Senin, 25 Oktober 2010

Sampai Kapan Berjibaku di Tapal Batas?

Selasa, 26 Oktober 2010 | 04:27 WIB
Nasrullah Nara
Dari Sabang sampai Merauke/Dari Miangas sampai ke Pulau Rote/...
Setahun silam penggalan lagu ini amat akrab di telinga. Meniru irama lagu iklan produk mi instan, lirik lagu tersebut mencoba mengklaim suara rakyat di seluruh negeri—termasuk tapal batas—untuk salah satu calon presiden.

Namun, rakyat di tapal batas wilayah Negara Kesatuan RI hanya diingat setiap pesta demokrasi lima tahunan dibuka kembali. Di luar itu, tak banyak yang peduli beban hidup yang dialami warga di ujung barat, timur, utara, dan selatan negeri ini. Untuk urusan transportasi, misalnya, kehidupan mereka berbanding terbalik dengan kemewahan dan kenyamanan berkendara yang dikenyam pejabat negara—termasuk anggota legislatif—yang terpilih melalui pesta lima tahunan tersebut.
Kondisi yang paradoksal tidak hanya menyangkut jenis kendaraan, tetapi juga pada aspek jalur transportasi darat, laut, dan udara. Ujung-ujungnya, berdampak pada beban ekonomi warga.
Supri (28) dan istrinya, Nurhayati (26), misalnya, Selasa (19/10), harus merogoh kocek hingga Rp 5 juta untuk menyewa mobil bergardan ganda menuju Asiki, Distrik Tanah Merah, Boven Digoel, yang berjarak tempuh sekitar 500 kilometer dari pusat kota Merauke, Papua. Hari itu ia baru saja pulang dari kampung halamannya di Rembang, Jawa Tengah. Untuk kembali ke lokasi kerjanya di Asiki, total biaya yang harus dikeluarkan tidak kurang dari Rp 10 juta.
Untuk bepergian dari Merauke menuju kabupaten tetangga, yakni Boven Digoel, Asmat, dan Mappi, bukan sekadar biaya yang terkuras, melainkan juga stamina. Jalan menuju Boven Digoel yang sudah beraspal baru sampai di Distrik Sota, sekitar 90 kilometer dari Merauke. Selebihnya, kendaraan roda empat harus melewati jalan tanah berlumpur akibat rembesan air rawa-rawa.
Beratnya medan yang harus ditempuh kerap memaksa sopir berhenti beberapa kali untuk meratakan tanah agar roda mobil tidak selip. Setelah 12 jam berjibaku di belakang setir, biasanya sopir mampir beristirahat di Muting (ibu kota Distrik Muting), perbatasan Merauke-Boven Digoel. Supri dan penumpang yang lain kembali harus menambah ongkos penginapan Rp 100.000 per malam.
Perjalanan menuju Distrik Asiki yang dilanjutkan keesokan harinya butuh waktu 10-12 jam. Transportasi darat merupakan satu-satunya akses tercepat menuju berbagai distrik di Boven Digoel. Selain menyewa mobil, penumpang bisa mengikuti jadwal rutin setiap hari menuju Boven Digoel dengan membayar Rp 500.000-Rp 700.000 per orang bergantung jarak tempuhnya.
Jalur distribusi
Jalur Merauke-Boven Digoel melalui Distrik Sota juga digunakan untuk distribusi barang. Biaya pengangkutan barang dengan truk ukuran sedang mencapai Rp 7 juta. Distribusi barang menuju Boven Digoel memakan waktu 1-2 minggu, tergantung dari cuaca. Kondisi inilah yang memicu lonjakan harga-harga barang di daerah pedalaman.
Rosalina (38), warga Asiki, harus membeli beras dengan harga mencapai Rp 100.000 per kemasan 15 kilogram, lebih mahal dari harga Rp 65.000 di Merauke ketika cuaca buruk. Demikian pula halnya dengan harga tepung terigu yang mencapai Rp 250.000 per karung 25 kilogram, jauh di atas harga tepung di Merauke yang Rp 185.000 per karung. Truk pengangkut barang biasanya baru tiba dari Merauke hingga dua minggu karena terjebak jalan berlumpur. Adapun kapal perintis yang mengangkut berbagai barang tidak berangkat karena faktor cuaca.
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Merauke Harry Bariono Tobing mengakui belum optimalnya infrastruktur di kawasan selatan Pulau Papua ini. Dari 1.100 kilometer jalan di Merauke, baru 400 kilometer yang sudah beraspal. Sisa jalan yang masih berpermukaan tanah sebagian besar ada di rute tujuan Kabupaten Boven Digoel dan Mappi. Sementara akses menuju Kabupaten Asmat hanya dapat ditempuh dengan pesawat terbang jenis twin otter atau berperahu menyusuri sungai.
Kisah warga Merauke setali tiga uang dengan warga Pulau Miangas, Sulawesi Utara. Pulau berpenduduk 750.000 jiwa ini adalah pulau terluar wilayah RI di bagian utara, berbatasan dengan Filipina. Anomali cuaca membuat kapal pemasok bahan bakar minyak sulit menjinakkan gelombang tinggi di Lautan Pasifik sehingga kelangkaan bensin dan minyak tanah menjadi kisah warga sehari-hari.
Bensin dan solar yang dibutuhkan untuk menggerakkan perahu dan kapal motor warga mencapai Rp 10.000 per liter, dua kali lipat dari harga yang berlaku di Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Warga setempat pun harus membeli gula Rp 15.000 per kilogram, separuh lebih besar dari harga di wilayah daratan Sulawesi Utara.
Hasil bumi berupa kopra, yang turun-temurun menjadi penyambung napas warga setempat, kini tidak lagi menjanjikan. Hasil pertanian warga yang merupakan bahan baku untuk minyak goreng itu berharga sekitar Rp 300.000 per 100 kilogram. Namun, harga sebesar itu tidak memberi keuntungan karena biaya angkut ke Manado dengan kapal mencapai Rp 100.000. Dikurangi biaya makan dalam perjalanan, tandaslah sudah hasil penjualan itu.
Jarak Miangas ke Bitung dan Manado, tempat pemasaran kopra, lebih jauh ketimbang Miangas-Tibanban (Filipina Selatan). Miangas-Manado dengan jarak 418 kilometer harus ditempuh dengan kapal laut sehari semalam, tergantung cuaca. Jarak Miangas-Tibanban yang cuma 106 kilometer bisa ditempuh 5-6 jam.
Daerah miskin
Situasi tak kalah miris ditemukan di Kabupaten Maluku Barat Daya, daerah kepulauan Nusantara yang berbatasan dengan Timor Leste. Sebanyak 57 persen dari total 73.000 penduduk daerah itu tergolong miskin. Empat kapal perintis yang biasa sandar di pelabuhan jarang bisa sampai ke Maluku Barat Daya akibat gejolak ombak setinggi 3-4 meter. Frekuensi kapal-kapal ini berlabuh di pelabuhan pun sangat jarang. Dalam sepekan hanya satu kapal yang singgah.
Inilah yang memicu harga barang kebutuhan pokok di daerah itu naik dua kali lipat daripada harga di Surabaya atau Kupang, tempat kebutuhan pokok itu berasal. Harga beras, misalnya, mencapai Rp 12.000 per kilogram.
Kondisi terkini yang diamati di daerah-daerah itu seperti mengonfirmasi pernyataan Ganewati Wuryandari pada diskusi panel Kompas bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di Jakarta, akhir September. ”Sekitar 10 hingga 40 persen dari populasi penduduk di setiap kabupaten di perbatasan memprihatinkan,” kata Ganewati.
Tentu bukan tanpa alasan jika Ganewati memandang kemiskinan di daerah tersebut sebagai buah dari pemiskinan struktural, akibat pembiaran para birokrat terhadap permasalahan dan beban hidup warga setempat.
Kemiskinan masyarakat tersebut, dinilai Ganewati, sebagai sumber persoalan keamanan. Hal itu antara lain berisiko melanggengkan penyelundupan barang antarnegara secara ilegal, perdagangan manusia, dan masalah lintas batas ilegal.
Ganewati mengungkapkan, di daerah-daerah perbatasan, dari tahun ke tahun, selalu saja muncul masalah pendidikan, kesehatan, dan keterisolasian wilayah karena buruknya infrastruktur.
Masalah itu selalu muncul karena ketidakjelasan pengelolaan, kurangnya koordinasi antarinstansi, dan ketidakamanan kawasan perbatasan.
Terjadinya duplikasi pembangunan gerbang selamat datang dan pembangunan pasar di Mota Ain, perbatasan RI-Timor Leste, sebagai contoh nyata. Tahun 2005 gerbang tersebut awalnya dibangun oleh Departemen Dalam Negeri. Namun, dalam waktu tidak terlalu lama tak jauh dari situ dibangun gerbang serupa oleh Departemen Perhubungan.
Contoh lain, pembangunan rumah susun sewa di Entikong, Kalimantan Barat, area perbatasan RI-Malaysia. ”Rumah susun berlantai 3 itu tampak mewah, tetapi kosong melompong, tidak difungsikan karena ketiadaan listrik,” ujarnya.
Setali tiga uang, di perbatasan RI-Filipina, Kompas juga menemukan tumpang tindih pembangunan kantor Kecamatan Marore, di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Di sana sebetulnya telah tersedia kantor kecamatan yang masih layak pakai, tetapi Departemen Dalam Negeri masih juga membangun kantor yang sama senilai Rp 1 miliar.
Menara gading
Patung Santiago yang disimbolkan sebagai kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di Miangas juga nyaris menyerupai menara gading bagi warga setempat di tapal batas itu. Menjulang setinggi 14 meter dari bahan tembaga, fiber, dan semen, patung itu menelan biaya Rp 1,2 miliar. Tujuannya, untuk mengingatkan heroisme perlawanan Raja Manangitu, Santiago, terhadap Belanda. Sayangnya, biaya dan misi yang diusung tak berdampak terhadap persoalan warga setempat.
Hibor Banerah (31), warga Miangas, mengaku bangga sekaligus prihatin. ”Patung ini monumental, tetapi sesungguhnya masyarakat butuh bensin dan minyak tanah,” katanya.
Tugu kembar di tapal batas RI-Papua Niugini, juga tak berarti bagi warga setempat. ”Kami lebih butuh akses jalan antarkabupaten, tutur Jeffry Marten Ndiken (23).
Ganewati menegaskan, sudah saatnya menghentikan pembangunan yang tidak realistis, bersifat proyek, dan tidak memecahkan permasalahan warga setempat. Untuk daerah-daerah yang jauh dari sentra pemasaran hasil bumi seperti itu, jauh lebih efektif menyediakan sarana infrastruktur, termasuk jalan darat serta pelabuhan laut dan udara.
Hal itu mengingatkan pejabat terkait, termasuk Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak yang juga hadir di forum diskusi akan pentingnya memperlancar pergerakan (mobilitas) manusia, barang, dan jasa. Untuk daerah yang tertinggal, terutama di perbatasan, perlu komitmen ekstra agar kisah ”berjibaku” tidak sekadar jadi jualan program. (Aswin Rizal Harahap/antonius ponco anggoro)
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/26/04274357/sampai.kapan.berjibaku.di.tapal.batas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar