Jumat, 29 Oktober 2010

Republik Gorong-gorong

Jumat, 29 Oktober 2010 pukul 11:18:00

Oleh Zaim Uchrowi

Gorong-gorong? Kita tahu sekaligus tidak tahu benda itu. Tahu: gorong-gorong adalah pipa beton besar yang ditanam dalam tanah di sisi jalan. Gunanya, tentu buat menyalurkan air melimpah di jalan yang tak terserap di mana-mana. Tidak tahu: begitu penting peran gorong-gorong buat menggerakkan atau melumpuhkan aktivitas masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Tidak tahu: bagaimana membangun dan merawat secara baik gorong-gorong.
Dalam khazanah pesantren ada istilah wujuduhu kaadamihi. Ada, tetapi seperti tak ada. Tampaknya begitu keadaan gorong-gorong. Setidaknya, itu yang terjadi di Jakarta. Di kota lain di negeri tercinta ini mungkin serupa. Atau malah lebih parah. Gorong-gorong tentu pernah dibangun bersama jalan. Akan tetapi, mungkin juga tidak. Tidak sedikit ruas jalan di negeri ini yang tak dilengkapi gorong-gorong. Maka, begitu turun hujan, jalanan jadi macam kolam.

Jakarta, Senin 25 Oktober 2010 lalu, adalah contoh jelas bagaimana gorong-gorong mampu melumpuhkan sebuah kota. Hujan turun tiga jam. Lebat memang. Namun, di masa lampau itu tak akan menjadi petaka. Tanah-tanah terbuka masih tersebar di berbagai wilayah. Daerah penampungan air alami masih ada. Berkat 'tata uang' dan bukan 'tata ruang', tanah-tanah itu lalu beralih fungsi menjadi hutan beton. Jalan air seperti terkunci. Gorong-gorong tak disediakan secara memadai. Air pun menuju tempat yang tak semestinya, yakni di jalanan. Hasilnya, hampir semua ruas utama Jakarta lumpuh total.

"Saya tiga jam hanya bergerak setengah kilo (meter)," kata seorang pengguna jalan Pancoran-Cawang. "Alhamdulillah, saya sampai rumah jam setengah dua belas," kata seorang yang berkantor dekat Gambir dan pulang ke daerah Ciledug. Sedangkan ia keluar dari kantornya jam lima sore. Waktu tersebut ia capai setelah meninggalkan mobil yang ditumpanginya, kemudian berjalan kaki sangat panjang, dan akhirnya 'naik ojek'. Ada ribuan atau mungkin malah menembus lebih sejuta kisah serupa jika mau dikumpulkan. Itu semua terjadi di Jakarta, Ibu Kota sekaligus kota utama Indonesia.

"Mengurus gorong-gorong saja negara kita tak bisa. Apalagi memberantas korupsi dan mengatasi kemiskinan." Ungkapan itu seperti sekadar seloroh. Namun, kenyataannya memang begitu. Negara ini jauh dari efektif dalam kerja. Bahkan, untuk sekadar membangun dan merawat gorong-gorong secara benar. Pemerintah, meminjam istilah pakar komunikasi Effendi Gazali, lebih sibuk mengurus citra dibanding kerja nyata. Jakarta yang lumpuh akibat hujan sebentar menunjukkan itu.

Gorong-gorong menunjukkan manusia dan bangsa macam apa kita sekarang. Lewat gorong-gorong diingatkan bahwa kita, saat ini, cenderung peduli hanya pada soal permukaan. Terkait hal yang di depan mata. Bukan pada hal yang benar-benar mendasar. Gorong-gorong sekilas seperti urusan sepele. Soal ecek-ecek. Dianggap tak penting karena tak memberi manfaat politis apa pun. Juga tidak bermanfaat ekonomis, kecuali saat dibangun. Gorong-gorong tersembunyi dalam tanah. Kita mengabaikannya sebagaimana biasa mengabaikan hal penting lain yang tak terlihat dan tak memberi keuntungan sesaat. Itu menunjukkan kualitas dan tingkat peradaban kita saat ini.

Gorong-gorong memang bukan urusan mudah. Orchad Road di Singapura pun pernah terendam akibat gorong-gorong atau sistem drainase tak memadai. Namun, negara itu cepat mengatasinya hingga masalah tak meluas seperti di Jakarta. Begitu penting gorong-gorong, kita perlu lebih peduli pada urusan ini. Barangkali kita perlu menjuluki negeri kita ini 'Republik Gorong-gorong'.

Dengan begitu, kita tak lupa dan akan selalu memperhatikan gorong-gorong. Kita tak ingin seloroh 'mengurus gorong-gorong saja tak bisa, apalagi yang lain' menjadi terbukti. Kita tak ingin memiliki negara yang ibu kotanya berantakan hanya akibat hujan sesaat. Bukan Indonesia macam itu, negara yang dicita-citakan para pelaku Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dulu.
http://koran.republika.co.id/koran/28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar