Senin, 20 September 2010

Land Reform and Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran dari China

Selasa, 21 September 2010 00:01 WIB   
Di tengah memanasnya konflik antara Indonesia dan Malaysia, sebenarnya ada permasalahan krusial yang perlu belum terpecahkan secara efektif dan agak terlupakan. Dalam rilis terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa angka kemiskinan turun dengan lambat. Saat ini sekitar 31,02 juta atau sekitar 13,33% dari total penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal Indonesia bertekad untuk mengurangi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan di menjadi sekitar 8% pada tahun 2015 mendatang sebagai salah satu target Millenium Development Goals (MDGs).
Lebih separuh dari penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan dan sebagian besar hidup sebagai petani gurem dan buruh tani. Ironisnya, jumlah petani gurem ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1983 populasi petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare mencapai 40,8 % dari total jumlah petani yang ada. Sepuluh tahun kemudian, jumlah petani gurem meningkat menjadi 48,5%. Bahkan. secara kuantitatif luas lahan yang dimiliki petani gurem tersebut juga semakin mengecil dari rata-rata 0,26 hektare menjadi 0,17 hektare. Lebih jauh, data BPS juga menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata – rata sebesar 2,6% per tahunnya. Hasil sensus pertanian 2003 memperlihatkan rumah tangga petani meningkat cukup signifikan dari 20,8 juta di tahun 1993 menjadi 25,4 juta di tahun 2003. Lebih jauh, dari total rumah tangga petani tersebut, sekitar 54,4% berada di Pulau Jawa dan 45,1% berada di luar Jawa. Di Pulau Jawa sendiri jumlah petani gurem mencapai 75% dari total rumah tangga petani. Sementara di luar Jawa, proporsi petani gurem mencapai 34%. Diperkirakan jumlah petani gurem dan petani yang tak memiliki lahan jauh lebih besar saat ini.
Untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan, tak bisa dipungkiri, pembangunan pedesaan merupakan langkah strategis yang perlu segera dilakukan. Untuk itu, land reform merupakan suatu instrumen substantif yang sejatinya tidak bisa ditunda-tunda lagi. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai program anti kemiskinan dan skema kredit yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sayangnya persoalan fundamental yang hingga kini belum terselesaikan yakni land reform. Persoalan ini cukup penting untuk dibenahi mengingat banyak petani kita yang saat ini makin kehilangan akses terhadap tanah. Banyak faktor di luar pertanian itu sendiri yang berkontribusi terhadap semakin berkurangnya akses dan kepemilikan tanah serta terjadinya fragmentasi lahan di kalangan petani mulai dari faktor budaya, desakan ekonomi, laju konversi lahan, penguasaan tanah lahan oleh korporasi secara masif dan sebagainya. Ketimpangan kepemilikian lahan pun semakin melebar dimana 11 % rumah tangga menguasai lebih dari 45% lahan. Lebih jauh, ada sekitar 7.3 juta hektar lahan yang tidak digunakan secara optimal dan tidak produktif sebagai akibat praktik land hoarding dan sebagainya. Fakta tersebut akan membuat upaya pengentasan kemiskinan berjalan sangat lamban meskipun jika dilihat secara makro, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi relatif cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena akar persoalan yang yang sifatnya esensial yakni akses terhadap lahan menunjukkan gambaran ketimpangan yang cukup memprihatinkan

Pelajaran dari China
Untuk mengatasi persoalan fundamental terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan ada baiknya kita melihat salah satu aspek yang membuat China berhasil menurunkan jumlah penduduk miskinnya secara signifikan dengan keberhasilan China dalam melaksanakan land reform. Pada tahun 1970 setelah mengalami kegagalan penerapan collective farming yang mengakibatkan turunnya produksi pertanian, China menerapkan apa yang disebut sebagai “Household Responsibility System” yang memberikan setiap rumah tangga petani “use rights” melakukan usaha tani di atas tanah yang diberikan ijin. Penerapan kebijakan ini memberikan dorongan yang signifkan terhadap pembangunan pedesaan dimana petani memiliki kesempatan untuk memproduksi hasil pertanian dengan jumlah yang memadai. Kebijakan ini berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan US$1,25 per hari dari sekitar 84% di tahun 1981 menjadi 16% di tahun 2005.
Ada dua karakteristik penting yang perlu dicatat dibalik keberhasilan China dalam melaksanakan program land reform-nya. Pertama, program land reform tersebut memberikan “broad-based access to land” terhadap semua rumah tangga petani. Dengan pola ini, persentase petani yang tidak memiliki lahan bisa ditekan hingga mendekati nol. Kedua, adanya jaminan hak kepemilikan atas tanah yang makin secure bagi petani. Dengan perbaikan hukum secara gradual, petani dapat memiliki lahan, menjual produk pertaniannya secara bebas, dan bisa melakukan transfer hak atas kepada generasi penerus petani lahan termasuk sewa beli kecuali pemindahan hak milik kepada pihak lain dan pegadaian.
Meskipun dalam proses pelaksanaan land reform di China tidak selalu mulus, beberapa faktor kunci yang mendorong suksesnya land reform antara lain, konsensus politik yang didukung oleh penelitian, riset dalam mendisain land-tenure system, pelaksanaan pilot project dalam untuk melihat berbagai kesepakatan dalam hak guna atas tanah, dan penekanan dalam implementasi yang ditikberatkan pada masyarakat akar rumput.
Indonesia kiranya dapat mengambil pelajaran dari upaya yang sifatnya substansial dalam mengentaskan kemiskinan dengan menjalankan kebijakan land reform yang komprehensif dan terukur. Untuk itu, ada empat pilar yang harus dibangun agar kebijakan land reform di Indonesia bisa diwujudkan dalam rangka mempercepat upaya pengentasan kemiskinan. Pertama, perlu adanya advokasi terhadap para petani miskin untuk membentuk organisasi yang sifatnya independen yang murni berasal dari aspirasi para petani gurem dan petani yang tidak memiliki lahan. Kedua, perlu adanya komitmen politik dari berbagai kekuatan politik yang ada di parlemen yang benar-benar berpihak terhadap petani miskin. Ketiga, adanya dukungan negara dalam bentuk investasi publik, bantuan pendanaan, dan bantuan teknis. Perpaduan antara komitmen politik dan dukungan negara ini diharapkan merupakan prasyarat yang diperlukan guna mengefektifkan kebijakan land reform. Keempat, perlu adanya growth oriented development strategy yang benar-benar berpihak kepada masyarakat miskin dalam hal ini petani yang berlahan sempit dan yang tidak memiliki lahan dan masyarakat miskin lain pada umumnya. Kebijakan ekonomi hendaknya diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin. Oleh karenanya, jaminan terbukanya akses terhadap lahan dan pembangunan di pedesaan harus diperkuat dan didorong seoptimal mungkin. Penduduk miskin pedesaan yang mencapai sekitar 60% dari total penduduk miskin merupakan fakta bahwa pembangunan di pedesaan merupakan suatu hal yang tak bisa ditunda-tunda lagi jika kita ingin mengentaskan kemiskinan secara signifikan. Dengan demikian, ke depan diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak hanya bersifat karitatif dan ad hoc semata.

Oleh Teddy Lesmana, Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan USAID Indonesia Forecast Scholar di the University of Maryland at College Park, Amerika Serikat.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/21/169638/68/11/Land-Reform-and-Pengentasan-Kemiskinan-Pelajaran-dari-China

Tidak ada komentar:

Posting Komentar