Jumat, 29 Oktober 2010

Waspada ’overvalued’ rupiah dan ’Bubble’ Ekonomi

Friday, 29 October 2010


PENGUATAN rupiah terhadap Dollar AS yang terjadi akhir-akhir ini merupakan semacam tajuk yang menjadi salah satu indikator keberhasilan pengelolaan makro ekonomi Indonesia. Rupiah saat ini mampu menembus level dibawah Rp 9.000/US $. Hampir selama dua minggu rupiah berada pada level Rp 8.900/US $. Penguatan tersebut dipicu derasnya capital inflow yang masuk ke perekonomian. Akibatnya permintaan terhadap rupiah meningkat tajam sehingga kurs rupiah mengalami apresiasi.
Selain itu, penguatan juga didukung cadangan devisa yang mencapai US$ 86,5 miliar sampai September ini. Perlu diakui bahwa penguatan rupiah sekarang ini merupakan capaian yang cukup bagus jika di bandingkan saat terjadinya krisis ekonomi 1998 di mana rupiah saat itu mencapai Rp 16.000/US$ dan cadangan devisa hanya sekitar US$ 20 miliar.

Namun, apresiasi rupiah yang terjadi saat ini juga perlu diwaspadai. Jika apresiasi terjadi secara signifikan, di khawatirkan rupiah mengalami overvalued atau terlalu kuat. Meskipun dampak positifnya, harga produk impor menjadi relatif lebih murah, penguatan yang amat tajam tentu saja bisa berakibat buruk bagi keseimbangan eksternal perekonomian.

Dalam era perdagangan bebas sekarang ini, level kurs sebaiknya pada tingkatan yang moderat. Jika selama beberapa tahun belakangan ini rupiah berada pada kisaran Rp 9.000 - Rp 10.000/US$, maka bisa dikatakan pada level itu adalah level keseimbangan alamiah kurs rupiah. Sehingga jika kurs rupiah terhadap US$ berada di bawah level Rp 9000/US$, maka kondisi tersebut tentu bisa menimbulkan masalah.

Dampak yang paling mungkin terjadi adalah menurunnya kinerja ekspor. Daya saing produk ekspor Indonesia akan menurun karena harga produk yang relatif lebih mahal. Sehingga bisa berdampak negatif terhadap keseimbangan neraca pembayaran, yang suatu ketika bisa juga mengancam cadangan devisa kita. Di tengah penguatan kurs rupiah dan beberapa mata uang lain terhadap US$, Cina justru menikmati kurs Yuan yang lemah. Kurs Yuan yang lemah bisa menjadi insentif bagi eksportir Cina untuk melakukan ekspansi ekspor.

Pelemahan tersebut juga meningkatkan bisa meningkatkan preferensi konsumen luar negeri terhadap produk China. Bahkan di antara beberapa negara terjadi perang kurs demi neraca perdagangan.

Kondisi tersebut selayaknya menjadi perhatian bagi pemerintah. Sekarang ini Cina menjadi bagian dari perdagangan bebas kawasan Asia Tenggara. Jika Kurs Rupiah terus menguat sementara Kurs Yuan melemah, kemungkinan terburuk adalah defisit neraca perdagangan bilateral Indonesia-Cina. Cina sampai saat ini merupakan negara yang mempunyai cadangan devisa terbesar di dunia dengan kisaran US$ 2,5 miliar, yang salah satunya merupakan hasil dari pelemahan kurs Yuan.

Seharusnya Bank Indonesia sudah memiliki asumsi kisaran kurs rupiah yang dapat ditoleransi fluktuasinya. Pada kisaran Rp 9.000 hingga Rp 9.500/US $. Jika kurs sudah terapresiasi sampai level di bawah Rp 9.000, Bank Indonesia harus membeli Dollar AS guna menghindari terjadinya overvalued. Di sisi lain, jika rupiah terdepresiasi BI harus melepas sebagian cadangan devisa untuk membeli dollar.

Sehingga perhatian utama para pengambil kebijakan moneter sekarang ini adalah pada upaya mempertahankan rupiah pada level Rp 9.000/US$. Bahkan negara-negara kelompok G-20 sudah sepakat untuk mencegah terjadinya devaluasi mata uangnya terhadap dollar Amerika.

Selain mewaspadai dampak penguatan kurs rupiah terhadap neraca pembayaran, pemerintah patut waspada juga terhadap kemungkinan terjadinya bubble ekonomi atau gelembung ekonomi dari aliran modal masuk yang deras (hot money). Sampai saat ini dana asing yang mengguyur Indonesia mencapai Rp 115 triliun.

Meskipun sebagian besar dana asing masuk instrument surat utang negara (SUN) sebesar Rp 74 triliun, namun masih besar kemungkinan masuknya hot money ke instrument jangka pendek seperti SBI 1 bulanan, karena nilai tersebut masih sampai 9 bulan.

Jika arus modal asing jangka pendek membanjiri perekonomian Indonesia, membuka peluang terjadinya bubble economy. Akan terjadi capital rush secara besar-besaran ketika dana asing ditarik dari instrument jangka pendek yang menyebabkan meletusnya gelembung ekonomi. Akibatnya rupiah memiliki kemungkinan akan terkoreksi negatif dengan cukup tajam.

Sehingga pemerintah dalam hal ini otoritas moneter berupaya meminimalisasi risiko bubble economy . Pemerintah dan Bank Indonesia hendaknya menjaga agar dana asing yang masuk tahan berlama-lama di dalam negeri. Antara lain adalah adanya aturan tegas, untuk menempatkan dananya dalam instrument jangka menengah seperti SBI 6 bulanan. Akan lebih baik lagi jika dana yang masuk lebih besar terserap dalam instrument SUN dengan tenor 1 tahun. Dengan demikian, risiko gelembung ekonomi akan lebih manageable.

Selain itu, kebijakan moneter ekspansif juga bisa menjadi langkah yang bisa diambil. Dengan turunnya tingkat bunga domestik, paritas tingkat bunga akan turun sehingga bisa menjadi dis-insentif bagi investor di pasar uang. Sebaliknya justru bisa menjadi insentif bagi pertumbuhan investi sektor riil domestik. f Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEB UGM, asisten peneliti di P2EB FEB UGM
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42430&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar