Rabu, 27 Oktober 2010

Karya Pemuda

Kamis, 28 Oktober 2010 pukul 10:40:00

Ali Rama
(Sekjen Persatuan Pelajar Indonesia di Malaysia)

"Kami putra putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Kalimat tersebut di atas adalah teks Sumpah Pemuda yang dibacakan oleh pemuda Indonesia dalam kongres pemuda, 28 Oktober 1928, di Batavia. Ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa ini merupakan komitmen bersama untuk menyinergikan seluruh gerakan pemuda di Indonesia pra-kemerdekaan RI.

Keanekaragaman gerakan pemuda pada saat itu yang direpresentasikan dengan munculnya berbagai organisasi kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, pemuda Betawi, serta Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang sifatnya nonkedaerahan ternyata bisa bersatu bersama tanpa melihat perbedaan agama, suku, dan bahasa yang 17 tahun kemudian bisa menghasilkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sumpah pemuda adalah fakta sejarah bahwa semua elemen bangsa bisa bersatu tanpa ada rasa egoisme keagamaan, kesukuan, dan keintelektualan dalam bingkai Bineka Tunggal Ika. Prof Dr Sidek Baba, guru besar di International Islamic University Malaysia, dalam sebuah kuliah umum di KBRI Kuala Lumpur beberapa hari yang lalu mengungkapkan, meskipun Indonesia terdiri atas berbagai suku, bangsa, dan budaya, mereka mampu hidup secara damai dalam satu tanah air, bangsa, dan bahasa. Malaysia, meskipun saat ini menggunakan slogan satu Malaysia, tetapi masih belum bisa menjadikan bahasa melayu menjadi satu-satunya bahasa yang dipakai dalam acara formal mapun nonformal.

Dalam lingkup pendidikan, misalnya, hampir semua tingkat pendidikan sudah tidak menggunakan buku-buku teks berbahasa melayu.
Keanekaragaman Indonesia sudah tidak tepat lagi dilihat dalam bingkai potensi konflik, tapi mestinya dilihat sebagai potensi yang harus disinergikan dalam menopang pembangunan Indonesia.

Keanekaragaman itu harus dikanalisasi sesuai dengan kapasitas dan potensinya. Dengan demikian, setiap indvidu bisa berkontribusi secara maksimal sesuai dengan potensi dan kapasitas keunggulannya.
Pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam situasi keanekaragaman ini adalah yang punya kemampuan sebagai solidarity maker. Ia bisa menjadi perekat bagi semua elemen bangsa dan mengaryakan mereka sesuai bidang kemampuannya.

SBY sebagai presiden RI saat ini memang sudah punya kemampuan merangkul berbagai partai politik, baik di tingkat eksekutif maupun di legislatif, tapi itu terlihat cenderung bersifat politis dan pragmatis. Akibatnya, kebersamaan itu belum bisa menghasilkan capaian-capaian besar dalam bidang ekonomi, politik, hukum, reformasi biokrasi, dan sektor-sektor lain. Ternyata, kebersamaan yang dibangun tidak produktif.

Peran pemuda

Salah satu potensi yang belum termobilisasi dan tersinergikan adalah peran pemuda. Salah satu contohnya adalah lembaga keorganisasian pelajar/mahasiswa, baik yang ada di dalam maupun luar negeri.

Akibatnya, organisasi pelajar/kemahasiswaan cenderung memosisikan diri sebagai oposisi dan kritikus pemerintah. Padahal, organisasi pelajar/kemahasiswaan ini bisa dijadikan sebagai mitra oleh pemerintah dalam menyalurkan potensi dan peran mereka demi pembangunan Indonesia.

DPR dan pemerintah, misalnya, bisa memanfaatkan jaringan PPI di luar negeri untuk meminimalisasi biaya studi banding ke berbagai negara.
Potensi mereka bisa dijadikan sebagai sumber informasi bagi kalangan pemerintah dan parlemen. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bima Arya Sugiarto dalam simposium internasional Persatuan Pelajar Indonesia Dunia yang diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, di London 23-24 Oktober kemarin. PPI bisa dimobilisasi secara optimal untuk memberikan data dan pandangan yang konstruktif bagi lembaga legislatif dan eksekutif.

PPI yang saat ini telah ada di 45 negara bisa dijadikan sebagai mitra peneliti mengingat warganya banyak terdiri atas pelajar tingkat doktoral dengan disiplin ilmu yang beragam. PPI juga bisa bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang ada di luar negeri untuk memberikan data dan pemikiran demi kemajuan bangsa dan negara.

Sebenarnya, banyak ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang menjadi peneliti terbaik pada konferensi tingkat internasional, anggaplah misalnya, Assoc Prof Dr Irwandi Jaswir yang pada 2010 menjadi peneliti terbaik di ajang "World Halal Research Summit 2010" di Kuala Lumpur. Karya-karya mereka bisa dikumpulkan dan dijadikan rujukan bagi pengembangan Indonesia dalam berbagi sektor.

Melalui atase pendidikan KBRI di berbagai negara, mereka bisa menjadi agen pemerintah untuk memotivasi dan mendampingi para pelajar/mahasiswa supaya concern menggali keunggulan-keunggulan negara di mana mereka mencari ilmu. Pelajar-pelajar itu bisa menjadi pakar tentang negara-negara Eropa, Barat, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.

Dalam lingkup yang spesifik, misalnya, pelajar Indonesia dimotivasi untuk mendalami strategi dan keunggulan Malaysia dalam mengembangkan industri keuangan syariah, strategi dan keberhasilan pemerintahan Belanda dalam menanggulangi banjir, keberhasilan pemerintahan Kota Tokyo dalam menata kotanya sehingga tak terjadi kemacetan dan kesemrawutan seperti apa yang dialami oleh Jakarta saat ini.

Mereka akan menjadi aset bangsa ketika telah kembali ke Indonesia. Pengetahuan mereka tentang negara lain akan menjadi masukan positif baginya ketika memimpin negeri ini kelak. Studi banding ke luar negeri dengan sendirinya sudah tidak perlu lagi dilakukan.

Melalui momentum perayaan sumpah pemuda ini, sudah saatnya peran pemuda, khususnya lembaga-lembaga pelajar/mahasiswa, disinergikan dan dikaryakan demi kebangkitan Indonesia. Seperti itulah seharusnya pemuda dididik sebagai penyambung estafet kepemimpinan di masa mendatang.
http://koran.republika.co.id/koran/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar