Minggu, 23 Agustus 2009

Syair Religi Hamzah Fansuri

Minggu, 23 Agustus 2009 pukul 01:15:00

Syair Religi Hamzah Fansuri


SASTRA

Hamzah Fansuri dikenal sebagai tokoh sastra yang religius. Ia kerap menggunakan bahasa simbolis untuk menjelaskan perasaan cintanya kepada Tuhan.


Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra, me -rupakan kota dagang yang ramai dikunjungi para saudagar dan musafir dari negerinegeri jauh. Pada pertengahan abad 16 sampai awal abad 17, seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budaya -wan terkemuka pernah hidup di sana. Hamzah Fansuri namanya.

Barus sudah dikenal oleh bang -sa-bangsa besar di dunia sejak lama. Sumber-sumber sejarah Yunani menyatakan bahwa kapalkapal Athena telah singgah di Barus sebelum datangnya tarikh Masehi. Pun demikian dengan kapal-kapal dinasti Firaun dari Mesir. Berkali-kali mereka sing -gah di Barus untuk membeli kapur barus sebagai bahan utama pembuatan mumi.

Sumber sejarah dari Nusantara yang ditulis Empu Prapanca, yaitu Nagara Kartagama, juga menyinggung pentingnya Kota Barus. Dikatakan oleh Prapanca bahwa Kota Barus merupakan salah satu negeri Melayu di Sumatra yang sangat penting. Bukti-bukti arkeologis tentang pesatnya kemajuan Barus ketika itu telah ditemukan oleh ahli sejarah. Tersingkap bukti bahwa sebelum kerajaan-kerajaan Islam berdiri di Sumatra, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Barus sudah mapan.

Baru pada abad ke-8, umat Islam menapakkan kakinya di Barus. Dan, satu abad setelahnya, yaitu abad ke-9, berdiri kerajaan Samudra Pasai. Dengan demikian, Barus merupakan salah satu kota utama persinggahan para penyebar Islam dari Arab maupun Persia.

Pada abad ke-16, seorang pe -ngembara Portugis mengunjungi Barus dan menulis bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka dan makmur. Pada abad yang sama, seorang penulis Arab, Sulaiman Al-Muhri, juga mencatat, Barus menjadi tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia, dan India.

Dapat dipastikan telah terjadi komunikasi intensif antara penduduk setempat dengan para pendatang di berbagai bidang. Penduduk setempat dapat mempelajari bahasa-bahasa asing. Terbukti Hamzah Fansuri me -nguasai bahasa Arab dan Persia. Bahasa ini mengantarkannya memahami ilmu-ilmu agama Islam dan kesusastraan.

Syair religius
Di bidang sastra, Hamzah Fansuri memelopori penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam di Nusantara. Abdul Hadi WM dalam bukunya, Hamzah Fansuri: Risalah Tasa -wwuf dan Puisi-puisinya, me -nyatakan, kedalaman kandungan puisi Hamzah Fansuri sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau setelahnya.

Ia kerap menggunakan bahasa simbolis untuk menjelaskan perasaan cintanya kepada Tuhan. Pemakaian simbol-simbol serupa sering ditemukan dalam karyakarya mistikus besar dari Arab dan Persia, seperti Ibnu eArabi, Sadruddin Qunawi, Fakhruddin Iraqi, serta Jalaluddin ar-Rumi.

Dalam contoh syair di bawah ini, Hamzah Fansuri mengguna -kan simbol esurbatf sebagai ganti eanggurf yang biasanya diekspresikan oleh seorang sufi Persia karena nikmatnya rasa cinta kepada Tuhan. Hamzah Fansuri memilih kata surbat karena memang lebih akrab bagi masyarakat Melayu kala itu.

Zikir Allah kiri kanannya Fikir Allah rupa badannya Surbat tauhid akan minumannya Diam bertemu dengan Tuhannya Ia membawa tradisi syair sufistik dari Timur Tengah ke Nusantara dengan berbagai penyesuaian. Bahkan, jika diperhatikan, syair tersebut di atas secara kreatif ditulis layaknya pantun. Sebelumnya, pantun telah berkembang pesat secara lisan di negeri Melayu.

Syair yang ditulisnya terdiri atas empat baris dengan akhiran huruf yang sama. Sampai pada abad ke-20, syair yang disajikan layaknya pantun masih populer dan banyak digemari masyarakat Melayu. Akan tetapi, terdapat ciri-ciri tertentu dalam syair Hamzah Fansuri yang membedakannya dengan karya sastra Melayu sebelumnya, Arab dan Persia.

Oleh karena itu, Profesor A Teeuw, seorang ahli sastra Nusantara, menganggap Hamzah Fansuri sebagai pencetus mo der -nisasi kesusastraan Melayu. Kandungan syair yang disajikan terdiri atas banyak unsur baru. Yang paling mencolok, menurut Teeuw, ia memperkenalkan model penulisan syair dengan mencantumkan nama penulisnya.

Hamzah Fansuri di dalam Makkah Mencari Tuhan di Bait-Kafbah Di Barus ke Qudus terlalu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah Dilihat dari segi strukturnya, syair tersebut di atas merupakan perpaduan antara rubafi Persia dan pantun Melayu. Ia berjumlah empat baris dan terdiri atas dua pasangan. Bedanya dengan pantun adalah pantun terdiri dari empat baris berupa sampiran dan isi. Sedangkan bedanya dengan rubafi terletak pada skema rimanya. Rima rubafi adalah a-ab-a, dan syair Hamzah Fansuri aa-a-a.

Perbedaan lainnya, menurut A Teeuw, terletak pada pencantuman nama penulis syair yang tidak pernah dilakukan oleh sastrawan Melayu sebelumnya. Hamzah Fansuri menulis namanya dalam teks syair.

efDengan demikian, Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra sebagai ungkapan seorang individu yang memanifestasikan kepribadiannya secara sadar dalam bentuk puisi,fe kata A Teeuw dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Ditambahkan oleh Abdul Hadi, muatan keagamaan dalam syairsyair Hamzah Fansuri berperan besar dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. efIslamisasi bahasa sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan,fe jelas Abdul Hadi.

Menurutnya, Islamisasi yang dilakukan Hamzah Fansuri tampak pada kata-kata serapan bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Di satu sisi, kata-kata serapan tersebut memperkaya perbendaharaan bahasa Melayu.

Dan, di sisi lain, memasukkan konsep-konsep Islam di berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Dengan demikian, kata Abdul Hadi, Hamzah Fansuri menaikkan martabat bahasa Melayu hingga menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Nusantara.

Sayang, banyak karya Hamzah Fansuri yang tidak sampai ke tangan kita. Pada 1637, ketika Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M) naik tahta, keluar fatwa yang dicetuskan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dalam fatwa itu di -nyatakan Hamzah Fansuri adalah penganut ajaran wujudiah Ibnu eArabi. Dengan demikian, ia zin diq atau fasik. Karya-karyanya pun habis dibakar di depan Mas jid Ra -ya Kutaraja Aceh hingga hampir tidak tersisa. rid/berbagai sumber


Misteri Kehidupan Hamzah Fansuri

Tidak diragukan oleh semua pegiat sastra Nusantara bahwa Hamzah Fansuri adalah penyair agung di rantau Sumatra. Disebutkan oleh A Teeuw, ketika Valentijn (seorang sarjana Belanda) mengunjungi Barus pada 1706, ia membuat catatan yang menunjukkan kekagumannya pada sang penyair.

‘’Seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur, adalah sosok terkemuka di ling kungan orang-orang Melayu karena syair dan puisinya yang menakjubkan. Kita terbuat karib kembali dengan kota kelahiran sang penyair jika ia mengangkat naik timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau,’‘ tulis Valentijn seperti dikutip A Teeuw dalam The Malay Shai’r: Problems of Origin and Tradition.

Punya nama besar dan karya-karya agung, rupanya tidak serta-merta nama Hamzah Fansuri termaktub dalam kitabkitab sejarah. Tidak ada data sejarah yang mengungkap kapan dan di mana ia lahir, serta bagaimana perjalanan kehidupannya. Bahkan, di mana ia dimakamkan, tidak diketahui sampai sekarang. A Teeuw hanya mereka-reka bahwa Hamzah Fansuri hidup pada abad ke-16 M. Memang ada beberapa syair Hamzah Fansuri yang secara jelas menyebutkan di mana ia berasal dan pernah tinggal. Berikut salah satu contohnya:

Hamzah Fansuri di dalam Makkah Mencari Tuhan di Bait-Ka’bah Di Barus ke Qudus terlalu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah Ada kata Fansuri dan Barus di syair itu. Valentijn dalam catatannya juga menyebut kata ‘Pansur’. Menurut A Teeuw, Pansur yang dalam bahasa Arab disebut Fansur adalah nama lain dari Barus. Kata fansur yang kemudian menjadi Fansuri menandakan sang penyair berasal dari kota itu.

Lantas, apa yang menyebabkan minimnya data sejarah hidup Hamzah Fansuri? Dari penelusuran Abdul Hadi terungkap bahwa sikap kritis sang penyair terhadap perilaku politik sultan Aceh membuatnya tidak disenangi oleh penguasa.

‘’Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya Aceh menjadikannya dikenal sebagai orang yang paling berani. Tidak mengherankan, jika kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya,’‘ jelas Abdul Hadi dalam Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya.

Hal itu, lanjut Abdul Hadi, mengakibatkan nama Hamzah Fansuri tidak tercatat dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis oleh pihak istana. Namanya sama sekali tidak disebutkan dalam Hikayat Aceh maupun Bustan Al-Salatin, dua sumber sejarah Aceh yang paling penting. Padahal, siapa pun tak menyangkal ketokohannya dalam bidang spiritual maupun sastra.

Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama terkemu ka Aceh dalam beberapa karyanya menye butkan nama Syamsuddin al-Sumatrani, murid Hamzah Fansuri, namun ia tidak menyebut nama sang guru. Harun Mat Piah da lam Traditional Malay Literaturememperkirakan sikap Nuruddin itu dipicu oleh perbedaan pandangan keagamaan antara kedua nya.

Jamak diketahui oleh ahli sejarah bahwa Nuruddin menolak konsep Wahdat al-Wujud yang dianut Hamzah Fansuri. Nuruddin-lah yang konon menyarankan sultan untuk membakar karya-karya Hamzah Fansuri. Meski demikian, masih ada beberapa karya sang penyair yang dapat diselamatkan. Di antaranya Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Sidang Fakir, dan Syair Burung Pingai. Sedangkan, karya prosanya yang selamat, antara lain Syarab al-eAsyikin, Asrar al-Arifin,dan al-Muntahl. rid/berbagai sumber

http://www.republika.co.id/koran/153/71128/Syair_Religi_Hamzah_Fansuri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar