Minggu, 31 Oktober 2010

Mentawai dan Marzuki Alie

Senin, 1 November 2010 | 04:52 WIB

Oleh Indra J Piliang

Mentawai adalah kabupaten kepulauan paling barat Republik Indonesia. Kabupaten ini langsung berhadapan dengan laut luas: Samudra Hindia.
Selama Indonesia berdiri, Mentawai hanya bagian dari masyarakat yang dianggap memiliki peradaban rendah.

Belakangan Mentawai dikenal sebagai tujuan wisatawan mancanegara, terutama Australia.
Lalu, muncullah gempa bumi sejak beberapa tahun terakhir. Mentawai hadir dalam pembicaraan publik nasional. Namun, tidak komprehensif. Cenderung parsial. Bahkan setelah banyak tim nasional dan internasional datang, Mentawai tetap diingat sebagai daerah rawan gempa. Tidak yang lain.
Yang paling memprihatinkan muncul belakangan. Entah dosa apa masyarakat Mentawai sehingga Ketua DPR bernama Marzuki Alie menyalahkan korban tsunami. ”Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah,” kata Marzuki (Kompas.com, 27/10). ”Kalau tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko, pindah sajalah. Namanya kita negara di jalur gempa dan tsunami luar biasa. Kalau tinggal di pulau seperti itu, peringatan satu hari juga tidak bisa apa-apa.”
Marzuki Alie sepertinya tak paham dengan apa yang dikatakannya. Mentawai bukan seperti Pulau Onrust di Kepulauan Seribu yang mungkin akan tenggelam akibat abrasi air laut. Mentawai berbukit-bukit tinggi. Di daerah yang terkena bencana tsunami, sebagian penduduk masih sempat naik ke bukit atau tersadar setelah sapuan pertama dan lari ke bukit.
Tsunami tidak terjadi saban hari sekalipun gempa bumi bisa muncul setiap pekan belakangan ini. Jadi, terlalu berlebihan solusi atas masalah Mentawai: meminta pindah penduduknya ke daratan atau Pulau Sumatera. Sampai detik ini pun tak ada kebijakan itu. Kalaupun ada sosialisasi antisipasi gempa bumi, pemerintah daerah lebih banyak bicara menyangkut evakuasi, bukan pindah sejak dini.
Penduduk Mentawai semakin hidup ke tepi, apalagi yang menghadap langsung ke lautan lepas Samudra Hindia, ketika terdesak kehadiran masyarakat pendatang. Kayu-kayu balak mulai dieksplorasi pada awal tahun 1970-an. Kedua orangtua penulis termasuk gelombang pertama kedatangan para perantau asal Minangkabau. Bukan hanya kayu, kebun-kebun cengkeh menjadi penyangga perekonomian. Penulis masih ingat bagaimana para pemetik cengkeh mencuci tangan dengan air limun atau soda.
Sebelumnya, Mentawai bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Kini, sebagai kabupaten kepulauan, tentu Mentawai berusaha otonom. Sumber pendapatan baru dikejar. Peran penduduk asli meningkat dalam kehidupan sosial dan politik.
Masyarakat laut
Marzuki juga lupa bahwa masyarakat Mentawai adalah masyarakat laut atau pulau. Mereka menghuni pulau itu sejak sebelum Masehi. Bagaimana bisa dalam sekejap bisa mengubah diri menjadi masyarakat daratan?
Mentawai bukanlah Roma yang bisa dibakar dalam semalam oleh Kaisar Nero. Memindahkan seekor gorila saja dari Afrika ke Kebun Binatang Ragunan butuh biaya tak sedikit. Apalagi memindahkan manusia dengan beragam budayanya.
Marzuki mestinya paham itu dengan baik. Kalau tidak paham, Marzuki bisa bertanya kepada pihak yang paham, termasuk anggota DPR asal Sumatera Barat yang berjumlah 14 orang. Sayangnya, satu anggota DPR asal Sumbar dari Fraksi Partai Demokrat justru sedang ada di Yunani ketika Marzuki menyampaikan pendapatnya.
Tak hanya akrab dengan laut, masyarakat Mentawai menjadikan sagu sebagai salah satu sumber makanan pokok, termasuk ulat-ulatnya. Di Sumatera, pohon sagu semakin sulit ditemukan. Mentawai dan penduduk aslinya dalam banyak benak penyelenggara negara tetap saja dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Akibatnya, dengan mudah dilakukan program yang sebetulnya mencabut penduduk asli dari habitat aslinya.
Masyarakat Mentawai tak takut terkena ombak, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan Mentawai malah terbiasa mencari ikan di laut. Bukan laki-laki!
Bahwa Kepulauan Mentawai akan tenggelam dihantam gempa, seperti daratan di sekitar Gunung Krakatau yang meletus dulu, tentu perlu uji sahih dulu. Yang pasti, penduduk asli Mentawai sulit pindah. Kalaupun pindah, ke mana? Belum pernah terdengar ada transmigrasi suku asli antarpulau, bahkan sejak zaman Belanda. Yang ada hanya program pemukiman berupa kehidupan berkelompok di rumah permanen ketimbang berpindah- pindah.
Bagaimana kalau pernyataan Marzuki dibalik saja: ”Kalau takut gedung DPR miring dan roboh, jangan coba-coba jadi politisi di Senayan”.
INDRA J PILIANG Dewan Penasihat
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/04522568/mentawai.dan.marzuki.alie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar