Mursal menurut bahasa adalah yang lepaskan, yang dilangsungkan . Yang dimakdsud hadis mursal adalah hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’iin .


مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.

Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’iy.

Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.

Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf (5281)


عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum”

Atha’ dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.

Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal

Hadis mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dla’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan hadis mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedla’ifannya atau lebih sahih darinya selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.

Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya dari seorang shahabat.

Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.

Gambar 3: Skema Hadis Mursal

ô Hukum

Secara umum, jumhur ulama sepakat bahwa hadist dhaif tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk diamalkan. Namun demikian, terdapat tiga golongan dengan tiga pendapat yang saling berbeda.

Ø Menolak sama sekali hadist dhaif, baik yang menyangkut hukum-hukum syariat (halal dan haram), targhib wa tarhib (motivasi dan kecaman), fadhail al-amal (keutamaan ibadah) dan lain sebagainya. Ulama yang menganut pendapat ini diantaranya ialah: Yahya bin Ma’in, Abu Bakar bin al’arabi, Bukhari dan Muslim.

Ø Menerima dan mengamalkan kehujjahan hadist dhaif secara mutlak, bila tidak ditemukan hadist lain yang lebih baik kualiasnya. Hadist dhaif yang dimaksud dalam hal ini adalah yang tidak berat kedhaifannya, misalnya hadist mursal. Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah: Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Daud.

Ø Menerima dan mengamalkan kehujjahan hadist dhaif dalam masalah targhib dan tarhib, mawaidz (nasehat-nasehat) dan fadhail al-amal serta sejenisnya. Akan tetapi tidak menerima bila dijadikan sebagai hujjah hukum syariat dan akidah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan muhaditsin maupun fuqaha. Hadist dhaif yang mereka terima adalah yang memenuhi persyaratan:

w Kedhaifannya tidak terlalu berat.

w Isinya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat

w Hukum yang dikandung termasuk dalam prinsip umum yang ditetapkan oleh al-Quran dan hadist shahih.

w Dalam pengamalannya, tidak boleh diyakini bahwa Nabi benar-benar telah melaksanakan atau menyebabkannya, melainkan hanya untuk lebih berhati-hati atau untuk kesempurnaan amal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar