Selasa, 21 September 2010

Aliran-Aliran Utama dalam Ilmu Kalam

I. PENDAHULUAN
Sebagaimana sering dibicarakan oleh para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad I H telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa di kalangan umat Islam terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak diinginkan oleh mereka sendiri, di mana suatu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, akan tetapi bahkan telah saling membunuh. Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Persia dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak mereka masing-masing. Seperti penyelamatan Tuhan dengan surga, apakah faktor amal atau rahmat Tuhan semata kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini muncul besar kemungkinan karena menurut doktrin kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam, bahwa penyelamatan Tuhan tidak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, melainkan semata-mata atas dasar rahmat yang disediakan melalui pintu tunggalnya, Yesus.
Dengan kedua oerkembangan itulah lalu muncul pertanyaan-pertanyaan teologis, antara lain: Bagaimana hukumnya orang yang melakkan dosa besar, siapakah yang bertanggng jawab atas perbuatan manusia tersebut, dirinyakah atau Tuhan. Kemudian berlanjut mengenai keadilan Tuhan sampai pada apakah Tuhan mempunyai sifat sebagaimana disebut Alquran dan hadits. Dari beberapa pertanyaan itulah para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang untuk merumuskan jawabannya yang benar sesuai dengan ajarn-ajaran Islam yang shahih. Karena ajaran-ajaran itu harus diinterpretasikan dulu melalui subyektivitas masing-masing pemikir, maka jawaban yang hadir pun demikian beragam dengan pendekatan yang berbeda-beda. Masing-masing jawaban timbul sebagai aliran yang berdiri sendiri, seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah dan lain-lain. Makalah ini akan membahas secara singkat berbagai aspek mengenai aliran tersebut. (Drs. Sumantri, 1999, Buku Ajar Ilmu Kalam, Surakarta: FAI UMS, hlm: 1)
II. ALIRAN-ALIRAN UTAMA DALAM PEMIKIRAN KALAM
A. Aliran Khawarij
Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Kelompok ini juga kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah. Di samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan alasan ketidaksetujuan mereka terhadap sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan perselisihan dan konfliknya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur syam, pada waktu perang shiffin.
Menurut mereka, tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak didasarkan pada ajaran Alquran, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan Alquran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, namun hanya Ali yang berhasil mereka bunuh.
Aliran ini terpecah-pecah lagi menjadi beberapa sekte antara lain (Lihat Prof. Dr. Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, hal: 13-20):
1. Al-Muhakkimah. Pimpinan Abdullah bin Wahb al-Rasyidi. Menurut golongan ini, orang Islam yang menyetujui tahkim adalah kafir begitu juga orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan harus dibunuh.
2. Al-Azariqah pimpinan Nafi’ bin al-Azraq. Menurut golongan ini semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik dan harus dibunuh. Bahkan orang yang sepaham dengan mereka tetapi tidak mau hijrah ke lingkungan mereka pun juga disebut musyrik. Bahkan anak istri orang musyrik itu boleh dan halal ditawan, dijadikan budak atau dibunuh.
3. Al-Najdat pimpinan Najdah bin ’Amir al-Hanafi dari Yamamah. Golongan ini berpendapat, orang yang kekal di dalam neraka hanyalah mereka yang tak sepaham dengan mereka. Sedangkan para pengikut mereka jika mengerjakan dosa besar akan disiksa tetapi tidak akan kekal. Dalam bidang politik, golongan ini berpendapat bahwa imam diperlukan jika terdapat menghendaki demikian. Dalam golongan ini juga berkembang faham taqiah yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri. Namun kemudian, golongan ini terpecah yang mengakibatkan dibunuhnya Najdah bin ’Amir al-Hanafi.
4. Al-Ajaridah pimpinan Abdul Karim bin ‘Ajrad. Sekte ini menolak surat Yusuf sebagai bagian dari Alquran. Di samping itu, menurut mereka harta yang boleh dijadikan harta rampasan perang adalah harta yang pemiliknya telah terbunuh. Pendapat mereka yang lain yaitu menghalalkan menikahi cucu perempuannya sendiri dan cucu kemenakannya (Drs. H. Sahilun A. Nasir, 1994, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm: 106).
5. Al-Sufriah. Pemimpin golongan ini adalah Ziad bin al-Asfar. Golongan ini tampak lebih lunak dibandingkan dengan yang lain. Pendapat mereka antara lain: mereka tidak berpendapat bahwa anak-anakkaum musyrik boleh dibunuh, daerah golongan yang tak sepaham dengan mereka bukanlah daerah yang harus diperangi, kufr dibagi menjadi dua yaitu kufr ni’mah dan kufr rububiyah.
6. Al-Ibadah. Namanya diambil dari Abdullah bin ’Ibad. Mereka berpendapat golongan yang tak sepaham dengan mereka tidak boleh dibunuh, boleh menjalin perkawinan dengan mereka, dan boleh dibagikan warisan. Walaupun kedudukannya adalah kafir. Pendapat mereka yang lain mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
Kesamaan paham semua golongan khawarij di atas antara lain mengenai:
1. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – adalah kafir;
2. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat dan tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila sudah memenuhi syarat-syarat.
7. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan dijatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
8. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
9. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
B. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhan sealin Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya, aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits, yang berpendapat bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Menurut kelompok ini, orang Islam adalah mereka yang mengetahui Tuhan. Jika kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati. Bahkan orang tersebut juga tidak kafir walaupun menyembah berhala, menyatakan percaya pada trinitas dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya.
C. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qadha’ Tuhan.
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran tentang mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga aliran ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan keduanya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qadha‘ dan qadar Allah SWT.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
D. Aliran Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah. Dan dalam bahasa Inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qadha’ dan qadar tuhan. Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di Irak, jabariyah di Khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh Al-Ja’ad bin Dirham. Namun, dalam perkembangannya aliran ini di sebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Jahm bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah telah mentakdirkan atas dirinya segala amal perbuatan yang mesti dikerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan Allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Jahm menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa Allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan Allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Jabariyah yang di kemukakan Jahm bin Shafwan ini adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition. Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang digerakkan oleh dalang, tetapi terdapat kerja sama antara manusia dan Tuhan dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbuatannya.
E. Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal” yang artinya “memisahkan diri”. Semula nama Mu’tazilah dipakai secara wajar dan luas dan kelihatannya termasuk semua pihak yang mendiskusikan masalah dogma secara falsafi. (W. Montgomery Watt, 1987, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, hlm: 74). Menurut sebagian riwayat, nama ini diberikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya nama ini kemudian disetujui oleh pengikut Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka. Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrah di kota Bashrah dan mampu bertahan sampai sekarang.
Menurut aliran ini akal bisa menentukan baik-buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ dan tanpa perantara kitab samawi dan rasulullah. Mereka berdalil dengan surat Al-Isra’ ayat 17, yang mana kata rasul di dalam ayat tersebut diartikan dengan akal sehingga arti keseluruhan ayat tersebut: “Kami tidak akan mengadzab seseorang sampai Kami berikan akal padanya.” Menurut kaum Mu;tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara’. Dengan demikian, sebelum datangnya rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, merekapun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman. Golongan mu’tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa di dalamnya ada unsur mamfaat dan madharat. Dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara’ dan manusia dituntut mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara’ dan manusia dilarang mengerjekannya (Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., 2007, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm: 351-352).
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yang dirumuskan oleh Abu Huzail Al-Allaf :
1) Al-Tauhid (keesaan Allah). Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpaan dan permisalan dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia dan makhluk lainnya. Dari paham muncul paham bahwa Alquran adalah makhluk.
2) Al-‘Adl (keadlilan Allah). Yang mereka maksud dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang dengan kekuatan yang Allah jadikan buat mereka.
3) Al-Wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Bahwa Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan memberi balasan atas kejelakan yang dilakukannya dan tidak mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat.
4) Al-Manzilah bain al-manzilatain (satu posisi di antara dua posisi). Menurut mereka pelaku dosa besar berada di antara dua kedudukan, yaitu mereka tidak berada dalam kedudukan mukmin tidak juga kafir.
5) Amar ma’ruf dan nahi mungkar. Diantara para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Mu’tazilah yaitu: Washil bin Atha’ (pendiri aliran ini), Abu Huzail Al-Allaf, Al-Nazzam, Al-Jubba’i (http://mufdil.wordpress.com/2009/08/03/aliaran-aliran-dalam-ilmu-kalam/, akses Ahad, 5 September 2010).
F. Aliran Shifatiyyah
Aliran Shifatiyyah adalah faham yang menerima adanya sifat-sifat Allah yang dikhabarkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits (sifat khabariyah). Aliran ini bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang menolak memberikan sifat khabariah bagi Allah. Aliran Shifatiyyah dibagi menjadi empat sekte, yaitu :
1. Musyabbihah / Mujasimah (Anthropomorpisme), yaitu memegangi sifat khabariyah tentang tasybih dan tajsim berdasarkan makna literalnya
2. Aliran Khalaf (mutakallimin), yaitu sebagian ulama setelah abad ke-3 Hijriah yang menta’wilkan ayat-ayat tasybih dan tajsim yang ada qarinah itu lafazh majazi yang masih memungkinkan untuk dita’wilkan dari makna hakikatnya, guna menghindari penyerupaan Allah dengan makhluknya. Contohnya :
a. “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka.” (QS Al-Fath : 10) Ulama khalaf menafsirkan kata “tangan Allah” dengan kekuatan, kekuasaan dan keridloan Allah.
b. “Dan buatlah perahu dengan mata Kami dan wahyu kami.” (QS Hud : 37). Kata “mata Kami” ditafsirkan dengan pengawasan Kami.
c. “Tuhan yang Rahman bersemayam di atas Arsy” (QS Thaha: 5). Kata “bersemayam” ditafsirkan dengan berkuasa.
3. Aliran Salaf, yaitu mengimani semua nash Alquran dan Hadits yang mengandung tasybih, tajsim dan sifat khabariyah Allah tetapi tanpa mau membahas mendetail dan tidak mau memberikan ta’wilnya. Ulama-ulama yang beraliran seperti ini antara lain : Imam Malik bin Anas, Muqatil bin Sulaiman, Sufyan Tsauri, Dawud bin Ali Al-Ashafani, Harits bin Asad Al Muhasibi (Mas Halim, 2010, Aliran Shifatiyyah¸ http://fikih-mashalim.blogspot.com/2010/05/xii-aliran-shifatiyyah.html, akses Ahad 5 Spetember 2010).
G. Aliran Mu’aththilah
Aliran mu’aththilah adalah aliran yang berpaham bahwa sifat-sifat Allah yang diungkapkannya di dalam Alquran harus diartikan dengan arti yang sesuai dengan sifat-sifat yang lebih sesuai dengan Allah, bukan diartikan secara tekstual. Karena jika itu dilakukan menurut mereka berarti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya sedangkan Allah mustahil sama dengan makhluk-Nya. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin orang pertama yang menyebarkan paham ini adalah Ja’ad bin Driham yang diadopsinya dari kaum Yahudi seperti Abban bin Sam’an. Akan tetapi Ja’ad dihukum mati oleh Khalid bin Abdullah Al-Qusari, gubernur Irak pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Ia dibunuh pada hari raya Idul Adha tahun 119 H. Paham ini kemudian disebarluaskan oleh Jaham bin Shafwan. Akan tetapi ia dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Marwa pada tahun 128 H.
Di antara pendapat kelompok mu’aththilah ini yaitu Allah tidak memiliki sifat-sifat tsubutiyah (sifat-sifat yang melekat pada dzat-Nya), sebab menurut mereka, dengan adanya sifat-sifat ini maka sesungguhnya Allah sedang diserupakan dengan makhluk-makhluk-Nya. Oleh karena itulah, mereka hanya menetapkan sifat-sfat salbiyah,atau sifat-sifat idhafiyah dan sifat-sifat yang tersusun dari kedua jenis sifat tersebut.
Yang dimaksud dengan sifat salbiyah adalah sifat-sifat yang mengandung makna meniadakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keagungan Allah, seperti perkataan mereka, ”Sesungguhnya Allah adalah Satu” maksudnya bahwa Allah tidak berbilang dan tidak memiliki sekutu.
Sedangkan yang dimaksud dengan sifat idhafiyah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk mensifati Allah tetapi bukan merupakan sifat-sifat yang melekat pada dzat-Nya. Sifat-sifat tersebut dapat digunakan untuk mensifati Allah karena sebenarnya sifat-sifat tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan sifat-sifat dari sesuatu selain Allah, seperti perkataan mereka, ”Sesungguhnya Allah adalah Dasar dan Sebab”, di mana kedua sifat ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, bukan berarti bahwa kedua sifat tersebut ada pada dzat Allah.
Adapun yang dimaksud dengan sifat-sifat yang tersusun dari kedua jenis sifat tersebut adalah satu sifat yang dapat dianggap sebagai sifat salbiyah jika dilihat dari satu sisi dan sebagai sifat idhafiyah jika dilihat dari sisi yang lain, seperti perkataan mereka tentan Allah, ”Sesungguhnya Dia adalah Yang Pertama”, di mana sifat ini dianggap sifat salbiyah karena ia meniadakan sifat baru dari dzat Allah dan dianggap sebagai sifat idhafiyah jika dilihat bahwa segala sesuatu ada setelah adanya Allah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2005, Sifat-Sifat Allah dalam Pandangan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm: 173-176).
H. Aliran Asy’ariyah
Aliran ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, keturunan sahabat Nabi Abu Musa Al-Asr’ari. Ia dilahirkan di Bashrah tahun 270 H dan wafat tahun 324 H. Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah antara lain:
• Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaimana disebut di dalam Alquran, yang disebut sebagai sifat-sifat yang azali dan Qadim. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zat-Nya., namun ada pada zat-Nya. Mengenai Alquran mereka berpendapat ia bukanlah makhluk, tetapi Alquran adalah kalam Allah yang ada pada zat-Nya dan dengan sifat itulah ia berbicara sesuai dengan kehendak-Nya. Asy’ariyah juga berpendapat bahwa orang mukmin dapat melihat Allah di akhirat.
• Tentang akal dan wahyu. Menurut aliran ini segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia (Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres, hlm: 82).
• Perbuatan Manusia. Asy’ariyah tidak menafikan adanya ikhtiyar pada diri manusia, mereka juga tidak menafikan adanya qadha’ dan qadar Allah. Perbuatan manusia dari satu sisi adalah perbuatan Allah, dan dari sisi lain adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, ada ikhtiyar manusia dalam mewujudkan perbuatannya.
• Keadilan Tuhan. Menurut aliran ini, keadilan Allah adalah kebesaran Allah untuk melakukan apa saja terhadap makhlukNya. Ia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Karena itu, menurut Aliran ini, jika Allah memasukkan orang beriman yang shalih dan tidak pernah melakukan dosa besar ke dalam neraka atau memasukkan orang kafir dan durjana ke dalam surga tidak tergolong perbuatan zhalim, tetapi masih tergolong perbuatan adil sebab manusia dan makhluk-Nya yang lain adalah milik-Nya.
• Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat di akhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
I. Aliran Maturidiyah
Pendiri aliran ini adalah Abu Mansur Al-Maturidi yang dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand pada sekitar pertengahan abad ke-3 H. Pokok-pokok ajaran aliran ini antara lain:
• Tentang sifat Tuhan dan Muslim yang berbuat dosa. Ajarannya sejalan dengan Asy’ariyah. Akan tetapi mengenai sifat-sifat Allah yang mengesankan bahwa Allah mempunyai organ tubuh dan sifat-sifat jasmani seperti yang dimiliki manusia Maturidiyah mempunyai sikap dan pendirian yang sama dengan Mu’tazilah, meskipun takwilan-takwilan mereka tidak selalu identik.
• Tentang akal dan wahyu. Menurut aliran ini, sebelum rasul datang membawa wahyu, akal sudah dapat mengetahui mana perbuatan yang baik dan buruk. Sehingga manusia berkewajiban untuk mengerjakan apa-apa yang sudah diketahuinya tersebut. Akan tetapi tidak berarti semua perbuatan dapat diketahui baik buruknya oleh akal. Oleh karena itu, manusia memerlukan wahyu untuk memperjelas hal tersebut sehingga manusia dapat dengan pasti mengetahui kewajiban dan larangan yang harus dikerjakan dan ditinggalkan dan sebelum wahyu itu datang maka manusia tidak diberikan taklif untuk melakukan suatu kewajiban agama.
• Perbuatan Manusia. Menurutnya, Perbuatan manusia sebenarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan Tuhan.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa perbedaan pandangan teologis baru mulai semarak pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dan lebih semarak lagi pada masa-masa setelahnya. Berikut ini adalah aliran-aliran utama dalam berbagai pandangan teologis tersebut:
1. Aliran Khawarij. Aliran ini pada asalnya pendukung Ali tetapi kemudian memisahkan diri karena mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar karena menerima tahkim dalam penyelesaian perselisihan dengan Mu’awiyah. Nama ini kemudian disandangkan kepada mereka yang keluar kepemimpinan yang berhak dan telah disepakati oleh para jamaah. Aliran ini terbagi-bagi dalam beberapa sekte semisal, Al-Muhakkimah, Al-’Azariqah, Al-Najdah, Al-Ajaridah, Al-Sufriyah dan Al-Ibadah. Pada dasarnya mereka mengkafirkan para sahabat dan orang mukmin lainnya yang menerima tahkim sebagai solusi perdamaian. Di samping itu, mereka sudah menganut paham yang cukup demokratis dalam memilih pemimpin. Menurut mereka, setiap muslim berhak menjadi khalifah.
2. Aliran Murji’ah. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar. Pandangan pokok mereka adalah bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar dihukumi tetap sebagai orang mukmin di dunia ini. Aliran ini terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok yang moderat dan kelompok yang ekstrim dalam memegang pahamnya.
3. Aliran Qadariyah. Aliran yang ditokohi oleh Ma’bad Al-Juhani ini beranggapan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah yang membuat perbuatan itu ada. Di samping itu, menurut aliran ini akal manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama Islam ke dunia. Oleh karena kebebasan berbuat dan kebebasan berfikir inilah yang menyebabkan manusia pantas menerima balasan atas semua perbuatannya.
4. Aliran Jabbariyah. Aliran ini merupakan antitesis dari paham qadariyah. Menurut aliran yang ditokohi oleh Jahm bin Shafwan dan lahir di Khurasan ini, semua perbuatan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Allah melalui qadha’ dan qadarnya. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai kemampuan apapun untuk memilih dalam melakukan tindakan. Artinya manusia melakukan semuanya ini atas dasar keterpaksaan.
5. Aliran Muktazilah. Aliran dengan tokoh pertama Washil bin Atho’ ini diperkirakan muncul sebagai akibat ketidaksetujuan Washil terhadap pendapat gurunya, Hasan Al-Bashri, yang berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Sedangkan menurut Washil ia dihukumi fasik, tidak mukmin dan tidak pula kafir. Aliran ini mempunyai lima doktrin utama yang dirumuskan oleh Abu Huzail Al-Allaf. Yaitu: al-tauhid, al-’adl, al-wa’d wa al-wa’id, al-manzilah bain al-manzilatain dan amar ma’ruf nahi munkar.
6. Aliran Shifatiyyah. Yaitu faham yang menerima adanya sifat-sifat Allah yang dikhabarkan dalam nash Alquran dan Hadits. Aliran ini terbagi menjadi tiga sekte utama yaitu: aliran mujassimah, aliran khalaf (mutakallimin), dan aliran salaf.
7. Aliran Mu’aththilah. Yaitu aliran yang berpaham bahwa sifat-sifat Allah yang diungkapkannya di dalam Alquran harus diartikan dengan arti yang sesuai dengan sifat-sifat yang lebih sesuai dengan Allah, bukan diartikan secara tekstual. Menurut mereka Allah tidak memiliki sifat tsubutiyah sebab itu berarti penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya yang mustahil terjadi. Oleh karena itu, mereka menetapkan tiga jenis sifat kepada Allah yang menurut mereka tiga jenis sifat ini sesuai dengan kemahabesaran Allah. Ketiga jenis sifat tersebut yaitu: sifat salbiyah, sifat idhafiyah dan sifat-sifat yang tersusun dari kedua jenis sifat tersebut.
8. Aliran Asy’ariyah. Aliran yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Ali Al-As’yari ini pada dasarnya adalah reaksi atas aliran mu’tazilah yang dikenal sebagai pemuja akal. Menurut aliran ini manusia mutlak memerlukan wahyu untuk kemashlahatan hidup dunia dan akhirat. Di samping itu, aliran ini juga berbeda dengan mu’tazilah dalam menetapkan sifat-sifat Allah. Misalnya tentang Alquran, menurut mu’tazilah Alquran adalah makhluk sedangkan menurut asy’ariyah Alquran adalah kalam Allah, yaitu suatu sifat yang ada pada dzat Allah yang dengan sifat inilah Allah berbicara dengan makhluk-Nya.
9. Aliran Maturidiyah. Aliran ini hampir sama dengan Asy’ariyah. Aliran ini berkembang di daerah Samarkand dan Bukhoro. Aliran ini lebih dekat kepada mu’tazilah dalam pendapatnya tentang akal dan perbuatan manusia. Menurut aliran ini manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk sebelum datangnya wahyu. Oleh karena itu, ia berkewajiban untuk mengerjakan perbuatan tersebut akan tetapi menurut aliran ini tidak semua perbuatan baik dapat diketahui oleh akal. Oleh karena itu, manusia membutuhkan wahyu Allah. Sedangkan menurut Asy’ariyah, akal manusia tidak dapat mengetahui bahwa sesuatu perbuatan yang baik dan buruk itu harus dikerjakan dan ditinggalkan kecuali berdasarkan petunjuk wahyu.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Sahilun A. Nasir. 1994. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Drs. Sumantri. 1999. Buku Ajar Ilmu Kalam. Surakarta: FAI UMS

Mas Halim. 2010. Aliran Shifatiyyah. http://fikih-mashalim.blogspot.com-/2010/05/xii-aliran-shifatiyyah.html

Mufdil Tuhri, dkk. 2007. Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam. Akses http://mufdil.wordpress.com-/2009/08/03/aliaran-aliran-dalam-ilmu-kalam/

Prof. Dr. Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Pres

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. 2005. Sifat-Sifat Allah dalam Pandangan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Pustaka Azzam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar