[ Minggu, 13 September 2009 ]
Nyanyian Seribu Bulan
''Maaf, karena telah kerasan!'' Ia girang menyapa.
Aku hidup dari sunyi dan Hawa membawaku terbang melayang-layang. Katanya kami bakal menggapai surga. Matanya yang purnama menulariku mengeja matahari. Ia buka mataku dan menuntunku memasuki lorong-lorong bumi. Alam ini indah bagi para ilmuwan keindahan, bisiknya. Tapi mataku? Hanya retina dan optik yang perih dan luka. Mungkin silau oleh gempuran cahaya keindahan yang tiba-tiba.
Begitulah awalnya. Sejak entah aku berdiam di relung hampa. Putus jalinan hati antaraku dan hubungan darah para handai taulan. Sejak bumi mengafani Ayah dan Ibundaku, mataku kehilangan matahari. Dan tubuhku kecurian planet. Aku suwung! Berjalan ngelangut sesiang semalam tanpa gigi tanpa kepala. Ruhku, barangkali ruhku saja nyelinap di antara halaman buku sejarah yang berdebu di toko loak.
Sesosok jemari halus memungutnya. Memberinya sentuhan cinta. Tergeragap bangun kaget dan bingung. Aku menjurai bayangan liar dan satin. Seperti orang lain, perempuan lain, tak penting siapa nama, menjebol pintu belakang rumah bersama angin.
Mata lelah dan sengsara, rambut gimbal baju moyak, serasa pengemis yang datang dari dunia jelaga. Berjalan ia meremas hari tak pasti. Banyak lorong dan ceruk dari batu-batu dan luka yang mesti dilewati. Kadang ia menawar senja. Pabila burung-burung berbaris syahdu merindu sangkarnya, ia tengadah membuka sebaris gigi keropos yang telah habis dipalu masa. Ia jalan terus mencari timur di barat, mengejar utara di selatan.
''Aduhai hari-hariku,'' ia cerita apa adanya.
Menerawang. Perempuan itu menjumpa api dalam gedung tinggi. Api yang disentuhnya dengan sepuluh jari bersama degup jantung yang pasti. Stabil. Matanya berubah menyala. Bibirnya merekah pink. Berayun-ayun tangannya gemulai menarikan sebuah melodi.
''Di sini hari masih pagi. Dan selalu pagi.''
Lalu ia tinggal di gedung itu mengeja pagi. Membaca banyak mata dan bau mulut beraneka aroma. Dilihatnya juga banyak tangan teracung ke udara. Atau mengepal tinju ke angkasa. Suatu kali ia kebagian jatah menepukkan dua telapak tangan dalam sorak gembira. Karena tangannya hitam dan berdaki, bertumpuk daki, soraknya terdengar paling kuat. Cukup kuat untuk memutar sekian ratus kepala dari wajah-wajah yang berminyak pagi.
Tak percaya. Ia kembali bersorak menepuk riang, membahasakan matahari pagi. Tak dinyana pula, ratusan kepala itu menjadi ribuan, memutar wajahnya menatap tajam kagum dan senang, ke arah matanya.
''Ke arah mataku mereka memandang,'' keluhnya bahagia.
Mata-mata itu lalu berubah jadi api yang membakar dadanya. Perempuan itu naik ke podium dan merebut separo simpati dari audiens. Dikunyahnya jam bersama menit dan detik-detiknya. Ternyata ia lebih canggih dari sekadar mitos dan legenda yang pernah tergantung di pundaknya. Tersenyum ia menikmati karunia yang pernah hilang itu. Kembali dalam ayunan ibu.
Matahari menyorot dari balik matanya. Seakan tokoh politik yang turun dari podium, perempuan itu lahir kembali jadi beraneka rupa. Berdesakan dalam pasar ikan bau. Suatu kali terlihat tengah sibuk menata menu dalam perjamuan makan malam bersama orang-orang penting. Para pahlawan dan penjahat dari berbagai negeri. Kala lain ia tampil dalam fashion show melenggokkan mata-mata narsis, dan ratusan mulut buaya yang mendesis. Saat lain pula ia akan bertarung memperebutkan kejuaraan dalam arena lomba. Mengalahkan lawan main dengan cara yang muskil.
''Karena hidup, kau mesti terus mengalir,'' bisiknya padaku.
Kakinya memanjang berkilometer, beratus beribu-ribu, sejauh jalan membentang. Sampai api yang pernah menyentuhnya jadi hilang, tak segarang dulu. Maka hilang juga matahari dalam rumahnya. Sebab rumah tinggal pilu dan luka. Tak ada yang mesti dipertahankan dari kampung dan kota yang disesak kebodohan. Jiwa butuh refreshing. Otak perlu kanal yang mengalir nuju samudera, melarung hari-hari berkerudung takziah.
''Di mana kau kini, Hawa!?'' Aku bertanya.
''Inilah perjalanan pertama dari seribu episode petualangan. Karena seluruh bumi adalah asing. Wilayah baru beserta segala yang runtuh. Usai ombak hitam yang bangkit dari tidur lautnya. Tegak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilometer per menit. Sambar apa saja dilalui. Menggeram mendesis bak kobra lapar berabad melahap manusia berikut peradabannya. Maka, lihat itu Adam, betapa bingungnya ia tanpa peta. Betapa pusingnya ia terlipat ombak dalam dadanya, hingga peta itu dipinjam laut tak kembali.''
''Tapi aku tahu. Aku mesti jalan ke depan,'' teriakku.
''Banyak daerah yang tak dikenal di masa depan. Kau akan kesasar!'' jawabnya.
Lalu pergi begitu saja. Lenyap dalam nyanyian seribu bulan. Puasa tak henti-henti. Lapar haus menggeleparkan diri. Gerimis mengundang. Petir dan kabut bergulung meninggalkan jalan becek berlumpur. Kampung ramai dikepung penyakit dan air comberan. Aspal rekah berbuih. Matahari merah saga membawa pergi semua yang telah diberi nama. Gunung, laut, sungai, batu, pasir, debu, bergema di ruang kepalaku. Sampai Adam tiba-tiba datang di sisiku, menatap cakrawala. Mengurai kemegahan hidup yang menghampar di tepi pantai. Ia resap anginnya. Ia hirup napas semesta. Lalu karam hatinya dalam tumpukan tanda tanya.
''Di mana kau sembunyikan kekasihmu, sobat?'' Aku membisik gelisah telinganya bersama ombak yang kemarin sapa langit dan menjamah darat dengan kuku Izrail.
''Kau bawa semua, bukan. Dan kau tinggalkan aku sendiri, ngungun di gigir sepi!''
''Dan pilu,'' kataku.
''Hah! Siapa kau?'' Ia tergagap, menatapku bagai kilat.
''Sahabat Izrail. Sang Mikail!''
''Dan urusanmu datang kemari?''
''Urusan kemalaikatan!''
''Haaa!!'' Ia tergagap lagi dan pikun.
Batin Adam alzheimer! Benda-benda lenyap dari batok kepalanya. Puluhan triliun dikira hanya beberapa puluh miliar. Dolar datang membanjir dari langit hujan persaudaraan, berpuluh kontainer minyak tanah berubah jadi air mata, dari bumi kembali ke bumi. Di atas derita sebuah negeri, di atas tindih luka lara, masih juga ada tangan yang mengambil bukan haknya. Begitu mungkin ia berpikir. Seperti Karun sibuk mengelupasi mangsa. Mencucup darah sesama sampai sekarat dan koma dalam tiga puluh dua kali dua belas purnama.
''Nyanyian seribu bulan, maksudmu?''
''Bukan.''
''Lalu apa?''
''Kau memang pelupa kelas kakap.''
''Bukan Adam jika tak pelupa.''
Nihil benar jawabnya. Pengungsi akhirat tamu-tamu dunia. Alangkah aneh dan ajaibnya. Tak merasa terlempar ke planet asing tak berkampung Tak berkota. Diri tanpa kepala. Burung-burung kembali ke sarang namun kami tak ada rumah tak ada halaman ke mana pulang. Pelancong benar dunia tanpa halte, bisikku. Dan barak-barak adalah rombongan mudik ke negeri tanpa istana. Tak ada desir angin. Malam ngungun. Burung-burung hilang kicauan. Rumputan diam. Gunung-gunung menangis. Kami berlelehan air mata.
''Mengapa tanganmu meminjam tangannya, sobat?''
Sendu menyulap sunyi di mata Adam. Dan sunyi menjelma belati. Siap menghunjam meremuk wajah kuasa yang bertengger di pucuk sana. Karena romantikus pemberontak adalah tanah yang diurap bening air mata. Narsistik! Ia jarang mandi karena setia bau tubuhnya. Tak ngaruh nasionalisme semu. Haram laundry karena menghalang upaya pencarian diri. Ia melihat dunia bagaimana harusnya. Bukan begitu adanya.
''Mengapa, Adam? Nadamu hujatan berseru?''
''Karena amanah yang dikotori. Karena bening langit dicemar lumpur bumi. Hati yang busuk dan sakit!''
''To the point aja,'' kataku.
''Semua semu. Harta rakyat diguna tutup hutang negara. Tapi orang masih bisa bangga selamatkan negara dalam duka. Hihi, fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdziban?''
''Ah! Yang benar?''
''Religius bukan?''
''Bukan?!'' jawabku keras.
''Bukan! Haha... dari zaman lama sampai yang baru, mungkin juga kini, rakyat kita sudah ditabal sebagai modal para kuasa. Bendera hampir hilang warnanya, tinggal tanah menyala api zamrut katulistiwa.''
''Gombal, ah!''
''Tak boleh merdeka! Ahistorik namanya. Itu baru gombal.''
''Tapi negeri ini tak mau gila. Entar diprovokasi separatis lagi. Maka itu aku suka seribu bulan di atas danau!'' Aku berkata semau-mau.
''Dasar!''
''Emang dasar! Di sini piutang, di sana tumpukan uang! Bikin ekonomi putaran luka. Wal bala wal laba..."
''Masa iya sih?''
''Kalau mau cari uang tak perlu ke mana-mana. Seperti sepotong hati yang dipaksa mati!''
''Ah! Yang benar?''
Adam alzheimer lagi mengingat semuanya. Para relawan yang berbondong datang mengusung janji dan pamflet dan panji dan bendera dan partai-partai. Legislatif jadi intip di dasar ketel ibu pertiwi. Tong kosong semua. Ada yang datang dengan truk berisi uang, katanya. Lalu mereka pergi dengan truk tetap penuh. Di hari lain datang lagi hingga purnama jadi gulita. Yang berdiri hanya kerangka, daging hilang entah ke mana.
''Pilihan raja itu seperti gempa. Bumi diayun-gerakkan. Lalu kampung-kampung jadi puing. Jalanan rekah, gedung-gedung nukik ke bawah. Kemanusiaan hanyalah listrik padam. Hati pecah di kegelapan.''
''Bukan! Tapi bumi sedang ditata ulang. Kampung-kampung sekarat mesti diremajakan. Aspal usang penuh sejarah korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik padam memberi jeda bagi manusia untuk menyepi, berjuang keluar dari pengap dunia penuh tipu dan sesak kotoran.''
''Ini bulan lapar dan dahaga. Kau mesti menang,'' kataku.
''Kau sedang mengigau diterjang gempa,'' katanya.
Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik puisi, sajak cinta, dan kesimpulan. Ayat suci jadi keranda di televisi. Sorban dan peci haji bergambar ular. Pulau-pulau kepulkan asap naga hitam.
''Bangsa-bangsa yang dihancurkan biasanya akan bangkit lebih cerdas dan gemilang,'' katanya lagi.
''Tak usah menghiburku dengan pelajaran sejarah.''
''Setuju, sebab aku butuh sepiring nasi.''
''Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, kawan!''
''Bukankah si pencuri paling suka hati?''
''Hati mati di sayap garuda.''
Ingatan mengembara pada baju-baju dan kendaraan. Juga kampung mati, para janda dan piatu. Begitu banyak yang sudah dikorbankan untuk membangun semuanya. Bertahun-tahun. Berpuluh-tahun. Tetapi rupanya, bukan wajahnya, negeri ini selalu ingin digempa dari tidur panjang. Sementara yang tidur dalam kondisi lebam sakit mules dan diare. Dehidrasi. Deaqua. Demoral. Sesak napas di ranjang yang kotor dan pengap. Rakyat pilu dan megap-megap.
Aku berlari nuju sungai baru. Kotor juga airnya seperti rumah sakit gratisan. Tengok kiri kanan dan mendapati semesta berwajah pasi. Meregang nyawa. Ini sakit akbar tempat berpuluh juta jiwa sekarat dan koma. Menunggu sang penyembuh yang kabarnya tengah lelap di atas kursi goyang istana.
Aku tergagap. Merinding bulu kuduk saat bersitatap dengan tampangnya. Ini Adam atau lelaki kuntilanak? Pasti ini salah alamat. Sebab ia hanya mengikik sebelum kutanya. Sampai aku terkesima. Memandangi guratan tokek di sekujur tubuhnya. Aku tak yakin sedang berhadapan dengan manusia ataukah komodo. Demi sebuah jawaban, nyali kupompa habis.
Dupp! Aku meringis. Revolver itu meletup di kaki kirinya. Menggesek tulang menembus kulit dan melolonglah ia, jatuh dan mengaduh tak karuan. Beberapa orang sibuk dengan niat kebaikan. Tapi lolong itu terus meninggi menembus berjuta daun telinga dan terpana. Bisik-bisik dan takut merajalela. Saling bertanya. Diri ini Adam atau Hawa. Yang ketemu jawabnya malah manusia merana.
Aku tahu bahwa nasib manusia memang ada di tangan Sang Pencipta. Maka itu tak boleh kuasa sesukanya menentukan segala sesuai keinginan. Tapi di balik tangan sang kuasa itu, ada anugerah otak dan pikiran untuk menimbang baik dan buruk, memilih yang mulia dan nista, serta berusaha mencari yang terbaik bagi hidupnya. Itulah pencarian yang kini terus menggema mengumandang di balik kesadaran orang-orang gempa. Ingin mendengar nyanyian seribu bulan dari lidah langit. Seperti ditakdir hidupku dalam sunyi dan Hawa membawaku terbang melayang-layang, menghirup aroma surga yang berhembus dari kubah miring diterjang gempa.
Dan aroma itu selalu datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Tapi kini hanya Fatimah berbunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan menyanyi dalam kepalaku. Selalu. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku. Pilu negeri ini mendayung ulu hati. Manusia kelimpungan tanpa bintang gemerlapan. Redup cahaya di dada. Alam bergolak dan bencana jadi upacara. Bersih bumi berkali-kali. ***
*) Abidah El Khalieqy, pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar