Kamis, 21 Oktober 2010

Hampir Separuh dalam Kegelapan

Jumat, 22 Oktober 2010 | 03:42 WIB
Salomo Simanungkalit
Citra seorang kepala negara tak melulu terpantul dari dasi perlente atau kesantunan berdeklamasi dalam pidato atau jumpa pers, tetapi juga pada jumlah penduduknya yang telah menggunakan listrik. Citra seperti apa yang hendak ditabalkan kepada seorang kepala negara berdasarkan catatan statistik bahwa 110 juta dari sekitar 240 juta penduduknya belum mendapat listrik sebagai penerang?

Hampir 12 jam dalam sehari-semalam berada dalam kegelapan, mereka hidup tanpa listrik di zaman serba mal serba plaza ini. Ke-110 juta orang itu tinggal menyebar di 32.000 desa terpencil dan secara geografis merata di seluruh penjuru Nusantara. Desa-desa terpencil itu tidak harus jauh dari Ibu Kota, katakanlah di ujung barat Sumatera atau di ujung timur Papua, tetapi juga berada di wilayah Banten dan Jawa Barat yang hanya empat jam berjarak tempuh dari Jakarta.
Tri Mumpuni selaku narasumber mengisahkan pengalamannya mengaliri listrik sebuah kampung di pedalaman Kalimantan. Orang-orang di kampung itu tak butuh listrik berdaya besar. Cukup 50 watt untuk sebuah keluarga, atau lima watt dengan lampu hasil teknologi sekarang. Keinginan mereka pun tak macam-macam. ”Saya butuh lampu supaya bisa melihat wajah istri saya waktu makan malam di rumah,” kata Tri mengutip seorang warga kampung di Kalimantan.
Mungkin itulah bentuk apresiasi laki-laki desa tadi kepada sang istri yang telah lelah memasak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga bila malam tiba. ”Sambil makan sekeluarga bisa saling bercakap, terus di malam hari anaknya bisa belajar,” katanya.
Dikenal di dunia sebagai sosok perempuan penerang desa hingga diundang Presiden AS Barack Obama enam bulan silam dalam acara ”Presidential Summit on Entrepreneurship” di Washington, Tri Mumpuni tentu sah-sah saja berkata dalam diskusi ini bahwa ”kita perlu melakukan terobosan-terobosan yang inovatif hingga desa bisa tersentuh pembangunan”.
Paling tidak, sejak dekade 1990-an hingga pertengahan tahun 2010, sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air berskala kecil, yang dikenal sebagai mikrohidro, telah ia bangun di pelbagai wilayah di Indonesia bersama Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang ia pimpin.
Tanpa bantuan pemerintah tetapi mengandalkan pinjaman dari bank dan bantuan sejumlah negara melalui kedutaan masing-masing di Indonesia, Tri dan timnya memanfaatkan aliran sungai guna membangkitkan listrik berdaya kecil di desa.
Ambil contoh karya awalnya di tahun 1990-an: membangun pembangkit listrik bertenaga air di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, dengan memanfaatkan Sungai Ciasem. Tri Mumpuni dan warga Desa Curuagung dengan modal Rp 44 juta berhasil membangkitkan listrik berdaya 13 kilowatt yang dapat menerangi 121 rumah.
Tujuan karya-karya selanjutnya tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan keluarga demi keluarga akan penerangan, tetapi memberi kesempatan warga desa mengelola, mengoperasikan, dan memelihara pembangkit listrik hingga mampu memberi manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi dari pengelolaan dan pengoperasian pembangkit listrik tersebut, juga manfaat ekonomi yang berasal dari usaha-usaha produktif yang dilakukan warga desa dengan memanfaatkan listrik.
Tak selalu berjaya memang ia mencapai tujuan-tujuan luhur itu pada setiap desa yang sempat ia ”jamah”. Namun, tingkat keberhasilannya boleh dibilang terpuji: sekitar 80 persen.
Skema pemanfaatan listrik
Dengan pengalaman ini, Tri Mumpuni sudah mampu membuat skema pemanfaatan potensi sumber daya air desa untuk pasokan daya listrik dan pemberdayaan dengan metode yang bertumpu pada masyarakat dengan asumsi tidak ada perusakan hutan. Tenaga listrik sebesar 10 Megawatt, misalnya, berpotensi melayani kebutuhan 100 usaha kecil menengah dengan investasi berjumlah Rp 200 miliar dan tenaga kerja 750 orang. Pendapatan usaha kecil menengah desa yang ditaksir dengan skala ini sekitar Rp 28,47 miliar.
Skema pemanfaatan potensi sumber daya air desa itu tersedia untuk tenaga air 50 Megawatt, 100 Megawatt, dan 500 Megawatt dengan pendapatan masing-masing ditaksir Rp 142,35 miliar, Rp 284,7 miliar, dan Rp 1,423 triliun.
Menarik membandingkan pengalaman lapangan seorang Tri Mumpuni bersama timnya dalam mengembangkan model pembangunan alternatif di desa demi keadilan dan keseimbangan dengan perjalanan anggota DPR ke luar negeri untuk melakukan sejumlah apa yang disebut sebagai ”studi banding” yang termasyhur itu. Yang disebut pertama memperlihatkan hasil dengan sejumlah rekomendasi melalui skema usaha (ekonomi), sementara yang disebut terakhir pulang dengan hasil yang keperluannya sampai sekarang tidak dapat dipahami paling tidak oleh para pengamat.
Skema usaha itu instrumental menyibak kegelapan desa yang merupakan tempat bermukim 110 juta jiwa penduduk Indonesia, hampir separuh populasi, sebab posisi listrik diletakkan tidak sekadar sebagai alat penerang, tetapi juga tulang punggung pembangunan ekonomi.
Setiap kita berbicara tentang Indonesia dan kemandirian, sejak dulu yang hendak diperjuangkan adalah 60 persen penduduk kita yang tinggal di desa yang tidak bisa mengikuti ritme atau irama formal, tetapi mereka bertahan.
Mimpi kita adalah membangun desa sebab sebetulnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di desa merupakan landasan utama membangun ke depan. Ia mengurangi semua persoalan yang ada di kota. Mungkin tidak perlu monorel, kereta bawah tanah sebagai alat transportasi massal, atau pemindahan ibu kota seandainya tidak banyak orang yang datang ke Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/22/03423182/hampir.separuh.dalam.kegelapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar