Kamis, 22 April 2010

Politik Kabur Air


Jumat, 23 April 2010 | 03:54 WIB

Oleh Dony Kleden
Moral politik kita sudah sangat mendangkal. Pendangkalan itu tidak hanya terjadi karena kealpaan dalam menerjemahkan pesan moral praksis, tetapi karena ketegaran dan bekuan nurani yang memaradekan politik kabur air.Mendangkalnya moralitas politik kita sebenarnya tertenun sejak Orde Baru, di mana Soeharto dengan segala politik busuknya memasung demokrasi sehingga segala keputusan menjadi monovoice dan hegemonic. Tidak ada kompromi politik yang melibatkan pendapat alternatif.
Pada masa reformasi ini jelmaan politik yang mengapkir moral dari pertimbangan dan implementasi semakin mengganas. Betapa tidak, munculnya berbagai kasus yang selama ini terendam dalam genangan mafia, kini sudah mulai terkuak dan melibatkan orang-orang kunci di pemerintahan kita.
Fenomena kasus Century, Susno Duadji, dan Gayus HP Tambunan adalah pajangan layar hitam yang dengan serta-merta membuka aib politik kita. Masyarakat menjadi galau dan instabil. Mau mengadu kepada siapa? Para pemimpin bangsa yang seharusnya diandalkan dalam menangani berbagai persoalan ternyata menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Situasi yang demikian ini sangat rentan menimbulkan masochisme pada tatanan wacana dan sadisme dalam perilaku pada sebagian masyarakat.
Yang pertama, ditandai dengan munculnya rasa bangga ketika secara fasih bisa mencaci maki kebobrokan bangsa dan pemerintah sendiri, sedangkan yang kedua adalah perasaan lega dan bangga ketika bisa merusak dan menyakiti orang lain yang dianggap lawan (Komarudin Hidayat, 2006).
Saling menghujat dan mengambinghitamkan di antara para politisi yang dangkal moralnya menjadi fenomena yang melahirkan kebingungan rakyat sehingga muncul pertanyaan; drama apa lagi ini? Kalau semuanya saling menuduh begini, terus siapa yang salah? Di samping terkesan ada saling lempar tanggung jawab dan mengkambinghitamkan, di pihak lain dalam rasa pesimistis, masyarakat pun berkelu; ini hanya politik kabur air.
Pengalihan perhatian
Politik kabur air adalah salah satu dari politik kotor dengan fokus membingungkan massa dengan cara pengalihan perhatian. Kesan ini cukup kuat karena kasus-kasus seperti yang disebutkan di atas sampai sekarang masih merupakan sebuah teka-teki yang melahirkan pesimisme dan benci. Persoalan-persoalan politik seharusnya segera diurai, dan kooptasi politik ikabur air harus disingkirkan. Namun, harapan semacam ini rasanya sulit karena kita harus butuh seorang pemimpin yang tegas. SBY bukanlah kriteria orang tegas yang bisa diharapkan, apalagi dia sendiri juga diduga menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.
Praktik politik kabur air adalah warisan dari Soeharto juga yang begitu pekat memaksakan kehendak dan membasmi yang kontra. Namun, pembasmian itu diikuti dengan berbagai politik pembangunan sehingga resistensi masyarakat bisa diredam. Dia memang berhasil banyak dalam mempraktikkan politik busuknya, tetapi mengapa politik yang demikian itu sekarang malah begitu hebat mewabah? Ini sebenarnya adalah pertanyaan yang mengorek kualitas integritas politik kita yang kita sepakat mengatakan sudah sangat dangkal.
Aleksandr Solzhenitsyn, seorang novelis Rusia, pernah mengatakan bahwa politik tanpa moral adalah malapetaka. Politik harus hidup dan dituntun oleh petunjuk moral sehingga tidak terjebak dalam tirani yang membenarkan dirinya sendiri (self-justification). Moral bagi Aleksandr Solzhenitsyn tidak boleh diapkir begitu saja.
Pemahaman politik Aleksandr Solzhenitsyn ini sangat berbeda dengan Nicolo Machiavelli. Bagi Nicolo Machiavelli untuk seorang penguasa atau pemimpin politik, moral tidak berguna sama sekali. Yang paling penting untuk seorang pemimpin atau penguasa adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kekuasaan demi stabilitas politik. Itulah sebabnya bagi Machiavelli, tirani, kekerasan, intrik, intimidasi, dan monopoli kekuasaan dalam satu tangan adalah halal dan sah atas nama stabilitas dan kesatuan.
Political horror ala Machiavelli bukan cuma kisah masa lampau, tetapi juga telah menjadi fenomena politik masa kini. Lihat saja Cile di bawah Pinochet, Filipina di bawah Marcos, Uganda di bawah Idi Amin Dada, dan China di bawah Mao Zhe Dong, serta Indonesia di bawah Soeharto. Mereka semua adalah contoh pemimpin yang menafikan moral dan etika politik dalam kekuasaannya. Kebebasan suara hati mereka diremangkan dan dibekukan oleh kesadaran ego. Dorongan ego begitu kuat sehingga mereka terisap ke dalam kawah krisis jati diri lalu lupa akan sesamanya. Sesama bagi mereka hanyalah alat kekuasaan.
Naluri politik itu pada dasarnya tegas dan jelas. Dan politik moral itu sendiri sebenarnya juga tidak hanya kompromis, tetapi juga heroik. Sikap tegas dan heroik inilah yang perlu kita budayakan dalam berpolitik.
Dony Kleden Rohaniwan dan Mahasiswa Pascasarjana UGM, Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/23/03543957/politik.kabur.air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar