Jumat, 29 Oktober 2010

Praksis solidaritas nasionalis

Thursday, 28 October 2010

KITA memperingati Hari Sumpah Pemuda dalam keprihatinan mendalam atas berbagai bencana yang menimpa sejumlah anak-anak bangsa ini. Banjir dan longsor di Wasior, Papua. Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Gempa dan tsunami di Mentawai. Apa yang bisa kita renungkan atas bencanabencana itu dalam kaitannya dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2010? Manakah relevansi kultural-humanis atas momen sejarah yang diukir oleh para pemuda yang generasi 1928 untuk kita sekarang ini?
Solidaritas nasionalis
Satu hal yang utama mendasari para pemuda era 1928 hingga menorehkan tinta emas tonggak sejarah kebangsaan Indonesia adalah solidaritas nasionalis! Mereka mengalami nasib serupa sebagai korban kolonialisme Belanda dengan segala penderitaan yang mereka alami bersama masyarakat seluas Nusantara. Kesadaran akan nasib yang sama itulah, yang menjadi api pemantik untuk menyalakan kobaran solidaritas.

Namun, solidaritas itu tidak dihayati dalam semangat eksklusif, puritan, primodial dan komunal, melainkan dalam semangat insklusif- dialogal dalam semangat kebersamaan dan kesatuan kendati keberbedaan dan keberagaman mereka. Inilah yang saya sebut solidaritas nasionalis.

Mereka merajut solidaritas tidak dalam sekat-sekat sempit untuk kelompoknya saja, melainkan terekstrapolasikan ke dalam ruang bersama yang lintas suku, budaya, kelompok, bahkan lintas iman dan agama. Untuk cita-cita yang lebih besar, berjuang melawan kolonialisme yang menindas, mereka memekikkan solidaritas nasionalisme itu dalam ”Soempah Pemoeda”: Satu bangsa, bangsa Indonesia; satu bahasa, Bahasa Indonesia; satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia! Mereka yang pemuda-pemuda Jawa, tidak memaksakan ke-Jawa-an mereka.

Mereka yang Sunda, tidak menonjolkan ke-Sunda-an mereka. Mereka yang Sulawei, tidak mengagungkan ke-Sulawesi-an mereka. Mereka yang Sumatera, tidak mengedepankan ke-Sumateraan mereka. Mereka yang Ambon, tidak mengutamakan ke-Ambon-an mereka.

Demikian juga dengan aspek budaya, iman, dan agama. Mereka tidak membedakan Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha. Dalam keberbedaan latar belakang etnis, budaya, iman dan agama, mereka bersatu untuk cita-cita tunggal: membangkitkan solidaritas nasionalis untuk masa depan Indonesia yang terbebaskan dari belenggu penindasan kolonialisme.

Revitalisasi
Semangat solidaritas nasional yang sama mestinya dipekikkan anak-anak bangsa ini, khususnya kaum muda republik ini, yang akan menjadi pelaku-pelaku sejarah masa depan bangsa ini. Karenanya, diperlukan revitalisasi rasa bersatu dalam keberbedaan, semangat patriotisme dan nasionalisme.

Kali ini, tantangan kita bukan lagi penjajah yang menindas dalam wajah kolonial Belanda. Sekarang ini kita berhadapan dengan ketertindasan masyarakat ini dari belenggu-belenggu kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan dan premanisme yang kian bertebaran di seluas republik ini.

Meminjam paradigma David Marquand dalam The Unprincipled Society: New Demands and Old Politics (1988:288), masyarakat kita seakan tanpa landasan dan visi persatuan.

Karenanya, revitalisasi semangat Sumpah Pemuda perlu diserukan melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif ini: Bagaimana mungkin masyarakat yang terpecah-belah dapat menjadi utuh? Bagaimana mungkin kebudayaan yang telah dirasuki individualisme posesif dapat memulihkan ikatan-ikatan komunitas? Dalam paradigma itu, kita perlu bangkit bersinergi dengan segala keberbedaan yang ada untuk melawan bentuk-bentuk ketidakadilan dan ketertindasan di tengah masyarakat kita.

Dewasa ini, bentuk-bentuk ketidakadilan dan ketertindasan itu mewajah dalam eksklusivisme komunitarian sempit. Ujung-ujungnya, muncullah kekerasan-kekerasan yang berbasis kelompok tertentu. Lebih memilukan hati, kekerasan-kekerasan yang mengancam kerukunan antarumat beragama dan berpotensi melanggar kebebasan beragama dan beribadah.

Kita menyaksikan tindakan-tindakan anarkhis pada level ini juga didominasi oleh orang-orang muda yang hidup dalam paradigma sempit-eksklusif. Bahkan, mereka kerap kali tampak beringas bila berhadapan dengan kelompok lain, sekalipun yang dihadapi adalah kaum minoritas.

Praksis solidaritas
Dalam konteks bangsa yang sedang ditimpa bencana, baiklah bahwa revitalisasi Sumpah Pemuda ditandai oleh praksis solidaritas. Tentu, nasionalisme tetap harus dibangun dalam solidaritas ini, sehingga tidak perlu memberikan pertolongan atau menerima pertolongan dikotak-kotakkan atas dasar perbedaan suku, budaya, iman dan agama.

Artinya, tidak perlu lagi, di tempat- tempat terjadinya bencana timbul fanatisme dan eksklusivisme yang bersifat etnik, kultural, iman, dan agamis. Semua pertolongan untuk semua, tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, iman dan agama. Semua pertolongan terarah pada kemanusiaan, tanpa maksud-maksud mengislamkan, mengkatolikkan, mengkristenkan, menghindukan, membuddakan, ataupun mengkonghucukan seseorang atau kelompok. Kecurigaan-kecurigaan ke arah itu harus diretas dan ditanggalkan atas nama praksis solidaritas nasionalis humanistik.

Semoga momentum Sumpah Pemuda di tengah bangsa yang sedang tertimpa berbabagai bencana dan musibah alam ini, kita memperkuat aplikasi seruan satu bangsa, bangsa Indonesia; satu bahasa, bahasa Indonesia; dan satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia. f Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Budayawan Interreligius, Ketua Komisi Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan, Keuskupan Agung Semarang
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42394&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar