Jumat, 29 Oktober 2010

Kesetiaan berbahasa Indonesia

Thursday, 28 October 2010

LANGKAH pemerintah Australia yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu rumpun bahasa asing yang diajarkan di sekolahsekolah secara resmi jelas merupakan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Setidaknya dalam ruang globalisasi, jati diri bangsa Indonesia masih dihargai. Hal demikian karena dalam menilai jati diri identitas seseorang, salah satunya melalui tutur bahasa
Untuk itulah terdapat adagium ”bahasa menunjukkan bangsa”. Persoalannya, apakah bahasa Indonesia yang semula ”tidak ada” dan sengaja diadakan secara otomatis mampu menunjukkan posisi dan eksistensi bangsa Indonesia terlebih di negeri orang lain? Dari sudut linguistika, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang awalnya ”tidak ada” dan sengaja diadakan dengan identitas baru.

Dalam novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Anak Semua Bangsa, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu yang miskin kata sehingga terpaksa mengimpor kata-kata baru untuk berkembang. Proses inilah yang menjadikan bahasa Indonesia selalu hidup melalui penciptaan dalam proses penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Pelahiran identitas baru setidaknya berawal dari cara berbicara masyarakat Malaka yang sangat elegan dan indah sehingga terkenal dalam proses komunikasi di seluruh wilayah Hindi Belanda. Alfred Russel Wallace dalam Malay Archipelago dan Jan Huyghen van Linschoten dalam Itinerario menuliskan bahwa Malaka yang berada di semenanjung Sumatera merupakan kawasan berkumpulnya nelayan dari berbagai negara.

Untuk itu, bahasa yang berkembang adalah hasil adopsi kata-kata dari segala bahasa. Penegasan tersebut didukung adanya realitas kemajemukan suku yang ada di Indonesia dihiasi dengan bahasa ibu dan dan bahasa daerah yang berlainan.

Sebagai misal, bahasa Melayu untuk mewakili komunitas di Sumatera, bahasa Jawa untuk mengidentikkan komunitas Jawa, bahasa Sunda untuk mencirikan komunitas Sunda, bahasa Alor untuk menggambarkan komunitas Ambon, bahasa Bulanga untuk mencerminkan komunitas Gorontalo, bahasa Wotu untuk melukiskan komunitas Toraja, dan bahasa-bahasa lainnya.

Dalam prosesnya, bahasa yang termasuk sumber serapan adalah bahasa Portugis, Belanda, Inggris, Sanskerta atau Hindi, Arab, dan Tionghoa. Hal ini akan semakin jelas dengan menyebutkan jumlah kata serapan yang telah disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yaitu Belanda sebanyak 3.280 kata, Inggris sebanyak 1.610 kata, Arab sebanyak 1.495 kata, Sankerta sebanyak 677 kata, Tionghoa sebanyak 290 kata, Portugis sebanyak 131 kata, Tamil sebanyak 83 kata, Parsi sebanyak 63 kata, dan Hindi sebanyak 7 kata. Untuk itulah bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang terbuka.

Disadari atau tidak, sesungguhnya globalisasi merupakan momentum untuk pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka dan adaptif terhadap bahasa lain. Proses kreatif untuk melanjutkan gerakan impor kata mestinya bukan diartikan sebagai proses pembusukan terhadap bahasa In-donesia sebagai bagian dari jati diri bangsa. Hal itu sangat tidak masuk akal, tak lain karena mengandung cacat kenyataan berupa pengingkaran terhadap proses kelahiran bahasa Indonesia sebagai identitas bahasa baru yang menyatukan bahasa asli berupa bahasa Melayu, bahasa- bahasa daerah, dan bahasa asing.

Tetapi itulah salah satu kenya - taan terhadap hakikat pengingkaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka karena terpengaruhi oleh kesadaran tidak kreatifnya penentu kebijakan kebahasaan. Kini, ketika usia kelahiran bahasa Indonesia sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan sudah mencapai 81 tahun, refleksi kreativitas justru terpasung dengan ”menuduh” bahasa asing sebagai virus atas sakitnya bahasa Indonesia.

Ironisnya, penentu kebijakan bahasa yang diperankan oleh Pusat Bahasa dalam menghadapi globalnya interaksi segala bahasa justru mengambil jalan pintas melalui inisiatif lahirnya UU Nomor 24 tahun 2009 tentang penggunaan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. UU yang disahkan pada 9 Juli 2009 ini setidaknya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu memperkuat persatuan, menjaga kehormatan untuk menunjukkan kedaulatan negara, dan mencipta - kan ketertiban serta standardisasi penggunaan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

Pada dasarnya pengesahan UU tersebut diharapkan mampu meng - atasi berbagai masalah yang terkait dengan praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan dan mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalamnya.

Namun konstitusionalisasi bahasa Indonesia ini tidak konsisten dengan hampanya aturan mengenai larangan serta pidana atas penyelewengan bahasa. Sehingga keberadaan UU dengan 9 Bab dan 74 pasal ini tidak memberi langkah praktis pada pengembangan bahasa Indonesia.

Pengalaman sejarah kebahasaan di Indonesia mesti menjadi pelajaran untuk memperjelas posisi perubahan yang harus dilakukan. Selama ini pengembangan kebahasaan hanya ditimpakan pada lembaga pendidikan. Dan justru dari lembaga inilah bahasa Indonesia mengalami kemunduran karena proses pembelajaran yang diperkenalkan terbatas pada ejaan yang dibakukan. Di satu sisi, berawal dari kesadaran untuk menciptakan standar tata bahasa yang berlaku.

Namun di sisi lain, ejaan baku yang telah disempurnakan dan diresmikan penggunaannya pada 16 Agustus 1972 terkesan stagnan bahkan konservatif sehingga pelajaran bahasa Indonesia cenderung ditinggalkan oleh peserta didik.

Untuk itu, penyakit memudarnya kebanggaan serta kesetiaan berbahasa Indonesia terletak pada hilangnya pedoman berbahasa yang baik. Pusat Bahasa sebagai instansi yang berwenang pada kebijakan kebahasaan seolah mati suri dan belum mampu menghadirkan terobosan atas konservatifnya ejaan baku.

Inilah yang kemudian menyebabkan kalangan pelajar sebagai generasi muda pelanjut dan penutur langsung, memilih untuk mengenyampingkan bahasa Indonesia karena tidak adanya teladan dan berkembangnya persepsi bahwa ejaan bahasa Indonesia yang baik justru terkesan kaku dan rigid.

Atas dasar itulah, masyarakat penutur sebagai komponen penjaga keberlanjutan bahasa Indonesia harus diberikan ruang partisipasi untuk mengoreksi dan mengembangkan proses kreatif berbahasa. Bila diperhatikan, kekacauan tutur bahasa yang diwujudkan melalui impor bahasa asing oleh masyarakat penutur pada masa sekarang, bisa dianggap sebagai bentuk kreativitas hak partisipasi masyarakat dalam proses serapan.

Kesempatan demikian agar tidak menjadikan bahasa Indonesia yang semula sebagai bahasa terbuka menjadi tertutup sehingga diperoleh kekayaan kata-kata baru. Pada akhirnya muara pertanyaan di atas mendapatkan jawaban bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kreatif yang dipopulerkan oleh bangsa kreatif dan terbuka dalam pergaulan global.
f Muh. Khamdan Peneliti Paradigma Institute, peserta Program Studi Agama dan Perdamaian Pascasarjana UIN
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42393&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar