Jumat, 29 Oktober 2010

Timur di tengah karut marut Polri

Friday, 29 October 2010

JUMAT, 22 Oktober 2010, Presiden SBY melantik Jendral Pol Timur Pradopo sebagai Kapolri menggantikan Jendral (Pol) Bambang Hendarso Danuri (BHD). Pelantikn ini mengakhiri spekulasi dan kontroversi di wilayah publik seputar figur-figur terbaik dan paling pantas menggantikan Jendral Pol BHD sebagai Kapolri.
Pasca pelantikan Kapolri baru kini publik sangat menanti gebrakan dan keberaniannya dengan segera menuntaskan berbagai persoalan keamanan di tengah masyarakat serta memulihkan citra internal Polri yang berada dalam kondisi karut marut.

Tanpa gebrakan besar niscaya Kapolri baru hanya mewarisi berbagai persoalan internal serta melestarikan citra buruk yang telah menggerus kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum ini.

Kapolri baru dalam konteks ini dihadapkan tantangan berat dan sangat mendesak untuk diselesaikan secara tuntas. Tantangan berat Kapolri ini bersifat internal dan eksternal yang keduanya membutuhkan keberanian ekstra untuk mengambil kebijakan dan tindakan nyata yang penuh risiko.

Tantangan berat Kapolri baru itu di antaranya keberanian menuntaskan masalah rekening gendut perwira tinggi Polri, kasus suap pajak Gayus Tambunan, makelar kasus di Polri, Bank Century, terorisme serta masalah aksi kekerasan massa yang kini merebak dengan berbagai persoalan yang melatarbelakanginya.

Berbagai persoalan besar dan menjadi perhatian publik itulah yang wajib diprioriataskan dan dituntaskan demi pulihnya citra Polri sebagai penegak hukum dan pengayom keselamatan masyarakat.

Jika persoalan ini tidak disentuh dan dituntaskan niscaya Kapolri baru tidak dapat melakukan recovery citra institusi dan aparatnya sehingga wajah penegak hukum di Indonesia tidak simpatik dan kepercayaan publik menjadi semakin jatuh.

Apriori Publik
Jatuhnya citra dan kepercayaan publik terhadap Polri dikawatirkan membuat dirinya semakin sulit menjalankan tugas-tugas utamanya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan di tengah masyarakat. Citra buruk Polri hanya memunculkan apatisme dan apriori publik terhadap dirinya sehingga tugas-tugas pokok yang dijalankan menjadi kurang berhasil secara maksimal.

Reformasi yang berjalan di tubuh Polri harus terus dilanjutkan dan dituntaskan dengan semangat melahirkan performa Polri yang bersih, populis dan profesional. Penampilan Polri yang profesional wajib dikedepankan di hadapan publik, baik di tingkat pimpinan Polri hingga aparat yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat.

Publik hingga kini masih menyimpan tanda tanya besar terhadap penampilan Polri yang bersih dan profesional mengingat banyak kasus yang melibatkan masyarakat bawah jarang ditangani secara cepat dan cenderung memakan biaya tinggi. Demikian juga kebiasaan sebagian anggota Polri yang masih bermental lama dengan menjadikan posisinya sebagai alat mengeruk keuntungan pribadi.

Mencuatnya kasus rekening gendut perwira tinggi Polri serta mafia hukum di tubuh Polri menjadi in-dikasi reformasi internal Polri masih tersendat. Hal ini disebabkan kurang adanya ketegasan sikap dan tindakan pimpinan Polri untuk menindak aparatnya yang terindikasi kuat melakukan penyimpangan tugas dan wewenang.

Dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang terkesan dikorbankan adalah mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji karena dianggap membongkar dapur pimpinan Polri yang sebelumnya sangat tertutup rapat.

Selain Susno Duadji, para penyidik Polri yaitu Kompol Arafat Enani dan AKP Sri Sumartini dijadikan korban politik belah bambu dengan menyelamatkan perwira tinggi Polri yang nyaring disebut dan diduga terlibat yaitu Raja Erisman dan Edmon Elyas.

Praktik tebang pilih dan belah bambu inilah yang menyebabkan publik berkesimpulan tidak adanya political wiil untuk membuka kasus internal Polri itu secara tuntas dan terang benderang. Siapa pun yang terlibat seharusnya diposisikan sama dan setara demi mengembalikan citra dan kepercayaan Polri di hadapan publik.

Reformasi Polri wajib dijadikan momentum Kapolri baru untuk menuntaskan warisan persoalan internal yang hingga kini masih menumpuk. Dengan alasan reformasi, maka siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran hukum dan penyelewengan tugas harus dikenai sanksi hukum tegas dan transparan agar ke depan tidak muncul lagi kasus-kasus internal yang mencoreng citra institusi Polri.

Sikap tegas dan tidak diskriminatif yang ditempuh Kapolri baru diharapkan menjadi pembelajaran internal sehingga seluruh aparatnya dapat bekerja dan berprilaku profesional. Perubahan sikap dan prilaku Polri demikianlah yang kini ditunggu masyarakat, terutama saat dilantiknya Kapolri baru.

Setelah secara internal terjadi pembenahan dan penuntasan reformasi, maka Polri menjadi lebih mudah menuntaskan kasus-kasus eksternal yang lebih besar dan berat seperti kasus Bank Century yang hingga kini mangkrak dan jalan di tempat. Penuntasan kasus besar ini sebenarnya bisa ditempuh Polri jika dirinya memiliki independensi dan netralitas politik sehingga tidak terlalu berhitung terhadap resiko politik yang akan timbul.

Independensi dan netralitas politik adalah syarat utama untuk dapat menjalankan tugasnya secara profesional karena tidak bisa dintervensi kekuatan politik manapun juga. Posisi demikian yang pada akhirnya membuat reformasi Polri dapat lebih cepat direalisasikan dan dituntaskan.

Di samping itu, Kapolri baru juga masih dihadapkan pada persoalan terorisme yang hingga kini masih bercokol kuat dinegeri ini. Upaya memberantas terorisme diperlukan sinergi menyeluruh antar elemen masyarakat antara Polri, TNI dan tokoh-tokoh agama demi menuntaskan persoalan ini dari hulu hingga hilir.

Persoalan terorisme dan aksiaksi kekerasan lainnya tidak bisa hanya diselesaikan dengan tindakan tegas (eksekusi) semata, tetapi diperlukan tindakan antisipatif, preventif dan edukatif dengan memberikan penyadaran mendalam, massif dan berkelanjutan kepada masyarakat agar tidak mudah mengikuti ideologi dan gerakan yang menyimpang dan menyesatkan.

Netralitas
Ikhtiar untuk dapat tampil profesional seluruh elemen kekuatan Polri dituntut bersikap tegas dengan menolak terjadinya politisasi yang dilakukan pihak mana pun juga. Politisasi Polri sangat berbahaya karena menjadikan institusi penegak hukum ini tersandera dan tidak solid dalam menjalankan fungsi dan tugasnya karena terpragmentasi kepentingan politik praktis.

Demikian juga, kalangan partai politik juga diharapkan tidak mencoba masuk, menggoda dan menarik Polri untuk terlibat dalam wilayah permainan politik praktis. Sering terjadinya kompetisi politik di era demokrasi seperti Pemilu legislatif, Pilpres, dan Pemilukada adalah ruang bagi kekuatan politik untuk menggoda dan menarik Polri masuk dan ikut bermain demi memenangkan target kelompok politik tertentu.

Apa pun alasan dan kepentingannya, politisasi Polri tidak boleh ditempuh agar dirinya dapat bersikap netral dan independen dalam menegakkan hukum di negeri ini. Bisa dibayangkan jika Polri tergoda berpolitik praktis maka kompetisi politik yang terjadi tidak berjalan sehat, penuh rekayasa dan intimidasi sehingga demokrasi kembali tersandera seperti pada masa lalu.

Potensi godaan politik praktis ini sejak awal wajib diantisipasi Kapolri baru karena hingga tiga tahun ke depan masih terjadi proses pemilukada yang menjadi aktualisasi pertarungan partai politik di daerah yang sangat rentan dengan ancaman konflik horizontal. f Aly Imron DJ Koordinator LSM Komando untuk Transparansi dan Demokrasi (KONTAKs)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42428&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar