[ Minggu, 30 Agustus 2009 ]
Belo yang Ingin Diperistri Lelaki Kaya Itu...
Jika benar itu Belo, aku gembira melihatnya di kala pikiranku kalut dan pasrah seperti ini.
Tak banyak yang berubah padanya. Rambut lurus sepunggung, hidung sedang, dan kulit hitam. Aku suka memandang matanya yang bundar besar, maka itu aku dan teman-teman memanggil Atikah, Belo. Mata itu sama bagusnya kala ia mendelik, marah, kesal, kecewa, dan gembira.
Pandangan perempuan itu menyapu seluruh ruang restoran. Aku menunggu dengan was-was, semoga ia melihat dan mengenali lelaki yang dulu tak sudi ia nikahi karena bercita-cita menjadi pegawai pemerintah.
Siang itu aku sendirian, menikmati, lebih tepatnya mencoba menikmati sushi, menghilangkan gundah, di restoran Jepang langgananku, sambil menunggu sesuatu yang bisa saja menimpaku hari ini.
Aku duduk tak jauh dan searah dengan tempat ia berdiri. Aku menatapnya, berharap kami bersirobok pandang. Aku akan berlari menghampirinya jika ia melihat dan mengenaliku. Ternyata aku lepas dari pandangannya. Kulihat kemudian ia memandang pria di sampingnya dengan senyum memesona.
Belo masih bahenol! Dia benci sekali disebut bahenol, karena tidak suka pada buah dada dan pantatnya yang berisi, yang menurutnya memalukan karena tidak sama dengan ukuran teman-teman seusianya dan sering jadi bahan olok-olok. Dia berupaya menyembunyikan buah dadanya dengan mengenakan kutang ketat, menghimpit.
Siang itu ia mengenakan sackdress batik motif riang, berleher rendah, tanpa lengan. Sepatu sandal bertumit sedang. Tas kulit cokelat kecil dengan simbol tapal kuda tergantung di bahunya. Mustahil ia bisa membeli tas kulit buatan Jerman itu dari hasil tangannya memegang ani-ani memetik padi serupa dahulu.
Benarkah itu Belo? Belo yang pernah kubonceng di punggung lembu yang kugembala keliling di tegalan dengan jalan tanah gronjalan. Belo yang kala itu duduk di kelas 1 SMP pernah membuatku terpana, karena bercita-cita ingin menjadi istri lelaki kaya, yang bisa memberinya rumah gedong, mobil colt, dan toko kelontong.
Belo tertawa kencang ketika kukatakan aku ingin menjadi pegawai pemerintah, yang kerjanya ringan dan sebentar, tapi dapat gaji tiap bulan.
''Kalau begitu aku tidak akan menikah denganmu. Guru dan pegawai desa yang kerja pakai seragam tidak kaya,'' katanya.
''Menurutmu pekerjaan apa yang membuat aku kaya dan bisa menikahimu?''
''Jadi juragan angkot seperti Haji Juki, yang bekerja dari pagi hingga sore, bahkan malam hari. Makanya ia banyak uang, bisa beli rumah, mobil, dan membantu anak-anak tak punya, seperti kita, menyelesaikan sekolah.''
Akan kukatakan padanya kalau dia keliru. Ternyata pegawai pemerintah juga bisa kaya!
***
Aku dan Belo berasal dari keluarga miskin. Gubuk kami bersebelahan. Kami sekelas dari kelas satu sampai kelas enam, di SD Inpres yang beberapa temboknya berlubang. Kami ragu-ragu bisa menyelesaikan SMP negeri. Untungnya kami tergolong pandai. Itu sebab Haji Juki memberi kami beasiswa hingga selesai SMP dan lulus dengan nilai tidak jelek-jelek amat untuk orang miskin, yang tak punya banyak waktu untuk belajar karena harus bekerja.
Satu saat Belo mengatakan padaku ingin sekali bisa mengendarai sepeda.
''Dari mana kau dapat uang untuk membelinya?'' tanyaku.
''Aku sedang mikir bagaimana cara bisa naik sepeda tanpa perlu membelinya.''
Sebulan kemudian aku kaget bukan main ketika melihat Belo menggenjot sepeda ontel milik Mbak Yum, putri Kepala Desa. Ia kemudian memboncengku. Namun, karena Belo belum mahir betul, ia gugup saat berpapasan dengan pedati. Ia kehilangan kendali. Kami pun terperosok ke parit, di tepi jalan.
''Aku jadi mak comblang Mbak Yum dan Pak Guru. Aku yang mengantar surat-surat mereka. Aku juga suka mengantar mereka pacaran di bantaran sungai,'' cerita Belo.
Tak lama setelah itu aku melihat Belo bisa mengendarai motor bebek milik Palal, putra pemilik penggilingan padi.
Menurut teman-teman, Belo bisa belajar motor karena pacaran dengan Palal, kelas 2 SMA. Seseorang mengatakan, telah melihat Belo dibonceng Palal ke waduk tempat wisata, di dusun sebelah. Belo dibonceng dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Palal. Sebelah kepalanya tergolek di punggung Palal.
Mengingat sepak terjang yang pernah dilakukannya, mungkin saja, perempuan itu adalah Belo. Mungkin saja pria asing itu suaminya yang kaya, memberinya rumah gedong. mobil colt, dan toko kelontong?
Melihat penampilannya, Belo tentu sudah pensiun dari kerja serabutan. Dulu, banyak pekerjaan yang ia lakukan untuk memperoleh nasi, beras, atau uang. Sepulang sekolah kadang ia diminta menjaga warung kelontong Aheng, sejam dua jam. Aheng memberinya makan siang dan sedikit uang.
Lalu pindah ke rumah Kepala Desa menyapu daun-daun kelengkeng kering di halamannya yang luas. Ia makan malam di situ. Usai magrib ia ke surau, mengaji. Setelahnya kadang membantu Emak Biyoh membungkus kue moci jika mendapat banyak pesanan. Di musim panen ia ikut memegang ani-ani, memetik padi.
Orang-orang senang mempekerjakan Belo yang murah senyum, manis, periang, rajin bekerja, jujur, dan pandai membawa diri. Di kalangan pemuda pemudi ia terkenal sebagai orang yang bisa dipercaya menjadi mak comblang. Ia baik padaku, sering membagi makanan dari pemberian orang-orang.
Aku adalah Si Gembala, begitu orang-orang kampung memanggilku karena itulah keahlianku. Aku bisa menggembala kambing dan kerbau. Kambing kubawa ke padang rumput di balik bukit. Senjataku pecut dan sabit untuk menebas rumput. Kepala Desa puas dengan jasaku karena kerbau peliharaannya tumbuh sehat dan bersih. Aku sering memandikannya di sungai, menggosoknya dengan sabut kelapa kering.
Kalau sedang tidak ada pekerjaan Belo turut menggembala denganku. Ia membantuku menyabit rumput dan mengawasi kambing agar tidak lepas dari rombongan. Sambil mengawasi kambing kami membuat boneka-bonekaan dari ilalang yang panjang-panjang. Jika menggembala kerbau, kami paling suka naik di punggungnya, mengikuti langkah kerbau yang lamban dengan terus memamah rumput-rumput yang ia lewati Saking seringnya kami terlihat berduaan, kami diisukan pacaran.
''Kamu tahu aku, cita-citaku jadi istri lelaki kaya, yang memberiku rumah gedong, mobil, dan toko kelontong. Tapi, kalau kamu kaya, mungkin aku akan menikah denganmu.'' Begitu Belo berkomentar tentang gosip tersebut, saat kami pulang menggembala kambing, menuruni bukit setengah berlari. Kala itu kami duduk di kelas 3 SMP. Namun Belo seperti siswi kelas 2 SMA karena tubuhnya bongsor. Lekuk dan bukit-bukit kewanitaannya tampak menonjol. Sementara aku, mimpi basah pun belum.
Selulus SMP Belo pindah ke kota kabupaten, ikut salah seorang saudaranya yang berjualan di pasar. Dari ayahnya aku dengar ia sekolah di SMKK. Sementara, karena nilaiku yang bagus, Haji Juki menawariku melanjutkan ke SMA. Sore dan hari libur aku diminta bantu-bantu di pool angkotnya.
Tak lama setelah itu aku belajar mengemudi. Ingin sekali aku menunjukkan pada Belo bahwa meski tak memiliki mobil aku kini bisa menyopir. Bahkan kadang di hari libur aku menjadi sopir tembak. Satu hari aku mengemudi dengan kencang menghindari kejaran polisi karena aku tidak punya SIM. Sialnya mobilku menabrak mobil baru milik Pak Hakim yang sedang diparkir di tepi jalan. Polisi menangkapku dengan dua kesalahan, menabrak mobil dan tidak punya SIM. Tapi, aku terbebas dari jerat hukum karena Haji Juki memberi uang damai pada polisi.
Sejak saat itu aku bertekad ingin menjadi hakim, pegawai pemerintah yang kulihat punya mobil mewah.
Gubuk kami kemudian tak lagi bersebelahan setelah sebagian kampung kami digunakan untuk asrama haji. Berhubung untuk kepentingan amal penduduk tidak keberatan mendapat ganti rugi. Saat itu aku baru tahu kalau gubuk keluargaku dan Belo dibangun di atas tanah Haji Juki. Haji Juki kemudian memberi keluarga kami sebuah gudang kosong dekat lumbung padi miliknya. Sedangkan Belo dan ayahnya meninggalkan desa, ikut saudaranya.
Sejak itu aku tidak pernah bertemu Belo.
***
Kutatap lekat-lekat perempuan yang berjalan ke arahku, menggelendot di lengan pria tampan, tinggi tegap itu. Aku semakin yakin ia adalah Belo. Aku ingin cerita padanya bahwa Haji Juki memuji kepintaranku dan terus membantuku kuliah dan lulus dengan nilai-nilai yang bagus.
Citaku-citaku untuk menjadi pegawai pemerintah terwujud. Aku ingin Belo tahu bahwa pekerjaan itu membuatku kaya. Aku punya dua rumah besar, satu apartemen, tiga mobil mewah, deposito, dan lain-lain. Aku yakin mata bundar Belo akan terbelalak ketika tahu isi pundi-pundiku.
Bukan hanya itu, teman-temanku banyak; politisi, pengusaha, dan pengacara. Namaku belakangan ini sedang beredar media cetak dan terus masuk di breaking news televisi. Aku sudah merasa, mungkin hari ini akan menjadi hari besarku. Jika ia rajin menyimak berita tentulah ia tahu betapa populer teman masa kecilnya ini. Bagaimana ya perasaannya?
Kuputuskan aku akan menghampirinya dan menyapanya. Jika benar dia Belo akan kujelaskan tentangku sebelum ia tahu dari orang lain. Tapi perlukah?
''Belo,'' aku pura-pura terkejut saat aku bersimpangan langkah dengannya.
Belo menatapku dengan matanya yang belo, bundar besar dan indah.
Reaksinya kulihat ragu-ragu. ''Maaf, saya kira Anda...'' Kupikir dia bukan Belo atau ia lupa padaku. Jangan-jangan ia tak mau kenal lagi denganku.
Ia meneliti wajahku, dasiku, sepatuku, sekujur tubuhku. Lalu spontan ia memelukku, mengesun kedua pipiku. ''Aku tahu hanya teman-teman masa kecil yang memanggilku Belo. Namun aku ingin yakin bahwa kamu adalah Si Gembala.''
''Masih ingat panggilanku...,'' ucapku.
Belo tersenyum. ''Tentu saja. Oh, ya, ini Angelo suamiku. Kecil dulu aku dan dia suka menggembala bersama,'' cerita Belo pada suaminya.
''Kami tinggal di Italia, bisnis ukiran Jepara. Banyak peminat ukiran di sana...''
Italia? Pantaslah, jika ia tidak tahu bahwa teman masa kecilnya terkenal.
''Senang sekali bertemu kamu. Istrimu, anakmu, kamu, kok tampak kusut-masai?'' Belo memegang kedua pundakku, menatap mataku lekat-lekat.
Aku ingin mengatakan sesuatu pada Belo, tapi mataku menangkap beberapa wartawan televisi dan media cetak bergegas masuk ke restoran. Aku tercekat dibuatnya. Aku tak punya waktu lagi.
''Angelo, bagaimana kalau kita rayakan pertemuan dengan teman lamaku?''
''Sure...'' Angelo menepuk pundakku, mengajakku mengikuti pelayan yang mengantar ke meja.
Aku pura-pura menjajari langkahnya. Sebab aku tahu, langkahku akan terhenti beberapa saat lagi. Derap sepatu itu sudah ada di belakangku, semakin dekat. Lalu seorang petugas polisi berdiri di depanku.
''Pak Hakim, kami memegang surat perintah untuk...''
Wartawan televisi kemudian mengerubutiku, mewawancaraiku. Kulihat Belo menatapku dengan mata bundarnya yang tetap bagus kala ia mendelik marah, kesal, kecewa, dan bahagia. Beberapa saat kemudian kulihat ia mengucek-ucek matanya yang belo dengan mulut terbuka.
Aku yakin sebentar lagi ia akan tahu tentang Si Gembala, yang tak lain adalah hakim yang terungkap menerima suap, dari breaking news di hampir semua statsiun televisi. ***
Oleh Ida Ahdiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar