Kamis, 21 Oktober 2010

Memimpin untuk Mandiri

Jumat, 22 Oktober 2010 | 03:39 WIB
Donny Gahral Adian
Ada yang bilang nasionalisme mati di epos globalisasi. Nasionalisme mau tidak mau harus memberi jalan pada arus investasi yang tak berteritori. Adalah absurd menolak investasi saat bangsa membutuhkan lapangan pekerjaan dan transfer teknologi.

Globalisasi adalah epos yang mana kemandirian menjadi barang bekas. Globalisasi membuat setiap bangsa bergantung satu sama lain sehingga tak satu pun bisa berdiri sendiri. Kita dipaksa membuang jauh-jauh Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Padahal, saat ini tengah berlangsung perang kurs antara Amerika dan China. Perang di antara keduanya tidak mengatasnamakan globalisasi-interdependensi, melainkan kepentingan nasional masing- masing. Globalisasi tidak meratakan nasionalisme, melainkan justru memperumitnya. Di sini dibutuhkan kepemimpinan yang memahami bahwa kemerdekaan bukan sekadar pasar bebas, melainkan kemandirian ekonomi, politik, dan budaya.
Rezim anti-kemandirian
Persoalan kemandirian kembali pada rezim yang dominan. Rezim adalah bentuk politik yang memberikan karakter pada masyarakat (Strauss, 1959). Rezim adalah bentuk kehidupan, selera, moral, hukum negara yang merujuk pada tujuan kolektif tertentu. Rezim berfungsi mengorganisasi masyarakat yang majemuk untuk merealisasikan tujuan yang singular. Tujuan kolektif bangsa ini sudah ditetapkan jauh hari oleh para pendiri bangsa. Pembukaan UUD 1945 menggariskan bahwa salah satu tujuan berbangsa adalah memajukan kesejahteraan umum. Prinsip yang mendasari tujuan tersebut adalah sumber daya kolektif (collective resource) untuk keuntungan bersama (shared benefit).
Sayangnya, tidak semua rezim memahami tujuan kolektif di dalam konstitusinya sendiri. Rezim saat ini, misalnya, menafsirkan tujuan kesejahteraan umum sebagai peningkatan jumlah investasi asing. Arus investasi asing dengan kesejahteraan umum berbanding lurus. Investasi asing mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Rezim tidak menghitung cost dari pertumbuhan yang ditopang investasi asing. Kadin mencatat betapa investasi asing tidak mampu menggerakkan sektor riil karena sebagian besar masuk dalam bentuk investasi portofolio. Padahal, kita tahu betul betapa sektor riil adalah fundamen ekonomi yang teramat penting. Sektor riil, misalnya, bertahan saat sektor keuangan porak poranda karena perilaku serakah para pemainnya.
Rezim anti-kemandirian selalu menghitung kesejahteraan berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,3-6,9 persen per tahun (2010-2014) membutuhkan dana investasi rata-rata Rp 2.855 triliun sampai Rp 2.910 triliun (Roadmap Kadin 2009-1014). Dana sebesar itu hanya dapat disediakan pemerintah melalui APBN sebesar 13 persen saja. Artinya, 87 persen sisanya harus didatangkan dari pihak ketiga. Sementara peran sektor keuangan domestik ditengarai masih rendah. Artinya, tidak ada pilihan lain kecuali menyerah pada arus investasi asing.
Keran investasi asing pun dibuka seluas-luasnya. Itu dilakukan dengan mengoptimalkan faktor-faktor pemikat, seperti jumlah penduduk yang besar, angkatan kerja produktif, ketersediaan bahan baku, stabilitas politik, pasar terbuka, dan minimnya biaya transaksi. Semua itu dihitung demi kelancaran investasi asing. Persoalan bagaimana investasi asing dapat berdampak pada kemakmuran disembunyikan di dalam buku teks ekonomi pembangunan. Ibaratnya, rezim hanya menghitung duit yang masuk ke dompetnya tanpa peduli kepada siapa, bagaimana, dan atas prinsip keadilan apa duit itu didistribusikan.
Rakyat hanya diletakkan pada dua posisi ekonomi: konsumen dan tenaga kerja. Selaku konsumen, rakyat cuma diperhatikan daya belinya (uang di kantong) supaya menjadi pasar yang memikat bagi pemodal asing. Sebagai tenaga kerja, rakyat hanya dijadikan tenaga terampil dan murah untuk menjadi sapi perahan bagi korporat multinasional. Transfer teknologi dan pengetahuan soal lain lagi. Kemandekan di sektor pendidikan membuat kita masih percaya kepada konsultan asing daripada orang sendiri. Alhasil, kita kehilangan kepribadian sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang dalam hal kreativitas dan inovasi.
Kepemimpinan
Rezim bisa jadi terlalu abstrak untuk ditunjuk hidungnya. Pemimpin lebih konkret untuk dimintai pertanggungjawaban. Kepemimpinan, tak pelak lagi, adalah faktor terpenting dalam membangun kemandirian bangsa. Kita boleh curiga ketika pidato politik seorang pemimpin lebih banyak menyebut ”pertumbuhan ekonomi” ketimbang ”keadilan sosial” atau ”investasi asing” ketimbang ”kekuatan ekonomi lokal”.
Politik (politea) kita pasca-Orde Lama memang sudah lama dijajah ekonomi (oikonomia). Namun, paling tidak, pemimpin tidak boleh lupa tujuan politik bangsa ketika menguraikan strategi ekonominya. Pemimpin wajib meletakkan kepentingan nasional pada prioritas tertinggi. Kebijakan luar negeri harus ditata ulang. Hubungan internasional tidak sama dengan silaturahim di pengajian lokal. Itu adalah ajang adu strategi dalam perang ekonomi yang berporos pada kepentingan nasional setiap bangsa.
Bangsa kita sesungguhnya menyimpan banyak pemimpin yang pro-kemandirian. Pemimpin semacam itu tersebar di tiga arena, yakni masyarakat politik, ekonomi, dan sipil. Kita punya pemimpin seperti Jusuf Kalla, misalnya. Pak JK kita tahu banyak memberikan teladan tentang bagaimana memandirikan bangsa ini. Beliau tidak anti-investasi asing, tetapi juga tidak lalai dalam membangun kekuatan ekonomi lokal. Teladan beliau mulai dari yang sederhana seperti gerakan memakai sepatu buatan dalam negeri. Gerakan itu dimaksudkan untuk menggelorakan kembali industri sepatu lokal yang sempat mandek akibat turunnya permintaan. Dalam politik luar negeri, Pak JK tidak segan menjajaki hubungan di bidang ekonomi dengan negara semacam Iran meski hubungan dengan Amerika menjadi taruhan. Semua itu dilakukan tak lain demi kepentingan nasional semata. Bagi beliau, memiliki musuh tidak haram hukumnya asal kepentingan nasional terpenuhi.
Dalam masyarakat ekonomi, kita memiliki pengusaha nasional seperti Rahmat Gobel. Pak Gobel berpegangan pada pembangunan industri lokal agar produk kita dapat beranjak dari produk nasional ke internasional. Beliau menolak invasi garmen murah dari China yang merusak industri garmen dalam negeri. Gobel tidak anti-impor barang murah, tetapi menggarisbawahi pentingnya melindungi pasar domestik. Perlindungan pasar domestik dimengerti Gobel sebagai perdagangan yang adil dan setara (fair trade). Kekayaan budaya Indonesia, bagi Gobel, adalah modal utama untuk menghasilkan industri lokal yang kuat dan mampu berdiri sama tinggi dengan industri asing.
Banyak yang mengatakan ekonomi bangsa ditopang kekuatan infrastruktur yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah kelistrikan. Dalam soal kelistrikan, kita memiliki pemimpin di arena masyarakat sipil, seperti Bu Tri Mumpuni. Tri Mumpuni dikenal selama ini sebagai sosok yang berjuang untuk membangun infrastruktur kelistrikan di pedesaan dengan biaya murah. Dengan swaproduksi listrik, masyarakat pedesaan mendapat keuntungan ganda. Di satu sisi, infrastruktur kelistrikan menopang roda perekonomian pedesaan. Di sisi lain, masyarakat pedesaan pun dapat mendapat keuntungan lebih dengan menjual listrik ke PLN. Demi swasembada listrik di pedesaan, Tri Mumpuni senantiasa memperjuangkan kontrol politik lokal terhadap sumber daya lokal. Sebab, selama ini kontrol tersebut senantiasa dilumpuhkan demi keleluasaan investasi nonlokal.
Pemimpin seperti Pak JK, Pak Gobel, dan Bu Mumpuni adalah percikan api yang menghangatkan kembali hati dan kepala kita semua. Kita boleh berharap banyak pada bangsa ini apabila kepemimpinan beliau-beliau di atas tersebar dan tertanam mulai dari elite sampai akar rumput. Dari sepak terjang para tokoh tersebut, kita sadar betapa revolusi memang belum selesai. Kemerdekaan (independence) yang didapatkan melalui revolusi fisik harus berubah menjadi kemandirian (anti-dependence) melalui revolusi kebudayaan.
Kepemimpinan yang pro-kemandirian adalah kata kunci yang mahapenting dalam revolusi kedua republik ini. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki pemimpin sedemikian. Pertama, pemimpin harus mampu mengubah budaya bangsa dari kuli menjadi tuan di tanah airnya sendiri. Kedua, pemimpin harus mampu mengubah perdagangan bebas (free trade) menjadi perdagangan yang adil dan setara (fair trade). Ketiga, pemimpin harus mampu menerjemahkan nasionalisme menjadi penguatan daya saing bangsa. Keempat, pemimpin harus mampu menjaga harkat dan martabat bangsanya dalam percaturan internasional.
Semoga kita mendapatkan pemimpin sedemikian. Amin.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/22/03395342/memimpin.untuk.mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar