Senin, 20 September 2010

Mau yang Mana: Kriminal Murni atau Oplosan?



Monday, 20 September 2010
Bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa-bahasa lain yang digunakan manusia, mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Makna lama bisa bertahan, bisa pula menemukan arti baru.
Kata “keong racun”menuntun pada arti “penjahat kelamin”—ini juga istilah baru,bukan playboysantun. Dalam lirik itu,sebutan “Jack”,tak ada hubungannya dengan Jakmania atau tukang ojek, melainkan sebutan untuk seorang lelaki. Seperti juga “kokai” tak ada hubungannya dengan—maaf—tokai, melainkan untuk menyebut orang kaya atau tajir. Beberapa istilah menjadi lebai (berlebihan,dilebihlebihkan), tapi begitulah pergaulan para alay (anak layangan main di pantai atau dunia koboi kucai).

Aman dan Alam

Maka ketika penggede kepolisian Jakarta dan Bekasi mengatakan bahwa kasus penusukan pendeta HKBP di Bekasi sebagai peristiwa “kriminal murni”, logika bahasa yang terjadi adalah: memang ada jenis kriminal yang tidak murni? Jenis oplosan,kriminal campuran, itu yang seperti apa? Wajar karena selama ini masyarakat mengenal pelekatan kata murni dikaitkan dengan bensin atau jenis minuman.

Untuk yang terakhir ini telah lahir banyak korban meninggal dunia. Oplosan yang dipakai apa saja, termasuk jenis metanol.Tiga teknisi pesawat Sukhoi asal Rusia yang mungkin terbiasa dengan vodka pun tewas karenanya. Agaknya kehebatan vodka tak ada apa-apanya dibandingkan model “cap tikus” atau apalagi dengan spiritus. Dalam bahasa netral akan di-sebutkan karena keracunan minuman.

Bahasa yang tepat mungkin bukan keracunan karena ada kesengajaan diri sehingga pas kalau disebut meracuni diri. Bahasa yang lebih aman dan tak menyinggung perasaan negeri lain adalah meninggal karena penyakit jantung. Bahasa telah menyediakan kotak harga,labeling,untuk arti yang sama. Untuk meninggal dunia bisa pilih mana yang sesuai dengan kebutuhan: mati, tewas, modar, gugur,wafat dan atau kembali kepada Sang Pencipta, atau bahkan moksa.

Dalam konteks inilah penjelasan spontan “kriminal murni”memancing rasa heran.Apa maksud, apa tujuan, dan apa motivasinya? Maklum, faktor-faktor itulah yang melekat dengan dunia kriminal. Para kriminolog tahu persis hal ini dan harus dijelaskan agar tidak terjadi kriminalisasi—istilah yang pernah dipopulerkan oleh Presiden dengan anak kata kriminalisasi oleh pers. Begitulah dengan akar kata kriminal, makna turunannya bisa berbeda-beda artinya.

Kriminalitas istilah yang netral, tapi kriminalisasi membawa nuansa kesengajaan mengkriminalkan. Contoh lain yang masih hangat— untuk tidak memakai kata panas—adalah amblasnya ruas jalan di RE Martadinata yang menuju Tanjung Priok, Jakarta Utara. Bisa dibilang kriminal kalau ternyata peninggian jalan tak sesuai dengan aturan dan prosedur. Bisa dibilang dengan cara aman: air laut yang salah. Atau jalan kompromi: dua faktor itu penyebabnya. Ini yang selalu dikemukakan tiap kali ada peristiwa nahas: alam disalahkan karena kita malas mengusut yang sebenarnya.

Malam dan Mesum

Lalu dengan bahasa yang mana kita membahas kasus pendeta di Bekasi ini? Terjadi penganiayaan, pengeroyokan, penghadangan, penusukan, penyerangan massal, penyerbuan terencana dan atau— biasanya—salah paham belaka? Tinggal pilih yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan sesaat atau kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan murni atau kebutuhan kompromi atau kebutuhan oplosan.

Masing-masing bisa berarti penyelesaian permanen dan menyeluruh, bisa juga berarti sementara dan terlupa kalau terjadi pengulangan. Agaknya permainan berbahasa inilah yang masih akan terus menggejala dan menggerus cara berpikir kita semua sehingga pendekatan bahasa seolah sudah menjadi jawaban. Dengarkan kasus bentrokan maut di Papua, bisa diselesaikan: sudah kami laporkan.

Atau sedang diadakan pengusutan. Seolah dengan dilaporkan, dengan diusut, masalah dasar telah dijawab. Namun, sekali lagi dari segi bahasa,kata itu menggandung pengertian yang menggantung, tidak mengakar pada jawaban penyelesaian. Sama dan sebangun setiap kali ada masalah berat—artinya berat sebelah—kita berlindung dengan jawaban umum,klise: bahwa bangsa kita ini bangsa yang cinta damai, tak ada ajaran agama yang mengajarkan permusuhan bahkan sebaliknya, bahwa bla-bla-bla,bahwa itu perbuatan oknum, dan bla-bliblu— kalau ada istilah begitu.

Dengan demikian sebenarnya kita ini sedang bermain-main dengan bahasa— atau mempermainkan bahasa—dibandingkan memakai bahasa sebagai jawaban dan atau perumusan sesuatu. Maka jangan heran—meskipun saya tetap terheran-heran–– dan jangan menyalahkan siapa pun kalau permainan bahasa makin menguasai pikiran kita dan bukan sebaliknya, kita yang menguasai bahasa.

Kadang sungguh mengkhawatirkan walau itu hanya terjadi dalam lirik lagu. Kita ambil lirik lagu yang ngetopsekarang ini,Cinta Satu Malam (CSM). Pengertian yang ada adalah istilah one night stand, model main cinta cash & carry, atau dalam bahasa Keong Racun, baru kenal ngajak tidur. Main cinta semalam dan esoknya lupa namanya siapa.Namun justru dalam lagu CSM ini,cinta semacam ini dimuliakan.

Cinta satu malam/ Oh indahnya/Buatku Melayang/ Walau satu malam…..aduh-duh, apakah sekarang kita lebih menghargai mesum semalam dari sepanjang hidup? Apakah nilai-nilai itu yang mau disosialisasikan? Apakah “sentuhanmu membuat terlena/ aku telah terbelai mesra” yang semuanya hanya satu malam yang menjadi pilihan? Barang kali kecemasan ini berlebihan. Barang kali untuk mengingatkan kembali sebaiknya jangan main-main dengan bahasa atau kelamin atau kriminalitas. Untuk yang ini: Sori,sori Jack….(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar