Selasa, 19 Oktober 2010

Pembenahan Strategis Belum Tampak

Rabu, 20 Oktober 2010 | 03:51 WIB
Hasbullah Thabrany
Kabinet sekarang masih harus bekerja keras menyinkronisasikan dan melaksanakan berbagai peraturan kesehatan sebagai bukti prorakyat.

Pada 20 Oktober usia Kabinet Indonesia Bersatu II genap setahun. Rakyat masih menunggu realisasi janji-janji di bidang kesehatan.
Fakta menunjukkan, pencapaian target kesehatan masih jauh dari yang diharapkan. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dalam penurunan kasus TBC memang telah tercapai. Kasus TBC turun dari 443 per 100.000 orang tahun 1990 menjadi 244 tahun 2009.
Target angka kematian anak balita juga akan tercapai tahun 2015. Meski demikian, angka kematian ibu masih bertengger pada 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), masih jauh dari target 102 tahun 2015.
Angka itu setara dengan tiga pesawat jumbo yang penuh ibu hamil jatuh dan membunuh semua penumpang tiap bulan.
Sayang sekali, kematian para ibu tersebut masih dinilai sebagai kematian biasa, tidak ada berita dan upaya besar yang dilakukan. Program jaminan biaya persalinan semua penduduk tahun depan sangat bagus. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kecukupan dan ketidakbocoran dana.
   Selain itu, juga masih banyak masalah kesehatan yang belum jelas rencana penyelesaiannya. Penyakit demam berdarah, misalnya, masih saja endemis di kota-kota besar. Berbagai penyakit menular lain masih mewarnai berita-berita di media masa.
Keluhan layanan kesehatan seperti kasus Prita, ibu menjual bayi untuk menebus biaya rumah sakit, dan upaya mengumpulkan sumbangan untuk kasus Bilqis masih kerap terjadi. Sensitivitas masyarakat diusik dengan berita-berita menyedihkan yang merupakan refleksi lemahnya sistem kesehatan dan penegakan hukum.
Masalahnya, setiap sektor bahkan subsektor di lingkungan kesehatan masih bekerja sendiri- sendiri karena sistem pendanaan yang belum mendukung kerja sama yang efisien dan efektif.
Peluang dan ancaman
Selama enam tahun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin negeri ini, dunia mengalami perubahan yang kondusif untuk perubahan sektor kesehatan di Indonesia. Obama berhasil mereformasi jaminan kesehatan bagi semua penduduk. World Health Report 2010 mendorong jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat.
Enam tahun lalu keluar Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang merupakan cetak biru jaminan kesehatan universal. Fondasi upaya reformasi kesehatan telah diletakkan dalam Undang-Undang SJSN, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan, dan Undang-Undang Rumah Sakit. Semua itu merupakan peluang emas untuk mengukir pembenahan yang strategis di sektor kesehatan.
Sayang pembenahan strategis melalui peraturan implementasi berbagai undang-undang terganjal ketiadaan upaya koheren yang terbuka dan ajek.
Rencana strategis perlindungan seluruh rakyat terhadap risiko kesehatan, harga layanan, dan jaminan kualitas layanan kesehatan yang merupakan perintah undang-undang belum ada wujud peraturan pelaksanaannya. Padahal, waktu yang ditetapkan undang-undang sudah lewat.
Lambannya pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan berbagai undang-undang tersebut menyebabkan banyak daerah bekerja sendiri-sendiri, yang tidak selalu sinkron dan koheren menuju visi yang sama.
Kreativitas beragam tanpa leadership yang sinergis justru menghambat pencapaian tujuan. Di sini diperlukan seorang ”dirigen” pembenahan strategis sistem kesehatan. Sayang dirigen itu belum hadir.
Paradigma yang kuasa
Sesungguhnya telah banyak program yang diluncurkan. Namun, tampaknya program-program itu lebih bernuansa politis jangka pendek. Pendanaan program terlalu kecil sehingga tidak efektif. Undang-Undang Kesehatan mengharuskan pemerintah menyediakan 5 persen dari APBN dan pemerintah daerah menyediakan 10 persen APBD di luar gaji.
Selama hampir 40 tahun, anggaran Kementerian Kesehatan belum pernah mencapai 3 persen. Sayang pemerintah malah ”mengakali” perintah undang-undang dengan menjumlah pembilang seluruh anggaran kesehatan pusat dan daerah, tetapi pembaginya hanya APBN agar persentasenya besar.
Perubahan anggaran riil memang sangat sulit karena Kementerian Keuangan selalu menetapkan pagu indikatif yang berbasis historikal, bukan kebutuhan dan prioritas program.
Karena itu, jangan harap anggaran publik untuk kesehatan dalam waktu dekat berubah signifikan. Masalah utama memang pada komitmen politis, bukan kemampuan fiskal pemerintah.
Paradigma ”keuangan yang kuasa” masih tampak kental, misalnya, dalam pengendalian tembakau. Pemerintah tampak termakan info menakut-nakuti tentang kehilangan pendapatan cukai dan lapangan kerja tanpa melakukan kajian komprehensif terlebih dahulu.
Awal pemerintahan SBY sudah diuji dengan hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Di situ tercium bau uang. Kendali tembakau dan pelaksanaan Undang-Undang SJSN adalah ujian keberpihakan SBY kepada rakyat.
Tantangan terbesar adalah konflik kepentingan dalam keputusan anggaran dan implementasi peraturan perundangan. Pemerintah tampaknya tidak mampu menyaring dan mendapat informasi yang seimbang dan kemudian berpihak kepada rakyat. Bisikan orang dekat dan orang yang pegang uang mungkin lebih menentukan.
Satu hal yang pasti, kebijakan publik tidak pernah lepas dari konflik kepentingan. Padahal, keputusan berani yang berpihak kepada rakyat harusnya didahulukan. Jika rencana anggaran dan kebijakan publik dibuka secara transparan, dukungan rakyat akan mengalir.
Namun, keterbukaan itu masih jauh dari yang diharapkan. Semoga empat tahun yang tersisa masih bisa dimanfaatkan SBY untuk mengukir sejarah Indonesia baru.
Hasbullah Thabrany Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/20/03515882/pembenahan.strategis.belum.tampak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar