Jumat, 29 Oktober 2010

Haruskah ke Negeri Seberang?

Sabtu, 30 Oktober 2010 | 04:34 WIB

Agus Sudibyo
Belajar dari negara lain memang perlu, bahkan harus dilakukan.

Kita belajar tentang demokrasi, pemerintahan yang bersih, pelayanan publik yang berkualitas, pelembagaan kebebasan pers, dan lain-lain dari negeri lain, sebagaimana negeri lain juga belajar beberapa hal dari kita.
Persoalannya, bagaimana belajar dari negara lain itu dilaku- kan? Haruskah kita berbondong- bondong ke negeri seberang untuk memetik suatu pelajaran?
Inilah salah satu persoalan dalam kontroversi studi banding DPR yang marak belakangan ini. Permasalahannya bukan karena studi banding tidak perlu. Namun, bukankah masih ada alternatif lain yang lebih murah tetapi bisa jadi tidak kalah efektif? Misalnya, mendatangkan pakar dari negara lain ke Indonesia atau mendayagunakan pakar dalam negeri.
Daripada jauh-jauh ke Yunani belajar etika politik, misalnya, mengapa tidak mengundang para ahli etika Yunani dari STF Driyarkara atau Universitas Atma Jaya Jakarta untuk berbicara? Mereka menguasai seluk-beluk etika Yunani dan kontekstualisasinya di Indonesia.
Jika memang harus benar-benar ke Yunani, tentu ada alasan yang sangat kuat. Alasan ini yang semestinya dijelaskan kepada masyarakat. Masyarakat berhak tahu mengapa muhibah ke luar negeri yang dipilih dan bukan alternatif yang lain. Tidak adanya penjelasan yang memadai dan terbuka tak pelak menimbulkan kesan bahwa DPR tidak sensitif dan tidak mendengar aspirasi masyarakat terkait dengan program studi banding.
Transparansi anggaran
Permasalahan berikutnya, kunjungan resmi ke luar negeri memang rentan terhadap inefisiensi atau manipulasi serta tidak menjamin manfaat yang sepadan kepada publik. Kita bisa mengambil contoh kasus di Jepang berikut ini. Regulasi tentang keterbukaan informasi memungkinkan Pemerintah Jepang menghemat anggaran perjalanan dinas pejabat publik ke luar negeri hingga 17 miliar yen atau sekitar 1,3 triliun rupiah. Ini terjadi tahun 1997, setelah sejumlah lembaga swadaya masyarakat di ”Negeri Sakura” itu menuntut transparansi anggaran kunjungan pejabat ke negara lain. Transparansi dan penghematan menjadi tuntutan karena ada sinyalemen dan pada akhirnya terbukti terjadi pemborosan dana negara yang sangat signifikan dalam kegiatan muhibah tersebut.
Hasil audit kemudian menunjukkan, terjadi manipulasi kuitansi-kuitansi pembayaran berbagai kebutuhan dalam proses muhibah tersebut. Sementara di sisi lain tidak jelas benar sejauh mana efektivitas kegiatan itu dalam meningkatkan kinerja pejabat publik. Berkat penerapan prinsip keterbukaan informasi secara konsekuen, sejumlah anggota parlemen dan pejabat pemerintah pada akhirnya dipaksa mengembalikan uang sebesar sejuta yen untuk menutup kerugian negara akibat penggunaan anggaran perjalanan dinas yang tidak tepat. Kasus seperti ini tentu bukan hanya fenomena Negeri Sakura. Kasus serupa jamak terjadi di Indonesia. Hal ini pula yang melandasi sinisme masyarakat belakangan terhadap studi banding DPR ke beberapa negara.
Perspektif keterbukaan informasi akan selalu mempersoalkan fakta bahwa masyarakat tidak mengetahui secara persis program studi banding DPR ke luar negeri. Ketidaktahuan ini bisa jadi karena belum adanya mekanisme sekaligus sarana yang memadai untuk menjelaskan rencana kerja dan agenda resmi DPR kepada masyarakat. Keputusan-keputusan DPR dan pemerintah banyak yang tidak tersosialisasikan dengan baik. Mungkin karena diasumsikan anggota DPR adalah wakil rakyat, tidak perlu lagi memberitahukan agenda dan keputusan DPR kepada masyarakat secara langsung. Padahal, yang terjadi para wakil rakyat sering alpa mengonsultasikan dan memberitahukan keputusan yang diambilnya kepada pemilihnya. Namun, bisa jadi pula DPR sesungguhnya sudah secara terbuka dan memadai memberitahukan rencana kerja dan keputusan-keputusan. Jika pada akhirnya pemberitahuan tidak efektif, lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Misalnya, pemberitaan media yang terlalu fokus pada konflik, skandal, dan keburukan DPR semata sehingga kurang memberikan tempat pada hal-hal positif tentang kerja DPR.
Masalah lain, masyarakat juga tidak mengetahui laporan pertanggungjawaban sekaligus manfaat studi banding ke negara lain. Setelah kembali ke Tanah Air, apakah anggota DPR melaporkan hasil studi banding kepada fraksi, komisi, dan publik secara terbuka? Bagaimana mengukur efektivitas studi banding? Apakah studi banding sungguh-sungguh meningkatkan kinerja anggota DPR, menambah pengetahuan, atau memperbaiki cara pandang mereka?
Dana publik 165 miliar rupiah untuk studi banding DPR sesungguhnya tidak berlebihan jika DPR mampu menjelaskan secara rasional aspek pertanggungjawaban dan kemanfaatan itu. Namun, yang terlontar dari para wakil rakyat selama ini bukan penjelasan yang melegakan publik tentang kelayakan dan manfaat studi banding, alih-alih jawaban yang defensif atau acuh tak acuh. Dari sinilah berkembang persepsi negatif yang semakin memperburuk citra lembaga perwakilan rakyat itu.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/30/04345923/haruskah.ke.negeri.seberang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar