Senin, 25 Oktober 2010

Perbatasan dan Inisiatif Warga

Selasa, 26 Oktober 2010 | 04:28 WIB
Agustinus Handoko 
Ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan Malaysia dalam berbagai aspek di Kalimantan adalah cerita lama yang hingga kini masih merupakan kenyataan di depan mata. Selain terobosan-terobosan baru yang minim, inisiatif warga untuk mengembangkan ekonomi juga tidak ditanggapi dengan serius.

Padahal, wilayah perbatasan itu berpotensi sangat besar, tidak saja dalam urusan ekonomi, tetapi juga budaya. Sedikit contoh bisa dilihat di Desa Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Serikin, Negara Bagian Serawak, Malaysia.
Masyarakat adat Dayak Bekatik cakap menganyam rotan hutan dan kulit kayu tembaran yang sering disebut bidai. Sentra kerajinan yang berpusat di Kampung Risau itu menghasilkan anyaman yang bisa dipakai sebagai karpet dan hiasan dinding. Harganya relatif mahal, dari Rp 350.000 hingga Rp 600.000 per lembar, dan merupakan salah satu barang kerajinan favorit bagi orang Malaysia yang berbelanja di Pasar Serikin.
Bidai juga diincar wisatawan Eropa dan Amerika Serikat yang berkunjung ke Kuching, Negara Bagian Serawak, karena unik, khas, dan elegan. Sebelum populer sebagai karpet dan hiasan dinding, bidai adalah tempat menjemur padi. Keahlian membuat bidai ini diwariskan secara turun-temurun. Tak hanya piawai menganyam bidai, masyarakat Dayak juga punya beragam produk budaya yang, jika dikemas dengan bagus, akan bernilai ekonomi sangat tinggi.
Masih di Kecamatan Jagoi Babang, warga lain menghasilkan komoditas lada hitam. Komoditas ini lebih banyak terserap ke Serikin dibandingkan ke Bengkayang. Di Serawak, lada hitam ini merupakan salah satu komoditas paling dicari karena akan digunakan sebagai campuran bahan makanan, yang industrinya tengah menjamur di sana.
Sayangnya, potensi itu tinggal potensi. Hingga kini belum terlihat aksi nyata untuk mengaktualkannya sebagai kekuatan ekonomi. Warga di sana seolah- olah dibiarkan menggerakkan sendiri roda ekonomi mereka di lintasan yang buruk: terengah-engah tanpa tarikan kekuatan yang lebih besar.
Jalan rusak dan tugu
Jalan-jalan buruk: ini soal yang tidak melulu menimpa Bengkayang. Namun, semua wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Negara Bagian Serawak, Malaysia (Kabupaten Sambas, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu), mengidap penyakit yang sama: jalan rusak! Satu-satunya akses yang paling layak dari pusat pemerintahan Kalimantan Barat di Pontianak hanyalah jalan ke arah Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau, yang berbatasan dengan Tebedu.
Potensi batu bara di Kabupaten Sintang, menurut Kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerja Sama Kalimantan Barat Robert Nusanto, hingga kini juga belum diaktualkan sebagai salah satu sumber ekonomi negara. ”Bahkan, ada laporan dari masyarakat bahwa kekayaan batu bara itu sudah dikeruk melalui terowongan dari perbatasan Malaysia,” kata Robert Nusanto.
Masyarakat Desa Jasa, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, yang belum tersentuh pembangunan dan berharap akan kehadiran pelayanan pemerintah justru diberi tugu Pancasila. ”Saya dengar dana pembangunan tugu Pancasila itu dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Saya berkomentar dalam hati: bukan tugu, melainkan semangat pelayanan Pancasila yang ditunggu oleh warga,” kata Robert.
Di wilayah perbatasan, pemerintah justru memberi perhatian lebih kepada swasta. Lihatlah, betapa pemerintah memberi izin operasi pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit hingga ke wilayah perbatasan. Bahkan, tak sedikit kawasan perkebunan kelapa sawit di wilayah perbatasan ini yang dikelola perusahaan Malaysia.
Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura Mayor Jenderal Moeldoko menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan Malaysia itu mengancam kedaulatan negara. Moeldoko dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan asing di wilayah perbatasan terdeteksi ada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Sanggau. Moeldoko mengaku sudah minta agar izin operasi perkebunan kelapa sawit itu dievaluasi.
Tiga soal pokok
Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ganewati Wuryandari mengatakan bahwa ada tiga pokok persoalan yang terjadi di wilayah perbatasan, yakni ketidakjelasan pengelolaan perbatasan, kurangnya koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta ketidakamanan perlintasan. Ganewati menilai bahwa persoalan itu terkait dengan kekuasaan di pusat yang melihat wilayah perbatasan dari jarak tertentu dan kemudian memperlakukannya sebagai ruang. Lagi pula, selama ini pendekatan yang dijalankan di perbatasan adalah pendekatan keamanan belaka.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini mengatakan bahwa koordinasi antarkementerian dan lembaga negara sudah dilakukan, terutama untuk mendorong peningkatan anggaran bagi wilayah perbatasan. Sekarang transfer dana pusat ke daerah tidak semata-mata dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tetapi juga berdasarkan besaran masalah dan urusan.
”Pada 2011 akan diujicobakan dana alokasi khusus untuk daerah perbatasan sebesar Rp 100 miliar,” kata Helmy. ”Kemungkinan akan diuji coba di sembilan kabupaten dan delapan daerah tertinggal.”
Selain menjadi inisiator koordinasi antarkementerian dan lembaga negara, Helmy mengaku sudah memberikan peta persoalan dan potensi wilayah perbatasan itu kepada badan usaha milik negara serta perbankan. Tujuannya adalah memberikan masukan mengenai penggunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan kebutuhan warga di perbatasan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Kalimantan Barat, Erma Suryani Ranik, mengatakan bahwa salah satu solusi yang ditawarkan untuk memulai penanganan perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia adalah pembangunan jalan paralel di sepanjang perbatasan. Jalan paralel sepanjang 966 kilometer itu akan menghubungkan Aruk, Kabupaten Sambas di ujung barat dan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu di ujung timur. Jika jalan paralel itu bisa betul-betul direalisasikan, tidak saja persoalan infrastruktur yang akan tertangani, tetapi juga urusan pendidikan, kesehatan, dan perbatasan.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/26/04284546/perbatasan.dan.inisiatif.warga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar